Minggu, 08 Juni 2014

TITIPAN

A.    pendahuluan
Menitipkan atau menerima titipan merupakan sesuatu yang dapat dilakukan atau diterima oleh siapapun. Banyak faktor yang menyebabkan orang menitipkan barangnya kepada orang lain, yang kadang sulit untuk dihindari. Bahkan pada akhir-akhir ini bentuk titipan semakin bervariasi, Misalnya, ketika seseorang pergi meninggalkan rumahnya untuk waktu tertentu, dan ia sulit untuk menjaga barangnya, lalu ia menitipkan penjagaan kepada orang lain, atau adanya deposit box untuk menjaga barang-barang berharga dengan bayaran yang sangat jelas, atau nasabah bank yang menitipkan uangnya di bank. Dikatakan menitipkan karena ia dapat mengambil uangnya kapan saja.
Dalam titipan terjadi pemindahan kewajiban/tanggung jawab menjaga barang dari pemilik barang kepada penerima titipan. Terjadinya pemindahan tanggung jawab akan beresiko bagi kedua belah pihak (penitip dan penerima titipan) apabila tidak ada aturan yang jelas. Oleh sebab itu, dalam Islam ada aturan khusus mengenai titipan ini.
Wadi’ah atau titipan adalah sesuatu  barang atau yang lainnya ditempatkan oleh pemiliknya di tempat orang lain untuk dipelihara.  Titip adalah menaruh barang dan sejenisnya supaya disimpan/dirawat/ disampaikan kepada orang lain.
Dasar titip terdapat dalam Q.S. al-Nisa’/4: 58
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها ... إن الله كان سميعا بصيرا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya... Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Juga terdapat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 283
... فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ... والله بما تعملون عليم 
...Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; ... dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

B.     Ketentuan dalam Wadi’ah
Ada beberapa hadis yang berkaitan dengan wadi’ah ini akan tetapi sebagian hadis yang dijadikan dasar berkualitas da’if. Hadis yang berkualitas hasan di bawah ini :
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أد الامانة الى من أتمنك ولا تخن من خانك [1]
Abu Hurairah menytakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda: Tunaikan amanah kepada orang yang memberikan kepercayaan kepadamu dan jangan engkau mengkhianati orang yang telah mengkhianatimu
Berdasarkan hadis di atas, wadi’ah/ titipan merupakan amanah yang harus dijaga oleh penerima sampai titipan itu dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila seseorang menerima titipan dari orang lain, maka ia mempunyai tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga barang tersebut sampai diambil kembali oleh yang menitipkan.
Karena titipan ini merupakan kepercayaan dan orang yang dititipi juga biasanya orang yang dipercaya oleh penitip, maka landasan dari titipan ini adalah kepecayaan. Dalam realitas hari ini, praktek penitipan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu titipan tanpa bayar (dasar kepercayaan) saja dan titipan dengan pembayaran tertentu.
Realitas penitipan yang ada saat ini tentu saja mempunyai konsekwensi yang berbeda terhadap batasan tanggung jawab yang harus dipikul oleh penerima titipan. Apalagi jika barang titipan tersebut mempunyai kemungkinan ada resiko yang muncul di luar dugaan penerima titipan, misalnya rusak (bukan karena dipakai), hilang dan sebagainya.
Sangat tidak adil ketika penerima titipan yang hanya didasari kepercayaan, menolong orang untuk menjaga miliknya, ia telah menerima tanggung jawab menjaga barang titipan, kemudian juga harus bertanggung jawab terhadap resiko yang muncul bukan karena kelalaian atau kesengajaannya.
Tentang batas tanggung jawab penerima titipan dapat diperhatikan ketentuan yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. dalam hadis berikut:
عن سمرة عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  على اليد ما أخذت حتى تؤديه [2]
Samurah menyatakan Rasulullah SAW.  bersabda: orang yang menerima sesuatu, mempunyai tanggung jawab menjaganya sampai ia menyampaikannya kepada yang berhak menerima.
 Berdasarkan hadis di atas, penerima titipan mempunyai tanggung jawab menjaga atau memelihara titipan sampai yang punya mengambilnya.  Tanggung jawab dalam hadis di atas memberikan indikasi bahwa ia menjaga dari kerusakan seperti menjaga miliknya, namun ia tidak mempunyai hak terhadap barang itu, kecuali telah ada izin dari pemilik. Apabila barang yang dititipkan berupa motor, misalnya maka penerima titipan punya tanggung jawab menjaga agar motor itu terlindung dari sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan, tidak hilang dan tidak digunakan oleh anaknya. Penerima titipan tidak mempunyai tanggung jawab mengganti kerusakan yang ditimbulkan oleh hal yang ditimbulkan oleh lamanya penyimpanan misalnya.
Apabila barang titipan tersebut diberi izin untuk dipakai, maka penerima titipan yang menggunakan barang titipan bertanggung jawab untuk mengganti kerusakan yang timbul akibat pemakaian barang titipan tersebut.
Begitu juga sebaliknya, apabila barang titipan yang dipakai oleh penerima titipan mendatangkan hasil, maka penitip harus mendapatkan bagian dari hasil tersebut, walaupun tanpa adanya kesepakatan sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh Bank sistem Syari’ah yang menerima titipan uang dengan sistem wadhi’ah al-yad al-dhaminah (titipan dengan resiko mengganti rugi). Apabila dari uang yang dititipkan itu mendatangkan keuntungan dengan bagi hasil uang yang dipakai oleh nasabah bank, maka BMI memberikan bonus 25 %  dengan minimal titipan satu juta.
Pada prinsipnya, titipan didasarkan pada amanah, namun dikalangan fuqaha’ ada pembahasan tentang amanah mempunyai kemungkinan dapat berubah menjadi ganti rugi dengan catatan:
1.      Barang itu tidak dijaga dan dipelihara oleh penerima titipan. Misalnya, ketika ada yang merusak barang didepan nya kemudian ia mendiamkan saja, pada hal ia bias melarangnya
2.      Barang titipan itu dititipkan lagi kepada pihak lain. A sebagai penerima titipan dari Z, dengan alasan yang tidak jelas A menitipkan barang Z kepada C, jika terjadi kerusakan maka A harus mengganti rugi
3.      Barang tersebut dimanfaatkan oleh penerima titipan.
4.      Penerima titipan mengingkari adanya titipan di tangannya.
5.      Penerima titipan mencampurkan titipan orang dengan harta pribadinya sehingga susah untuk memisahkannya, seperti menerima titipan padi kemudian dicampur dengan padinya sendiri.
6.      Penerima tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan sebelumnya oleh kedua belah pihak.
Titipan amanah juga dapat berubah menjadi ḍaman apabila penerima titipan menerima bayaran terhadap pemeliharaan titipannya seperti membayar pada pemilik box deposit untuk menjaga barang berharga yang dititipkan kepadanya. Apabila barang titipan rusak apalagi hilang, maka penerima titipan harus mengganti rugi.


[1]  Hadis riwayat Abu Dawud, juz 3, h. 290, no. 3534 dan 3535,  dan al-Tirmizi, juz 2, h. 368 hadis no. 1282, al-Darimi, juz 2, h. 264, dan Ahmad ibn Hanbal, juz 3, h. 414.
[2]  Hadis riwayat al-Turmuzi, juz 2, h. 368-369, Menurut al-Turmuzi, kualitas hadis ini Ḥasan Ṡaḥiḥ, al-Darimi, juz 2, h. 264, Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majaṯ, dan Ahmad ibn Hanbal