CARA SAHABAT MENJAGA HADIS/SUNNAH SETELAH RASUL WAFAT
Kebijakan Khalifah dalam Pemeliharaan Hadis
Setelah
Rasulullah meninggal dunia, hadis Rasulullah yang disampaikan dengan cara
verbal semakin banyak karena hadis fi’liyah dan taqrir Rasulllah, yang
sebelumnya hanya diikuti saja oleh sahabat, kemudian untuk memberikan
penjelasan kepada sahabat kecil dan tabi’in hadis fi’liyah tersebut harus
diverbalkan.
1)
Kondisi Hadis Rasulullah Pada Masa Sahabat
Kondisi
Hadis di masa sahabat menuntut adanya verbalisasi hadis fi’liyah dan
taqririyah. Ada beberapa kemungkinan
yang terjadi pada kondisi yang seperti ini:
a.
Hadis yang hanya mengenai dan hanya
diketahui oleh sahabat tertentu pada masa ini kemungkinan akan disampaikan
untuk menjawab masalah yang sama.
b.
Penyampaian hadis qauliyah Rasul selalu
diupayakan oleh sahabat sesuai dengan lafal yang disampaikan oleh Rasul.[1]
Bahkan dalam hal ini Umar pernah menyampai kan: Barang siapa yang mendengar
hadis dari Nabi kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang didengarnya
orang itu selamat.[2]
Namun, penyampaian hadis secara makna tidak dapat dihindari oleh sahabat yang
melihat kejadian di zaman Rasul, namun tidak dapat menyampaikan secara lafaz
c.
Penyampaian hadis fi’liyah Rasul. Pada
masa sahabat hadis fi’liyah tidak hanya disampaikan secara fi’liyah, tetapi
juga secara verbal. Hal itu disebabkan suatu keniscayaan sahabat untuk menceritakan cara Rasul melakukan sesuatu.
Realitas ini tentu saja akan berdampak pada perbedaan versi antara sahabat yang
satu dengan yang lain. Ada sahabat yang
dapat menyampai kan secara rinci dan sesuai dengan perbuatan
Rasulullah, akan tetapi mungkin juga ada
sahabat yang hanya menangkap hal yang sangat umum atau penting saja.
d.
Penyampaian Hadis Rasulullah yang
berbentuk dialog antara Rasul dengan sahabat, pada masa ini disampaikan oleh
sahabat secara verbal dengan versi masing-masing.
Kenyataan
sejarah yang disebutkan di atas membuka peluang terhadap adanya hadis Rasul
yang disampaikan sahabat tidak seperti ketika mereka menerimanya. Hal itu disebabkan beberapa faktor yang
berimplikasi pada keharusan menjaga kemurnian hadis Rasul. Hal itu terlihat dari beberapa kebijakan yang
dilakukan oleh Khalifah dalam menjaga hadis Rasul.
2)
Upaya Khalifah Rasyidin menjaga
Hadis Rasulullah
Setelah Rasulullah meninggal dunia,
upaya yang sangat luar biasa dilakukan sahabat untuk menjaga
dan memelihara hadis Rasul, dan berpegang
teguh dengan hadis Rasul. Ada beberapa cara yang dilakukan:
1.
Hati-hati dalam
menyampaikan hadis
Bentuk kehati-hatian sahabat dalam menyampaikan hadis Rasul terlihat pada ketentuan yang ditetapkan
dan dijalankan oleh sahabat :
a.
Menyedikitkan (membatasi) periwayatan Hadis
Setelah Rasulullah SAW. wafat, Khalifah Rasyidin mengambil
beberapa kebijakan untuk menjaga hadis Rasulullah. Kebijakan
Khalifah Rasyidin berkaitan dengan ada’
(menyampaikan) hadis terlihat ketika kebijakan Khalifah agar tidak menyampaikan hadis kecuali karena sangat
dibutuhkan.[3] Menyedikitkan atau membatasi
periwayatan
dilakukan oleh Khalifah dalam upaya hati-hati menjaga atau memelihara hadis
Rasulullah dan memberikan pembatasan dalam periwayatan agar orang tidak
menyampaikan sunnah yang bukan sunnah. [4]
Banyak meriwayatkan hadis dihawatirkan akan mengarah pada periwayatan hadis
tidak seperti yang diterima dari Rasul dan banyak menyampaikan hadis akan
membuka peluang terjadinya kesalahan dalam periwayatan.
