MEMAHAMI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIs[1]
==============================================================
Oleh: E n i z a r [2]
A.
Pendahuluan
Bagi umat
Islam, semenjak datangnya Islam, Rasulullah Saw. telah memberikan beberapa
tuntunan dalam relasi
laki-laki dan perempuan. Ketika menyampaikan aturan tersebut kadang
ada sebab, situasi dan kondisi yang menyebabkan munculnya hadis Rasul. Di
samping itu, Rasul punya metode sendiri dalam menyampaikan hadis dengan
menggunakan bahasa atau perumpamaan yang membuat paham para pendengarnya.
Meskipun
sudah dilakukan seleksi hadis yang sangat luar biasa oleh ulama hadis, namun
ada beberapa hadis Rasulullah Saw. dipahami oleh peneliti atau penulis sebagai
hadis missoginis (membenci perempuan).
Pemahaman tersebut tentu saja perlu dikaji ulang karena tidak didukung
oleh data sejarah dan ajaran dasar al-Qur’an.
Apabila
ketentuan Rasul tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka pasti hadis
tersebutlah yang bermasalah dan perlu diragukan. Namun, apabila hadis yang dianggap missoginis tersebut
setelah melalui kritik eksternal (sanad) dan kritik internal (matan) hadis
tersebut dinilai sahih oleh para ulama hadis, maka perlu pemahaman yang benar
terhadap hadis.
B. Hadis Rasulullah yang Dianggap Missoginis
Ada
beberapa hadis yang missoginis yang akan diungkap dalam bahasan ini dan
sebagian besar terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan.
1. HADIS TENTANG PEREMPUAN
DARI TULANG RUSUK
عن ابى
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع
وان اعوج شيئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اعوج فاستوصوا
بالنساء [3]
Abu Hurairah berkata
bahwa Rasul bersabda:’ Nasihatilah perempuan dengan nasihat yang baik.
karena sesungguhnya ia diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling
bengkok adalah yang atas, yang jika engkau meluruskannya dengan paksa maka akan
mematahkannya tetapi jika dibiarkan akan tetap bengkok. Maka nasihatilah
perempuan itu dengan ansihat yang baik.”
Pemahaman
tersebut diperkuat dengan penafsiran terhadap QS.
Al-Nisa’ ayat 1. Dalam ayat tersebut terdapat frase من نفس
واحد ditafsirkan
dengan menyatakan bahwa Hawa tercipta
dari tulang rusuk Adam.[4] Penafsiran ini membawa
persepsi bahwa Perempuan adalah bagian dari pria.
Dalam
hadis di atas, terdapat pernyataan Rasul bahwa “perempuan diciptakan dari
tulang rusuk, yang paling bengkok adalah yang paling atas”, menurut hemat
penulis maksud hadis tersebut bukan menjelaskan asal kejadian perempuan,[5] karena konteks hadis ini bukan tentang
masalah kejadian perempuan. Akan tetapi, topik yang dibicarakan dalam hadis
tersebut adalah tentang cara mendidik perempuan. Dalam memberikan pendidikan
terhadap perempuan harus dengan cara yang lemah lembut, jangan dengan cara
kekerasan ataupun bentakan.
Menurut Quraish Shihab, maksud hadis itu adalah bahwa
perempuan mempunyai sifat, karakter dan kecendrungan yang tidak sama dengan
pria. Bila hal ini tidak disadari, akan
menjadikan pria bersikap tidak wajar.
Meskipun pria sudah berusaha, mereka tidak akan mampu mengubah karakter
dan sifat bawaan perempuan, seperti tidak berhasilnya meluruskan tulang yang
bengkok.[6]
Oleh sebab itu, memahami sebagian hadis itu saja,
membawa konsekwensi pemahaman yang rancu.
Topik pembahasan Nabi adalah memberi pelajaran atau pengarahan yang
khithabnya ditujukan kepada laki-laki. Pemahaman tekstual, dengan demikian,
tidak ada relevansinya dengan asal kejadian perempuan. Untuk lebih jelas dapat
dilihat hadis riwayat Muslim dari jalur lain berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ
مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ
بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا [7]
Dari hadis yg digarisbawahi “Jika engkau memaksa meluruskannya engkau
mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya”. jika hadis ini
dikaitkan dengan hadis pertama, maka konteksnya bukan pada asal kejadian tetapi
pada perintah kepada suami untuk menasihati isteri dengan cara yang tepat.
