Selasa, 20 September 2016

CARA SAHABAT MEMELIHARA HADIS RASUL PASCA WAFATNYA RASULULLAH

                CARA SAHABAT MENJAGA HADIS/SUNNAH  SETELAH RASUL WAFAT
 Kebijakan Khalifah dalam Pemeliharaan Hadis
Setelah Rasulullah meninggal dunia, hadis Rasulullah yang disampaikan dengan cara verbal semakin banyak karena hadis fi’liyah dan taqrir Rasulllah, yang sebelumnya hanya diikuti saja oleh sahabat, kemudian untuk memberikan penjelasan kepada sahabat kecil dan tabi’in hadis fi’liyah tersebut harus diverbalkan. 
1)   Kondisi Hadis Rasulullah Pada Masa Sahabat
Kondisi Hadis di masa sahabat menuntut adanya verbalisasi hadis fi’liyah dan taqririyah.  Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada kondisi yang seperti ini:
a.    Hadis yang hanya mengenai dan hanya diketahui oleh sahabat tertentu pada masa ini kemungkinan akan disampaikan untuk menjawab masalah yang sama.
b.   Penyampaian hadis qauliyah Rasul selalu diupayakan oleh sahabat sesuai dengan lafal yang disampaikan oleh Rasul.[1] Bahkan dalam hal ini Umar pernah menyampai kan: Barang siapa yang mendengar hadis dari Nabi kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang didengarnya orang itu selamat.[2] Namun, penyampaian hadis secara makna tidak dapat dihindari oleh sahabat yang melihat kejadian di zaman Rasul, namun tidak dapat menyampaikan secara lafaz
c.    Penyampaian hadis fi’liyah Rasul. Pada masa sahabat hadis fi’liyah tidak hanya disampaikan secara fi’liyah, tetapi juga secara verbal. Hal itu disebabkan suatu keniscayaan sahabat untuk  menceritakan cara Rasul melakukan sesuatu. Realitas ini tentu saja akan berdampak pada perbedaan versi antara sahabat yang satu dengan yang lain. Ada sahabat yang  dapat menyampai kan secara rinci dan sesuai dengan perbuatan Rasulullah,  akan tetapi mungkin juga ada sahabat yang hanya menangkap hal yang sangat umum atau penting saja.
d.   Penyampaian Hadis Rasulullah yang berbentuk dialog antara Rasul dengan sahabat, pada masa ini disampaikan oleh sahabat secara verbal dengan versi masing-masing.
Kenyataan sejarah yang disebutkan di atas membuka peluang terhadap adanya hadis Rasul yang disampaikan sahabat tidak seperti ketika mereka menerimanya.  Hal itu disebabkan beberapa faktor yang berimplikasi pada keharusan menjaga kemurnian hadis Rasul.  Hal itu terlihat dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah dalam menjaga hadis Rasul.

2)   Upaya Khalifah Rasyidin menjaga Hadis Rasulullah
Setelah Rasulullah meninggal dunia, upaya yang sangat luar biasa dilakukan sahabat untuk menjaga dan memelihara hadis Rasul,  dan berpegang teguh dengan hadis Rasul. Ada beberapa cara yang dilakukan:
1.   Hati-hati dalam menyampaikan hadis
Bentuk kehati-hatian sahabat dalam menyampaikan hadis Rasul terlihat pada ketentuan yang ditetapkan dan dijalankan oleh sahabat :
a.   Menyedikitkan (membatasi)  periwayatan Hadis
Setelah Rasulullah  SAW. wafat, Khalifah Rasyidin mengambil beberapa kebijakan untuk menjaga hadis Rasulullah.  Kebijakan  Khalifah Rasyidin berkaitan dengan ada’ (menyampaikan) hadis terlihat ketika kebijakan Khalifah agar tidak  menyampaikan hadis kecuali karena sangat dibutuhkan.[3] Menyedikitkan atau membatasi periwayatan dilakukan oleh Khalifah dalam upaya hati-hati menjaga atau memelihara hadis Rasulullah dan memberikan pembatasan dalam periwayatan agar orang tidak menyampaikan sunnah yang bukan sunnah. [4] Banyak meriwayatkan hadis dihawatirkan akan mengarah pada periwayatan hadis tidak seperti yang diterima dari Rasul dan banyak menyampaikan hadis akan membuka peluang terjadinya kesalahan dalam periwayatan.