Pada masa
khalifah ‘Umar, beliau dapat menjaga dan mengarantina para sahabat yang masih
hidup di masanya untuk tidak keluar Madinah, kecuali untuk kemasalahatan.[5] Dikaitkan
dengan penjagaan hadis dan penyedikitan periwayatan hadis yang menjadi
kebijakan khalifah, karantina sahabat berimplikasi pada tidak banyak hadis yang
diriwayatkan, dan memudahkan khalifah mengontrol kegiatan periwayatan.
Umar mempunyai kebijakan
untuk menyedikitkan periwayatan dengan alasan agar tidak terjadi kesalahan dan
keraguan dalam periwayatan.[6]
Sahabat yang masih hidup di zaman ‘Umar sangat memperhatikan
anjuran ‘Umar untuk tidak menyampaikan hadis secara besar-besaran.[7]
Menyedikitkan periwayatan bukan berarti tidak meriwayatkan hadis, tetapi hanya
menyampaikan hadis apabila diperlukan dan ada sahabat atau tabi’in yang
bertanya. karena banyak bicara akan ada kemungkinan
menimbulkan kesalahan. Umar mengemuka kan: “telah cukup seseorang dinyatakan
berdusta apabila orang itu menceritakan semua yang ia dengar” [8]
Sahabat lain yang terkenal dalam
hal penyedikitan riwayat selain Abu Bakar dan Umar adalah ‘Imran bin Ḫuṣain,
Abu ‘Ubaidillah, dan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muṭalib.[9]
Ketika
masa Usman bin ‘Affan (w. 35 H= 656 M), pada salah satu khutbahnya, disampaikan
permintaan kepada sahabat untuk tidak menyampaikan hadis yang tidak pernah
didengar pada masa AbuBakar dan ‘Umar.[10] Namun, sahabat sudah bersebaran ke berbagai
kota, sehingga penyebaran hadis pun semakin marak terutama para sahabat kecil
yang menginginkan hadis yang pernah didengar oleh sahabat besar.
Khalifah
Usman tidak dapat membendung perpindahan Sahabat ke berbagai wilayah. Penyebaran sahabat karena dorongan berbagai
aspek misalnya ekonomi, sosial dan politik akhirnya berdampak terhadap
penyebaran hadis. Jika pada masa
Khalifah Umar, khalifah dapat mengontrol penyebaran hadis, maka pada Khalifah
Usman hal itu sulit dilakukan.
Ali bin Abi Ṭalib mempunyai kebijakan yang
sama dengan Abu Bakar,
Umar dan Usman, namun dalam kenyataannya di tataran aplikasi terdapat
perbedaan. Pada masa
Khalifah Ali sudah terjadi periwayatan secara massif.
b.
Menggunakan kata khusus
Bentuk lain dari
kehatian-hatian sahabat dalam menyampaikan hadis yaitu dengan mengikutkan kata aw kama qala pada hadis Rasulullah,
ketika ada kekhawairan lafalnya tidak sama dengan ucapan Rasul. Hal itu
dilakukan karena khawatir terjadi pembohongan terhadap Rasul.[11] Langkah ini diambil oleh sahabat dalam
menjaga hadis sesuai dengan yang disampaikan Rasul. Penggunaan kata aw kama qala, bukan karena keraguan, akan tetapi lebih pada
kehati-hatian agar jangan sampai terjadi
perbedaan hadis yang disampaikan Rasul dengan yang disampaikan sahabat.
Contoh:
ٱو كما قال رسول الله
Ada
juga yang menggunakan kata aw qala, seperti
dalam hadis berikut:
Bahkan ada yang menggunakan kata aw misluh aw nahuh aw Syabih bih, dam hakaza, aw nahuh hakaza aw nahuh seperti
dalam hadis berikut:
Dari beberapa contoh di atas,
tingkat kehati-hatian dalam menyampaikan hadis oleh para periwayat yang
terlibat dalam periwayatan hadis sangat tinggi.
