Pemeliharaan Hadis Pada Masa Tabi’in dan atba’ Tabi’in
Kebijakan
yang dilakukan oleh para sahabat dalam
meriwayatkan hadis dijadikan oleh tabi’in sebagai manhaj dalam pemeliharaan hadis Rasul. Tabi’in mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh sahabat, dengan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, dan
menganggap aib ketika banyak menyampaikan hadis karena dapat mengalihkan tadabbur hadis dan memahaminya.[1]
Upaya
yang dilakukan oleh sebagian tabiin dalam menjaga
hadis Rasulullah terinspirasi dari yang dilakukan oleh sahabat. adalah:
1. Membatasi periwayatan hadis
Sebagian
tabi’in menjadikan salah satu cara untuk memelihara hadis Rasul dengan hanya menyampaikan maksimal 4 hadis dalam satu pertemuan. [2] Hal
ini dilakukan untuk memberikan jaminan agar hadis yang disampaikan tetap dalam hapalan
dan pemahaman yang diharapkan.
Pembatasan
periwayatan ini merupakan tindakan yang dulu juga dilakukan oleh sahabat. Walaupun secara konteks, adanya perbedaan
situasi dan kondisi yang mengitari
2. Menuliskan
Hadis
Tabi’in
banyak melakukan penulisan terhadap hadis Rasulullah. Lembaran yang memiliki
nilai sejarah adalah catatan Hammam bin Munabbih (40-131 H). sekaligus
mementahkan tuduhan mereka yang meragukan
penulisan hadis sebelum abad kedua Hijriah, karena Hammam, salah seorang ulama
kalangan tabi’in, berjumpa dengan Abu Hurairah (w. 59 H). Tidak diragukan lagi,
ia menulis langsung dari Abu Hurairah di masa hidupnya karena Abu Hurairah.
Dengan
demikian, pencatatan telah dilakukan sebelum tahun ini atau pertengahan abad
pertama. Lembaran ini berhasil sampai secara utuh, persis seperti riwayat dan
catatan Hammam dari Abu Hurairah.
Lembaran ini memuat 138 hadis, tepat seperti keterangan Ibnu Hajar bahwa
Hammam mendengar sekitar 140 hadis dari Abu Hurairah dengan satu sanad.[3]
Kegiatan
penulisan hadis pada masa tabi’in berjalan lebih intens dibandingkan dengan
pada masa sahabat. M.M. Azami
menjelaskan ada 99 orang tabi’in abad pertama yang menuliskan hadis dari
sahabat atau tulisan lain dari mereka di berbagai wilayah.[4] Dengan data tersebut memberikan pemahaman
bahwa dalam menjaga hadis Rasulullah kegiatan penulisan dan pencatatan hadis
Rasulullah berjalan terus menerus sejak masa Rasul sampai pada masa tabi’in.
Pada
masa Tabi’in ṣuḡra dan atba’ tabi’in terdapat 247 tulisan atau tulisan yang
bersumber dari mereka.[5]
3. Melakukan
rihlah
Waktu
Rasulullah, sahabat memelihara hadis dengan cara melakukan konfirmasi atau
klarifikasi kebenaran hadis kepada Rasul, pada masa sahabat konfirmasi dan
klarifikasi tetap dilakukan dengan cara konfirmasi atau klarifikasi kepada
sahabat yang sama-sama pernah mengetahui hadis tersebut dari Rasulullah. Dengan
cara ini, sahabat bepergian untuk satu hadis dalam rangka cek ulang (taṡabut)
tentang hapalannya.
Perlawatan
merupakan keniscayaan bagi para muhaddis sebagai cara dan manhaj mereka
untuk menghasilkan ilmu. Ibn Şalah menyatakan apabila seseorang selesai
mendengarkan sesuatu hadis di daerahnya hendaklah ia melakukan lawatan ke
negeri lain.[6]
Pada masa setelah masa sahabat, perlawatan
ke berbagai daerah dilakukan dengan tujuan:
1) Mendapatkan
hadis [7]
Ketika
sahabat itu ditugasi oleh Rasul dan Khalifah Rasyidin untuk menjadi qaḍi, da’i
dan menjadi guru ke berbagai wilayah dan di sana terdapat beberapa orang murid
yang belajar hadis kepadanya.