Pada masa khalifah ‘Umar, beliau dapat menjaga dan mengarantina para sahabat yang masih hidup di masanya untuk tidak keluar Madinah, kecuali untuk kemasalahatan.[5] Dikaitkan dengan penjagaan hadis dan penyedikitan periwayatan hadis yang menjadi kebijakan khalifah, karantina sahabat berimplikasi pada tidak banyak hadis yang diriwayatkan, dan memudahkan khalifah mengontrol kegiatan periwayatan.
Umar mempunyai kebijakan untuk menyedikitkan periwayatan dengan alasan agar tidak terjadi kesalahan dan keraguan dalam periwayatan.[6] 
Sahabat yang masih hidup di zaman ‘Umar sangat memperhatikan anjuran ‘Umar untuk tidak menyampaikan hadis secara besar-besaran.[7] Menyedikitkan periwayatan bukan berarti tidak meriwayatkan hadis, tetapi hanya menyampaikan hadis apabila diperlukan dan ada sahabat atau tabi’in yang bertanya. karena banyak bicara akan ada kemungkinan menimbulkan kesalahan. Umar mengemuka kan: “telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan semua yang ia dengar” [8]
Sahabat lain yang terkenal dalam hal penyedikitan riwayat selain Abu Bakar dan Umar adalah ‘Imran bin Ḫuṣain, Abu ‘Ubaidillah, dan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muṭalib.[9]
Ketika masa Usman bin ‘Affan (w. 35 H= 656 M), pada salah satu khutbahnya, disampaikan permintaan kepada sahabat untuk tidak menyampaikan hadis yang tidak pernah didengar pada masa AbuBakar dan ‘Umar.[10]  Namun, sahabat sudah bersebaran ke berbagai kota, sehingga penyebaran hadis pun semakin marak terutama para sahabat kecil yang menginginkan hadis yang pernah didengar oleh sahabat besar.
Khalifah Usman tidak dapat membendung perpindahan Sahabat ke berbagai wilayah.  Penyebaran sahabat karena dorongan berbagai aspek misalnya ekonomi, sosial dan politik akhirnya berdampak terhadap penyebaran hadis.  Jika pada masa Khalifah Umar, khalifah dapat mengontrol penyebaran hadis, maka pada Khalifah Usman hal itu sulit dilakukan.
Ali bin Abi Ṭalib mempunyai kebijakan yang sama dengan Abu Bakar, Umar dan Usman, namun dalam kenyataannya di tataran aplikasi terdapat perbedaan. Pada masa Khalifah Ali sudah terjadi periwayatan secara massif.
b.   Menggunakan kata khusus
Bentuk lain dari kehatian-hatian sahabat dalam menyampaikan hadis yaitu dengan mengikutkan kata aw kama qala pada hadis Rasulullah, ketika ada kekhawairan lafalnya tidak sama dengan ucapan Rasul. Hal itu dilakukan karena khawatir terjadi pembohongan terhadap Rasul.[11]  Langkah ini diambil oleh sahabat dalam menjaga hadis sesuai dengan yang disampaikan Rasul.  Penggunaan kata aw kama qala, bukan karena keraguan, akan tetapi lebih pada kehati-hatian agar jangan sampai terjadi  perbedaan hadis yang disampaikan Rasul dengan yang disampaikan sahabat. Contoh:
...قال ٱودون ذلك ٱوفوق ذلك ٱو قريبا من ذلك ٱو شبيهابذلك [12]
ٱو كما قال رسول الله
  Ada juga yang menggunakan kata aw qala, seperti dalam hadis berikut:
[13] ٲوقالها رسول الله 
Bahkan ada yang menggunakan kata aw misluh aw nahuh aw Syabih bih, dam hakaza, aw nahuh hakaza aw nahuh seperti dalam hadis berikut:
كان ابوالدرداء اذاحدث بحديث عن رسول الله قال هذا ونحوه ٲو شبه اوشكله  [14]
Dari beberapa contoh di atas, tingkat kehati-hatian dalam menyampaikan hadis oleh para periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis sangat tinggi.