2.
PEREMPUAN TDK BISA JADI
PEMIMPIN
Dari Abu Bakrah Rasulullah bersabda:
suatu kaum tidak akan sukses jika kepemim pinannya diserahkan kepada perempuan.
Pemahaman secara tekstual terhadap
hadis diatas: perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Hal itu didasarkan kepada Q.S. al-Nisa’/4:34 Pada
umumnya mufassirin menyatakan, bahwa qawwam dalam ayat artinya
pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain.[9]
Dilihat dari teks hadis yang ada, tanpa memperhatikan
sebab wurudnya, dipahami bahwa perempuan
tidak dapat menjadi pemimpin. Tetapi
jika diperhatikan sebab wurud hadis dan sosial masyarakat pada waktu itu,
yaitu biasanya, yang diangkat sebagai
pemimpin laki-laki. Pada waktu itu diangkat
perempuan, karena saudara laki-lakinya telah meninggal akibat perebutan
kekuasaan.[10] Dilihat dari sosial masyarakat waktu itu, perempuan jauh di bawah
laki-laki. Perempuan pada masa itu tidak
dipercaya sama sekali untuk mengurus kepentingan masyarakat apalagi
pemerintahan dan mereka tidak dihargai.
Bagaimana akan sukses kepemimpinannya di tengah-tengah suasana seperti itu. Menjadikan QS. Al-Nisa’/4:34
sebagai dasar juga terbatas pada wilayah keluarga terlihat dari dasar kenapa
laki-laki jadi qawwam karena ada kelebihan yang diberikan Allah kepada
suami dan karena suami memberikan nafkahnya kepada isteri.
Pada saat perempuan sudah berpendidikan sama seperti
laki-laki, dan mereka mendapatkan penghargaan, apa salahnya menduduki jabatan
sebagai pemimpin.
3.
PEREMPUAN KURANG AKAL
DAN AGAMA
Perempuan
diberikan kesempatan yang sama oleh Rasul dalam pelaksanaan pendidikan. Pada
zaman Rasulullah Saw. perempuan diberikan waktu untuk mendapatkan pendidikan
dari Rasul. [11]
Bahkan Rasul memberikan kesempatan yang sama kepada isteri beliau terutama
‘Aisyah untuk berkiprah dalam dunia pendidikan.
Dalam
banyak hadis, Rasul mendelegasikan kepada ‘Aisyah untuk memberikan penjelasan
kepada para sahabat yang mau belajar kepada Rasul.[12]
Begitu juga halnya dalam kegiatan keagamaan, seperti melaksanakan haji. Setelah
‘Aisyah diberi tahu oleh Rasulullah Saw. bahwa jihad perempuan adalah
mengupayakan ibadah hajji mabrur, sejak saat itu Aisyah tidak pernah
meninggalkan haji, dan tidak ditemani oleh Rasulullah Saw. dan Rasulullah Saw.
memberikan kesempatan kepada ‘Aisyah. [13]
Bahkan
ketika perempuan minta untuk diikutsertakan dalam berjihad pun Rasul memberikan
izin kepada perempuan untuk ikut serta di medan perang, bahkan ada seorang
perempuan yang tidak hanya dapat melawan musuh satu orang tetapi ia dapat
mengalahkan sampai 13 orang musuh Islam.[14]
sebagai perawat korban yang terluka, menyediakan makanan dan minuman untuk para
mujahid dan membantu menjaga perlengkapan.[15] Meskipun Rasul agak sedikit menyarankan agar
tidak usah berangkat. Hal itu bukan
disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan tidak mampu, tetapi kekhawatiran Rasul
akan adanya persepsi pihak lawan memandang bahwa Rasul menjadikan perempuan
sebagai tameng dalam perang. .[16]
Pada masa itu ada anggapan bahwa suatu kelompok dikatakan tidak satria jika di
dalamnya terdapat perempuan.
Hadis
berikut ini dipahami sebagai pernyataan Rasul bahwa perempuan kurang akal atau
kurang rasional :
يا معشر النساء تصدقن فانى اريتكن اكثر اهل النارفقلن
وبم يا رسول الله قال تكثرن اللعن و تكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل و دين اذهب
للب الرجل الحازم من احداكن قلن وما نقصان دينناوعقلنا يا رسول الله قال اليس شهادة
المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك من نقصان عقلها اليس اذا حاضت لم تصل
ولم تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها [17]
Dalam
hadis panjang diatas berisi dialog
antara Rasul dengan sahabiah. Ketika
Rasul memerintahkan agar perempuan bersedekah.
