pemikiran munawir syadzali
A.
Pendahuluan
Dalam perkembangan
pemikiran di Indonesia, salah seorang tokoh yang muncul ke permukaan adalah
Munawir Syadzali. Dalam upaya menghadapi
permasalahan yang terdapat di kalangan masyarakat Islam Indonesia dan terjadinya
stagnasi (kejumudan) pemikiran, beliau mengemukakan ide yang sangat
kontroversial, yaitu penggunaan akal secara optimal untuk menafsirkan ajaran
Islam secara kontekstual atau sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Ide tersebut berkembang mejadi polemik di
kalangan beberapa pakar keislaman di Indonesia.
Percaturan pemikiran di
Indonesia, bukan hanya dilakukan atau dimulai oleh Munawir Syadzali. Akan tetapi gaung pemikiran Munawir sangat
keras, karena menyangkut masalah hukum
yang sumbernya menurut sebagian besar ulama termasuk kategori yang tidak dapat
dilakukan ijtihad terhadapnya. Dalam
istilah populernya dikenal dengan nash yang qath’i dalalah. Apalagi, pada masa itu, Munawir sedang
menjabat menteri Agama RI, yang diharapkan dapat mendatangkan rasa aman bagi
umat Islam dalam menjalankan ajaran agama seperti yang dipahami. Dalam makalah
ini dicoba mengungkap kenapa dan bagaimana Munawir mengungkapkan gagasannya
tersebut. Faktor apa saja yang
menyebabkan Munawir menggagas ide tersebut kepada masyarakat islam
Indonesia.
B.
Riwayat Hidup dan Perjalanan karir Munawir[1]
Munawir Syadzali lahir di Klaten pada tanggal 7
Nopember 1925, dari pasangan Abu Aswad Hasan Syadzali (Mughaffir) dengan
Tas’iyah. Ia anak tertua dari delapan
bersaudara. Menurut pengakuannya, ia
dilahirkan dari keluarga miskin sehingga berpengaruh terhadap kelancaran
pendidikannya.
Ia memulai pendidikan dasarnya di Madrasah Bi’tstul
Ummah (sore) dan sekolah desa 3 tahun (pagi) di Karang Anom. Selanjutnya ia masuk tsanawiyah al-Islam di
Sala. Setelah satu tahun di sini, ia
pindah ke Manba’ul ‘Ulum, tamat pada tahu 1943.
Selesai di Manbaul ‘Ulum ia langsung mengajar di
Sekolah Rakyat Muhammadiyah Salatiga.
Tidak lama setelah itu, ia pindah ke Gunung Pati menjadi guru merangkap
kepala sekolah Ibtidaiyah. Karena
pengaruh situasi politik waktu itu, ia ke Semarang bergabung dengan Hizbullah dalam seksi Gatjo (Gabungan
Tjalon Oelama) pada tahun 1945. Pada tahun 1947 ia diangkat menjadi ketua umum
GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) cabang Semarang. Setelah muktamar GPII di
Semarang pada tahun1950 ia banyak mendengar sebagian besar pemuka Masyumi
membicarakan gagasan persiapan politik Islam di Indonesia yang baru merdeka
itu. Sementara itu, sistem politik Islam tersebut belum jelas.
Dengan obsesinya untuk mencari konsepsi politik Islam
tersebut ia memberanikan diri menulis buku yang berjudul Mungkinkah Indonesia
Bersendikan Islam ?[2] setebal 80 halaman. Tulisan tersebut digali sendiri dengan
membaca beberapa kitab klasik seperti al-Maududi. Menurut Munawir, dalam buku
tersebut bukan jawaban yang ditemukan, tetapi hanya memunculkan berbagai
problem.
Ketika ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikannya di Universitas George Town, jurusan hubungan Internasional pada
tahun 1956- 1959, ia melanjutkan pencariannya tentang politik Islam yang
diwujudkan dalam thesisnya yang berjudul Indonesia’s Muslim Political
Parties and Their Political Concept. Dalam
pencariannya, Munawir memulai riset
dengan kepala kosong dan tidak menyiapkan suatu konsepnya terlebih dahulu. Kemudia ia menyusun bahan/ data yang
ditemukan baik yang disetujui atau tidak.