2.   Berhati-hati dan ketat dalam menerima hadis [15]  
Dalam menerima hadis yang diriwayatkan sahabat lain, terutama hadis yang sebelumnya tidak pernah didengar, sahabat menggunakan cara:
a.     Meminta mendatangkan saksi
Abu Bakar Ṣiddiq (w. 13 H = 634 M) minta saksi terhadap hadis yang diterima dan sebelumnya ia tidak pernah mendengarnya langsung dari Rasulullah.[16]  Hal itu  terlihat dalam  hadis tentang kewarisan nenek. Ketika Abu Bakar didatangi nenek yang menanyakan tentang hak warisnya dari cucunya yang meninggal dunia. Abu Bakar menjawab tidak menemukan ayat tentang kewarisan nenek dan ia tidak mengetahui Rasul pernah memutuskan waris untuk nenek.
Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada Sahabat lain, al-Mughirah bin Syu’bah (w.55 H) kemudian berkata bahwa Rasulullah pernah memberikan hak waris kepada nenek 1/6 bagian. Lalu Abu Bakar menanyakan apakah ada sahabat lain yang bersamanya, kemudian Muhammad bin Maslamah (w. 46 H) bersaksi  memang seperti itu.  Abu Bakar akhirnya membagikan hak 1/6 kepada nenek tersebut.[17]
Kehati-hatian Umar dalam menerima riwayat ditunjukkan dalam beberapa periwayatan yang tidak beliau dengar sebelumnya. ‘Umar menggunakan saksi dan sumpah untuk menerima hadis dari sahabat lain.[18] Umar yang mendapatkan keterangan dari Abu Musa al-Asy’ari (w. 85 H.) ketika ia ingin beertamu dan ia kembali setelah salam 3 (tiga) kali.  Abu Musa  mengatakan bahwa Rasul bersabda jika kalian telah salam 3 (tiga) kali dan tidak ada jawaban maka kembalilah. [19] Ketika  Umar menanyakan tentang hadis tersebut kepada sahabat  lain,  ternyata berita yang disampaikan Abu Musa benar adanya. Hal itu dilakukan oleh Umar bukan karena tidak empercayai sahabat yang menyatakan hadis tersebut akan tetapi lebih pada bentuk kehati-hatian menerima hadis Rasul.
b.     Meminta sumpah [20]
Ali sebagai Khalifah mempunyai kebijakan yang sama dengan Abu Bakar dan Umar. Ketika Ali menerima hadis dari Asma’ bin Hakam al-Fazzari, Ali memintanya bersumpah, tetapi ketika menerima hadis dari Abu Bakar, Ali langsung menerima tanpa penguat. [21] Hal ini dilakukan Ali ketika menerima  hadis tentang ma min ‘abdin yaznibu zanban summa yatawaḍḍa’a wa yuṣalla rak’atain summa yastaghfirullah illa ghaffarallahu lahu. [22]
Permintaan penguat sumpah ini diberlakukan Ali terhadap sahabat tertentu untuk meyakinkan ‘Ali tentang kebenaran berita yang diterimanya.
c.      Penerimaan Tanpa syarat untuk sahabat tertentu
Saksi dan sumpah tidak selalu diminta para Khalifah, karena dalam banyak riwayat, mereka tidak memberikan syarat untuk menerima atau mangamalkan hadis Rasulullah.  Mulai dari Abu Bakar, yang pernah memutuskan suatu perkara, kemudian Bilal (w. 20 H) memberi tahu bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara yang sama dengan putusan yang beda dengan keputusan Abu Bakar, akhirnya Abu Bakar memakai hadis yang diterima dari Bilal.[23] Di sini Abu Bakar tidak meminta penguat bagi keterangan Bilal.
Begitu juga Umar, ketika memutuskan diyat untuk ibu jari 15 ekor unta, sementara telunjuk 10 unta, jari tengah 10 ekor unta, jari manis 9 ekor unta dan kelingking 6 ekor unta.  Setelah mendengar Sabda Rasul yang diungkap oleh ‘Amru bin Hazm (w. 51/2/3 H. ) dari Ibn Abbas, bahwa Rasul menetapkan diyat untuk masing-masing jari 10 ekor unta,[24] akhirnya Umar memutuskan berdasarkan hadis Rasul, masing-masing jari diyatnya 10 ekor unta.