Rasul menyatakan bahwa kebanyakan ahli neraka terdiri dari perempuan. Ketika ditanya penyebabnya, salah satu jawaban yang diberikan Rasul adalah karena perempuan
kurang akal dan agamanya. Kenapa kurang akal, Rasul menjawab karena kesaksian
dua perempuan sama dengan satu pria.
Kurang agama, karena perempuan haid atau menstruasi tidak melaksanakan salat dan puasa.
Ashgar Ali
Engineer mengemukakan dalam bukunya bahwa hadis diatas
maudhu’.[18] Padahal ulama hadis menyatakan hadis ini sahih. Karena alasan tersebut disampaikan oleh
Nabi agar perempuan mau bersedekah, sebagai pengganti dari kekurangannya
itu. Dikaitkan dengan kesaksian, jika perempuan
telah memberikan sedekah berarti telah terjadi hubungan antar individu, ada
yang memberi dan ada yang menerima. Hal
itu menyebabkan perempuan mempunyai wawasan luas.
Memahami hadis
secara tekstual, bertentangan dengan fakta sejarah dan ketentuan agama. Pada
masa itu banyak perempuan yang menonjol pengetahuannya dan kuat agamanya. Seperti Khadijah, ‘Aisyah [19]
dan sahabiyat lainnya. Jika
meninggalkan ibadah karena alasan menstruasi dinyatakan sebagai dasar kurang
agama, maka perempuan haid tidak akan dilarang melakukan salat, puasa, dan
membaca al-Qur’an (bagi yang berpendapat bahwa perempuan haid tidak boleh
menyentuh mushaf) Perempuan tidak salat dan tidak puasa ketika haid karena
mengikuti aturan agama. Menurut hemat penulis, semua ini berhubungan dengan
metode Rasul memberikan perintah/anjuran sehingga perintahnya dilaksanakan
dengan ikhlas.
Oleh sebab
itu, pemahaman terhadap hadis dilakukan secara kontekstual, bukan
tekstual. Ini untuk menghindari diri
dari menganggap palsu hadis yang sahih.
4.
PEREMPUAN LEBIH BAIK
SALAT DI KAMAR TIDURNYA
وصلاتك
في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك
خير من صلاتك في مسجدي [20]
“Salatmu di ruang tidurmu
lebih baik dari pada salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang rumah
yang lain lebih baik dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi
rumahmu lebih baik dari salatmu di masjidku.”
Banyak
hadis yang menyatakan bahwa perempuan ikut shalat berjama’ah bersama Rasul di
mesjid. Dalam menjalankan ibadah, Rasul tidak melarang perempuan untuk ikut
dalam jama’ah shalat.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائذنوا للنساء
بالليل الى المسجد [21]
Dalam
hadis ini shalat Isya dan Subuh, yang dilaksanakan pada malam hari pun Rasul
memberikan tempat untuk perempuan. Sangat banyak hadis yang menyatakan bahwa di
antara jama’ah shalat terdapat makmum perempuan di belakang laki-laki.[22]
Memang ada larangan perempuan memakai
parfum ke mesjid. [23] Ada kekhawatiran ‘Umar tentang kebolehan
perempuan di mesjid yang diungkap dalam sebuah hadis, yang menyatakan bahwa
tingkah laku perempuan yang tidak benar ketika berangkat ke dan di mesjid dapat
berakibat dilarangnya perempuan datang ke mesjid. Berbeda dengan masa
sebelumnya, perempuan dilarang datang ke rumah ibadah.[24] Islam tidak melarang, tetapi Rasul hanya
memberikan persyaratan kepada perempuan yang datang ke mesjid pada waktu malam
untuk tidak menggunakan minyak wangi.
Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa perempuan yang terlanjur
memakainya agar pulang dan mandi seperti pelaksanaan mandi janabah.[25]
Dengan aturan yang diberikan itu terlihat bahwa perempuan ikut berpartisipasi
dalam pemakmuran mesjid dan pengembangan ilmu pengetahuan.
5.