Berbeda dengan kebanyakan peneliti yang sudah matang konsepnya tentang
sesuatu, kemudian mencari data untuk menunjang konsep dan menguatkan pendapat
yang dipegangnya.
Sejak tahun 1950, Munawir memulai karirnya di
Kementerian Luar Negeri. Pertama ia
bertugas di seksi Arab, kemudian pada
tahun 1954, ia ditempatkan di Direktorat Eropah. Di luar negeri ia memulai karirnya dibawah
Atase penerangan Kedutaan Washington DC pada tahun 1955. Enam bulan kemudian, 1956 ia pindah ke bagian
politik. Pada tahun 1963-1968, ia bertugas di Kolombo. Pada tahun 1970, ia
menjadi orang kedua KBRI London. Pada tahun 1975- 1980, Munawir menjadi Dubes
RI untuk Kuwait, Emirat Arab, Qatar dan Bahrain.
Pada tahun 1980- 1983, setelah kembali ke Indonesia, ia
bertugas di Dirjen Politik. Akhirnya
pada tahun 1983- 1993, ia menjabat sebagai Menteri Agama RI selama dua
periode. Sekarang, selain aktif di
Komnas HAM, juga menjadi Dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam mata kuliah Fiqh Siyasah.
Karya tulis Munawir ada yang dalam bentuk buku, makalah
dan pidato antara lain:
1.
Mungkinkah Indonesia bersendikan Islam (1950)
2.
Indonesia’s Moeslim Parties and Their Political Concept (1959)
3.
Shari’ah a Dinamic Legal System (makalah di Colombo 1985)
4. The Rule of The Moeslim Religions
Leaders in the Solution of The Population
Problems Indonesian Experience
(makalah di Kairo 1987)
5. Islam dan tata Negara Ajaran Sejarah dan
Pemikiran
6. Islam
Realitas dan Orientasi Masa Depan Bangsa
(UI Press Jakarta 1993 kumpulan tulisan)
7. Bunga Rampai
Wawasan Islam Dewasa ini (kumpulan tulisan, UI Press, Jakarta, 1994)
C. Pokok-pokok
Pemikiran Munawir Sjadzali
Berdasarkan pengkajian
terhadap karya dan tulisan-tulisan Munawir, ada dua pokok pikirannya yang
berkaitan dengan Islam dan kemanusiaan. Pertama, agama dan negara di Indonesia. Kedua, reaktualisasi ajaran Islam.
Ad.1.
Hubungan Agama dan Negara di Indonesia.
Pemikiran
Munawir Syadzali tentang Agama dan Negara di Indonesia berawal dari isu yang
muncul pada awal kemerdekaan, yaitu keinginan sebagian tokoh Islam untuk
menerapkan politik Islam di Indonesia.
Karena ia merasa bahwa konsep politik Islam belum jelas, ia menggali
konsep tersebut dari kitab klasik seperti karya al-Maududi, al-Mawardi dan lainnya dengan memunculkan buku Mungkinkah
Indonesia bersendikan Islam. Menurut
Munawir buku tersebut tidak mengemukakan jawaban, tetapi hanya memunculkan
problem. Dalam pencarian berikutnya ia
juga menulis tentang masalah tersebut, yang kemudian menjadi buku Islam dan
Tata Negara. Dari hasil
penelitiannya, ia berpendapat bahwa negara Indonesia bukan negara agama, karena
untuk negara agama harus ada tiga syarat, yaitu:
1. Negara
mempunyai agama resmi atau agama negara
2. Hukum
berdasarkan kitab suci dari agama resmi/ agama negara;
3. Negara dipimpin oleh pimpinan agama atau
tokoh agama.
Ketiga unsur
ini tidak ada di Indonesia, negara Indonesia bukan negara sekuler, karena pada
suatu negara sekuler pemerintah tidak ikut campur dalam urusan agama
masyarakat, sementara di Indonesia masalah agama di atur oleh negara dengan
adanya Menteri Agama.[3]
Dari hasil
penelitiannya,- yang menurutnya, merupakan hasil penelitian akhir sementara yang dikemukakan dalam bukunya Islam dan
Tata Negara tersebut, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap
suatu sistem politik tertentu atau tidak ada konsep baku politik Islam, yang
ada hanya seperangkat tata nilai etika
kenegaraan, karena dalam al-Quran dan al-hadis tidak ada aturan yang
menjelaskan bagaimana seharusnya bentuk negara dalam Islam. Bahkan tidak ada satu nash yang secara tegas
menyebutkan tentang upaya pembentukan negara.