Bahkan, Umar pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika mendengar hadis yang disampaikan oleh al-Ḍahhak bin Sufyan secara ahad.[25]  Umar tidak meminta saksi atau sumpah dari sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut.
d.     Melarang menyampaikan hadis melebihi kemampuan pemahaman umat
Untuk mencapai pemahaman yang benar tentang hadis Rasul yang disampaikan, sahabat juga memperhatikan kemampuan sahabat dalam menerima hadis.  Hal itu diwarisi dari cara Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam yang selalu memperhatikan kemampuan umat dalam menerima. Oleh karena itu, Ali menyatakan:
....حدثواالناس بما يعرفون اتحبون ان يكذب الله ورسسوله    [26]
Ali berkata: “.... sampaikanlah hadis kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka. Apakah kalian suka jika mereka kemudian membohongi Allah dan Rasulnya...” 
Pernyataan Ali di atas memberikan pemahaman kepada penyampai hadis, bahwa ketika mengabaikan batas kemampuan penerima hadis maka dampaknya adalah apa yang disampaikan akan dianggap sebagai kebohongan. Kemungkinan lain, penerima hadis akan mendustakan ajaran Islam ketika mereka sulit menerima pesan yang disampaikan.  
3.   Melakukan Kritikan Matan
Bentuk lain yang dilakukan oleh sahabat dalam menjaga hadis Rasulullah adalah dengan cara kritik matan (naqd matan). Pada masa ini, sahabat tidak melakukan kritik sanad, seperti yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Sirin: ”Mereka (sahabat) tidak pernah menanyakan tentang sanad hadis, tetapi setelah terjadi fitnah, mereka berkata: sebutkan siapa periwayat (yang kamu ambil hadis darinya) kepada kami, maka hadis ahli sunnah diterima dan hadis dari ahli bid’ah ditolak.[27]  Kritikan redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah dilakukan sejak awal sekali, sahabat telah melakukan pengujian-pengujian terhadap hadis Rasulullah.
Dari beberapa kasus yang termuat dalam beberapa riwayat, terlihat bahwa pengujian hadis yang dilakukan sahabat adalah dengan al-Qur’an serta hadis-hadis yang lebih kuat dan masyhur yang terkadang diperkuat dengan argumen rasioanal dalam bentuk analogi.
Pengujian hadis dengan al-Qur’an, pernah dilakukan oleh Aisyah terhadap hadis yang sedang disampaikan oleh Rasulullah sendiri. Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang dihisab pasti akan diazab”. Aisyah menyela: “Bukankan Allah telah berfirman: “Mereka (orang beriman) akan dihisab dengan hisab yang sangat mudah (al-Insyiqaq: 8).” Rasul lalu bersabda kembali: “Itu hanya sepintas, tetapi orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara.[28]
Ada beberapa orang sahabat yang melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain.[29] Mereka antara lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Ṭalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah ibn ‘Abbas. Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian terhadap hadis ini, yang paling intens adalah ‘Aisyah. Beberapa hadis yang dikritik oleh Aisyah antara lain adalah riwayat Abu Hurairah, riwayat Umar bin Khatab, Ibnu Umar dan Jabir.  Di antara riwayat tersebut adalah:

a.    Riwayat Abu Hurairah tentang sabda Nabi:
 “Seorang mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya yang masih hidup”.[30]
Riwayat Abu Hurairah ini diuji oleh Aisyah dengan firman Allah: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (Q.S. al-An’am: 164). Karena itu Aisyah menolak riwayat yang dikemukakan oleh Abu Hurairah tersebut.[31] ‘Aisyah kemudian menjelaskan maksud hadis :
سَمِعَتْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنَّمَا مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ يَبْكِي عَلَيْهَا أَهْلُهَا فَقَالَ إِنَّهُمْ لَيَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا لَتُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا  [32]
‘Aisyah isteri Rasul menjelaskan bahwa hadis tersebut berkaitan dengan satu keluarga yang menangisi anggota keluarganya yang meninggal dunia ketika Rasul melewati kampung Yahudi, lalu Rasul menyampaikan bahwa mereka (baca: keluarga) menangisi yang meninggal, sementara yang meninggal sedang diazab di dalam kuburnya.
b.   Riwayat Abu Hurairah: “Barang siapa yang tidak melaksanakan witir, maka tiada salat baginya”. Pada riwayat ini Aisyah tidak mengujinya dengan al-Qur’an tetapi mengujinya dengan riwayat yang lebih masyhur yang menyatakan Şalat wajib lima kali sehari. Seandainya riwayat ini benar, tentu Şalat yang diwajibkan adalah enam kali.[33]
c.    Riwayat Jabir bin ‘Abdillah yang meriwayatkan hadis “innama al-ma’ bi al-ma’” dengan tidak wajib mandi bagi pasangan suami istri yang bersetubuh jika tidak sampai mengeluarkan mani. Memang ada beberapa riwayat selain Jabir yaitu riwayat Abu Sa’id al-Khudri yang menyatakan Rasulullah bersabda: “(Kewajiban mandi dengan) air diakibatkan (karena keluarnya) air (mani).”[34].  Namun bukan seperti yang disampaikan Jabir, Hadis ini bermakna bahwa keluarnya mani baik karena setubuh atau bukan menyebabkan seseorang wajib mandi.