Perempuan sebagai penggoda
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ
مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ
أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ [26]
Rasululullah melihat seorang perempuan lalu Beliau pulang ke isterinya, dan melakukan keinginannya. Setelah
itu, Beliau menyampaikan kepada Sahabat Bahwa Perempuan depannya dalam bentuk
syetan dan belakang dalam bentuk syetan jika kamu melihat perempuan pulanglah
ke isterimu, karena itu dapat menghilangkan sesuatu yang ada pada dirimu
Berdasarkan hadis di atas
Rasulullah tidak menyamakan perempuan dengan syetan, tetapi seperti yang sudah
diketahui oleh masyarakat secara umum bahwa syetan akan melancarkan senjatanya
untuk menggoda manusia, maka Rasul menggunakan itu dalam menyampaikan maksudnya. Dalam hadis konteksnya ketika seorang yang
sudah menikah merasa tertarik dengan perempuan yang dilihatnya, Rasul
menganjurkan untuk menemui isterinya. Perempuan mempunyai daya tarik baik dari
depan atau dari belakang.
6.
Isteri sujud kepada
suaminya
فلا تفعلوا
لوكنت أمرا أحدأ أن يسجد لبشر لأمرت النساء أن تسجد ن لأزواجهن لما جعل الله لهم عليهن
من الحق [27]
“Jangan kamu lakukan itu.
Sekiranya aku boleh memerintahkan pada seseorang untuk sujud pada manusia maka
sungguh akan aku perintahkan kaum perempuan untuk sujud pada suami-suami mereka
karena (besarnya) hak mereka terhadap istrinya”.
Kaum
feminis menilai hadis di atas merendahkan martabat kaum perempuan, karena
diperintahkan isteri sujud pada suami. Pada hal kalau dilihat Hadis secara
keseluruhan, ada beberapa sebab munculnya(sabab al-wurud), adalah:
a. ketika
Qays ibn Sa’ad yang baru pulang dari Hiyarah menuju Madinah. Saat bertemu Nabi
SAW dia langsung sujud, karena di Hiyarah
ia melihat orang-orang sujud pada Rabi-Rabi mereka.
b. Ketika
Mu’az bin Jabal datang ke Syam melihat orang Nasrani sujud kepada pastor
c. Hadis
dari ‘Aisyah ketika Rasul melakukan perjalanan bersama Anshar dan Muhajirin,
mereka melihat binatang ternak yang dilewati oleh rombongan Rasul sujud kepada
Rasul.
Qays,
Mu’az dan para sahabat yang melihat realitas yang terjadi, Mereka menganggap
bahwa Rasulullah lebih berhak untuk disujudi,Rasul melarang sujud kepadanya. Lalu
Nabi SAW langsung menyabdakan hadis diatas. Berdasarkan latar belakang hadis
tersebut di atas dan realitas yang ada di zaman Rasul, tidak ada perintah Rasul
kepada isteri untuk sujud kepada suaminya.
Dari hadis ini ada kalimat “seandainya boleh manusia sujud kepada
manusia lain, maka bukan sujud kepada Rasul tetapi kepada suami”, ini
menunjukkan Islam melarang manusia sujud kepada manusia.
7.
Isteri harus melayani
biologis suami
Ada hadis yang sering
dipahami sebagai pemaksaan terhadap isteri untuk melayani kebutuhan seksual suaminya.
Adanya ancaman dilaknat malaikat bagi isteri yang enggan melakukan hubungan
seksual dengan suaminya berikut ini:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتِ
الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
[28]
Menurut
riwayat di atas, isteri yang tidak mau diajak oleh suami untuk melayani
kebutuhan biologisnya akan mendapatkan laknat malaikat sampai shubuh. Hadis ini dalam konteksnya bukan
untuk memaksa, karena ada perintah yang ditujukan kepada suami untuk mempergauli
istri dengan cara yang baik/wajar. Agaknya aturan ini merupakan bentuk
kekonsistenan ajaran Islam yang menganjurkan untuk menikah agar terhindar dari
zina.[29] Di samping itu, sebelum
Islam orang mempunyai isteri tidak terbatas jumlahnya, tetapi setelah Islam
datang Rasul membatasi maksimal empat orang dengan persyaratan yang sangat
ketat. Jika dengan isteri yang sudah terbatas tersebut suami tidak dapat
memenuhi kebutuhan seksualitasnya maka dapat membuka peluang terbukanya pintu
perzinaan.
