IKONSEP HADIS
DAN SUNNAH
Oleh:
Prof. Dr.
Enizar, M.Ag
Guru Besar
Hadis/ Ilmu Hadis
Bagi
umat Islam, Hadis dan Sunnah merupakan suatu istilah yang sangat familiar,
bahkan kadang keduanya dipahami
sebagai dua istilah yang memiliki makna yang sama, karena keduanya
bersumber dari subjek yang sama yaitu Rasulullah SAW.[1]
Pada hal jika dilihat
dari perkembangannya, kedua istilah Hadis dan Sunnah tersebut sebenarnya
berbeda.
A. Konsep
Hadis
Hadis
merupakan suatu istilah yang tidak asing bagi umat Islam, terutama bangsa Arab.
Bagi orang Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad, kata “hadis” mempunyai
arti penting. Peristiwa bersejarah pada masa itu oleh bangsa Arab disebut
dengan al-aĥādiś.[2] Kata ini digunakan
untuk judul dan tema sya’ir.[3]
Dari pengertian bahasa ada perbedaan Hadis dan Sunnah.[4] Hadis [5]
bentuk jadian dari kata ḥadaṣa. Secara etimologis kata ini berarti jadīd (baru)
lawan dari qadīm (lama), dan khabar (kabar atau berita yang
diterima sedikit maupun banyak).[6]
Hadis juga diartikan sebagai komunikasi, cerita, perbincangan (religius atau
sekuler, historis atau kekinian).[7]
Di
samping itu, secara terminologi terdapat beberapa perbedaan pemahaman para
ulama. Hadis menurut ulama Hadis adalah perkataan, perbuatan, taqrir dan hal
ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.[8]
Hadis dengan demikian sama dengan sunnah.
Ulama
usul fiqh mengartikan Hadis dengan cara
lebih sempit. Namun istilah Hadis kurang
populer di kalangan ahli usul. Hal itu terlihat dari term yang banyak dibahas
adalah term sunnah dan khabar.[9]
Hadis dengan demikian sama dengan khabar. Jika digunakan kata Hadis, maka dalam
persepsi ulama usul fiqh bahwa yang dimaksud adalah sunnah qauliyah
Rasulullah SAW.[10]
Sebagian
ulama lainnya menyatakan bahwa Hadis adalah perkataan, perbuatan, ataupun
taqrir Nabi SAW., sahabat dan tabi’in.[11]
Ini berarti bahwa di samping riwayat marfū’, juga riwayat mawqūf dan maqţū’ dinyatakan sebagai
Hadis.
Dalam
pemahaman lain, sebagian ulama
menganggap Hadis identik dengan khabar.[12]
Dengan bahasa yang berbeda, sebagian ulama Hadis menyatakan bahwa khabar
merupakan sinonim dari kata Hadis. [13]
Ini berarti bahwa Hadis juga mencakup semua yang datang dari Rasulullah,
sahabat dan tabi’in. Akan tetapi sebagian lainnya menyatakan bahwa Hadis tidak
identik dengan khabar, karena Hadis
hanyalah riwayat marfū’ atau yang hanya bersumber dari Rasulullah SAW.
Sedangkan khabar mencakup riwayat marfū’, mawqūf dan maqţū’, atau berita yang bersumber dari Rasulullah
SAW., sahabat dan tabi’in. Dari dasar inilah muncul ungkapan bahwa setiap Hadis
adalah khabar dan tidak semua khabar adalah Hadis. [14]
Berdasarkan
penjelasan di atas terlihat bahwa perbedaan dalam memberikan defenisi Hadis di
atas ketika memberi batasan terhadap aspek dari Rasulullah yang dapat dikatakan
Hadis, sabda atau perbuatan atau pun taqrir dan sifatnya. Di lain sisi juga dilihat dari penyandaran
terakhir Rasulullah, sahabat atau pun tabi’in.
B. Konsep Sunnah
Sunnah
secara etimologis memiliki beberapa arti: jalan yang ditempuh, kesinambungan,
jalan yang baik, jalan yang terus diulang-ulang baik ataupun buruk.[15] Ada yang mengartikan sunnah dengan adat
kebiasaan (al-‘adat) yaitu
sesuatu yang dilakukan secara berulang oleh namyak orang baik ibadah atau pun
bukan.[16]
Sunnah secara
terminologis ada beberapa pengertian
yang diberikan oleh ulama. Ulama Hadis memberikan defenisi yang sama
antara Hadis dengan sunnah. Sunnah dengan demikian adalah semua yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW. dalam bentuk sabda, perbuatan, taqrir
(persetujuan), penampilan pisik dan budi pekerti, sirah ataupun maġāzī.[17] Bahkan sunnah dimaknai lebih luas dengan
memasukkan sunnah sahabat dan sunnah tabi’in dalam pengertian sunnah.[18]
Ada
juga ulama yang memberikan pengertian sunnah dengan “semua yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai,
budi pekerti, perjalanan hidup sebelum menjadi Rasul atau sesudahnya”.[19]
Ulama
muhaddişin memberikan pengertian yang lebih luas terhadap sunnah, karena sunnah
mencakup semua aspek yang terkait dengan Rasulullah SAW., baik yang dapat dijadikan
dasar hukum atau pun tidak; baik yang bersumber dari Nabi ataupun sahabat dan
tabi’in; baik yang terjadi sebelum ataupun sesudah kenabian. Hal itu disebabkan
karena muhaddişin bahwa Rasulullah secara keseluruhan adalah uswaţ ḥasanaț.
