A. PENDAHULUAN
Pada saat ini, bangsa
Indonesia dihadapkan pada pemilihan pemimpin secara langsung dalam berbagai
level kepemimpinan. Pada tataran ini pemilihan langsung
tersebut mulai dari kepala desa atau lurah sampai pada presiden. Bahkan pada pimpinan legislatif pun
masyarakat memilih secara langsung para calon yang dicalonkan. Kenyataan
seperti ini memberikan peluang bagi pemilih dan yang dipilih untuk menggunakan
haknya secara lebih terbuka. Di sisi lain, baik pemilih atau pun yang dipilih
tentunya harus memiliki pemahaman tentang apa dan bagaimana pemimpin yang akan
dipilih.
Pemilihan dan
penentuan pemimpin merupakan issu yang sangat hangat dan menjadi perhatian
masyarakat Indonesia, terutama dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan legislatif sebagai wakil rakyat pada
tanggal 9 April 2014 yang akan datang dan dalam menghadapi pemilihan kepala daerah di
tingkat propinsi dan kabupaten atau kota yang akan datang. Untuk menentukan
pemimpin yang diharapkan dan dapat menjadi pemimpin masyarakat merupakan tugas
berat dan menjadi harapan seluruh masyarakat.
Apabila kita kembali kepada
masa awal Islam, sudah menjadi catatan sejarah bahwa pada hari pertama setelah
wafatnya Rasulullah Saw. persoalan yang muncul di kalangan umat Islam bahkan
sempat menjadi masalah yang diperselisihkan
adalah persoalan imamat (kepemimpinan) [1]
Kemudian masalah tersebut pun
muncul lebih mencuat pada masa Ali - Muawaiyah.
Namun bukan berarti bahwa
masalah pemimpin ini tidak menjadi perhatian Rasulullah Saw. pada masanya. Hal itu terlihat dari pesan, aturan dan
ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. dalam berbagai sabdanya. Bahkan
jika diperhatikan masalah kepemimpinan tersebut dilihat dalam pengertian mikro
dan makro.
Dilihat dalam kehidupan
ini, eksistensi pemimpin merupakan sesuatu hal yang sangat urgen. Hal itu terlihat dari adanya pengarahan
Rasulullah Saw. agar untuk kelompok mini, dalam hal ini diatas 2 orang
saja, ada keharusan untuk menunjuk
seorang pemimpin. [2]
Ini menunjukkan bahwa pemimpin adalah hal yang tak terpisahkan dalam
masyarakat, mulai dari tingkat yang paling kecil sampai pada masyarakat luas.
Dalam khasanah Islam baik
Al-Qur'an dan hadis dalam mengungkap pemimpin terdapat beberapa istilah yang
digunakan. Ada kata khalifah, sulthan, amir dan imam yang mempunyai pengertian
yang berkaitan dengan tugas seorang pemimpin.
Kata khalifah sesuai dengan penciptaan
manusia sebagai khalifah di bumi, terdapat dalam Al-Qur'an pada dua tempat[3], sedangkan dalam bentuk jama’ terdapat
pada empat tempat di tiga surat. [4]
Kata ini secara etimologis mempunyai tiga makna pokok, yaitu mengganti,
belakang dan perubahan. [5] Dengan demikian kata ini bermakna
penggantian terhadap yang lain, karena ketiadaan, kematian, ketidakmampuan dan
karena kemuliaan yang diwakili. Jika dihubungkan dengan Allah, maka
pengertian terakhirlah yang lebih dekat.[6] Ini
dapat saja dipahami bahwa pemimpin itu adalah wakil Allah dalam mengatur
kehidupan masyarakat. Namun apabila
tidak dihubungkan dengan Allah, maka pemimpin itu adalah wakil dari orang yang
dipimpinnya untuk memperjuangkan haknya.
Pemimpin dengan penggunaan
kata sulthan yang berakar huruf sin,
lam, dan tha’ mempunyai makna kekuatan dan paksaan. [7] Kata sulthan dalam Al- Qur'an bermakna kekuasaan, karenanya ada yang
berkonotasi sosiologis yaitu kemampuan untuk mengatasi orang lain. Dengan
demikian, kata sulthan mempunyai makna kemungkinan untuk memaksa,[8]
kata ini dapat juga ber makna
orang yang memiliki kekuatan dan kekuatan memaksa.[9]
Amir mungkin lebih dekat dengan fungsinya
sebagai pemimpin yang selalu memberikan instruksi atau perintah.[10] Dapat dikatakan bahwa penamaan dengan
istilah tersebut sesuai dengan berbagai
fungsi yang harus ada. Dan dimiliki oleh seorang pemimpin.