8. Isteri ibadah harus seizin
suami
Sama juga halnya dengan
hadis tentang larangan puasa sunat tanpa izin suami berikut ini:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ
إِلا بِإِذْنِهِ [30]
Dalam
riwayat di atas, ketika suami berada di rumah si isteri tidak dapat melakukan
puasa sunat kecuali atas izin suaminya. Diketahui bahwa puasa merupakan ibadah
yang tidak membolehkan hubungan seksual suami isteri.
Hadis di atas tidak dapat
dipahami tekstual, dengan pemahaman bahwa jika suami melarang isteri melakukan
ibadah si isteri tidak boleh melakukannya. Teks hadis terkesan seakan-akan
bahwa untuk melakukan ibadah saja harus dengan izin suami. Pemahaman seperti
ini memperlihatkan bahwa suami menduduki posisi sangat tinggi dibandingkan isteri.
Di samping itu, perlu
juga diperhatikan kosa kata syahid dalam hadis menunjukkan bahwa konteks
hadis ini pada suami yang biasanya
sering tidak berada di rumah atau sering bepergian. Apalagi pada masa Rasul
kepergian suami ke luar daerah untuk mencari nafkah, dan berperang di tempat lain yang jauh dari
rumah, maka sangat tepat jika dalam kondisi seperti itu, perlu izin suami untuk
melakukan puasa sunnat. Karena ia hanya
punya waktu yang tidak banyak berada bersama keluarganya.
9.
ISTERI TDK BOLEH MINTA CERAI
عَنْ
أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ
فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ [31]
Hadis ini sering
digunakan untuk melegitimasi perempuan agar merasa takut dengan ancaman tidak
akan mendapatkan surga, bahkan tidak mendapatkan baunya, sehingga perempuan
akhirnya menerima dengan terpaksa perlakuan apapun dari suaminya. Dalam hadis
terdapat ancaman bagi isteri yang meminta cerai dari suaminya tidak mendapatkan
bau surga.
Namun, di akhir hadis itu
dinyatakan bahwa yang tidak mendapatkan
bau surga itu adalah permintaan cerai yang tanpa sebab yang dibolehkan. Hal itu
diatur pula dalam hadis tentang khulu’, jika tidak memungkinkan lagi untuk
bersama, Islam memberikan hak terhadap isteri untuk mengajukan permohonan cerai.
Hadis tentang kebolehan
perempuan mengajukan permohonan cerai
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ
مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي
الإِسْلامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً [32]
Ibn Abbas menceritakan bahwa isteri
Tsabit bin Qais mendatangi Rasulullah
dan mengungkapkan: ya Rasulullah
Tsabit bin Qais saya tidak merasa 'aib dengan perangai dan tidak pula
dengan keberagamaannya, tetapi saya akan terpaksa kafir dalam keislaman, maka
Rasulullah bersabda: apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya ?, saya
mengatakan ya, ya Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda terimalah kebun dan
ceraikanlah ia.
Hadis
ini muncul karena ada sebab wurud, yaitu peristiwa yang dihadapi oleh seorang
isteri yang tidak mau dalam rumah tangganya akan mengarahkan ia kafir dalam
Islam. Malah ia tidak merasa keberatan terhadap akhlak dan
keberagamaan suaminya. Dalam riwayat lain, ada penyebabnya yaitu tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya terhadap diri perempuan, sampai
tangannya patah.[33]
Dari peristiwa yang dialami oleh si isteri, terlihat
bahwa masalah dalam keluarga yang telah mengarah pada kekerasan fisik atau
perempuan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan dan suami tidak melepaskan, maka
si isteri diberi hak untuk mengajukan diri bebas dengan ganti rugi. Yang dalam Islam dikenal dengan
istilah khulu'. [34].
Peristiwa/masalah dalam keluarga yang dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan khulu' dalam hadis adalah adanya kekhawatiran si isteri
kafir dalam Islam, yaitu dia tidak mungkin dapat melakukan kewajibannya sebagai
isteri dan tidak mungkin dapat hidup bersama. Dapat juga bermakna, perempuan diberi hak untuk
mengajukan khulu’, jika suaminya tidak memberikan haknya sebagai isteri.