Dalam
menerima hadis yang diriwayatkan sahabat lain, terutama hadis yang sebelumnya
tidak pernah didengar, sahabat menggunakan cara:
a.
Meminta mendatangkan saksi
Abu Bakar Ṣiddiq (w. 13 H = 634 M) minta saksi terhadap hadis yang diterima dan sebelumnya
ia tidak pernah mendengarnya langsung dari Rasulullah.[16] Hal itu
terlihat dalam hadis tentang kewarisan nenek.
Ketika Abu Bakar didatangi nenek yang menanyakan tentang hak warisnya dari
cucunya yang meninggal dunia. Abu Bakar menjawab tidak menemukan ayat tentang
kewarisan nenek dan ia tidak mengetahui Rasul pernah memutuskan waris untuk
nenek.
Kemudian
Abu Bakar menanyakan kepada Sahabat lain, al-Mughirah bin Syu’bah (w.55 H)
kemudian berkata bahwa Rasulullah pernah memberikan hak waris kepada nenek 1/6
bagian. Lalu Abu Bakar menanyakan apakah ada sahabat lain yang bersamanya,
kemudian Muhammad bin Maslamah (w. 46 H) bersaksi memang seperti itu. Abu Bakar akhirnya membagikan hak 1/6 kepada
nenek tersebut.[17]
Kehati-hatian
Umar dalam menerima riwayat ditunjukkan dalam beberapa periwayatan yang tidak
beliau dengar sebelumnya. ‘Umar menggunakan saksi dan sumpah untuk menerima
hadis dari sahabat lain.[18]
Umar yang mendapatkan keterangan dari Abu Musa al-Asy’ari (w. 85 H.) ketika ia
ingin beertamu dan ia kembali setelah salam 3 (tiga) kali. Abu Musa
mengatakan bahwa Rasul bersabda jika kalian telah salam 3 (tiga) kali
dan tidak ada jawaban maka kembalilah. [19]
Ketika Umar menanyakan tentang hadis
tersebut kepada sahabat lain, ternyata berita yang disampaikan Abu Musa
benar adanya. Hal itu dilakukan oleh Umar bukan karena tidak empercayai sahabat
yang menyatakan hadis tersebut akan tetapi lebih pada bentuk kehati-hatian
menerima hadis Rasul.
Ali
sebagai Khalifah mempunyai kebijakan yang sama dengan Abu Bakar dan Umar.
Ketika Ali menerima hadis dari Asma’ bin Hakam al-Fazzari, Ali memintanya bersumpah, tetapi
ketika menerima hadis dari
Abu Bakar,
Ali langsung menerima
tanpa penguat. [21]
Hal ini dilakukan Ali ketika menerima
hadis tentang ma min ‘abdin
yaznibu zanban summa yatawaḍḍa’a wa yuṣalla rak’atain summa yastaghfirullah
illa ghaffarallahu lahu. [22]
Permintaan
penguat sumpah ini diberlakukan Ali terhadap sahabat tertentu untuk meyakinkan ‘Ali
tentang kebenaran berita yang diterimanya.
c.
Penerimaan Tanpa syarat untuk sahabat tertentu
Saksi
dan sumpah tidak selalu diminta para Khalifah, karena dalam banyak riwayat,
mereka tidak memberikan syarat untuk menerima atau mangamalkan hadis
Rasulullah. Mulai dari Abu Bakar, yang
pernah memutuskan suatu perkara, kemudian Bilal (w. 20 H) memberi tahu bahwa
Rasulullah pernah memutuskan perkara yang sama dengan putusan yang beda dengan
keputusan Abu Bakar, akhirnya Abu Bakar memakai hadis yang diterima dari Bilal.[23]
Di sini Abu Bakar tidak meminta penguat bagi keterangan Bilal.