B. ESENSI PEMIMPIN
Kepemimpinan
adalah tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Oleh
sebab itu, seorang yang diangkat untuk menjadi pemimpin dalam suatu urusan
berarti diserahi untuk mengemban tanggung jawab mengurusnya. Pemimpin yang
dipilih oleh masyarakat diharapkan dapat mengurus kepentingan masyarakat
tersebut. Bukan sebaliknya, masyarakat
dijadikan objek untuk mencari keuntungan pribadi.
Seringkali orang berpendapat bahwa kepemimpinan yang
diserahkan kepadanya itu sebagai hak, sehingga kemudian menjadikan masyarakat
yang dipimpinnya sebagai sumber dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya dan
mengabaikan kepentingan orang yang dipimpinnya. Kenyataan ini juga sering sebagai pemicu
munculnya rasa tidak senang terhadap pemimpin tersebut.
Disinyalir bahwa orang akan berambisi untuk menjadi pemimpin, dalam sebuah hadis \rasulullah menyampaikan: Sesungguhnya kamu nanti akan berambisi untuk menduduki jabatan pemimpin dan itu akan kamu sesali, enaknya spt bayi yg sedang menyusu dan tidak enaknya seperti bayi yang disapih. (hadis riwayat al-Buhari al-ahkam dan al-Nasa'i dalam adab al-qadha)
Rasul
telah memberikan koridor dan tuntunan tentang bagaimana seharusnya seorang
pemimpin bersikap terhadap orang yang dipimpinnya, sehingga ia dapat dianggap
menjalankan tugasnya dan mendapat kan kesuksesan kelak. Hadis berikut ini mengemukakan dengan
gamblang tugas seorang pemimpin dan
balasan apa yang diterimanya kelak jika tidak
menjalankan tugasnya itu.
أَنَّ
عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ ابْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي
مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ بِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ
إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ
إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ [1]
‘Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qil bin Yasar yang sedang sakit.
Ma’qil berkata: “Saya akan menyampaikan hadis yang pernah saya dengar dari
Rasulullah saw. Seandainya saya tahu
bahwa saya akan tetap hidup, saya tidak akan menyampaikannya kepadamu. Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak ada bagi seseorang yang diberi amanah oleh Allah untuk mengurusi rakyat
(pemimpin), ia meninggal sementara ia tidak melakukan tugasnya kecuali Allah
mengharamkan surga untuknya.
Dalam
beberapa hadis Rasul menyatakan bahwa pemimpin itu harus atas dasar permintaan
orang yang akan dipimpin bukan atas dasar permintaan calon pemimpin. Hal itu disebabkan masyarakatlah yang
mengetahui dan menilai orang yang pantas dan mampu memimpin dan mengurus kepentingan mereka. Pemimpin tanpa restu masyarakat akan menjadi faktor
pendorong munculnya kerusakan, kebinasaan dan bencana. Dalam segala hal
pemimpin memang sangat penting karena
dengan pemimpinlah semua kekhawatiran dapat diatasi dan hak-hak akan
dilindungi.
Bagi pemimpin, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkannya kepada orang
yang memilih dan kepada Allah kelak. Jadi jabatan yang didapatnya bukan
merupakan lahan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan bukan pula
sebagai unjuk kekuasaan dengan memerintahkan orang lain melakukan sesuatu
sekehendak hatinya atau melakukan hal yang tidak baik.
Di dalam hadis secara eksplisit dinyatakan bahwa
pemimpin yang ditugasi mengurus
kepentingan masyarakat harus melaksanakan tugas melayani kepentingan masyarakat
yang dipimpinnya. Dalam hal ini pemimpin
pada hakikatnya adalah pelayan masyarakat, yang diberi kepercayaan oleh
masyarakat demi untuk kepentingan mereka.
Hal itu terlihat dari ancaman yang diberikan oleh Rasul bahwa Allah
mengharamkan surga bagi pemimpin yang tidak menjalankan tugasnya untuk mengurus
kepentingan masyarakat. Ancaman tersebut
menunjukkan bahwa pemimpin tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat dan
mementingkan kepentingannya sendiri.