10. Isteri
harus ada muhrim
Dalam sebuah hadis, Rasul bersabda:
عَنْ
ابنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ
إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ
فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ
مَعَ امْرَأَتِكَ [35]
Ibn Abbas mendengar Rasul bersabda:’
Janganlah berdua-duaan laki-laki dan perempuan, dan janganlah perempuan
melakukan perjalanan, kecuali bersamanya ada muhrimnya. Seorang berdiri dan berkata, ya Rasul saya
diwajibkan mengikuti peperangan itu dan itu, dan isteriku menunaikan ibadah
haji, Rasul menjawab: pulanglah dan berhajilah bersama isterimu.
Hadis
di atas memberikan keterangan bahwa perempuan harus selalu didampingi oleh
mahramnya. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan. Akan tetapi, demi untuk
menjaga perempuan dari berbagai kemungkinan.
Perlu diingat bahwa pada masa itu, perjalanan jauh menggunakan unta
sebagai alat transportasi dan medan yang dilalui begitu sulit, serta ditempuh
dalam waktu yang cukup panjang. Sehingga
membutuhkan untuk tidur di tenda sepenjang perjalanan. Dapat dibayangkan
perjalanan seperti itu mempunyai resiko bagi perempuan, yang sendiri, tanpa
mahram. Untuk zaman sekarang pun banyak bukti betapa faktor eksternal yang akan
membahayakan perempuan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Hadis yang dianggap
missoginis sebagian besar dinilai sahih oleh oleh muhaddisun. Dari beberapa
contoh hadis yang dianggap missoginis tersebut ternyata ada pemahaman terhadap
hadis yang bias gender, dengan menonjolkan relasi gender atau relasi antara
laki-laki dan perempuan yang tidak berimbang.
Pemahaman tersebut
disebabkan oleh dua hal :
1. Tidak tematis, hadis yang membicarakan masalah yang
sama tidak dijadikan dasar dalam memahami pesan.
2. Pemahaman tekstual dengan mengabaikan asbab wurud
hadis atau situasi dan kondisi yang mengitari ketika hadis itu diwurudkan. Di
samping itu, mengabaikan uslub dan
metode Rasul dalam menyampaikan hadis. Bahkan bukan itu saja, adanya pemenggalan
pemahaman terhadap teks dalil.
Dampak dari
pemahaman tersebut adalah: pemahaman yang keluar dari konteksnya sehingga hadis
sahih kemudian dinilai maudhu’
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Daud, Sulaiman
bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2,3, Indonesia, Maktabat
Dahlan, t.t.,
Ahmad bin Hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.,
Anonim, Perjanjian Lama-Baru, Jakarta, Lembaga
al-Kitab, 1979
Al-Asqalani, Syihab
al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajr, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah,
(Beirut:
Dar al-Fikr, 1409 H./ 1989 M.) juz 8,
………….., al-Maqashid
al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah,
(Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M), h. 200
………….., Tahazib
al-Tatahzib, (India: Dairah
al-Ma’arif Ni§amiyah, 1326 H).
Ashgar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, diterjemahkan
oleh Farid al-Wajidi dan Cici Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam
Islam, Jakarta, LSPPA, 1994
Al-Bukhari, Abu
‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz 1,3, Indonesia,
Maktabat Dahlan, t.t,
Al-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman,
bin aal-Fadhl, bin Bahram al-, Sunan al-Darimi, juz II, Indonesia,
Maktabat Dahlan, t.t.
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman
Mar’i, 1985
Ibn Majah, Abu ‘Abdullah
bn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan,
t.t.,
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud
al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat,
1404/1984
Malik bin Anas,
al-Muwaththa’ Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Al-Mazi, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-, Tahzib
al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz III
, Beirut: Dar al-Fikr, 1414/ 1994.
Muslim, Abu
al-Husain bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Indonesia, Maktabat Dahlan,
t.t.,
Al-Nasa’I, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-, Sunan
al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t
Al-Qari, ‘Ali bin Sulthan
Muhammad Al-, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz VI,
Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992, h. 403.
Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, Fingsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung,
Mizan, 1992.
Al-Qurthubi, Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, juz I,
Kairo, dar al-Qalam, 1966
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, jilid IV, Mesir, al-Haiah
al-Mishriyyah li al-Kitab, 1973
Al-Saharanfuri, Khalil
Ahmad al-, Bazl al-Juhud fi Hall Abi Daud, juz X,
Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, t.t..