Begitu
juga Umar, ketika memutuskan diyat untuk ibu jari 15 ekor unta, sementara
telunjuk 10 unta, jari tengah 10 ekor unta, jari manis 9 ekor unta dan kelingking
6 ekor unta. Setelah mendengar Sabda
Rasul yang diungkap oleh ‘Amru bin Hazm (w. 51/2/3 H. ) dari Ibn Abbas, bahwa
Rasul menetapkan diyat untuk masing-masing jari 10 ekor unta,[24]
akhirnya Umar memutuskan berdasarkan hadis Rasul, masing-masing jari diyatnya
10 ekor unta.
Bahkan, Umar pernah membatalkan hasil ijtihadnya
ketika mendengar hadis yang disampaikan oleh al-Ḍahhak bin Sufyan secara ahad.[25] Umar tidak meminta saksi atau sumpah dari
sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.
d.
Melarang menyampaikan hadis melebihi kemampuan
pemahaman umat
Untuk mencapai pemahaman yang benar tentang hadis
Rasul yang disampaikan, sahabat juga memperhatikan kemampuan sahabat dalam
menerima hadis. Hal itu diwarisi dari
cara Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam yang selalu memperhatikan kemampuan
umat dalam menerima. Oleh karena itu, Ali menyatakan:
Ali berkata: “.... sampaikanlah hadis kepada manusia
sesuai dengan kemampuan mereka. Apakah kalian suka jika mereka kemudian
membohongi Allah dan Rasulnya...”
Pernyataan Ali di atas memberikan pemahaman kepada
penyampai hadis, bahwa ketika mengabaikan batas kemampuan penerima hadis maka
dampaknya adalah apa yang disampaikan akan dianggap sebagai kebohongan.
Kemungkinan lain, penerima hadis akan mendustakan ajaran Islam ketika mereka
sulit menerima pesan yang disampaikan.
3.
Melakukan Kritikan Matan
Bentuk lain yang dilakukan
oleh sahabat dalam menjaga hadis Rasulullah adalah dengan cara kritik matan (naqd matan). Pada masa ini, sahabat
tidak melakukan kritik sanad, seperti yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn
Sirin: ”Mereka (sahabat) tidak pernah menanyakan tentang sanad hadis, tetapi
setelah terjadi fitnah, mereka berkata: sebutkan siapa periwayat (yang kamu
ambil hadis darinya) kepada kami, maka hadis ahli sunnah diterima dan hadis
dari ahli bid’ah ditolak.[27] Kritikan redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah
dilakukan sejak awal sekali, sahabat telah melakukan pengujian-pengujian
terhadap hadis Rasulullah.
Dari
beberapa kasus yang termuat dalam beberapa riwayat, terlihat bahwa pengujian hadis yang dilakukan
sahabat adalah dengan al-Qur’an serta hadis-hadis
yang lebih kuat dan masyhur yang terkadang diperkuat dengan argumen rasioanal
dalam bentuk analogi.
Pengujian
hadis dengan
al-Qur’an, pernah dilakukan oleh Aisyah terhadap hadis yang sedang disampaikan oleh Rasulullah sendiri. Rasulullah SAW. bersabda:
“Barang siapa yang dihisab pasti akan diazab”. Aisyah menyela: “Bukankan Allah
telah berfirman: “Mereka (orang beriman) akan dihisab dengan hisab yang sangat
mudah (al-Insyiqaq: 8).” Rasul lalu bersabda kembali: “Itu hanya sepintas,
tetapi orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara.[28]
Ada beberapa
orang sahabat yang melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain.[29]
Mereka antara lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Ṭalib,
Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah ibn ‘Abbas. Tetapi, di antara sekian sahabat
yang melakukan pengujian terhadap hadis ini, yang paling intens adalah ‘Aisyah. Beberapa hadis yang dikritik oleh
Aisyah antara lain adalah riwayat Abu Hurairah, riwayat Umar bin Khatab, Ibnu
Umar dan Jabir. Di antara riwayat
tersebut adalah:
a.
