Selasa, 20 September 2016

CARA TABI'IN MENJAGA HADIS RASULULLAH SAW

                           Pemeliharaan Hadis Pada Masa  Tabi’in dan atba’ Tabi’in
Kebijakan yang dilakukan oleh para sahabat  dalam meriwayatkan hadis dijadikan oleh tabi’in sebagai manhaj dalam pemeliharaan hadis Rasul. Tabi’in mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh sahabat, dengan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, dan menganggap aib ketika banyak menyampaikan hadis karena dapat mengalihkan tadabbur hadis dan memahaminya.[1] 
Upaya yang dilakukan oleh sebagian tabiin dalam menjaga hadis Rasulullah terinspirasi dari yang dilakukan oleh sahabat.  adalah:
1.   Membatasi periwayatan hadis
Sebagian tabi’in menjadikan salah satu cara untuk memelihara hadis Rasul dengan hanya menyampaikan maksimal 4 hadis dalam satu pertemuan. [2] Hal ini dilakukan untuk memberikan jaminan agar hadis yang disampaikan tetap dalam hapalan dan pemahaman yang diharapkan.
Pembatasan periwayatan ini merupakan tindakan yang dulu juga dilakukan oleh sahabat.  Walaupun secara konteks, adanya perbedaan situasi dan kondisi yang mengitari
2.   Menuliskan Hadis
Tabi’in banyak melakukan penulisan terhadap hadis Rasulullah. Lembaran yang memiliki nilai sejarah adalah catatan Hammam bin Munabbih (40-131 H). sekaligus mementahkan tuduhan mereka yang meragukan penulisan hadis sebelum abad kedua Hijriah, karena Hammam, salah seorang ulama kalangan tabi’in, berjumpa dengan Abu Hurairah (w. 59 H). Tidak diragukan lagi, ia menulis langsung dari Abu Hurairah di masa hidupnya karena Abu Hurairah.
Dengan demikian, pencatatan telah dilakukan sebelum tahun ini atau pertengahan abad pertama. Lembaran ini berhasil sampai secara utuh, persis seperti riwayat dan catatan Hammam dari Abu Hurairah.  Lembaran ini memuat 138 hadis, tepat seperti keterangan Ibnu Hajar bahwa Hammam mendengar sekitar 140 hadis dari Abu Hurairah dengan satu sanad.[3]
Kegiatan penulisan hadis pada masa tabi’in berjalan lebih intens dibandingkan dengan pada masa sahabat.  M.M. Azami menjelaskan ada 99 orang tabi’in abad pertama yang menuliskan hadis dari sahabat atau tulisan lain dari mereka di berbagai wilayah.[4]  Dengan data tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam menjaga hadis Rasulullah kegiatan penulisan dan pencatatan hadis Rasulullah berjalan terus menerus sejak masa Rasul sampai pada masa tabi’in.
Pada masa Tabi’in ṣuḡra dan atba’ tabi’in terdapat 247 tulisan atau tulisan yang bersumber dari mereka.[5] 
3.   Melakukan rihlah
Waktu Rasulullah, sahabat memelihara hadis dengan cara melakukan konfirmasi atau klarifikasi kebenaran hadis kepada Rasul, pada masa sahabat konfirmasi dan klarifikasi tetap dilakukan dengan cara konfirmasi atau klarifikasi kepada sahabat yang sama-sama pernah mengetahui hadis tersebut dari Rasulullah. Dengan cara ini, sahabat bepergian untuk satu hadis dalam rangka cek ulang (taṡabut) tentang hapalannya.
Perlawatan merupakan keniscayaan bagi para muhaddis sebagai cara dan manhaj mereka untuk menghasilkan ilmu. Ibn Şalah menyatakan apabila seseorang selesai mendengarkan sesuatu hadis di daerahnya hendaklah ia melakukan lawatan ke negeri lain.[6]
Pada masa setelah masa sahabat, perlawatan ke berbagai daerah dilakukan dengan tujuan:
1)   Mendapatkan hadis [7]
Ketika sahabat itu ditugasi oleh Rasul dan Khalifah Rasyidin untuk menjadi qaḍi, da’i dan menjadi guru ke berbagai wilayah dan di sana terdapat beberapa orang murid yang belajar hadis kepadanya.