Taufiq ‘Ali Wabah, Al-Jihad
fi al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al-Qanun al-Duwali al-’Am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981
M./1401 H
Al-Thaba’thaba’i, Muhammad Husain al-Mizan
fi Tafsir al-Qur'an, juz V, Beirut: Muassasat al-A’lami li al-Mathbu’at,
1411/1991,
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa
bin Tsaurat al-Turmuzi, Sunan al- Turmuzi (Jami’ al-Shahih), Indonesia,
Dahlan, t.t.,
al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa
Uyun al-Aqawil, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492
Saya dpt kiriman email soal
"dilemma" seorang isteri antara taat pd orang tua dan suami. Jawaban
ckp rasional dan bertanggungjwab krn disertakan sumber rujukannya, adapun setuju
atau tidak sepenuhnya diserahkan pada pembaca bagaimana mensikapinya. Selamat
menyimak, trims.]
Memilih antara menuruti keinginan
suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami
kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah
menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya.
Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ
رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila
ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ
رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila
ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.
1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim
(no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”
Telah dipublikasikan di jurnal al- Dzikra Vol.6 No. 2 Juli- Desember
2012 Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, ISSN 1978-6893 h. 1-
16
[1] Workshop Kajian Tafsir
dan Hadis, Bandar Lampung, 26 Nov.2012, Hasil penelitian 2001, pernah
disampaikan pada Seminar Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) Rabu 21 Desember 2007
Pemerintahan Kota Metro.
[2] Guru Besar Hadis/ilmu
Hadis di STAIN "Jurai Siwo" Metro
[3] al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, jilid III, juz
VII, h. 34. Muslim, Shahih Muslim, jilid I, h. 625, Al-Darimi , Kitab Nikah,
Bab ke 35; dan Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jilid V hadis ke 8. Para ulama hadis menilainya shahih.
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min
al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H),
h. 200.
[4] Penafsiran seperti ini
berkembang di kalangan mufassir klasik seperti al-Qurthubi, Jami’ li
al-Ahkam al-Qur’an, juz I, Kairo, Dar al-Qalam, 1966, h. 301, Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman Mar’i, 1985, h. 448,
al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa
Uyun al-Aqawil, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492, dan
banyak lagi yang lain.
[5] Wanita dari tulang rusuk
terdapat dalam Perjanjian Lama kitab
Kejadian II ayat 21-22, yang isinys: Maka didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu
tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia.
Maka diambil Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya di tempat
itu dengan daging. Maka dari tulang yang
telah dikeluarkannya dari dalam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan. Lalu dibawanya akan dia kepada Adam. Lihat Perjanjian
Lama-Baru, Jakarta, Lembaga al-Kitab, 1979, h. 9. Menurut Rasyid Ridha, ide
penciptaan wanita dari tulng rusuk tampaknya timbul dari Perjanjian Lama. Seandainya kisah itu tidak tercantum di sana,
niscaya pendapat itu (wanita dari tulang rusuk) tidak akan pernah terlintas
dalam benak seorang muslim yang selalu
membaca al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid
IV, Mesir, al-Haiah al-Mishriyyah li al-Kitab, 1973, h. 330.
[6] Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, 1996, h. 300.
[8] Al-Bukhari,
juz IV, h. 228, al-Turmuzi, juz III, h. 360 dan Ahmad bin Hanbal, jilid
V, h. 38, dan 47.
[9] Ar-Razi, At-Tafsir
Al-Qur’an-Kabir, Juz X, h. 88, Az-Zamakh Syari, Al-Qur’an-Kasysyaf,
Juz I, h.523, Ath-Thabathaba’i, Tafsir Al-Qur’an-Mizan, Juz IV, h. 351
[10] Jalal al-Din ‘Abd
al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab
al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, 1404/1984, h. 82-84.
[11] Ada seorang sahabiyah
yang protes karena setiap majelis ilm yang diadakan Rasul diikuti oleh
laki-laki saja. Lalu Rasul memberkan kesempatan kepada mereka untuk membuat
jadwal sesuai dengan waktu yang mereka sepakati bersama.