Secara jelas dapat dipahami bahwa tugas sebagai pemimpin
itu berat dan beresiko apabila lalai
dalam menjalankan amanah yang sudah dibebankan di pundaknya. Oleh sebab
itu, Rasul dalam hadis lain menetapkan dalam putusannya tidsk sksn
memberikan kepemimpinan kepada orang yang memints dan mempunyai ambisi pribadi
yang sangat kuat.[2]
Untuk mempermudah tugas pemimpin dalam mengurus kepentingan masyarakatnya dan
menghindarkan diri dari ancaman Allah dalam hadis di atas, dalam hadis lain
Rasul menyatakan bahwa Allah akan memberikan pertolongan-Nya kepada pemimpin
yang mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin itu bukan atas dasar permintaan dan
ambisi pribadinya. Sebaliknya, Allah akan menyerahkan sepenuhnya beban dan
resiko tersebut kepada orang yang mendapatkan kursi pemimpin tersebut atas
dasar permintaan dan ambisi pribadinya. [3]
[1] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Ahkam bab “orang yang
diminta menjaga rakyat, Muslim dalam kitab iman dan kitab imarah.
[2] Hadis riwayat al- Bukhari dalam kitab Ahkam dan Muslim dalam kitab imarah.
C. KRITERIA PEMIMPIN DALAM ISLAM
Ada beberapa ketentuan yang
ditemukan dalam hadis Rasulullah saw. mengenai
kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kriteria tersebut
meliputi berbagai aspek, yaitu kemampuan (kapabilitas) pribadi, tidak ambisius,
perolehan dukungan, dan empati terhadap keamanan an kesejahteraan masyarakat
1.
Kemampuan pribadi
Kemampuan
menjadi pemimpin didukung oleh kemampuan pribadi untuk mempengaruhi dan
mengatur orang yang dipimpin. Hal itu terlihat dari perlakuan Rasulullah Saw.
terhadap Abu Zar yang dinilai oleh Rasulullah Saw. tidak memiliki kemampuan
dalam memimpin dan mengelola orang lain.
Hal itu dapat diketahui dari hadis berikut:
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ
إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لا تَأَمَّرَنَّ
عَلَى اثْنَيْنِ وَلا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ [11]
Artinya: Dari Abi Zar
sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: Hai Abu Zar, saya melihatmu lemah dan aku
menginginkan untukmu apa yang aku inginkan untuk diriku. Janganlah engkau
menjadi pemimpin untuk dua orang dan jangan menjadi wali yang menjaga harta
anak yatim
Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw.
menyatakan bahwa Abu Zar ضعيف yang dalam perbendaharaan bahasa Arab kata tersebut mempunyai
makna “lawan dari kuat”, bisa lemah jiwa, badan dan kondisi.[12] Dalam konteks ini mungkin Abu Zar menurut penilaian Rasul tidak
memiliki kemampuan untuk memimpin. Ketidakmampuannya mungkin karena tidak
tegas, tidak cermat dan tidak cakap.
Hal itu terlihat dari indikasi yang
diungkapkan oleh Rasul diakhir hadis dia tidak mampu bahkan untuk memimpin dua
orang. Begitu juga Abu Zar dianggap tidak mampu untuk menjadi wali yang
mengelola harta anak yatim. Pada hal kalau dilihat kualitas pribadinya, Abu Zar
termasuk sahabat yang sangat tinggi komitmennya terhadap Islam dan memiliki
keutamaaan yang tidak sedikit. [13] Hal itu menunjukkan bahwa ketidakmampuan (da’if) dalam
penilaian Rasul mungkin dalam memimpin
dan mengelola kepentingan orang lain.
2.
Tidak ambisius
Proses
perolehan jabatan pimpinan pun merupakan perhatian serius dalam Islam. Menjadi
pemimpin tidak didasarkan pada ambisi pribadi. Hal itu secara tegas dapat
dilihat dalam berbagai ketentuan Rasul yang secara eksplisit dan tegas melarang
para sahabatnya minta diangkat sebagai pemimpin. Hal itu dilakukan oleh Rasul dengan berbagai
cara:
a. Dalam bentuk larangan yang diiringi
dengan konsekwensi yang akan diterima.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. berikut ini dapat dilihat pernyataan
beliau kepada Abdur Rahman:
يا عبد الرحمن لا تسأل الامارة
فانك ان أعطيتها عن مسألة وكلت اليها وان أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها [14]
Artinya: Rasul bersabda: Hai ‘Abdurrahman jangan engkau
memnta menjadi pemimpin, karena jika engkau memimpin atas dasar permintaanmu
engkau akan diserahi sepenuhnya. Tapi jika engkau diberikan kepercayaan untuk memimpin tanpa meminta engkau
pasti akan menda[patkan bantuan.