Perbedaan
antara Hadis dan sunnah bukan hanya pada tataran yang tersebut di atas, tetapi
juga pada luas atau sempitnya cakupan kedua istilah Hadis dan Sunnah tersebut.[20]
Ulama
uṡul fiqh memberikan pengertian sunnah lebih sempit dari pengertian yang
diberikan muhaddişin, karena yang dianggap sunnah hanya terbatas pada sabda,
perbuatan, persetujuan maupun penolakan Rasulullah SAW. yang dapat dijadikan
dasar hukum.[21]
Berbeda
halnya dengan ulama fiqh, term sunnah dimaknai dengan sesuatu yang ditetapkan
Nabi SAW. yang tidak termasuk pada kategori wajib atau farḍu.[22]
Dalam konteks ini, sunnah adalah sesuatu yang ketika dilakukan, maka pelakunya
akan mendapatkan pahala dan tidak berdosa ketika ditinggalkan.
Sementara
di sisi lain, term ini juga diperhadapkan sebagai lawan dari bad’ah. Dalam konteks ini term sunnah merupakan
sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., dan sahabatnya dalam aktivitas
keagamaan yang terdapat di dalam al-Qur’an atau pun tidak.[23]
Dalam konteks ini, sunnah adalah sesuai dengan yang pernah dilakukan atau
ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam
perkembangannya,
kata Sunnah mengalami evolusi. Pada masa Nabi, sahabat mendasarkan segala sesuatu kepada
al-Qur’an seperti
yang dicontohkan oleh Rasulullah, dengan demikian Sunnah mengandung kesesuaian
antara tindakan sahabat dengan yang dilakukan oleh Nabi. [24]
Setelah
Rasulullah wafat, pemahaman terhadap
Sunnah berubah menjadi lebih luas, karena Sunnah pada masa ini adalah Sunnah
Nabi di tambah penafsiran sahabat terhadap Sunnah Nabi.[25]
Hal itu disebabkan karena Sahabat
pada masa ini berfungsi
bukan hanya sebagai penyampai Hadis Rasulullah
yang dulu pernah didengar, dilihat dan dikatahui dari Rasulullah. Akan
tetapi, Sahabat juga berfungsi sebagai penafsir terhadap Hadis Rasulullah,
ketika memberikan penjelasan dan dalam memberikan pemahaman yang kontekstual
dari Hadis Rasulullah kepada tabi’in. Sahabat pun sebagai
pengurai terhadap Sunnah
Nabi, yang masih bersifat global
dan sangat umum. Uraian tersebut
tentunya sesuai dengan pengalaman mereka bersama Rasulullah
SAW.
Pada
perkembangan berikutnya, Sunnah pun meliputi
ijtihad sahabat dalam memecahkan persoalan dan diterima oleh masyarakat
sebagai sesuatu yang otoritatif. Pada masa ini, Sunnah bukan hanya Sunnah
Rasulullah, tetapi juga termasuk
ijtihad personal sahabat yang kemudian
menjadi ijma’ masyarakat. Contoh, salat tarawih, pada mulanya salat tarawih
sendiri-sendiri, Umar menyarankan agar dilakukan berjama’ah, Besoknya Umar mendapati orang banyak telah melaksanaka salat tarawih berjama’ah dan
Umar berucap: Ni’m al-bid’ah hazih.[26]
ini menjadi Sunnah sampai sekarang.
Distingsi
antara Hadis dan sunnah ini telah terjadi sejak abad ke 2 H. Hal itu disebabkan
oleh perbedaan persepsi bahwa Hadis merupakan ilmu teoritis sementara sunnah
adalah praktis. Di samping itu juga disebabkan oleh pendapat sebagian ulama
yang memandang sunnah lebih luas dari Hadis atau sebaliknya.
Mazhab
hukum awal memandang praktek aktual masyarakat yang sudah mapan sebagai Sunnah.
Terdapat perbedaan Sunnah pada masalah yang sama dan pada alasan yang
digunakan, sehingga Sunnah mencakup
praktek yang berkembang dan Sunnah Nabi. Fazlur Rahman (w. 1989 M)
menyebut sunnah dengan hukum tingkah laku, baik yang dilakukan sekali atau
berulang; baik yang dilakukan oleh Rasulullah para sahabat, tabi’in, maupun
ulama lainnya.[27] Ketika membandingkan
Hadis dan sunnah, Rahman menyatakan bahwa Hadis adalah verbal tradition
dan sunnah sebagai practical tradition. Perkembangan Sunnah pada masa ini membawa pada pemaknaan Sunnah bukan hanya
pada Sunnah Rasulullah saja, tetapi
mencakup semua praktek umat Islam baik bersumber dari Rasulullah ataupun dari penjelasan sahabat.