Riwayat Jabir juga diuji oleh Aisyah dengan sabda Nabi yang lain: “Bila suatu alat kelamin telah melampaui kelamin lainnya (bersetubuh), maka telah wajib mandi.”[35] Aisyah pun memperkuat dengan argumen dalam bentuk pertanyaan: “Apakah hal itu (bersetubuh tanpa mengeluarkan air mani) yang mewajibkan rajam, tetapi tidak mewajibkan mandi?” [36]
Pertanyaan yang diajukan oleh ‘Aisyah merupakan keritik matan hadis sehingga dapat membawa pada pemahaman yang benar dengan mengumpulkan beberapa hadis terkait.
4.   Pemahaman terhadap hadis
Dalam menjaga hadis dari aspek pemahamannya, ada dua bentuk yang akan dikemukakan:
a.   Menghindari Kesalahpahaman
Seperti halnya di zaman Rasul, yang meminta agar Mu’az bin Jabal tidak menyampaikan hadis Rasul karena kekhawatiran hilangnya gairah beribadah, ‘Umar juga meminta agar ‘Ammar bin Yasir tidak sering menyampaikan hadis taqririyah tentang mereka berdua mengenai tata cara tayammum penggati mandi janabah.[37] Meskipun Rasulullah tidak menyalahkan tindakan ‘Ammar bin Yasir berguling-guling di pasir ketika tidak ada air untuk mandi. Rasul juga tidak menyalahkan Umar yang tidak melakukan  salat sebelum ditemukan air untuk mandi besar.
Namun, Umar selalu tidak suka dan menyampaikan agar taqrir tentang Ammar bin Yasir tersebut tidak disampaikan kepada umat Islam.  Umar khawatir akan  berimplikasi pada terjadinya memudah-mudahkan (simplikasi)  masalah.
b.   Meluruskan Pemahaman
Semenjak empat belas abad lalu, sebenarnya ‘Aisyah sudah melakukan konfirmasi dalam meluruskan pemahaman terhadap hadis Rasululah. Hal itu terlihat pada hadis tentang hal yang dapat memutuskan salat seseorang.
Urwah bin Zubair mengisahkan konfirmasi Aisyah ini ketika ia meriwayatkan dari beliau. "Apa saja yang dapat memutuskan shalat seseorang?" Kami menjawab, "Perempuan dan keledai." Ia mempertanyakan, "Jadi, kalau begitu, perempuan adalah binatang buruk. Tahukah kalian bahwa aku pernah berbaring melintang di hadapan Rasul SAW. seperti melintangnya jenazah dan beliau sedang shalat?"[38]
Dalam riwayat lain kritiknya tampak lebih jelas, "Kalian telah menyamakan kami dengan keledai dan anjing. Demi Allah, aku telah melihat Rasulullah SAW. shalat dan aku berbaring di atas tempat tidur, posisiku adalah di antara beliau dan kiblat."
Hal ini membuat Aisyah r.a. tidak memakai hadis ini karena menurutnya bertentangan dengan hadis yang lebih kuat dari hadis Abu Hurairah yang terdahulu, khususnya ia sendiri yang mengalami peristiwa itu. Imam Nawawi berkata, "Aisyah dan para ulama sesudahnya berargumentasi bahwa wanita tidak termasuk faktor yang memutuskan shalat seorang lelaki. Hadis ini menunjukkan bolehnya seseorang shalat dan ketika ada wanita lewat di depannya."[39]
Pelurusan pemahaman tersebut dilakukan oleh ‘Aisyah dalam rangka menjaga agar pesan Rasul tersebut tidak disalahpahami oleh umat Islam dan tidak memberikan kesan ketidakadilan pada perempuan.