Dalam hadis di atas, seseorang dilarang untuk meminta atau berambisi
menjadi pemimpin. Larangan tersebut
ditujukan pada orang yang mempunyai ambisi untuk menjadi pimpinan, tanpa
memperhatikan apakan ia mempunyai kemampuan pribadi atau tidak. Orang yang
dinilai oleh pihak lain mampu untuk menjabat suatu jabatan tertentu.tentu tidak
masuk dalam kategori ini. Jika dikaitkan dengan proses pemilihan pemimpin pada
masa sekarang, maka meskipun seseorang meminta, ia hanya melakukan pengajuan
sebagai calon, sedangkan penetapannya didasarkan atas dasar pemilihan.
Memperhatikan hadis dia atas, dapat dipahami bahwa proses pengangkatan
pemimpin didasarkan atas permintaan pihak lain, yang menilai dan mengetahui
kemampuan seseorang untuk memimpin komunitas tersebut bukan atas dasar
permintaan pribadi kepada pengambil keputusan untuk diangkat menjadi pemimpin.
Larangan tersebut diikuti dengan ancaman bahwa pemimpin yang diangkat atas
dasar permintaannya akan ditinggalkan dan dibiarkan sendiri melakukan tugasnya
tanpa bantuan dari Allah dan atau dari pendukung (karena tidak memiliki
pendukung) Beda dengan orang yang diangkat menjadi pemimpin atas dasar
permintaan komunitas yang dipimpin atau oleh orang lain, maka dalam hadis
dijanjikan akan mendapat bantuan dalam pelaksanaan tugasnya. Karena orang yang mendukungnya secara
moral merasa .memiliki tanggung jawab juga.
b. Larangan yang diikuti dengan ancaman.
Dalam hadis lain, Abu Zar diingatkan Rasul ketika ia meminta kepada Rasul
untuk diangkat menjadi pemimpin, bahwa jabatan itu adalah amanah sementara ia
dinilai sebagai orang yang tidak mampu
untuk melaksanakan tugas pemimpin
tersebut. Disamping itu,
diingatkan juga bahwa jabatan itu dapat mendatangkan kehinaan dan penyesalan
nanti (di akhirat), kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan proses yang
benar dan dapat menjalankan tugas dengan baik.[15]
Menurut al-Nawawi, bahwa kehinaan
dan penyesalan itu ditujukan bagi orang yang tidak memiliki kapabilitas untuk
memimpin atau orang yang kapabel, tapi tidak dapat berlaku adil dalam
menjalankan tugas yang diembannya. Sementara bagi yang mampu dan dapat berlaku
adil, maka banyak hadis shahih yang menjelaskan keutamaan yang akan diberikan
kepadanya [16]
Dapat dipahami bahwa larangan meminta jadi pemimpin tersebut bagi orang
yang dilihat dari realitas kesehariannya dapat dinilai tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengurusi
kepentingan orang lain. Jabatan pimpinan apapun yang diperoleh atas dasar
ambisi pribadi akan berimplikasi pada
pemenuhan kebutuhan pribadi, menjadikan jabatan sebagai sarana memperkaya diri
dsn sejenisnya. Sehingga dalam
pelaksanaan tugas pemimpin sedikit sekali memperhatikan kepentingan komunitas
yang dipimpin.
c. Pernyataan Rasul tidak akan mengangkat
seseorang menjadi pemimpin atas dasar permintaan dan ambisius.