Di samping itu, dalam sejarah Islam tidak ada contoh yang dapat
dijadikan acuan mengenai bentuk dan sistem pemerintahan Islam.[4]
Munawir
tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa antara agama dan negara
tidak dapat dipisahkan, seperti yang diartikulasikan oleh Abu al-A’la
al-Maududi.[5]
Menaggapi pendapat al-Maududi tersebut Munawir mengemukakan bahwa, Islam
tidak menawarkan mekanisme baku seperti dalam mengatur suksesi atau peralihan
kekuasaan yang merupakan urusan penting dalam membangun teori administrasi
politik sebuah negara.[6]
Munawir juga
tidak sependapat dengan Ali Abd al-Raziq yang menganggap bahwa agama tidak ada
hubungan dengan urusan kenegaraan, dan nabi Muhammad tidak pernah mendirikan
negara Islam di Madinah, beliau hanya seorang Rasul.[7]
Menanggapi pendapat Ali Abd al-Raziq tersebut, Munawir mengemukakan
bahwa hal tersebut bukan saja mengingkari kemungkinan adanya hubungan antara
agama dan negara, tetapi juga menolak secara kategoris aspek normatif Islam
dalam proses sosial politik dan mekanisme pemerintahan sebuah negara.[8]
Dari
keterangan di atas, terlihat bahwa pemikiran politik Munawir merupakan sintesa
dari pemikiran Abu al-A’la al-Maududi dan Ali Abd al-Raziq. Dapat dikatakan pemikirannya termasuk pada
pemikir politik Islam yang menganggap agama dan negara berhubungan secara
sembiotik . Anggapan ini didasarkan pada
paradigma yang dikemukakan oleh Din Syamsuddin, bahwa ada tiga paradigma
hubunga antara agama dan negara, yaitu :
a. Agama dan
negara tidak bisa dipisahkan seperti yang dipahami oleh al-Mawardi dan
al-maududi
b. Agama dan
Negara berhubungan secara sembiotik
c. Sekularistik,
seperti yang dipahami oleh Ali Abd al-Raziq.
Yang
terpenting, menurut Munawir, meskipun bukan negara Islam, tetapi aspirasi umat Islam dapat tersalurkan
oleh pemerintah. Dengan arti walaupun
secara legalitas formal negara Indonesia tidak dalam bentuk negara Islam,
tetapi nilai-nilai Islam mempengaruhi dan dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, meskipun negara bukan
negara Islam tetapi ajaran Islam dapat tumbuh dan berkembang.
Apalagi
dalam kenyataan sejarah, politik Islam di Indonesia sejak orde lama sampai orde
baru sampai dekade 70 an dianggap sebagai pesaing kekuasaan dan dicurigai oleh pemerintah, seperti yang terjadi dalam
peristiwa Gerakan Darul Islam dengan negara Islamnya pada tahun 1949.[9]
Pada Masa Orde Baru dengan ikut campurnya pemerintah mengatur Parmusi
(Partai Muslim Indonesia) pasca Masyumi, dengan tidak adanya izin kepala negara
kepada orang-orang Masyumi untuk memimpin Parmusi tersebut. Oleh sebab itu, pemikir Islam baru lebih
menekankan substansi bukan kepada legalitas formalnya.
Ad. 2.
Reaktualisi Ajaran Islam
Gagasan
reaktualisasi ajaran Islam, sejak tahun 1985,[10]
sebetulnya telah dilontarkan oleh Munawir kepada masyarakat Islam
Indonesia dalam beberapa kesempatan di dalam atau di luar negeri.[11]
Akan tetapi, gagasan tersebut mendapatkan reaksi yang keras setelah
disampaikan di Forum Paramadina, berupa munculnya polemik dari kelompok yang
pro dan yang kontra. Bahkan dari polemik
yang berkembang, kelompok kontra lebih banyak dari yang pro dan keritikannya dikemukakan secara
keras dan tajam.[12]
Ide yang mengundang
kontroversi tersebut adalah dalam masalah kewarisan tentang formulasi 2:1 dalam
al-qur’an, bagaimana kalau formulasi
tersebut menjadi 1:1 untuk umat Islam di Indonesia. Munawir melihat bahwa kategori hukum yang
berhubungan dengan ibadah murni, hampir tidak ada ruang campur tangan penalaran. Akan tetapi kategori hukum yang berhubungan
dengan kemasyarakatan terbuka penalaran intelektual dalam mencari cara
pelaksanaan dengan menjadikan kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan
sebagai dasar pertimbangan dan tolok ukur utama.