Riwayat
Abu Hurairah tentang sabda Nabi:
“Seorang mayat akan disiksa karena tangisan
keluarganya yang masih hidup”.[30]
Riwayat
Abu Hurairah ini diuji oleh ‘Aisyah dengan
firman Allah: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
(Q.S. al-An’am: 164). Karena itu Aisyah menolak riwayat yang dikemukakan oleh
Abu Hurairah tersebut.[31]
‘Aisyah kemudian menjelaskan maksud hadis :
سَمِعَتْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ يَبْكِي عَلَيْهَا
أَهْلُهَا فَقَالَ إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي
قَبْرِهَا [32]
‘Aisyah
isteri Rasul menjelaskan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan satu keluarga
yang menangisi anggota keluarganya yang meninggal dunia ketika Rasul melewati
kampung Yahudi, lalu Rasul menyampaikan bahwa mereka (baca: keluarga) menangisi
yang meninggal, sementara yang meninggal sedang diazab di dalam kuburnya.
b.
Riwayat
Abu Hurairah: “Barang siapa yang tidak melaksanakan witir, maka tiada salat baginya”. Pada riwayat ini Aisyah tidak
mengujinya dengan al-Qur’an tetapi mengujinya dengan riwayat yang lebih masyhur
yang menyatakan Şalat wajib lima kali sehari. Seandainya riwayat ini benar,
tentu Şalat yang diwajibkan adalah enam kali.[33]
c.
Riwayat
Jabir bin ‘Abdillah yang meriwayatkan hadis “innama al-ma’ bi al-ma’” dengan
tidak wajib mandi bagi pasangan suami istri yang bersetubuh jika tidak sampai
mengeluarkan mani. Memang ada beberapa riwayat selain Jabir yaitu riwayat Abu
Sa’id al-Khudri yang menyatakan Rasulullah bersabda: “(Kewajiban mandi dengan) air diakibatkan
(karena keluarnya) air (mani).”[34]. Namun bukan seperti yang disampaikan Jabir,
Hadis ini bermakna bahwa keluarnya mani baik karena setubuh atau bukan
menyebabkan seseorang wajib mandi.
Riwayat
Jabir juga diuji oleh Aisyah dengan sabda Nabi yang lain: “Bila suatu alat
kelamin telah melampaui kelamin lainnya (bersetubuh), maka telah wajib mandi.”[35]
Aisyah pun memperkuat dengan argumen dalam bentuk pertanyaan: “Apakah hal itu
(bersetubuh tanpa mengeluarkan air mani) yang mewajibkan rajam, tetapi tidak
mewajibkan mandi?” [36]
Pertanyaan
yang diajukan oleh ‘Aisyah merupakan keritik matan hadis sehingga dapat membawa
pada pemahaman yang benar dengan mengumpulkan beberapa hadis terkait.
4.
Pemahaman terhadap hadis
Dalam
menjaga hadis dari aspek pemahamannya, ada dua bentuk yang akan dikemukakan:
a. Menghindari Kesalahpahaman
Seperti
halnya di zaman Rasul, yang
meminta agar Mu’az bin Jabal tidak menyampaikan hadis Rasul karena kekhawatiran
hilangnya gairah beribadah, ‘Umar juga meminta agar ‘Ammar bin Yasir tidak
sering menyampaikan hadis taqririyah
tentang mereka berdua mengenai tata cara tayammum penggati mandi janabah.[37]
Meskipun Rasulullah tidak menyalahkan tindakan ‘Ammar bin Yasir
berguling-guling di pasir ketika tidak ada air untuk mandi. Rasul juga tidak
menyalahkan Umar yang tidak melakukan
salat sebelum ditemukan air untuk mandi besar.
Namun,
Umar selalu tidak suka dan menyampaikan agar taqrir tentang Ammar bin Yasir
tersebut tidak disampaikan
kepada umat Islam.
Umar khawatir akan berimplikasi
pada terjadinya memudah-mudahkan (simplikasi)
masalah.
b.
Meluruskan Pemahaman
Semenjak
empat belas abad lalu, sebenarnya ‘Aisyah sudah melakukan konfirmasi dalam
meluruskan pemahaman terhadap hadis Rasululah. Hal itu terlihat pada hadis
tentang hal yang dapat memutuskan salat seseorang.