Banyak cara yang digunakan Rasulullah Saw. dalam menyampaikan pesan
keagamaan, sehingga umat Islam dapat melihat dari berbagai aspek dan sudut
pandang. Di samping dengan bentuk larangan Rasul juga memberikan ketegasan
dalam bersikap atas permintaan sahabat untuk menduduki jabatan tertentu. Hal itu secara tegas
dikemukakan Rasul dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلانِ مِنْ بَنِي عَمِّي
فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاكَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الاخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لا
نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ [17]
Artinya: Dari Abu Musa:
Aku datang bersama dua orang lain kepada Rasulullah Saw. , salah seorang dari
mereka berkata: ya Rasulullah Saw. jadikanlah kami pemimpin terhadap yang lain
dan yang lain berkata seperti itu juga, lalu Rasulullah Saw. Menjawab: Demi
Allah sesungguhnya kami tidak mengangkat seseorang untuk mengurusi masalah ini
atas dasar permintaannya dan tidak juga seseorang yang ambisi terhadap jabatan
itu.
Dapat dipahami bahwa
konsistensi aturan Rasul tidak memberikan peluang kepada orang yang meminta dan
orang yang berambisi untuk menduduki jabatan. Hal itu terlihat dari ketegasan
beliau untuk tidak mengangkat orang yang minta dan orang yang berambisi
terhadap jabatan itu.
3.
Perolehan dukungan
Untuk memimpin atau
menjadi pemimpin bukan suatu hal yang mudah, dan tidak bisa berjalan sendiri.
Tetapi tugas sebagai pemimpin akan dapat dilakukan dengan bantuan pihak lain.
Oleh sebab itu, kriteria pemimpin yang akan berhasil adalah pemimpin yang
memiliki pendukung, yang disenangi dan menyenangi oleh dan kepada komunitas
yang dipimpinnya. Hal itu secara jelas
dikemukakan oleh Rasul dalam hadis berikut:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ.....
Artinya: Dari ‘Auf bin Malik Rasulullah Saw. bersabda: Sebaik-baik pemimpinmu adalah
mereka yang kamu sayangi dan menyayagimu mereka mendoakan kamu dan kamu mendo’akan mereka. Pemimpin yang tidak baik adalah yang kamu
benci dan membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.
Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa pemimpin terbaik adalah pemimpin yang
menyayangi dan disayangi orang yang dipimpinnya, mendoakan dan dido’akan orang
yang dipimpinnya. Ini menunjukkan bahwa pemimpin terbaik adalah yang
mendapatkan tempat dan dukungan dari komunitas yang dipimpin.
Sebaliknya pemimpin yang terjelek adalah pemimpin yang membenci dan dibenci
orang yang dipimpinnya, dikutuk oleh dan mengutuk orang yang dipimpinnya. Namun, dalam menghadapi pemimpin yang pada
awalnya diangkat tapi dalam perjalanan kepemimpinannya tidak baik Rasul di
akhir hadis tersebut memberikan arahan agar tetap memberikan dukungan dengan
cara membenci prilakunya yang menyimpang dari ketentuan Allah, dengan tidak
menentang dengan kekerasan terhadapnya. Bahkan dari dialog antara sahabat
dengan Nabi saw terlihat bahwa beliau tidak mengizinkan muslim mengangkat
senjata terhadap pemimpin yang menyimpang selama ia masih mengerjakan shalat.
Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin sekalipun, sebagai manusia biasa, mempunyai potensi untuk berlaku tidak
benar, sehingga komunitasnya mempunyai kewajiban untuk mengingatkan bukan untuk
memberontak. Hal
itu terlihat jelas dari aturan Rasul berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ
الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ[18]
Artinya: Dari Abi Sa’id
al-Khudri ses8ngguhnya Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya jihad terbesar
adalah perkataan/pernyataan bijak
terhadap pemimpin yang menyeleweng.
Dalam hadis di atas terlihat bahwa salah satu
bentuk dukungan adalah dengan cara peringatan yang diberikan berupa kata bijak,
dalam hal ini memberikan nasehat, kritik dan saran secara baik terhadap
pemimpin yang menyeleweng dari jalan Allah termasuk salah satu bentuk jihad
yang terbesar. Dalam menghadapi
kesewenangan pemimpin yang lalim, dengan cara mengingatkan mereka bukan dengan
cara memerangi atau menentang dengan kekerasan atau pun kudeta.
Berdasarkan hadis tersebut dan untuk menjaga
agar dalam suatu masyarakat atau wilayah tetap ada pemimpin, para ahli Fiqh
sepakat siapa saja yang telah menetapkan pemimpinnya haram hukumnya menentang
atau memeranginya[19] Hal ini agaknya sebagai konsekwensi dari
aturan sebelumnya yaitu pemimpin diangkat bukan atas dasar permintaannya
sendiri dan itu artinya diminta atau dipilih atau ditunjuk sebagai pemimpin. Sehingga tidak pantas untuk memerangi dan
menentangnya jika kemudian ada yang tidak berkenan.