Dari hasil
pengamatan Munawir di berbagai tempat, umat Islam Indonesia masih mempunyai
sikap mendua dalam beragama. Adanya keinginan untuk melaksanakan pembagian
warisan yang menurut al-Qur’an anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali
bagian perempuan di satu sisi, dan di satu sisi dengan adanya helah pemberian
hibah merupakan indikasi bahwa pembagian warisan secara Islam tidak adil.
Tindakan sebagian umat Islam menempuh cara memberikan hibah kepada anak
perempuan dan sebagian umat Islam -bahkan termasuk pemuka agama - membawa
masalah warisannya kepada pengadilan negeri.[13] Sikap mendua dalam pengamalan agama ini
dikhawatirkan umat Islam tidak mengakui kebenaran aturan Islam, sehingga dicari
helah. Oleh sebab itu, perlu
reaktualisasi ajaran Islam.
Kondisi
masyarakat islam yang seperti itulah yang mendorongnya untuk mengemukakan gagasan rektualisasi
ajaran Islam tersebut. Ditambah dengan
adanya proyek kompilasi hukum Islam tentang perkawinan, kewarisan, dan
wakaf. Sebagai Mentri Agama waktu itu,
ia melihat bahwa moment ini tepat untuk mengemukakan gagasannya. Menurut
Munawir, cukup banyak ayat al-Qur’an[14] mengandung petunjuk yang tidak relevan
lagi dengan tahapan perkembangan peradaban dimana kita hidup sekarang.[15]
Untuk itu perlu dilakukan ijtihad agar hukum Islam yang diperlakukan
adalah hukum Islam yang sesuai dengan sosial dan kultural Indonesia, yang
berbeda dengan cultural Arab ketika al-Qur’an diturunkan.
Perubahan
situasi dan kondisi menurut Munawir, ikut berpengaruh terhadap penentuan hukum
dengan alasan: 1. Nash al-Qur’an tentang
kemasyarakatan (bukan ibadah) diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi,
misalnya tadarrujnya al-Qur’an dalam pengharaman khamar. 2.
Dalam al-Qur’an terdapat nasikh dan mansukh, yang dimansukhkan karena
tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu.
Di samping
itu, Munawir juga merujuk pernyataan Abu Yusuf, bahwa nash sekalipun kalau
dahulu dasarnya adat dan adat tersebut berubah, maka gugur pula hukum yang
terkandung di dalam nash tersebut. Lebih
jauh Munawir menyatakan, rujuklah nash langsung dengan memperhatikan asbab
nuzul dan situasi masyarakat pada saat ayat dan hadis itu muncul. Apabila yang
dirujuk kitab-kitab klasik, Munawir mendasarkan kepada kekhawatiran Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha bahwa kitab klasik tersebut ditulis sesuai kondisi dan situasi saat itu
dan sesuai pula dengan taraf intelektual pada masa itu. Hal itu juga terlihat dari fatwa imam
Syafi’i, yang mempunyai fatwa berbeda dalam masalah yang sama di wilayah yang
berbeda (Irak dan Mesir), yang dikenal dengan istilah qaul al-qadim dan
qaul al-jadid-nya.
Telah
dikemukakan bahwa gagasan reaktualisasi Munawir mendapatkan kritikan yang keras
dan tajam dari kelompok kontra. Misalnya Rifyal Ka’bah menulis dengan judul “Bawalah kepada Kami
al-Qur’an yang Baru atau Gantilah”.[16] Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa reaktualisasi dengan
pendekatan sosiolgis tidak selalu relevan.
Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan dari kasus khusus untuk
mengambil kesimpulan bahwa hukum waris bertentangan dengan rasa keadilan.[17]
Kamaluddin Marzuki menulis dengan judul jangan sampai energi terbuang
percuma. Dalam tulisannya ia
mempertanyakan apakah ada nasikh mansukh al-Qur’an dan hadis dengan ra’yu dan
menyesuaikan situasi dengan Islam bukan mengislamkan, tetapi mengkondisikan
Islam.[18] Di
bawah judul “Reaktualisasi Memahami Kesadaran Hukum Masyarakat” dinyatakan
bahwa pembagian waris sudah bersifat final dan tuntas, tidak ada peluang
ijtihad. Di bagian lain ia mengemukakan lemparkan jauh-jauh ambisi dan selera pribadi.[19]
Menurut
hemat penulis, kritikan tersebut di atas dikemukakan oleh kelompok kontra
disebabkan karena Munawir mengadakan ijtihad terhadap ayat yang dianggap
termasuk nash yang qath’i dalalah. Ayat
mawaris yang sudah rinci menurut ulama termasuk nash qath’i yang tidak dapat
dilakukan ijtihad terhadapnya. Meskipun
para ulama sebelumnya melakukan melakukan pembaruan pemikiran di bidang hukum,
mereka tidak menyentuh hal yang sudah rinci diatur al-Qur’an, atau mungkin juga
karena setting sosial masyarakat dan kultur mereka hampir sama dengan
masyarakat pada masa itu, karena sebagian mereka berasal dari daerah sana. Sepertinya Munawir sama dengan al-Na’im dari
Sudan yang juga menganggap ayat-ayat mawaris ini sebagai ayat yang
mendeskriditkan wanita, sehingga harus ditinggalkan karena tidak sesuai
dengan prinsip umum keadilan dan
persamaan.
Munawir
memang mengakui ada nash yang qath’i dan zhanni, namun berbeda dengan ulama
klasik, nash yang qath’i baginya adalah yang menyangkut ibadah mahdat,
sedangkan nash yang menyangkut kemasyarakatan termasuk dalam kategori zhanni
dalalah.
Menurut
Munawir, reaksi tajam tersebut
disebabkan oleh 4 hal, yaitu: 1) tidak mengikuti ceramahnya secara utuh
(parsial); 2). Kurang mengerti ilmu hukum Islam; 3) tidak
mempunyai kesadaran tentang realitas yang hidup di tengah masyarakat; 4) sikap a priori yang diwarnai oleh
prasangka buruk.[20]
Menghadapi
kritikan yang dikemukakan oleh kelompok kontra tersebut, Munawir menyatakan
bahwa kalau umat Islam harus menerapkan semua ketentuan yang ada dalam
al-Qur’an, bagaimana dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan perbudakan. Bagaimana pula dengan tindakan Umar bin
Khattab yang tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf -yang pada masa Nabi
mendapatkan bagian-apakah bearti Umar juga tidak mengamalkan al-Qur’an.
Menurut
Munawir, sangat berbahaya memahami ayat secara teks tanpa mengaitkan dengan
kondisi, situasi dan latar belakang turunnya al-Qur’an.[21] Ia
juga menambahkan bahwa penafsiran
seperti yang dilakukannya, sudah
banyak dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya, seperti Abu Yusuf dari Ahnaf, Ibn
al-Qayyim dari mazhab Hanbali dan al-Maraghi, yang membenarkan terjadinya
perubahan atau pergeseran hukum karena perubahan zaman, bahkan tokoh ini ikut
mempengaruhi pemikirannya.[22]
Menurut
Bahtiar Effendi, reaktualisasi Munawir bukan pada waris tetapi pada premis
“terdapat sejumlah stipulasi al-Qur’an yang mengatur masalah sosial tidak
sesuai dengan masa kini”[23]
Hal tersebut tepat sekali, karena gugatan Munawir terhadap formulasi 2:1
hanya sebagian dari contoh. Menurut
analisis penulis, sebenarnya Munawir menganut العام
يراد به الخاص [24]
Hal ini terlihat dari pertimbangannya mengenai ayat atau hadis yang
tidak untuk saat sekarang, karena ketika ayat diturunkan atau hadis dimunculkan
sesuai dengan situasi sosial, budaya, tingkat kemajuan peradaban dan
intelektual masyarakat waktu itu.[25]
Lebih jauh
Munawir menyatakan, jika terjadi pertentangan antara manqul (nash) dengan
nalar, diambil yang sesuai dengan nalar seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Abduh. Abduh juga mengajak umat Islam
agar memakai metode pendahulu untuk menggali sumber asli sehingga terbebas dari
taqlid. Itulah yang saya lakukan, kata
Munawir.[26]
Apabila
dikaitkan antara kedua pokok pemikirannya, benang merahnya adalah upaya Munawir
untuk menghadirkan Islam yang cocok untuk umat Islam di Indonesia yang setting
sosial masyarakatnya berbeda dengan setting sosial masyarakat Arab. Oleh sebab itu, umat Islam agar melakukan
ijtihad secara murni dan jujur, seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin
Khattab, sehingga Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan lokal temporal
atau sesuai dengan konteks keindonesiaaan.