5.   Melakukan rihlah
Waktu Rasulullah, sahabat memelihara hadis dengan cara melakukan konfirmasi atau klarifikasi kebenaran hadis kepada Rasul, pada masa sahabat konfirmasi dan klarifikasi tetap dilakukan dengan cara konfirmasi atau klarifikasi kepada sahabat yang sama-sama pernah mengetahui hadis tersebut dari Rasulullah. Dengan cara ini, sahabat bepergian untuk satu hadis dalam rangka cek ulang (taṡabut) tentang hapalannya.
Realitas yang ada misalnya ketika Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H) melakukan perlawatan ke ‘Uqbah bin ‘Amr (w.40 H) untuk menanyakan tentang hadis yang didengarnya dari Rasul dan tidak ada yang tinggal kecuali mereka berdua. Lalu ketika sampai di Mesir, di tempat Maslamah (penguasa Mesir), dan setelah mendengar dari ‘Uqbah, ia kemudian kembali ke Madinah.[40]  Perlawatan yang dilakukannya dari Madinah ke Mesir dalam upaya menjaga hadis Rasulullah dengan melakukan cek ulang. Cek ulang ini akan memberikan keyakinan tentang kebenaran hadis yang dulu pernah didengarnya dari Rasulullah.
Pengecekan pun dilakukan oleh ‘Aisyah, ia sampai menyuruh ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan hadis yang sama dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ yang sedang menunaikan ibadah haji pada dua kali musim haji. ‘Aisyah kemudian menyatakan bahwa ‘Abdullah telah hapal hadis itu.[41] Bahkan Jabir bin ‘Abdullah melakukan perlawatan dari Madinah ke Syam menunggang unta, selama satu bulan perjalanan untuk mendapatkan satu hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umays. [42] Realitas sejarah ini menunjukkan bagaimana sahabat sangat berhati-hati dalam menerima riwayat.
6.   Melakukan koreksian terhadap pelaksanaan hadis fi’liyah
Seperti yang terjadi di zaman Rasul, sahabat juga memperhatikan dan mengoreksi praktek tabi’in tentang hadis fi’liyah  Rasul, seperti yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73 H/692 M) terhadap tata cara salat ‘Ali ibn ‘Abd al-Rahman setelah mereka selesai melakukan salat.[43] Koreksian tersebut dilakukan untuk meluruskan praktek salat ‘Ali ibn ‘Abd al-Rahman yang tidak sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan Rasul.  Penjagaan terhadap hadis fi’liyah terlihat dari fokus pada praktek umat Islam waktu itu. 
7.   Memperketat periwayatan bi al-ma’na
Pada masa ini ada dua bentuk periwayatan yang berkembang yaitu periwayatan bi al-lafẓi (dengan lafal) dan periwayatan bi al-ma’na (dengan makna) Meskipun para sahabat telah melakukan pemeliharaan terhadap hadis, adanya realitas hadis selain qauliyah Rasul (fi’liyah, taqririyah, dan ihwal) yang disampaikan secara qauliyah, tentu saja ada konsekwensi logis yang muncul. Fenomena ini tentu saja berimplikasi pada periwayatan bi al-ma’na (dengan makna), karena sahabat sebagai saksi mata fi’liyah atau taqririyah atau ihwal Rasul menyampaikan hadis dimaksud dengan rumusan kalimat sahabat masing-masing.
Periwayatan bi al-ma’na terutama pada hadis fi’liyah, taqririyah atau ihwal Rasul dengan demikian menjadi suatu keniscayaan. Dalam perkembangan nya, riwayat dengan makna bukan hanya pada hadis fi’liyah Rasul. Dalam periwayatan bi al-ma’na kondisi dan situasi sahabat yang melihat atau mengetahui hadis dimaksud memberikan kontribusi terhadap rinci atau detail hadis yang disampaikan. Misalnya, ketika sahabat menyampaikan secara lisan tentang tata cara Rasul melakukan salat, terdapat beberapa riwayat ada yang sangat rinci ada yang hanya garis besarnya. 
Berbeda kondisinya dengan periwayatan bi al-ma’na pada hadis qauliyah Rasulullah. Terdapat  perbedaan para muhaddiṡin dalam kebolehannya.[44]  Ada beberapa ketentuan yang ditetapkan pada periwayatan bi al-ma’na, yaitu:[45]
a.      Periwayat benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang memadai, sehingga dapat terhindar dari kekeliruan atau salah makna.
b.     Hanya dilakukan ketika terpaksa misalnya, karena lupa susunan lafalnya yang sebenarnya.
c.      Ketika meriwayatkan hadis secara makna, atau ketika mengalami keraguan akan susunan matn hadis yang diriwayatkan, menambahkan dengan kata “aw kama qala” atau yang semaknan dengan itu.