4.
Empaty
terhadap Keamanan dan Kesejahteraan Rakyat
Pemimpin merupakan sosok yang diharapkan dapat memberikan perlindungan,
memikirkan kepentingan yang dipmpin, dan dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi. Berbeda
dengan bayangan orang bahwa pemimpin adalah perolehan berbagai fasilitas, dalam
Islam tugas pemimpin adalah memberian pelayanan kepada masyarakat yang
dipimpinnya.
Rasul dengan tegas dan jelas memberikan ancaman kepada pemimpin yang tidak
mengemban amanah dalam hadis, bahwa : pemimpin yang sudah diserahi tampuk
pemimpin, namun ia tidak mengurus kepentingan masyarakat atau tidak mperhatikan
keamanan dan kesejahteraan masyarakat, jika ia mati maka haram baginya surga.[20]
Dalam hadis lain, dengan redaksi yang berbeda, Rasul menjelaskan bahwa
pemimpin yang seperti itu tidak akan masuk surga bersama mereka yang dizalimi
hak-haknya.[21]
Pernyataan dan ancaman Rasul ini memberikan arahan bahwa ketika seorang
menjabat pimpinan, tidak dapat berlaku semaunya dan memikirkan kepentingan
pribadi atau golongannya saja. Akan tetapi ia harus memikirkan kepentingan dan
kesejahteraan yang dipimpinnya.
D. PENUTUP
Hubungan pemimpin dan yang
dipimpin tidak terlepas dari adanya kewajiban salah satu pihak yang merupakan
hak pihak lain, sehingga aturan yang mengatur tentang hal itu secara
komprehensif harus diungkap agar aturan tersebut tegas dan jelas. Aturan
yang tidak sefihak, tetapi menyentuh semua
[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Mesir: Mustafa al-Bab al Halabi
wa Auladuh) juz 1, h. 24.
[3] Q.S. al-Baqarah/2: 30 dan Q.S. Shad/38:
26.
[4] Q.S. al-An’am/6:55, Q.S.Yunus/10: 14 dan
73 dan Q.S.Fathir/35:39.
[5] Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris bin
Zakariyya, (selanjutnya di sebut Ibn Faris) Mu’jam Maqayis al-Lughat, jilid
4, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Syarikah, 1972/1392, h. 210 dan al
Raghib al-Ishfahani, Mufradat Alfaz Al-Qur'an (Beirut: Al-Dar
al-Syamiyah, 1412/1992) , h. 238
[7] Ibn Faris, op.cit., juz 3, h. 95
[8] ibid., h. 420
[9] ibid.,
[11] Muslim, kitab imarah, no. 3405, Abu Daud, kitab
al-Washaya, no. 3607 dan al-Nasa’i, kitab al-Washaya, no. 2484.
[12] Al-Raghib al-Ishfahani, op.cit., h.
506-507
[13] Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin
Hajar al-’Asqalani, Tahzib al-Tahzib, juz 11, India: Dairat al-Ma’arif,
1327, h. 90-91, Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Thahiri, Asma’
al-Shahabah al-Ruwah, .Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1412/1992, h. 47
dan Khalid Muhammad Khalid, Rijal Haul al-Rasul, Beirut: Dar al-Fikr, tt., h. 59-78
[14] Al-Bukhari, kitab al-Aiman wa al-Nuzur,
no. 6132, kitab Kaffarat aiman, no. 6227, kitab ahkam,, no.
6613-6614, Muslim, kitab al-Imarah, no. 3401, 3404 dan 3405, al-Tirmizi,
kitab aiman wa nuzur, no. 1449, al-Nasa’i, kitab adab al-Qudhah, no. 5289, Abu Daud, kitab al-Kharaj wa
al-imarah wa al-Fai’, no. 2540, al-Darimi, kitab al-Nuzur wa al-aiman, no.
2241, dan ahmad bin hanbal, musnad al-Bashriyyin, no. 19704, dan 19712.