Salah
satu contoh tabi’i besar yang melakukan rihlah untuk mendapatkan hadis adalah
Sa’id bin Musayyab (w. 94 H=712 M) mengaku telah melakukan perlawatan siang
malam untuk mendapatkan sebuah hadis. [8]
2)
Meyakinkan bahwa hadis itu memang
bersumber dari Rasul atau muhaddis yang disebutkan.[9]
3)
Bentuk taṡabbut ketika muhaddis
memiliki beberapa jalur sanad. Setelah melakukan perlawatan kemudian menambah
dari sanad yang telah ada sebelumnya. Dengan rihlah juga diketahui periwayatan
hadis dengan lafal atau periwayatan
dengan
makna [10] atau menemukan hadis lain dalam konteks hadis
yang diriwayat-kannya. Ini dapat berfungsi sebagai syahid [11]
atau muttabi’[12]
dari hadis yang telah dimilikinya sebelumnya, sehingga dapat menaikkan kualitas
hadis.
4)
Mencari sanad ‘ali, dengan
perlawatan akan menjadikan sanad hadis
menjadi ‘ali, yaitu jarak antara Rasul dengan periwayat terakhir menjadi
berkurang karena langsung dari guru sebelumnya. Ini berakibat pada kualitas
hadis, sanad ‘ali memperkuat hadis.[13]
Rihlah yang dilakukan
oleh tabi’in dalam rangka membahas kualitas pribadi dan kapasitas intelektual
periwayat. Dalam periwayatan hadis
biasanya periwayat menceritakan kelebihan dan kekurangan periwayat sebelumnya
atau yang sesamanya.
6) Muzakarah
ulama tentang naqd hadis
Kegiatan muzakarah ini
seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin Uyaynah yang tinggal di Mekah, kemudian
‘Ali bin al-Madini (w. 324=848 M) melakukan perlawatan kepadanya untuk
memuzakarahkan sanad, ia berkata: mereka mencelaku ketika saya menyayangi ‘Ali
bin Madini, demi Allah saya mendapatkan ilmu lebih banyak darinya dari pada ia
mendapatkan ilmu dari saya. Alasan
semua itu dilakukan karena kekhawatiran orang mengatakan sesuatu atas nama Rasul
[15]
a)
Dalam pencarian
hadis berimplikasi pada penyebaran hadis, karena periwayat hadis menyampaikan
riwayat kepada muridnya, menjawab pertanyaan, bahkan banyak periwayat yang menanyakannya.
b)
Dapat mengatahui
banyak jalur hadis yang sama, karena pelaku rihlah mendapatkan hadis dari periwayat di kota lain yang sebelumnya belum ia
dengar dari guru di kotanya
c)
Membantu penyebaran
dan pengumpulan hadis, karena rihlah sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in
berimplikasi pada pemeliharaan dan pengum-pulan, dan
memberikan informasi tentang periwayat.
Dari
keterangan di atas, dengan rihlah dapat menjaga kesinambungan hadis dan
menjadi sarana untuk bahan perbandingan antar riwayat yang ditemukan.
Pada
masa ini ada yang membedakan dari masa sebelumnya, karena pada masa tabi’in
periwayatan hadis semakin semarak dimana-mana dan semakin berkembangnya hadis
palsu, [17]
yang dipicu oleh berbagai kepentingan.
Dari
data sejarah yang telah dikemukakan sebelumnya, berbagai upaya penyelamatan dan
pemeliharaan hadis Rasul dilakukan untuk menjaga kemungkinan kesalahan
pengucapan, susunan atau pemahaman periwayat.
Tentu saja pemeliharaan dan penjagaan hadis dari pemalsuan lebih menjadi
perhatian para muhaddisin, karena merusak dan mungkin menyelewengkan ajaran
Islam.
Realitas
pemalsuan hadis dimaksud membangkit-kan kesadaran muhaddisin untuk memberikan
perhatian lebih terhadap pemeliharaan sunnah dari pemalsuan yang dilakukan oleh
berbagai pihak, baik dengan
mengatasnamakan kebaikan atau karena kepentingan pribadi atau kelompok.