Urwah
bin Zubair mengisahkan konfirmasi Aisyah ini ketika ia meriwayatkan dari
beliau. "Apa saja yang dapat memutuskan shalat seseorang?" Kami
menjawab, "Perempuan dan keledai." Ia mempertanyakan, "Jadi,
kalau begitu, perempuan adalah binatang buruk. Tahukah kalian bahwa aku pernah
berbaring melintang di hadapan Rasul SAW. seperti melintangnya jenazah dan
beliau sedang shalat?"[38]
Dalam
riwayat lain kritiknya tampak lebih jelas, "Kalian telah menyamakan kami
dengan keledai dan anjing. Demi Allah, aku telah melihat Rasulullah SAW. shalat
dan aku berbaring di atas tempat tidur, posisiku adalah di antara beliau dan
kiblat."
Hal
ini membuat Aisyah r.a. tidak memakai hadis ini karena menurutnya bertentangan
dengan hadis yang lebih kuat dari hadis Abu Hurairah yang terdahulu, khususnya
ia sendiri yang mengalami peristiwa itu. Imam Nawawi berkata, "Aisyah dan
para ulama sesudahnya berargumentasi bahwa wanita
tidak termasuk faktor yang memutuskan shalat seorang lelaki. Hadis ini
menunjukkan bolehnya seseorang shalat dan ketika ada wanita
lewat di depannya."[39]
Pelurusan
pemahaman tersebut dilakukan oleh ‘Aisyah dalam rangka menjaga agar pesan Rasul
tersebut tidak disalahpahami oleh umat Islam dan tidak memberikan kesan
ketidakadilan pada perempuan.
5.
Melakukan rihlah
Waktu
Rasulullah, sahabat memelihara hadis dengan cara melakukan konfirmasi atau
klarifikasi kebenaran hadis kepada Rasul, pada masa sahabat konfirmasi dan
klarifikasi tetap dilakukan dengan cara konfirmasi atau klarifikasi kepada
sahabat yang sama-sama pernah mengetahui hadis tersebut dari Rasulullah. Dengan
cara ini, sahabat bepergian untuk satu hadis dalam rangka cek ulang (taṡabut)
tentang hapalannya.
Realitas
yang ada misalnya ketika Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H) melakukan perlawatan ke
‘Uqbah bin ‘Amr (w.40 H) untuk menanyakan tentang hadis yang didengarnya dari
Rasul dan tidak ada yang tinggal kecuali mereka berdua. Lalu ketika sampai di
Mesir, di tempat Maslamah (penguasa Mesir), dan setelah mendengar dari ‘Uqbah,
ia kemudian kembali ke Madinah.[40] Perlawatan yang dilakukannya dari Madinah ke Mesir
dalam upaya menjaga hadis Rasulullah dengan melakukan cek ulang. Cek ulang ini akan memberikan keyakinan tentang
kebenaran hadis yang dulu pernah didengarnya dari Rasulullah.
Pengecekan pun dilakukan oleh ‘Aisyah, ia sampai menyuruh ‘Urwah bin Zubair
untuk menanyakan hadis yang sama dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ yang sedang
menunaikan ibadah haji pada dua kali musim haji. ‘Aisyah kemudian menyatakan
bahwa ‘Abdullah telah hapal hadis itu.[41]
Bahkan Jabir bin ‘Abdullah melakukan perlawatan dari Madinah ke Syam menunggang
unta, selama satu bulan perjalanan untuk mendapatkan satu hadis dari ‘Abdullah
bin ‘Umays. [42]
Realitas sejarah ini
menunjukkan bagaimana sahabat sangat berhati-hati dalam menerima riwayat.
6.
Melakukan koreksian terhadap pelaksanaan hadis
fi’liyah
Seperti
yang terjadi di zaman Rasul, sahabat juga memperhatikan dan mengoreksi praktek
tabi’in tentang hadis fi’liyah Rasul,
seperti yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73 H/692 M) terhadap tata
cara salat ‘Ali ibn ‘Abd al-Rahman setelah mereka selesai melakukan salat.[43]
Koreksian tersebut dilakukan untuk meluruskan praktek salat ‘Ali ibn ‘Abd
al-Rahman yang tidak sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan Rasul. Penjagaan terhadap hadis fi’liyah terlihat
dari fokus pada praktek umat Islam waktu itu.
7.