[15] Muslim, Shahih Muslim, jld 3, h. 1457
[16] ibid.,
[17] Muslim , ibid., h. 1456
[18] Al-Turmuzi, op.cit.,
juz 3, h. 318, Menurut al-Turmuzi Hadis ini Hasan garib dari jalur ini. Hasan
garib dalam khasanah al-Turmuzi adalah penggabungan antara
kualitas sanad dan atau Hadis dengan jalur sanad. Dalam Hadis ini dinyatakan gartb karena hanya satu jalur sanad.
Sedangkan pernyataan Hasan karena kualitas sanadnya
tidak sampai pada tingkatan Ṣaḥiḥ. Muḥammad ‘Ajjaj
al-Khaṫib, Uṣṻl al-Ḣadῑṣ ‘Ulumuh wa Muṣṫalaḥuh, (Beirut:
Dậr al-Fikr, 1979 M/ 1409 H.), h. 335-336. Penilaian Ḣasan itu
mungkin karena salah seorang sanadnya yaitu ‘Aṫiyyah(w. 111 H.) dinilai ḍa’ῑf dan
layyin oleh pra kritikus periwayat
Hadis. Lihat al-Ẓھahabi, op.cit., juz 5, h. 100-101.
Hadis ini juga diriwayatkan Ibn Majah, op.cit., juz 2, h.
1329, dan Ahmad bin Hanbal op.cit., juz
3, h. 19, juz 4, h. 314, juz 5, h. 251 dan 256.
Pada jalur sanad Ahmad bin Hanbal, Ab al-Na«rah (w. 109 H.)salah
seorang murid Ab Sa’id dinilai ثقة oleh semua
kritikus periwayat Hadis, lihat
al-’Asqal±n³,juz 10, h. 302-303.
Dengan demikian kualitas Hadis ini ¢a¥³¥. Skema lengkap jalur Hadis ini terlampir
pada lampiran I. 12.
[19] Ibn Qudamah, alMughni, juz 8, h. 104.
[20] Al-Bukhari, ibid., kitab ahkam, no. 6617 dan 6618 dan Muslim, ibid,
no. 3409 dan 3410
[21] Muslim, ibid.
[22] Muslim, ibid., h. 1466
[23] Seperti yang dinukil oleh al-Nawawi dalam ibid.,
[24] Al- Zarqani, al- Muwaththa’ li
al-Zarqani, juz 2, h. 292.
[25] Muslim, op.cit., h. 1474-1475
[26] Muslim, op.cit.,h. 1469
[27] ibid.,
BIBLIOGRAFI
Abu Daud, Sunan Abi Daud,
Ahmad bin hanbal, Musnad
Imam Amad bin Hanbal
al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari
al-Darimi, Sunan
al-Darimi.
Ibn Faris, Abu al-Husain
Ahmad, Mu’jam Maqayis al-Lughat, jilid 4, Mesir: Mushthafa al-Babi
al-Halabi wa Syarikah, 1972/1392
Ibn Hajar, Syihabuddin Abi
al-Fadl Ahmad bin Ali al-’Asqalani, Tahzib al-Tahzib, juz 11, India:
Dairat al-Ma’arif, 1327.
Ibn Hazm al-Thahiri, Abu
Muhammad bin Ahmad bin Sa’id, Asma’ al-Shahabah al-Ruwah, .Beirut: Dar
al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1412/1992.
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah., juz 2, Indonesia:
Maktabah Dahlan, tt.
Ibn Qudamah, alMughni, juz 8,
al-Ishfahani, al Raghib al-, Mufradat
Alfaz Al-Qur'an, Beirut: Al-Dar al-Syamiyah, 1412/1992.
Khalid, Khalid Muhammad, Rijal
Haul al-Rasul, Beirut: Dar al-Fikr,
tt.
al- Kha¯³b, Mu¥ammad ‘Ajj±j, U،l al-¦ad³£ ‘Ulmuh wa Mu،¯ala¥uh, (Beirut: D±r al-Fikr, 1979 M/
1409 H
Muslim, Shahih Muslim,
Nasa’i, Sunan Al-Nasa’i,
Syahrastani, Abu al-Fath
Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad al-, al-Milal wa al-Nihal, juz
1, Mesir: Mustafa al-Bab al Halabi wa Auladuh, tt.
al-Tirmizi, Sunan al-Turmuzi,
al-Zahab³, juz 5,
al-Zarqani, al- Muwaththa’
li al-Zarqani, juz 2