Ada juga yang memberikan persyaratan bahwa periwayatan dengan makna tidak diberlakukan pada hadis yang berbentuk sabda (qauliyah) dalam kategori jawami’u al-kalim (ungkapan pendek tetapi sarat makna), seperti “al-harb Khud’ah” (perang itu siasat) [46] atau sabda yang disampaikan secara berulang dua atau tiga kali [47] dan hadis dalam do’a, zikr dan bacaan dalam ibadah. [48]
Dikaitkan dengan pemeliharaan hadis, kelompok yang melarang periwayatan dengan makna karena mengundangnya munculnya taḥrif wa tabdil yang menyebabkan perubahan sebagian maknanya.  Sementara kelompok yang membeolehkan lebih pada memberikan kemudahan dan keringanan dalam menyampaikan hadis, namun tetap harus memperhatikan ketentuan agar tidak terjadi kesalahan makna, atau makna yang tidak sesuai dengan maksud Rasulullah.


[1] Khaîb al-Baġdadi, al-Kifayah Ilm al-Riwãyah, Dar al-Kutub al-Hadis 1972, h.126
[2] Al-Rawãhurmuzi, al-Muhaddis al-Faşil bain a;-Rãwi wa al-Wa’i, Dar al-Fikr, 1984, h. 127
[3]  Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib,uul op.cit., h. 84
[4] Ajjãj al-Kaîb,  ibid., dan  Khaîb al-Baġdadi manhaj Umar, h. 98
[5] Mustafa al-Siba’i, sunnah wa makãnatuhã, h. 74
[6]ibid
[7] Bahkan terdapat beberapa riwayat tentang tindakan Umar bagi sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, seperti   
[8] Muslim, op.cit., juz 1, h. 11  Dan al-hakim al-Naisaburi, al-Mustad-rak al-Sahihain fi al-Hadis, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1398, h. 112
[9] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun, Mesir: Maba’ah Mesir, t.t., h. 66
[10] Al-Khaîb al-Baġdadi, Rihlah h. 97-98
[11] Mustafa al-Siba’i,  sunnah wa makãnatuhã, op.cit., h. 66
[12] Ibn Mãjah juz 1, h. 11 hadis nomor 23, 24 dan Amad ibn anbal juz 6, h. 46
[13] Al-Dãrimi, juz 1, op.cit., h. 77
[14] Ibid., h. 83 dan 84 Sunan al-Baihaqi juz 1, h. 11
[15] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, uul,  op.cit., h. 88 -92
[16] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, ibid., h. 89
[17] Mãlik bin Anas, Muwaṭṭa’, h. 317-318, Abū Dāud, juz 3, h. 121-122, al-Turmui, juz 3, h. 283-284 hadis nomor 2182 dan 2183
[18] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, op.cit.., h. 91
[19] al-Bukhãri, op.cit., juz 4, h. 89, Muslim, op.cit., juz 2, h. 262- 263, al-Turmui, op.cit., juz 4, h. 157,  Abū Dāud, op.cit.,, juz 2, h. 637, Ibn Mãjah, op.cit., juz 2, h. 1221, al-Dãrimi, op.cit., juz 1, h. 274, Amad ibn anbal, op.cit., juz  4, h. 400, 403, 410, dan 418 lihat juga Muhammad Musafa al-Sibã’i, sunnah wa ..., op.cit., h. 69
[20]  Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, op.cit.,  91
[21] Musafa al-Siba’i, sunnah wa, h. 73, ibid
[22] Ibid., h. 70
[23] Muhammad Mustafa al-Siba’i,ibid., h. 73
[24] al-Bukhãri, op.cit., juz 4, h. 2754
               [25] Muhammad Adib Şalih, Lamahãt fi Uşul al-Hadis, Beirut, al-Maktabat al-Islãmi, 1399 H., h. 99-100.