Memperketat
periwayatan bi al-ma’na
Pada
masa ini ada dua bentuk periwayatan yang berkembang yaitu periwayatan bi
al-lafẓi (dengan lafal) dan periwayatan bi al-ma’na (dengan makna)
Meskipun para sahabat telah melakukan pemeliharaan terhadap hadis, adanya
realitas hadis selain qauliyah Rasul (fi’liyah, taqririyah, dan ihwal)
yang disampaikan secara qauliyah, tentu saja ada konsekwensi logis yang muncul.
Fenomena ini tentu saja berimplikasi pada periwayatan bi al-ma’na (dengan
makna), karena sahabat sebagai saksi mata fi’liyah atau taqririyah atau ihwal Rasul menyampaikan hadis dimaksud
dengan rumusan kalimat sahabat masing-masing.
Periwayatan
bi al-ma’na terutama pada hadis fi’liyah, taqririyah atau ihwal Rasul dengan demikian menjadi suatu keniscayaan. Dalam
perkembangan nya, riwayat dengan makna bukan hanya pada hadis fi’liyah Rasul.
Dalam periwayatan bi al-ma’na kondisi dan situasi sahabat yang melihat
atau mengetahui hadis dimaksud memberikan kontribusi terhadap rinci atau detail
hadis yang disampaikan. Misalnya, ketika sahabat menyampaikan secara lisan
tentang tata cara Rasul melakukan salat, terdapat beberapa riwayat ada yang
sangat rinci ada yang hanya garis besarnya.
Berbeda
kondisinya
dengan periwayatan bi al-ma’na pada hadis qauliyah
Rasulullah.
Terdapat
perbedaan
para muhaddiṡin dalam kebolehannya.[44] Ada beberapa ketentuan yang ditetapkan pada
periwayatan bi al-ma’na, yaitu:[45]
a.
Periwayat benar-benar memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang memadai, sehingga dapat terhindar dari kekeliruan
atau salah makna.
b.
Hanya dilakukan ketika terpaksa
misalnya, karena lupa susunan lafalnya yang sebenarnya.
c.
Ketika meriwayatkan hadis secara makna,
atau ketika mengalami keraguan akan susunan matn hadis yang diriwayatkan,
menambahkan dengan kata “aw kama qala” atau yang semaknan dengan itu.
Ada juga yang
memberikan persyaratan bahwa periwayatan dengan makna tidak diberlakukan pada
hadis yang berbentuk sabda (qauliyah) dalam kategori jawami’u
al-kalim (ungkapan pendek tetapi sarat makna), seperti “al-harb Khud’ah”
(perang itu siasat) [46]
atau sabda yang disampaikan secara berulang dua atau tiga kali [47]
dan hadis dalam do’a, zikr dan bacaan dalam ibadah. [48]
Dikaitkan dengan pemeliharaan hadis, kelompok
yang melarang periwayatan dengan makna karena mengundangnya munculnya taḥrif
wa tabdil yang menyebabkan perubahan sebagian maknanya. Sementara kelompok yang membeolehkan lebih
pada memberikan kemudahan dan keringanan dalam menyampaikan hadis, namun tetap
harus memperhatikan ketentuan agar tidak terjadi kesalahan makna, atau makna
yang tidak sesuai dengan maksud Rasulullah.