Begitu juga dengan kata Hadis, yang pada awalnya
merupakan berita yang bersumber dari
Rasulullah, kemudian pada perkembangan berikutnya Hadis pun meliputi
berita sahabat tentang perbuatan dan hal
ihwal Rasulullah. Hadis mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama pada
masa perkembangan berikutnya, dimana terjadi verbalisasi Hadis yang dilakukan
secara massif. Hadis Rasulullah yang pada awalnya berbentuk perbuatan Rasulullah,
dan diikuti oleh sahabat, kemudian pada masa ini disampaikan secara lisan oleh
sahabat.
Kenyataan verbalisasi Sunnah ini tentu saja berimplikasi
pada perbedaan redaksi dari satu periwayat (baca sahabat, tabi’in) dengan
periwayat lain. Ada yang menceritakan fi’liyah Rasulullah dengan lengkap dan detail dan ada pula yang
secara umum saja. Misalnya, Hadis fi’liyah tentang tata cara salat, sangat
banyak versi Hadis yang menceritakan tata cara salat Rasulullah yang sebelumnya diterima oleh sahabat dengan
cara demonstrasi, kemudian dinarasikan oleh sahabat kepada tabi’in. Kemungkinan adanya beberapa praktek yang
tidak dapat diakomodir oleh periwayat dalam verbalisasi Sunnah.
Penyeragaman
term Hadis dan sunnah telah berlangsung sejak masa Muhammad Idris al-Syafi’I
(w.204 H). Menurut al-Syafi’i, setiap
Hadis yang otentik adalah sunnah, baik ada atau tidak ada praktek kenabiannya
dalam komunitas muslim tentang Hadis tersebut.[28] Dengan demikian terlihat perbedaan atau pun
penyamaan antara Hadis dan sunnah lebih pada tataran teoritis, dan tidak
mempunyai implikasi terhadap validitas dan orisinalitas Hadis.
C. Urgensi
Hadis
Hadis
merupakan sumber hukum utama sesudah
al-Qurân. Keberadaan Hadis
merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal
ini karena tugas Rasulullah adalah
sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam
risalah al-Qur’an. Sedangkan Hadis, merupakan penjelasan dan praktek dari
ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Bagi
umat Islam, posisi Sunnah Nabi terhadap
al-Qur’an sangat urgen. Hadis berfungsi dalam menjelaskan ayat yang
masih mujmal (global), membatasi kandungan ayat yang mutlaq, dan
mengkhususkan kandungan ayat yang masih umum. Bahkan Hadis memperluas
pembahasan hal-hal yang masih ringkas dalam al-Qur’an.
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al-Baqarah ayat 129)
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al-Baqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti
diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an
yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama
yang lain.[29]
Banyak
ayat menjelaskan tentang hal ini., Allah SWT. memerintahkan Rasul-Nya agar
menjelaskan bahwa mematuhi Allah berarti mutlak harus mengikuti Rasulullah (QS.4:59). Bahkan, seorang muslim tidaklah
diangap sah keberimanannya jika tidak menjadikan Rasulullah SAW. sebagai
pemutus atas berbagai masalah yang dihadapi, dan menerima keputusan itu tanpa rasa
berat dan terpaksa (QS.4:65).
Allah
menjelaskan, orang
yang mematuhi Rasulullah SAW. berarti ia telah mentaati Allah SWT. (QS.4:80). Ayat ini memberikan pemahaman bahwa ketaatan kepada
Rasulullah dengan mengikuti Sunnahnya
merupapakan bukti ketaatan kepada Allah. Bahkan Allah SWT. menegaskan bahwa
apapun yang diperintahkan oleh Rasul-Nya, hendaknya dipegang erat-erat dan apa
pun yang dilarang olehya harus ditinggalkan (QS.59:7). Ayat ini menjelaskan
bahwa semua perintah dan larangan yang datang dari Rasulullah wajib dipatuhi oleh setiap mukmin.[30]
Bahkan dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 32 ada petunjuk bahwa ketaatan kepada
Rasulullah adalah dengan cara mengikuti Sunnah Rasulullah .[31]
Peran Rasulullah
yang demikian itu oleh Allah dijelaskan lagi bahwa Rasulullah merupakan
panutan bagi orang-orang yang meyakini adanya hari akhirat (QS.33:21). Bahkan
terdapat peringatan akan terjadinya azab atau pun fitnah terhadap orang-orang
yang menyalahi ajaran Rasul Nya (QS.24:63). Bagaimana mungkin mengetahui Sunnah Rasulullah tanpa memperhatikan Hadis
yang ditinggalkan Rasulullah .