Salah satu contoh tabi’i besar yang melakukan rihlah untuk mendapatkan hadis adalah Sa’id bin Musayyab (w. 94 H=712 M) mengaku telah melakukan perlawatan siang malam untuk mendapatkan sebuah hadis. [8]
2)   Meyakinkan bahwa hadis itu memang bersumber dari Rasul atau muhaddis yang disebutkan.[9]
3)   Bentuk taṡabbut ketika muhaddis memiliki beberapa jalur sanad. Setelah melakukan perlawatan kemudian menambah dari sanad yang telah ada sebelumnya. Dengan rihlah juga diketahui periwayatan hadis dengan lafal atau periwayatan dengan makna [10]  atau menemukan hadis lain dalam konteks hadis yang diriwayat-kannya. Ini dapat berfungsi sebagai syahid [11] atau muttabi’[12] dari hadis yang telah dimilikinya sebelumnya, sehingga dapat menaikkan kualitas hadis.
4)   Mencari sanad ‘ali, dengan perlawatan akan menjadikan  sanad hadis menjadi ‘ali, yaitu jarak antara Rasul dengan periwayat terakhir menjadi berkurang karena langsung dari guru sebelumnya. Ini berakibat pada kualitas hadis,  sanad ‘ali memperkuat hadis.[13]
5)   Membahas keadaan periwayat [14] 
Rihlah yang dilakukan oleh tabi’in dalam rangka membahas kualitas pribadi dan kapasitas intelektual periwayat.  Dalam periwayatan hadis biasanya periwayat menceritakan kelebihan dan kekurangan periwayat sebelumnya atau yang sesamanya.

6)   Muzakarah ulama tentang naqd hadis
Kegiatan muzakarah ini seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin Uyaynah yang tinggal di Mekah, kemudian ‘Ali bin al-Madini (w. 324=848 M) melakukan perlawatan kepadanya untuk memuzakarahkan sanad, ia berkata: mereka mencelaku ketika saya menyayangi ‘Ali bin Madini, demi Allah saya mendapatkan ilmu lebih banyak darinya dari pada ia mendapatkan ilmu dari saya. Alasan semua itu dilakukan karena kekhawatiran orang mengatakan sesuatu atas nama Rasul [15]
Implikasi Rihlah dalam pencarian hadis terhadap pemeliharaan hadis [16]
a)     Dalam pencarian hadis berimplikasi pada penyebaran hadis, karena periwayat hadis menyampaikan riwayat kepada muridnya, menjawab pertanyaan, bahkan banyak periwayat yang menanyakannya.
b)     Dapat mengatahui banyak jalur hadis yang sama, karena pelaku rihlah mendapatkan hadis dari periwayat di kota lain yang sebelumnya belum ia dengar dari guru di kotanya
c)     Membantu penyebaran dan pengumpulan hadis, karena rihlah sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in berimplikasi pada pemeliharaan dan pengum-pulan, dan memberikan informasi tentang periwayat.
Dari keterangan di atas, dengan rihlah dapat menjaga kesinambungan hadis dan menjadi sarana untuk bahan perbandingan antar riwayat yang ditemukan.
Pada masa ini ada yang membedakan dari masa sebelumnya, karena pada masa tabi’in periwayatan hadis semakin semarak dimana-mana dan semakin berkembangnya hadis palsu, [17] yang dipicu oleh berbagai kepentingan.
Dari data sejarah yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya penyelamatan dan pemeliharaan hadis Rasul dilakukan untuk menjaga kemungkinan kesalahan pengucapan, susunan atau pemahaman periwayat.  Tentu saja pemeliharaan dan penjagaan hadis dari pemalsuan lebih menjadi perhatian para muhaddisin, karena merusak dan mungkin menyelewengkan ajaran Islam. 
Realitas pemalsuan hadis dimaksud membangkit-kan kesadaran muhaddisin untuk memberikan perhatian lebih terhadap pemeliharaan sunnah dari pemalsuan yang dilakukan oleh berbagai pihak,  baik dengan mengatasnamakan kebaikan atau karena kepentingan pribadi atau kelompok.