D. Penutup.
Dari hasil
penelitian terhadap pemikiran Munawir Syadzali, terlihat bahwa ia mengungkapkan
pemikirannya tentang hubungan agama dan negara didasarkan oleh realitas sosial
masyarakat Indonesia yang ingin menerapkan ajaran Islam di satu sisi dan
ketidakjelasan konsep Islam di sisi lain.
Menurutnya suatu negara legalitas formalnya tidak perlu negara Islam,
yang penting substansinya dalam negara tersebut, agama diakui dan bebas tumbuh
dan berkembang. Karena tidak ada
preferensi tentang betuk negara dalam Islam, yang ada hanya serangkaian nilai
tentang etika kenegaraan.
Sementara
pada masalah reaktualisasi ajaran Islam yang terfokus pada formula 1:2 dalam
pembagian warisan, menurutnya tidak cocok untuk situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia yang mempunyai kultur yang berbeda dengan masyarakat Arab. Oleh sebab itu, umat Islam Indonesia harus
melakukan ijtihad dalam masalah kemasyarakatan agar Islam lebih responsif
terhadap perkembangan zaman.
Daftar pustaka
Abu al-A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam Khursyid
Ahmad, Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967 .
Ali ‘Abd al-Raziq, Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut, 1966 .
BJ Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta,
Grafiti Press, 1985
Fachri Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam, Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990
Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung,
Mizan, 1996
Iqbal Abd Rauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, ,
Jakarta, Pustaka Pnjimas, 1988, h. 1.
M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof Dr. Munawir Syadzali, M.A.,
Jakarta, Paramadina, 1995
Majalah Panji Masyarakat no. 548 tanggal 11- 20 Agustus 1987 .
-----------------, no. 552, tanggal
21 - 30 September 1987 67.
-----------------, no. 553, tanggal 1-10 Oktober 1987 .
-----------------, no. 554 tanggal 11-20 Oktober 1997 .
Munawir Syadzali, Islam dan Tata
Negara Ajaran Sejarah dan Pemilkiran, Jakarta: UI Press, 1990 .
----------------, Bunga Rampai
Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta, UI Press, 1994 .
----------------,, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta, Paramadina, 1997
----------------,,Reaktualisasi Ajaran islam dalam Konteks Realitas Baru dan Orientasi Masa
Depan ( Orasi Ilmiah
waktu Penerimaan Doktor Honoris Causa di IAIN Jakarta, 1994.
-----------------, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa,
Jakarta, UI Press,1993 .
Studia Islamica, vol.II no. 2, 1995.
[1] Riwayat hidup Munawir diambil dari tulisan Munawir, Dari Lembah
Kemiskinan dalam M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi
Ajaran Islam 70 Tahun Prof Dr. Munawir
Syadzali, M.A., Jakarta, Paramadina, 1995, h. 9-53.
[2] Menurut Munawir, buku tersebut dicetak sebanyak 5000 eksemplar, di
Lembah Kemiskinan, h. 45, 10.000 eksemplar, Azas Pancasila Aspirasi
Umat Islam dan Masa Depan Bangsa dalam Islam Realitas Baru dan Orientasi
Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press,1993, h. 39.
[3] Munawir Syadzali, Negara Pancasila Bukan Negara Agama dan Bukan
Negara Sekuler (ceramahpada Pekan Orientasi Manggala BP7 12 Juni 1990,
dalam Islam realitas Baru, op.cit., h. 80.
[4] Munawir Syadzali, Islam
dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemilkiran, Jakarta: UI Press, 1990, h.
97.
[5] Abu al-A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, dalam
Khursyid Ahmad, Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967, h. 243.
[6] Munawir, op. cit., h. 175.
[7] Ali ‘Abd al-Raziq, Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut, 1966, h.
42.