Bagi kelompok yang hanya mengakui keberadaan Hadis
mutawatir, berdampak terhadap keberadaan Hadis ahad, karena akan sangat banyak
Hadis Rasulullah yang luput. Hal itu
disebabkan oleh realitas jumlah Hadis, yang menunjukkan jumlah Hadis ahad jauh
lebih banyak dari Hadis mutawatir.
Berdasarkan penjelasan al-Qur’an, posisi Sunnah dengan demikian sangat urgen, namun dalam
perjalanan sejarahnya, ada komunitas tertentu yang diidentifikasi oleh
al-Syafi’i,[32]
dalam kitabnya,[33]
pertama; yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an, dengan tidak
mengakui semua Sunnah. Kedua, kelompok
yang menolak Hadis kecuali Hadis yang memiliki kesamaan dengan aturan
al-Qur’an, Ketiga, kelompok yang menolak Hadis ahad. Mereka dikenal dengan kelompok Inkar Sunnah, yang ditengarai masih hidup sampai saat ini.
Kaitan dengan periwayatan Hadis, kelompok yang menolak
semua Hadis atau kelompok yang hanya menerima Hadis mutawatir sebagai hujjah
dan menolak kehujjahan Hadis ahad, meskipun ada di antara Hadis ahad itu yang
memenuhi syarat Hadis yang dapat diterima dan dijadikan hujjah. Alasan
utama yang mereka kemukakan adalah karena Hadis
ahad itu bernilai ẓanni (proses penukilannya tidak meyakinkan).
Dengan demikian,
kebenaran Hadis
dari Rasulullah SAW. tidak dapat
diyakini sebagaimana halnya dengan
Hadis mutawatir. Sementara
menurut mereka, urusan agama haruslah didasarkan pada dalil qaţ’i yang
disepakati kebenarannya.
Sementara kelompok lain, beralasan bahwa Hadis Rasulullah
SAW. yang sampai kepada muslim melalui proses periwayatan yang tidak dijamin
besih dari kekeliruan, kesalahan, dan bahkan kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kebenarannya tidak meyakinkan (zanni).
Karena status ke-zanni-an ini, maka Hadis tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai penjelas bagi al-Qur’an yang diyakini kebenarannya (qaţ’i).
Kelompok inkar Sunnah tersebut dengan alasan mereka,
telah banyak mendapatkan bantahan dari beberapa muhaddis dan para pemerhati
Hadis seperti yang diungkapkan oleh imam al-Syafi’i, MM. Azami dan Syuhudi
Isma’il, dengan membuktikan Rasulullah merupakan penjelas dan penafsir terhadap
kandungan al-Qur’an. Bahkan ketika ayat-ayat al-Qur’an yang masih global, tanpa
bantuan Hadis tidak akan dapat dilaksanakan.
Misalnya ketika menjalankan aturan tentang pemotongan tangan bagi pelaku
pencurian yang ada dalam al-Qur’an al-Ma’idah/5: 38
yang artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ketentuan dalam
ayat di atas, berapapun besaran harta yang dicuri, harus dijatuhi hukuman
potong tangan. Begitu juga dengan batasan tangan yang akan dipotong
dalam ayat tersebut adalah seluruh tangan. Dalam Hadis Rasulullah ada batasan minimal objek curian yang dapat
dijatuhi hukuman potong tangan,[34] dan
batasan tangan yang dipotong karena melakukan pencurian. [35]
Dapat dipahami bahwa Hadis merupakan seseuatu yang sangat penting untuk dapat
memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat al-Qur’an dan untuk menegakkan
ketentuan al-Qur’an.
D. Bentuk
Penjagaan Allah terhadap Sunnah
Allah telah menjamin keontetikan sunnah dan akan
memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara al-Qur`an. Seperti yang
dijelaskan Allah dalam firmanNya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Ẓikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (Q.S. al Hijr/15: 9)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syari’at
bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Al-Ẓikr.
Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam
penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya al-Sunnah.
Semua yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan
punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja
penyelewengan, niscaya akan dijelaskan bukti penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari
penjagaan Allah. Ayat di atas merupakan naṣ yang secara tegas memberikan
penjelasan tentang penjagaan Allah terhadap al-Qur`an.
Adanya perintah Allah untuk menyampaikan Islam kepada
seluruh manusia, menjadikan Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad tetap abadi dan terjaga. Suatu
hal yang sangat mustahil, ketika Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk
mengikuti syari’at yang tidak terjaga. Dua sumber utama syari’at Islam adalah
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Apabila Al-Qur’an telah dijamin oleh Allah
kemurniannya, tentu As-Sunnah pun demikian juga. [36]
Meskipun
secara lafal kata al-Zikr, bukan berarti hanya penjagaan terhadap al-Qur’an, tetapi
juga terkandung penjagaan terhadap Hadis Nabi, karena Allah ta’ala
berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad SAW.)
al-Ẓikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka supaya mereka memikirkan. (Q.S. An Nahl: 44)
Dalam
ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menjelaskan al-Qur`an kepada
manusia, maka jika penjelasan Rasulullah
terhadap al-Qur`an tidak terjaga dan terpelihara (mahfûẓ), tentu
umat muslim tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan al-Qur`an yang dijelaskan oleh Sunnah Nabi.