Muhammad
ibn Sirin (w.110 H) menyatakan: ”semula umat tidak mempertanyakan sanad, tetapi
setelah terjadi fitnah maka periwayat dituntut untuk menyebutkan dengan jelas
nama-nama periwayat dan dijadikan dasar pertimbangan untuk menerima atau
menolak hadis yang disampaikan.”[18] Hal ini menunjukkan bahwa isnad dijadikan
sebagai antisipasi terhadap maraknya pemalsuan hadis. Upaya mencari tahu keadaan para periwayat dan
penukil hadis yang dilakukan oleh
muhaddisin kemudian menghasilkan ilmu rijal. Ilmu rijal ini menjadi
salah satu keistimewaan umat islam.
Hal
itu juga terlihat pada waktu berikutnya seperti yang dilakukan oleh Abu ‘Amr
‘Abd al-Rahman al-Auza’i (w. 157 H=774 M), waktu menerima riwayat bersama teman
sejawatnya, maka riwayat itu diteliti bersama dengan penelitian yang sangat intens.
Ketika penelitian itu menyimpulkan bahwa riwayat itu terbukti hadis Nabi, maka
al-Auza’i mengambilnya dan apabila terbukti bahwa riwayat tersebut bukan hadis
Nabi maka al-Auza’i meninggalkannya.[19] Hal ini sebagai
aplikasi dari pernyataan Auza’i bahwa dalam penerimaan hadis dengan
memperhatikan sanad “selama sanad masih
terjaga maka hadis pun akan terjaga”[20] Konsistensi dari ungkapan tersebut terlihat
dari aplikasinya.
Dalam
menghadapi perkembangan pemalsuan hadis, agar tidak tercampur dengan hadis Rasul dilakukan dengan cara:[21]
(1). Lebih
memaksimalkan perhatian terhadap sanad/ isnad, karena
sanad dalam hadis sama dengan nasab pada manusia.
(2). Lebih
melipatgandakan kegiatan penelusuran dan kehati-hatian dalam menerima hadis.
(3). Meneliti
kebohongan
(4). Menjelaskan keadaan
periwayat dari aspek kualitas pribadi
(keadilan) periwayat dan kapasitas intelektual (ke-ḑabiṭ-an) serta
menjelas kan jarḥ dan ta’dil nya, yang terinspirasi dari yang
dilakukan oleh sahabat dan tabiin.
(5). Membuat kaedah untuk mengatahui hadis palsu
Kebijakan
ini diambil tentu untuk memberikan keyakinan terhadap validitas hadis, agar riwayat yang diambil benar-benar berasal Rasul dan dibawa oleh periwayat yang dapat
dipercaya. Tujuannya adalah tidak tercampur antara hadis Rasul
dengan sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Rasul.
Walaupun
sudah ada perhatian para sahabat dan tabi’in besar terhadap sanad, baru pada
pertengahan abad ke dua hijriyah adanya keharusan sanad, sehingga kalau
sanadnya tidak ada maka hadis tersebut ditolak. Kenyataan sejarah ini memberikan kesan bahwa penilaian aspek matan hadis
seperti terabaikan. Pada hal jika diperhatikan kegiatan penilaian matan hadis
telah dilakukan secara terus menerus sejak masa Rasul. Pada masa berikutnya, tabi’in
menerapkan metode mu’araḍah (cross references), [22]
muqaranah (membandingkan antara satu hadis dengan hadis dalam konteks yang
sama.
4. Pemeliharaan
Hadis dengan kodifikasi secara Resmi
Bentuk
pemeliharaan hadis lainnya adalah melakukan kodifikasi hadis secara resmi.
Proses kodifikasi hadis atau tadwin Hadis
yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadis secara resmi yang dilakukan atas
instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz
(memerintah tahun 99-101 H). Adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk
memelihara perbendaraan sunnah, mendasari Khalifah untuk mengeluarkan surat
perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya. Hal itu dimaksudkan agar setiap orang
yang hapal Hadis menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadis yang akan
hilang pada masa sesudahnya.