[8] Munawir, op.cit., h. 97
[9] Fachri Ali dan Bahtiar Effendi, Merambah jalan Baru Islam,
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan,
1990, h. 83 dan BJ Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, Jakarta,
Grafiti Press, 1985, h. 57-66.
[10] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Islam
Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta, UI Press, 1993, h.
16 dan Munawir, Dari Lembah Kemiskinan, M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi
Ajaran islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Syadzali, Jakarta, Paramadina,
1995, h. 87.
[11] Ceramah dengan tema tersebut disampaikan pada Seminar Hukum Islam
di IAIN Padang, Bahtsul Masail Syuriah NU Jawa Timur di Tambak Beras, Seminar
Kompilasi Hukum Islam oleh Muhammadiyah Yogyakarta, Penataran pimpinan pemuda
Anshar seluruh Indonesia di Malang, dan dua kali latihan kader tarjih
Muhammadiyah di Yogyakarta. Ceramah yang
sama juga telah disampaikan kepada mahasiswa Indonesia di Kairo, pada forum
kodifikasi hukum Islam yang dilaksanakan oleh South Asian Shariah Association
di Kolombo, dan pada jamuan makan yang diselenggarakan oleh Kementerian
Pengajaran Malaisia di Kuala Lumpur. Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran
Islam dalam Iqbal Abd Rauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, ,
Jakarta, Pustaka Pnjimas, 1988, h. 1.
[12] Misalnya kritikan yang dikemukakan oleh Rifyal Ka’bah, Ali Yafi,
Ahmad Azhar Basyir dll. Tulisan
lengkapnya dapat dilihat pada majalah Panji Masyarakat edisi Juli - Desember
1987. Sebagian tulisan dapat dilihat
dalam M. Wahyuni Nafis, dkk (ed.) , op.cit., h. 251-333.
[13] Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta, Paramadina,
1997, h. 7 dan M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h. 17-18.
[14] Misalnya QS. al-Nisa’/4:3, al-Mu’min/23:6, al-Ahzab/ 33:32, dan
al-Ma’arij/70: 30, seperti yang dikemukakannya dalam M.Wahyni Nafis, dkk. ibid.,
h. 120-121.
[15] Munawir Syadzali, “Ijtihad dan Kemashlahatan Umat” dalam
Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), Ijtihad dalam Sorotan, Bandung,
Mizan, 1996, h. 117.
[16] Majalah Panji Masyarakat no. 548 tanggal
11- 20 Agustus 1987, h. 50-54.
[17] Majalah Panji Masyarakat no. 552, tanggal 21 - 30 September 1987,
h. 66-67.
[18] Majalah Panji Masyarakat no. 553, tanggal 1-10 Oktober 1987, h.
41-43.
[19] Majalah Panji Masyarakat no. 554 tanggal 11-20 Oktober 1997, h.
59-63.
[20] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, op.cit., h. 17.
[21] Munawir Syadzali, Ijtihad dan Kemashlahatan Umat, dalam
Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), op.cit., h. 120.
[22] Munawir Syadzali, Pembangunan Hukum dan Perkembangan Fiqh di
indonesia, dalam Islam Realitas Baru, op.cit., h. 60 dan Pokok
Pikiran Hukum Islam Prof. K.H. Ibrahim Husen, LML dalam Munawir Syadzali, Bunga Rampai Wawasan
Islam Dewasa Ini, Jakarta, UI Press, 1994, h. 60.
[23] Bahtiar Effendi , Islam
dan Negara di Indonesia, Munawir Syadzali dan Pengembangan Dasar-dasar Teologi
Baru Politik Islam, dalam Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), op.cit., h.
401. Tulisan ini dengan judul yang sama
dimuat dalam Studia Islamica, vol.II no.
2, 1995.
[24] Meskipun ayat dan hadis tersebut lafalnya berlaku untuk umum tetpi
diberlakukan khusus hanya terbatas pada situasi dan kondisi yang sama dengan
situasi al-Qur’an diturunkan atau hadis dimunculkan.
[25] Munawir Syadzali, dalam Haidar Baqir dan Syafiq Bakri (ed.), op.cit.,
h. 117-118.
[26] Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran islam dalam Konteks
Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan ( Orasi Ilmiah waktu Penerimaan
Doktor Honoris Causa di IAIN Jakarta, 1994, dalam Bunga Rampai, op.cit., h.
44.