Apalagi dengan memperhatikan firman Allah, yang artinya:
Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),
(Q.S.
Al-Najm:
3-4) .
Dengan demikian, jelaslah bahwa janji Allah untuk
memelihara al-Ẓikr tidak hanya terbatas pada al-Qur`an saja, tetapi yang
dimaksud adalah menjaga syari’at dan agama Allah yang disampaikan Rasulullah. [37]
Ibnu Hazm,[38] menyatakan: tidak ada perbedaan antara para ulama ahli
lughah (bahasa Arab) dan syari’at bahwa semua wahyu yang turun dari Allah itu
adalah al-Ẓikru al-Munazzal. Semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan Allah dengan
pasti dan semua yang Allah jamin pemeliharaannya, maka akan terjaga dan tidak
akan hilang serta tidak akan berubah sedikitpun.
Selanjutnya, Ibn Hazm membantah orang yang menganggap
pengertian al-Ẓikr dalam ayat di atas bermakna al-Qur`an saja dengan
menyatakan: “ini adalah klaim dusta yang tidak berdasarkan bukti dan
pengkhususan kata al-Ẓikr tanpa dalil…“ kata al-Ẓikr adalah nama umum untuk
semua yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya berupa al-Qur`an atau Sunnah yang
merupakan wahyu penjelas al-Qur`an. Allah berfirman, yang artinya:
Dan
Kami turunkan kepadamu al-Ẓikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan,
(Q.S. Al-Nahl: 44)
Berdasarkan ayat di atas,
Rasulullah diperintahkan untuk
menjelaskan al-Qur`an kepada manusia. Dalam al-Qur`an ada banyak perintah
mujmal seperti salat,
zakat, haji dan selain itu yang tidak dapat diketahui apa yang diwajibkan Allah Ta’ala dengan lafaẓ
al-Qur`an tersebut,
dan hanya akan dapat diketahui dengan
penjelasan Nabi. Ketika
penjelasan Rasulullah terhadap ayat yang
global (mujmal) tersebut tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya
dari yang bukan Sunnah, maka akan menghilangkan sebagian
besar syari’at yang diwajibkan
kepada muslim dan muslim tidak tahu kebenaran yang Allah kehendaki.[39]
Demikian
juga, pemeliharaan al-Qur`an tidak sempurna kecuali dengan menjaga dan memilihara
Sunnah Rasulullah.
Hal itu disebabkan makna kandungan al-Qur`an terrefleksikan pada akhlak dan
amalan Rasulullah SAW. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan
membiarkan satu Sunnah yang ṣahih atau menyimpangkan dan mentakwilkannya keluar
dari maksudnya serta memahaminya di luar ketentuan syari’at adalah sama saja
dengan meninggalkan dan tidak mau peduli dengan al-Qur`an. [40]
Seluruh perbuatan, perkataan dan taqrir
Nabi tentang agama semuanya wahyu dan al-Ẓikr. Semuanya terjaga dan terpelihara
dengan penjagaan dan pemeliharaan
Allah. Adapun al-Qur`an,
maka semuanya terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Rasulullah yang merupakan
penjelas al-Qur`an, pengkhusus lafaż-lafaż umumnya dan pembatas lafaż mutlaknya
pun terjaga dan terpelihara.
Di antara periwayatan dan penjagaan Sunnah adalah Allah menciptakan
sekelompok dari umat Islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari
kiamat. Hal itu terlihat dari pernyataan yang disampaikan Ṡauban bahwa
Rasulullah SAW. bersabda:
لا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَهِ وَهُمْ كَذَلِك [41]
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang
di atas kebenaran, tidak merugikan mereka orang-orang yang menghina mereka
hingga datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian.
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan
memenangkannya tentu akan dapat memelihara keotentikan Sunnah Rasulullah SAW. Hal
ini
terbukti dengan adanya perhatian para salaf umat dan ulama muhaddiṡin di setiap zaman dan tempat terhadap Hadis. Perhatian tersebut terlihat dari aspek dirayah, riwayah
atau pun aspek pemahaman Hadis. Bahasan bab
berikut merupakan bukti bahwa Hadis terpelihara.
BIBLIOGRAFI
‘Abd al-Ĥayy, Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ‘al-Luknawi
al-Hindi, Źarf al-Amānī fī Mukhtaṡar
al-Jurjāni, India: Dār al-Qalam, 1414 H
al-
‘Asqalāni , Abū Fadl Aḥmad
ibn ‘Alī ibn Hajr, Nuzhat al-Nazr Syarḥ Nukhbaţ al-Fikār fī Muşţalaḥ Ahl al-Aşar,
Madinah: Maktabat al-‘Ilmiyyaţ, t.t.