[12] ‘Aisyah merupakan guru dari
sahabat lain dan tabi’in . Ketika
Rasulullah masih hidup pun beliau memrintahkan agar sahabat menanyakan masalah
tertentu kepada ‘Aisyah. Dalam sebuah
hadis, Rasul mengemukakan kelebihan yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai berikut
: Ambillah setengah dari agamamu dari
Humaira’. Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah
mempunyai kelebihan bahkan dari sahabat laki-laki pun
[13] al- Bukhari, juz 1., h.
712.
[14] Taufiq
‘Ali Wabah, Al-Jihad fi al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al- Qanun al-Duwali al-’am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981 M./1401 H.), h.118-121.
[15] Ibid., h.
117-118.
[16] Ahmad
bin Hajar al-’Asqalani,
Al-Işabah fi Tamyiz al-Şaĥābaṯ, (Beirut: Dar al-Fikr,
1409 H./ 1989 M.) juz 8, h. 235.
[17] al-Bukhari, Jilid I, h. 83 dan Muslim, jus 1, h. 48, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jilid 2,
juz 4, h. 219-220, Ibn Majah, Sunan
Ibn Majah, juz 2, h. 1326-1327; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya,
jilid II, h. 67, 373, dan 374. Mayoritas ulama menghukumi hadis ini shahih
[18] Ashgar Ali Engineer, The
Right of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid al-Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta, LSPPA, 1994, h.
112.
[19]
‘Aisyah merupakan guru dari sahabat lain
dan tabi’in . Ketika Rasulullah masih
hidup pun beliau memrintahkan agar para sahabat menanyakan masalah yang tidak
diketahuinya kepada ‘Aisyah. Dalam
sebuah hadis, Rasul mengemukakan kelebiha yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai
berikut :
[21] al- Bukhari, dalam kitab azan,
Muslim, juz 1, h.327; al-Darimi, dalam kitab shalat;, Abu Daud, dalam kitab
shalat; al-Turmuzi, dalam kitab jum’at; al-Nasa'i, dalam kitab mesjid; dan Ibnu
Majah, dalam kitab muqaddimah.
[22] Hadis riwayat Muslim,
juz 1, h. 326
[23] Wanita mana pun yang menyentuh wewangian, maka
tidak boleh mengikuti shalat Isya bersama kami". (Hadits Riwayat Muslim, h. 328 kitab salat no. 673 & 674, al-Nasa’I, zinah no. 5039-5044
[24] Hadis dari ‘Aisyah, ibid.
[25] Hadis secara lengkap
dalam riwayat Abu Daud, dalam kitab tarajjul dan al-Nasa'i, dalam kitab zinah
berbunyi:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
خَرَجَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْتَغْتَسِلْ مِنَ الطِّيبِ كَمَا تَغْتَسِلُ
مِنَ الْجَنَابَةِ مُخْتَصَرٌ
[26] Muslim, juz 2, h. 1021, Abu
Dawud, juz 2, h. 246, al-Turmuzi, juz 2, h. 313-314 dan Ahmad ibn Hanbal, juz
3, h. 320
[27] Abu Dawud, jilid 1 juz 2, h. 244, Ibn Majah, juz 1, h. 562,
al-Turmuzi, juz 2, h. 314, Ahmad ibn Hanbal, juz 4, h. 381 dan juz 6, h. 76
[28] Muslim, juz 2, h. 1059
[29] Dalam sebuah hadis
secara tegas diperintahkan oleh Rasul:
يا معشر
الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج ومن لم يستطع فعليه
بالصوم فانه له وجاء
Lihat,
Al-Bukhari, juz III, h. 2098-2099, Muslim, juz II, h. 1018-1020, Abu Daud, juz II, h.
219, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i,
juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t., h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Abu
‘Abdullah bn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz I,
Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 592, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd
al-Rahman, bin aal-Fadhl, bin Bahram al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz II,
Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 132, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h. 58,
378, 424, 425, 432, dan 447.
[30] al- Bukhari, kitab nikah
no. 4793 dan 4796; Muslim, kitab zakat
no. 1704; Abu Daud, kitab shaum no. 2102; Ibnu Majah, kitab shiyam no. 1751;
al-Darimi, kitab shiyam no. 1657
[32] Al-Bukhari, thalaq no. 4867,4868 dan 4869,
al-Nasa'i, thalaq no. 3409 dan Ibn Majah, thalaq no. 2046
[34] Dinyatakan khulu', karena perempuan melepaskan dirinya
dari ikatan lembaga perkawianan yang telah mereka bentuk.