[7] Bahkan
terdapat beberapa riwayat tentang tindakan Umar bagi sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis, seperti
[8] Muslim, op.cit.,
juz 1, h. 11 Dan al-hakim
al-Naisaburi, al-Mustad-rak al-Sahihain fi al-Hadis, juz 1, Beirut: Dar
al-Fikr, 1398, h. 112
[17] Mãlik bin Anas,
Muwaṭṭa’, h. 317-318, Abū Dāud, juz 3, h. 121-122, al-Turmuẓi, juz 3, h. 283-284 hadis nomor 2182 dan 2183
[19] al-Bukhãri, op.cit., juz 4, h. 89, Muslim, op.cit., juz 2, h. 262- 263, al-Turmuẓi, op.cit., juz
4, h. 157, Abū Dāud, op.cit.,, juz 2, h. 637, Ibn Mãjah, op.cit., juz 2, h. 1221, al-Dãrimi, op.cit., juz 1, h. 274, Aḥmad ibn Ḥanbal, op.cit., juz 4, h. 400, 403, 410, dan 418 lihat juga
Muhammad Musṭafa al-Sibã’i, sunnah wa ..., op.cit., h. 69
[29] Salahuddin
Ibnu Ahmad al-Adabi , Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulamã- al-Hadis al-Nabawi, Beirut,
Dãr al-Afãq al-Jadidah, 1403/1983,
h. 108-144
[30] al- Bukhãri, op.cit.,
juz I, h. 502, Muslim, op.cit., juz 2, h. 638-642, Abū Dāud,op.cit.,
juz 3, h. 194, al-Turmuẓi, op.cit., juz 2, h. 235-236, al-Nasã'i, op.cit., juz 4, h. 15- 16,
Ibn Mãjah, op.cit., juz 1, h. 508, dan Aḥmad ibn Ḥanbal, op.cit., juz 1, h. 26 dan 28.
[32] Al-Bukhãri, loc.cit.,
Muslim, op.cit., juz 2, h.
642-643, al-Turmuẓi, op.cit., h. 236- 237, Abū Dāud, op.cit., juz 3, h. 194, al-Nasã'i, op.cit., juz 4, h. 17-19, dan Malik bin Anas, op.cit.,
h. 143.
[34] Muslim, juz 1, op.cit.,
h. 269, hadis nomor 80, 81; Abū Dāud, op.cit., juz 1, h. 56, hadis nomor 217, Ibn Mãjah, op.cit.,
juz 1, h. 199, hadis nomor 607
[35] Muslim, ibid.,
h. 272, hadis nomor 88, al-Turmuẓi, juz 1, h. 73,
hadis nomor 108 dan 109, Abū Dāud, ibid., h. 56, hadis nomor 216, Ibn Majah, op.cit.,
juz 1, h. 199, hadis nomor 608
[37] Muslim, op.cit.,
juz 1, h. 280 (2 hadis), Abū Dāud, op.cit.,
juz 1, h. 87-88 (2 hadis), al-Nasã’i, op.cit., juz 1, h. 165-166, 168-169,
170-171 (3 hadis), Aḥmad ibn Ḥanbal, juz 1, h. 78, juz 6, h. 146, 264, 265, dan 319
[40] Khaṭîb al-Baġdãdi, Rihlah
h. 75 bandingkan dengan Abu ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum
al-Hadis, Kairo: Maktabat al-Mutanabbi, t.t., h. 7-8
[43] Muslim, Şaḥîḥ Muslim, juz 1,
h. 408, Abū Dāud, Sunan Abu Dãud, juz 1, h. 259, al-Nasã’i, Sunan al-Nasã’i, juz 3, h. 31.
[44] Hal itu
disebabkan karena sebagian
besar sahabat memper-bolehkannya, hanya sebagian kecil
saja yang tidak memperboleh-kannya.
Mereka adalah ‘Ali bin Abi Ṭalib, ‘Abdullah bin
‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairah dan
‘Aisyah. Hanya sebagian kecil sahabat yang tidak memperboleh kannya seperti, ‘Umar
bin Khaṭṭab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Arqamn lihat Ajjaj al-Khatib, sunnah
op.cit., h. 126-128 dan h. 130-132
[45] Ibid., h.
129-143, dan al-Suyuṭi. Tadrib
al-Rawi, fi Syarḥ Taqrib al-Nawawi, Beirut, Juz 2, h. 96-103 dan
bandingkan dengan Muhammad Thahir al-Jawwabi, Juhud al-Muḥaddiṡin fi Naqd Matn
al-Ḥadiṡ al-Nabawi al-Syarif, t.t., h. 225-226
[48] Meskipun ada
keharusan untuk menyampaikannya secata lafal, namun dalam kenyataannya masih
ditemukan hadis tersebut dalam ungkapan yang berbeda-beda, lihat Syams al-Din
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Muḡiṡ Syarḥ Alfiyah al-Ḥadḯṡ al-‘Iraqi, Madinah: al-Maktabat al-Salafiyah, 1968, h.
214.