Abū Dāwud,
Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistāniy , Sunan Abī Dāwud, Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t. juz 4
Abū Rayyah, Maḥmūd,
Aḍwā’ ‘Alā al-Sunnaţ al-Muhammadiyyaţ aw Difā’ ‘an al-Ĥadīṡ, Mesir: Dār
al-Ma’ārif, t.t., cet. Ke 6
Abū Zahrah, Muḥammad, al-Syāfiīi Ḥayātuhu wa ‘Aṡruhu, Arā’uhu wa
Fiqhuhu, Beirut: Dār al-Fikr, tt.
Ahmad, Ṡalaḥuddin
Maqbûl,
Zawâbigh
al-Albani,
Muhammad Naşiruddin Al-,
Al-Hadīs Ḥujjat bi
Nafsihi fi al- Aqāid wa al-Aḥkām
Azami, M.M., Studies in Hadith Methodology and
Literature, Indianapolis: American Trust Publication, 1977, cet. 1
al-Bukhāri, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-, Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, Indonesia: Maktabaṯ Daḥlan, t.t., juz 2 dan 4
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007,ed.
ke 3.
al-Dimasyqī , Ţahir al-Jazā’iri (w.1338 H), Tawjīh al-Nazhr ilā Uṡûl al-Aşar, editor: ‘Abd al-Fattāḥ
Abū Ġuddah, Beirut: Maktab al-Maţbū’at al-Islāmiyyaţ, 1995, cet. 1, vol. 1
al-Ġazali, Abū Hāmid Muḥammad ibn Muḥammad, al-Mustaṡfā fī ‘Ilm al-Uṡūl al-Fiqh, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1994
Ibn Ḥanbal, Aḥmad, Musnad al-Imām Ahmad ibn Ḥanbal,
Beirut, Dar al-Fikr, t.t., juz 3, juz 4, dan juz 5
Ibn Hazm, Abu Muhammad ‘Ali ibn Sa’id al-Zahiri, al-Iḥkam fī Uşūl al-Aḥkam,
Beirut: Dār al-Fikr, t.t., vol 1
Ibn Mājah, Abū ‘Abdillāh ibn Yazid al-Qazwīnī, Sunan Ibn Majah, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., juz 1
Ibn Manżûr, Muḥammad ibn Mukarram ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abû al-Qāsim Ĥabqah , Lisān
al-‘Arab, Kairo: Dār
al-Ma’ārif, t.t., vol. 2 no. 9
‘Itr, Nūr al-Dīn, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ĥadīṣ, Damaskus Dār al-Fikr, 1997, cet.
Ke 3
al-Jundi, ‘Abdul Karīm, al-Imām al-Syāfi’i, Kairo, Dār al-Kutub al-“Arabī, 1967
al-Khaṭib, Muḥammad ‘Ajjāj, Uṡul al-Ḥadiṣ
‘Ulûmuh wa Muṡṭalāhuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1409
H/1989 M.
al-Khuḍarī, Muḥammad
Beik, Uṡūl al-Fiqh, Beirut: Dār al-Fikr, 1988, cet 1
M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, Angkasa, 1991
Muslim, Abu al-Husain
bin Hajjaj, Ṣaḥīḥ Muslim, Indonesia: Maktabaṯ Dahlan, Tt., juz 3
al-
Qurṫubi, Muḥammad bin Aḥmad
al-, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān,
Kairo:Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1967 M, juz ke 18
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity,
Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago: University of
Chicago Press, 1979, edisi ke 2
al- Rāzi,
Abû al-Ĥusain
Aḥmad ibn Fāris ibn Zakariyya
(w.395H), Mu’jam al-Maqāyis
al- Luġaţ, Beirut: Dār al-Fikr, 1979, vol. 2
al-Ṡāliḥ, Ṡubḥi, ‘Ulûm al-Ḥadīṣ wa Muṡṭalāḥuh, Dār ‘ilm li
al-Malāyin, 1977
al- Siba’i, Musṭafā Al-, al-Sunnaṯ
Qabla al-Tadwīn,
Beirut, Dar al-Fikr, 1971
..........................., al-Sunnaṯ wa
Makānatuhā fī Tasyrī’ al-Islāmī,
Beirut, al-Maktab al-Islāmī, 1985
al-Suyuţiy, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abū Bakr, Tadrīb
al-Rāwī fī Syarḥ
Taqrīb al-Nawāwī, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1989, vol. 1
al-Syafi’ī, Muhammad ibn Idris al-, Al-Madkhal Li Dirāsaţ Al Aqidaţ
Al-Islamiyaţ,
…………………., al-Umm
yang disertai dengan catatan pinggir (hamisy), juz 7
al-Syaukānī, Muḥammad bin ‘Ali Aḥmad, Fatḥul Qadīr, Beirut:
Dār al- Fikr, 1973, juz 1
al-Turmuzī, Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Isa ibn Ṡaurat, Sunan al-Turmuzī, Indonesia: Maktabaṯ Daḥlan, t.t., juz 3