[26] Al-Bukhari, op.cit., juz 1,  h.68
[27] Muslim, op.cit,  juz 1, h. 15  
[28] Abd al-Bãqi: Al-Lu’lu’ wa al-Marjãn, Dãr al-Fikri, Beirut, t.t. juz 3. h. 299
[29] Salahuddin Ibnu Ahmad al-Adabi , Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulamã- al-Hadis al-Nabawi, Beirut, Dãr al-Afãq al-Jadidah,  1403/1983, h. 108-144
[30] al- Bukhãri, op.cit., juz I, h. 502, Muslim, op.cit.,  juz 2, h. 638-642, Abū Dāud,op.cit., juz 3, h. 194, al-Turmui, op.cit.,  juz 2, h. 235-236,  al-Nasã'i, op.cit., juz 4, h. 15- 16, Ibn Mãjah, op.cit., juz 1, h. 508, dan Amad ibn anbal, op.cit.,   juz 1, h. 26 dan 28.
[31] Salãhuddin Ibnu Ahmad al-Adabi, op.cit.,  h. 113-116.
[32] Al-Bukhãri, loc.cit., Muslim, op.cit.,   juz 2, h. 642-643, al-Turmui, op.cit.,   h. 236- 237, Abū Dāud, op.cit.,   juz 3, h. 194,  al-Nasã'i, op.cit.,   juz 4, h. 17-19, dan Malik bin Anas, op.cit., h. 143.
[33] Salahuddin Ibnu Ahmad al-Adabi, op.cit.,  h. 117
[34] Muslim, juz 1, op.cit., h. 269, hadis nomor 80, 81; Abū Dāud, op.cit., juz 1,  h. 56, hadis nomor 217, Ibn Mãjah, op.cit., juz 1, h. 199, hadis nomor 607
[35] Muslim, ibid., h. 272, hadis nomor 88, al-Turmui, juz 1, h. 73, hadis nomor 108 dan 109, Abū Dāud, ibid.,  h. 56, hadis nomor 216, Ibn Majah, op.cit., juz 1, h. 199, hadis nomor 608
[36] Salãhuddin Ibnu Ahmad al-Adabi, op.cit.,  h. 128-129
[37] Muslim, op.cit., juz 1,  h. 280 (2 hadis),  Abū Dāud, op.cit., juz 1,  h. 87-88 (2 hadis), al-Nasã’i, op.cit., juz 1, h. 165-166, 168-169, 170-171 (3 hadis), Amad ibn anbal, juz 1, h. 78, juz 6, h. 146, 264, 265, dan 319
[38] Al-Bukhari, juz 1, h. 179, no. hadis 514; Muslim, juz 1, h. 366, no. hadis 269
[39] Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 4, hlm. 475
[40] Khaîb al-Baġdãdi, Rihlah h. 75 bandingkan dengan Abu ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, Kairo: Maktabat al-Mutanabbi, t.t., h. 7-8
[41] Ibn al-Qayyim. Op.cit., juz 1, h. 52
[42] Ibid., h. 8-9, al-Bukhari, op.cit., juz 1, h. 25
[43] Muslim, Şaî Muslim, juz 1, h. 408, Abū Dāud,  Sunan Abu Dãud, juz 1, h. 259, al-Nasã’i, Sunan al-Nasã’i, juz 3, h. 31. 
[44] Hal itu disebabkan karena sebagian besar sahabat memper-bolehkannya, hanya sebagian kecil saja yang tidak memperboleh-kannya. Mereka adalah ‘Ali bin Abi alib, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairah dan ‘Aisyah. Hanya sebagian kecil sahabat yang tidak memperboleh kannya seperti, ‘Umar bin Khaṭṭab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Arqamn lihat Ajjaj al-Khatib, sunnah op.cit., h. 126-128 dan h. 130-132
[45] Ibid., h. 129-143,  dan al-Suyui. Tadrib al-Rawi, fi Syar Taqrib al-Nawawi, Beirut, Juz 2, h. 96-103 dan bandingkan dengan Muhammad Thahir al-Jawwabi,  Juhud al-Muaddiin fi Naqd Matn al-adi al-Nabawi al-Syarif, t.t., h. 225-226
[46] Lihat al-Bukhari, op.cit., juz 2, h. 176
[47] Ibid., juz 1, h. 29 dan juz 3, h. 317
[48] Meskipun ada keharusan untuk menyampaikannya secata lafal, namun dalam kenyataannya masih ditemukan hadis tersebut dalam ungkapan yang berbeda-beda, lihat Syams al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mui Syar Alfiyah al-adḯṡ al-‘Iraqi,  Madinah: al-Maktabat al-Salafiyah, 1968, h. 214.