Muhammad ibn Sirin (w.110 H) menyatakan:       ”semula  umat tidak mempertanyakan sanad, tetapi setelah terjadi fitnah maka periwayat dituntut untuk menyebutkan dengan jelas nama-nama periwayat dan dijadikan dasar pertimbangan untuk menerima atau menolak hadis yang disampaikan.”[18]   Hal ini menunjukkan bahwa isnad dijadikan sebagai antisipasi terhadap maraknya pemalsuan hadis.  Upaya mencari tahu keadaan para periwayat dan penukil hadis yang  dilakukan oleh muhaddisin kemudian menghasilkan ilmu rijal. Ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat islam.
Hal itu juga terlihat pada waktu berikutnya seperti yang dilakukan oleh Abu ‘Amr ‘Abd al-Rahman al-Auza’i (w. 157 H=774 M), waktu menerima riwayat bersama teman sejawatnya, maka riwayat itu diteliti bersama dengan penelitian yang sangat intens. Ketika penelitian itu menyimpulkan bahwa riwayat itu terbukti hadis Nabi, maka al-Auza’i mengambilnya dan apabila terbukti bahwa riwayat tersebut bukan hadis Nabi maka al-Auza’i meninggalkannya.[19] Hal ini sebagai aplikasi dari pernyataan Auza’i bahwa dalam penerimaan hadis dengan memperhatikan sanad “selama sanad masih terjaga maka hadis pun akan terjaga”[20]  Konsistensi dari ungkapan tersebut terlihat dari aplikasinya.
Dalam menghadapi perkembangan pemalsuan hadis, agar tidak tercampur dengan hadis Rasul dilakukan dengan cara:[21]
(1). Lebih memaksimalkan perhatian terhadap sanad/ isnad, karena sanad dalam hadis sama dengan nasab pada manusia.
(2). Lebih melipatgandakan kegiatan penelusuran dan kehati-hatian dalam menerima hadis.
(3). Meneliti kebohongan
(4). Menjelaskan keadaan periwayat  dari aspek kualitas pribadi (keadilan) periwayat dan kapasitas intelektual (ke-ḑabiṭ-an) serta menjelas kan jarḥ dan ta’dil nya, yang terinspirasi dari yang dilakukan oleh sahabat dan tabiin.
(5).  Membuat kaedah untuk mengatahui hadis palsu
Kebijakan ini diambil tentu untuk memberikan keyakinan terhadap validitas hadis, agar riwayat yang diambil benar-benar berasal  Rasul dan dibawa oleh periwayat yang dapat dipercaya.  Tujuannya adalah tidak tercampur antara hadis Rasul dengan sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Rasul.
Walaupun sudah ada perhatian para sahabat dan tabi’in besar terhadap sanad, baru pada pertengahan abad ke dua hijriyah adanya keharusan sanad, sehingga kalau sanadnya tidak ada maka hadis tersebut ditolak. Kenyataan sejarah ini memberikan kesan bahwa penilaian aspek matan hadis seperti terabaikan. Pada hal jika diperhatikan kegiatan penilaian matan hadis telah dilakukan secara terus menerus sejak masa Rasul. Pada masa berikutnya, tabi’in menerapkan metode mu’araḍah (cross references), [22] muqaranah (membandingkan antara satu hadis dengan hadis dalam konteks yang sama.
4.   Pemeliharaan Hadis  dengan kodifikasi secara Resmi
Bentuk pemeliharaan hadis lainnya adalah melakukan kodifikasi hadis secara resmi. Proses kodifikasi hadis atau tadwin Hadis yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah, mendasari Khalifah untuk mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang yang hapal Hadis menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadis yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan “perhatikan hadis Nabi dan Kumpulkan”. surat yang dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H=735 M) sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadis-hadis Rasulullah SAW., dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadis Nabi SAW.”. [23]
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saâd bin Zaharah al-Anşariyah (21-98 H) [24] dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Ṣiddiq [25]
Pengumpulan Hadis khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124=742 M) Atas dasar ini, Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui al-Zuhri. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadis bukanlah semata-mata taktib al-Hadis (penulisan hadis).
Pada masa Tadwin (kodefikasi) pengumpulan hadis dimulai dari lembaran ṣaḥifah yang bertebaran dimana-mana, dari hapalan yang di dalam dada para muhaddis tersebut, kemudian dengan kegiatan rihlah menemui para guru hadis.  Bahkan kegiatan yang disebutkan terakhir semakin tinggi melebihi waktu sebelumnya. Kegiatan ini menjadi lebih berkembang pada masa sesudahnya.