WJS Poerdawarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1993
al-Zuhaili,
Wahbah, Uṡūl al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: Dār al-Fikr, 1986, cet 1, vol 1
[1] Lihat M. Syuhudi
Isma’il, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung,
Angkasa, 1991, h. 10
[4] Hadis secara
etimologis berarti baru, dan peristiwa Ṡubḥi
al-Ṡāliḥ, ‘Ulûm al-Ḥadīṣ …, h. 2, sedangkan
Sunnah adalah sirah dan jalan, Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭib,
(selanjutnya disebut al-Khaṭib), Uṡul al-Ḥadiṣ ‘Ulûmuh wa Muṡṭalāhuh,
Beirut: Dar
al-Fikr, 1409
H/1989 M, h. 27-28
[5]Kata Hadis sudah
merupakan kosa kata baku dalam bahasa Indonesia. Dalam memberikan penjelasan makna kata
tersebut pada awalnya tidak lengkap karena Hadis diartikan sebagai riwayat atau
cerita yang bertalian dengan sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw.Lihat, WJS
Poerdawarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1993, h. 338. Pada edisi revisi, kata Hadis diberi pengertian yang sesuai
dengan tulisan ini 1) sabda, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) Nabi Muhammad
saw. yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan
menentukan hukum Islam. 2) sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Lihat
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007,
edisi ke 3, h. 380.
[6] Lihat, Muḥammad ibn Mukarram ibn ‘Ali ibn Muḥammad ibn Abû al-Qāsim Ĥabqah ibn Manżûr , Lisān al-‘Arab, Kairo:
Dār
al-Ma’ārif,
t.t., vol. 2 no. 9, h. 236 dan Abû al-Ĥusain
Aḥmad
ibn Fāris
ibn Zakariyya al-Rāzi
(w.395H), Mu’jam al-Maqāyis
al- Luġaţ,
Beirut: Dār
al-Fikr, 1979, vol. 2, h. 36
[7]M.M. Azami, Studies
in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust
Publication, 1977, cet. 1, h. 1-2
[9] Lihat misalnya Abu
Muhammad ‘Ali ibn Sa’id Ibn Hazm al-Zahiri, al-Iḥkam fī Uşūl al-Aḥkam, Beirut: Dār al-Fikr,
t.t., vol 1 h. 90, dan Abū Hāmid Muḥammad
ibn Muḥammad
al-Ġazali, al-Mustaṡfā
fī ‘Ilm al-Uṡūl
al-Fiqh, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1994, h. 103-104
[11] Jalāl al-Dīn ‘Abd
al-Raḥmān
ibn Abū Bakr al-Suyuţiy, Tadrīb al-Rāwī fī Syarḥ Taqrīb
al-Nawāwī, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1989,
vol. 1, h. 42
[12] Lihat, Nūr al-Dīn
‘Itr, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ĥadīṣ, Damaskus Dār al-Fikr, 1997, cet.
Ke 3, h. 26-27, M.M. Azami, Studies…, h. 3
[13] Lihat, Abū Fadl Aḥmad ibn ‘Alī ibn Hajr
al-‘Asqalāni, Nuzhat al-Nazr Syarḥ Nukhbaţ al-Fikār fī
Muşţalaḥ
Ahl al-Aşar,
Madinah: Maktabat al-‘Ilmiyyaţ, t.t., h. 18
[14] Ţahir
al-Jazā’iri al-Dimasyqī (w.1338 H), Tawjīh
al-Nazhr ilā Uṡûl
al-Aşar, editor: ‘Abd al-Fattāḥ Abū Ġuddah, Beirut: Maktab
al-Maţbū’at al-Islāmiyyaţ, 1995, cet. 1, vol. 1, h. 37
[15] Lihat ibn Manzūr, lisan…,
vol. 3, no. 22, h. 2125, al-Khaţib, Uşul….
H. 17
[16] Seperti yang dikutip
oleh Abu Rayyah dari Ibn Taimiyah, lebih
lengkap lihat Maḥmūd
Abū Rayyah, Aḍwā’ ‘Alā al-Sunnaţ al-Muhammadiyyaţ aw Difā’ ‘an al-Ĥadīṡ, Mesir:
Dār al-Ma’ārif, t.t., cet. Ke 6, h. 36
[17] Musṭafā Al-Siba’i (selanjutnya disebut Al-Siba’i), al-Sunnaṯ wa Makānatuhā fī
Tasyrī’ al-Islāmī,
Beirut,
al-Maktab al-Islāmī, 1985, h. 47 dan Al-Khaṭib,
Uṡul…., h. 19
[18] Abū al-Ḥasanāt Muḥammad ‘Abd al-Ĥayy
al-Luknawi al-Hindi, Źarf al-Amānī
fī Mukhtaṡar al-Jurjāni, India: Dār al-Qalam, 1414 H, h. 32
[19] Al-Khaṭib, Uṡul…., h. 18, Subhi
al-Ṡāliḥ Ulûm..., Musṭafā Al-Siba’i, al-Sunnaṯ
Qabla al-Tadwīn, Beirut, Dar al-Fikr, 1971, h.