Khalifah
Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan “perhatikan hadis Nabi dan Kumpulkan”.
surat yang dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w.
117 H=735 M) sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadis-hadis
Rasulullah SAW., dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu
sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadis Nabi SAW.”.
[23]
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm untuk mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saâd bin Zaharah
al-Anşariyah (21-98 H) [24]
dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Ṣiddiq [25]
Pengumpulan
Hadis khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu
Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam
Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124=742 M) Atas dasar ini, Umar bin
Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui al-Zuhri. Dari
sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadis bukanlah semata-mata taktib al-Hadis (penulisan hadis).
Pada
masa Tadwin (kodefikasi) pengumpulan hadis dimulai dari lembaran ṣaḥifah yang
bertebaran dimana-mana, dari hapalan yang di dalam dada para muhaddis tersebut,
kemudian dengan kegiatan rihlah menemui para guru hadis. Bahkan kegiatan yang disebutkan terakhir
semakin tinggi melebihi waktu sebelumnya. Kegiatan ini menjadi lebih berkembang
pada masa sesudahnya.
Berdasarkan
kegiatan rihlah pada masa pengumpulan hadis, implikasinya yang terlihat jelas adalah
terkumpulnya hadis yang memiliki jalur sanad (isnad) bahkan tidak sedikit hadis yang memiliki beberapa jalur sanad.
Akan tetapi pada perkembangan berikutnyadifokuskan pada upaya menyusun hasil yang dikumpulkan.[26]
Manhaj
yang dilakukan oleh para muhaddisin pada masa ini adalah dengan cara menghimpun hadis yang masih tercampur antara hadis
Rasulullah, perkataan sahabat dan asar tabi’in.
[27] Hasil
dari kegiatan ini disusun
menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi.[28]
Semua cara pemeliharaan hadis yang dilakukan sebelumnya tetap berjalan.
[3] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Asqalãniy, Tahzib al-Tahzib , juz I, India, Da’irat al-Ma’ãrif Nizãmiyyat, 1326 H, hlm.
67.
[8] Abu ‘Abdillah Al-Hakim
al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, Kairo,
Maktabat al-Mutanabbi, t.th, h. 8 dan 43
[11] Hadis
pendukung dengan lafal yang hampir sama
atau yang mengandung makna yang sama tetapi melalui sumber sahabat yang berbeda. Lihat Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Nuzhat al- Nazar Syarḥ
Nukhbat al-Fikr,
Kairo, Maktabat al-Istiqamat, 1368, h. 22
[12] Hadis
pendukung dengan lafal yang hampir sama
atau yang mengandung makna yang sama tetapi melalui sumber (periwayat) dari jalur sanad yang lain
di bawah sahabat. Ibid. h. 21
[17] Seorang pemalsu hadis ada yang mengaku telah
membuat 4000 hadis, bahkan untuk menguatkan pendapat pun dengan menggunakan
hadis palsu. Bahkan dengan imbalan satu
dirham saja adayang bersedia membuat 50 hadis palsu. Lihat al-Suyuṭi, op.cit., h. 284-286.
[19] Al-Hasan ibn ‘Abd
al-Rahman al-Rawahurmuzi. Al-Muhaddis bain al-Rawi wa al-Wa’i, Beirut, Dar
al-Fikr, 1391/1971, h. 318
[22] Metode ini adalah metode pencocokan konsep yang menjadi muatan
pokok matan hadis agar tetap terpelihara keselarasan antar konsep dalam dengan
hadis lain atau dengan agama lainnya.
[25] Al-Asqalãni, Faṭ al-Bãri, juz 2, h. 104-195, Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-hadis
wa, h. 127-128, dan al-Khaṭîb, h. 177-179
[26] Misalnya, Abu
Muhammad bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Juraih (150 H ) di Mekah, dan imam Malik bin
Anas (w. 179 H.) di Medinah lihat selengkapnya
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, fi
Riḥab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah
al-Sittat , t.tp., t.t.,
1389 H/1969, h. 23
[28] Muhammad bin Maṭãr az-Zahrãni, Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa
Taṭawwuruhu, , cetakan ke II, tahun
1419H, Dar al-Khuḍairi, Madinah Nabawiyah h. 38