Berdasarkan kegiatan rihlah pada masa pengumpulan hadis, implikasinya yang terlihat jelas adalah terkumpulnya hadis yang memiliki jalur sanad (isnad) bahkan tidak sedikit  hadis yang memiliki beberapa jalur sanad. Akan tetapi pada perkembangan berikutnyadifokuskan pada upaya menyusun hasil yang dikumpulkan.[26]
Manhaj yang dilakukan oleh para muhaddisin pada masa ini adalah dengan cara menghimpun hadis yang masih tercampur antara hadis Rasulullah, perkataan sahabat dan asar tabi’in. [27]  Hasil dari kegiatan ini disusun menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi.[28] Semua cara pemeliharaan hadis yang dilakukan sebelumnya tetap berjalan.


[1] Khaîb al-Baġdãdi, kifayah, h. 168
[2] Mustafã Al-Siba’i. Sunnah Qabla al-Tadwin, h. 110-111, al-Muhaddis al-faşl, faqrah 819-821
[3]  Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Asqalãniy, Tahzib al-Tahzib , juz I, India, Da’irat al-Ma’ãrif Nizãmiyyat, 1326 H, hlm. 67.
[4] M.M. Azami, op.cit., h. 201-302
[5] Ibid., h. 302-440
[6] Ibn Şalãh, ‘Ulumul Hadis, h.322
[7] Khaîb al-Baġdãdi, Rihlah, h.18
[8] Abu ‘Abdillah Al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, Kairo, Maktabat al-Mutanabbi, t.th, h. 8 dan 43
[9] Khaîb al-Baġdãdi, Rihlah, h. 18-19
[10] Ibid,, h. 19
[11] Hadis pendukung  dengan lafal yang hampir sama atau yang mengandung makna yang sama tetapi melalui  sumber sahabat yang berbeda. Lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al- Nazar Syar Nukhbat al-Fikr, Kairo, Maktabat al-Istiqamat, 1368, h. 22
[12] Hadis pendukung  dengan lafal yang hampir sama atau yang mengandung makna yang sama tetapi melalui  sumber (periwayat) dari jalur sanad yang lain di bawah sahabat. Ibid. h. 21
[13] Ibn Salãh, Ulumul Hadis h. 231
[14] Khaîb al-Baġdãdi, Rihlah, h. 22
[15] Mãlik, Muwaṭṭa’, h. 964
[16] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, uul, op.cit., h. 134
[17]  Seorang pemalsu hadis ada yang mengaku telah membuat 4000 hadis, bahkan untuk menguatkan pendapat pun dengan menggunakan hadis palsu.  Bahkan dengan imbalan satu dirham saja adayang bersedia membuat 50 hadis palsu. Lihat al-Suyui,  op.cit., h. 284-286.
[18] Muslim, op.cit., juz 1, h. 84
[19] Al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman al-Rawahurmuzi. Al-Muhaddis  bain al-Rawi wa al-Wa’i, Beirut, Dar al-Fikr, 1391/1971, h. 318
[20] Nuruddin ‘Itr,  Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Damaskus, Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M, h. 345
[21] Ajjaj al-Khaib, Uul, h.  428-436
[22] Metode ini adalah metode pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok matan hadis agar tetap terpelihara keselarasan antar konsep dalam dengan hadis lain atau dengan agama lainnya.
[23] al-Bukhãri, ibid., Juz I. hal 29
[24] ‘Amrah adalah murid ‘Aisyah yang ada di Medinah
[25] Al-Asqalãni, Fa al-Bãri, juz 2, h. 104-195, Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-hadis  wa, h. 127-128, dan al-Khaîb,  h. 177-179
[26] Misalnya, Abu Muhammad bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Juraih (150 H ) di Mekah, dan imam Malik bin Anas (w. 179 H.) di Medinah lihat selengkapnya  Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, fi Riab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittat , t.tp., t.t., 1389 H/1969, h. 23
[27] Ibid., h. 24
[28] Muhammad bin Maãr az-Zahrãni, Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa Taawwuruhu, , cetakan ke II, tahun 1419H, Dar al-Khuairi, Madinah Nabawiyah h. 38