15-16
[20] Sebagian ulama
mengatakan bahwa sunnah lebih luas dari
Hadis, sementara ulama lain menyatakan bahwa Hadis lebih luas dari Sunnah,
karena Hadis lebih umum meliputi perkataan dan perbuatan sementara Sunnah hanya
terbatas pada perbuatan Rasul saw. saja. Lihat, Subhi al-Ṡāliḥ, Ulûm...., h. 6
[21] Lihat Wahbah
al-Zuhaili, Uṡūl al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: Dār al-Fikr, 1986, cet 1,
vol 1, h. 450, dan Muḥammad
al-Khuḍarī Beik, Uṡūl al-Fiqh, Beirut: Dār al-Fikr, 1988, cet 1, h. 213
[22] Lihat
al-Zuhaili, Uṡūl …., h. 450
[23] Al-Siba’ī, al-Sunnah
wa Makanatuha…, h. 49,
[25] Hal itu terlihat dari
perkataan ‘Ali bin Abi Ţalib kepada ‘Abdullah ibn Ja’far ketika menjatuhkan hukuman pecut bagi peminum
khamar sebanyak 40 kali: “cukup, Rasulullah menghukum dengan 40 kali, Abu Bakar
juga 40 kali, ‘Umar menyempurnakannya menjadi 80 kali. Dan semuanya
sunnah. Al-Khaṭib, Uṡul…., h. 26 Hadisnya
terdapat dalam Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj (selanjutnya disebut Muslim), Ṣaḥīḥ
Muslim, Indonesia: Maktabaṯ Dahlan, Tt., juz 3, h. 1331-1332 dan Sulaiman bin
al-Asy’as al-Sijistāniy Abi Dāwud (selanjutnya disebut Abū Dāwud), Sunan Abī Dāwud, Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t. juz 4, h. 163-164
[26] Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari
(selanjutnya disebut al-, Bukhāri), Ṣahīh
al-Bukhāri, Indonesia, Dahlan, tt., juz 2, h. 618
[27] Fazlur Rahman, Islam
and
Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago: University
of Chicago Press, 1979, edisi ke 2, h.
54-57
[30] Muḥammad
bin Aḥmad al-Qurṫubi, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, Kairo:Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1967 M, juz ke 18, h. 17
[32] Ulama yang
namanya dicatat dalam sejarah sebagai penerima penghargaan sebagai Penolong
Sunnah (Naṣir al-Sunnah) lihat, Muḥammad Abū Zahrah, al-Syāfiīi Ḥayātuhu wa
‘Aṡruhu, Arā’uhu wa Fiqhuhu, Beirut: Dār al-Fikr, tt., h. 214, ‘Abdul Karīm
al-Jundi, al-Imām al-Syāfi’i, Kairo, Dār al-Kutub al-“Arabī, 1967, h.
295 dan 300
[33] Muḥammad bin
Idris al-Syāfi’ī, al-Umm yang disertai dengan catatan pinggir (hamisy),
juz 7, h. 250-265
[34] Dalam Hadis, Rasul secara tegas batas
minimal jumlah barang yang dicuri yang diancam dengan hukuman potong tangan 3
(tiga) dirham atau ¼ (seperempat) dinar dalam Hadis riwayat Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Indonesia: Maktabaṯ
Daḥlan, t.t., juz 4,
h. 2715-2716, Muslim, Ṣaḥīḥ…, juz 3, h. 1312-1314, Abū ‘Īsā Muḥammad
ibn ‘Isa ibn Ṡaurat al-Turmuzī, Sunan al-Turmuzī, Indonesia: Maktabaṯ
Daḥlan, t.t., juz 3,
h. 3-4, Abū Dāwud, Sunan…, juz 4, h. 136
[35] Dalam
eksekusi bagi pelaku pencurian, Rasul memotong tangan pencuri sampai
pergelangan tangan (Hadis riwayat al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ…., juz 4, h.
2714
[41] Al-Bukhārī,
Saḥīḥ…, manaqib
38, Muslim,
Saḥīḥ… , juz 3, h. 1523-1524, al-Turmuzi, Sunan…, juz 3, h.
342 Abū ‘Abdillāh ibn Yazid al-Qazwīnī Ibn Mājah, Sunan Ibn Majah, Indonesia, Maktabat
Dahlan, t.t., juz 1, h. 5 dan 6; Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Ḥanbal, Beirut, Dar
al-Fikr, t.t., juz 3, h. 136, juz 4, h. 97 dan 101 dan juz 5, h. 34, 35 dan 279