HAID ATAU ISTIHDAH
Bagi perempuan yang belum monopause biasanya datang bulan (haid,menstruasi ) merupakan suatu keniscayaan. Setiap muslimah harus memahami apa yang harus dihindari selama masa haid dan apa yang harus dilakukan setelah haid selesai. Tidak menutup kemungkinan juga pada sebagian muslimah yang mengalami istihadah (pendarahan di luar haid) bagaimana menyikapinya berdasarkan tuntunan Rasulullah Saw.
A. Pengertian
Haid dalam bahasa Arab berarti mengalir. Secara terminologis, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita sehat dalam waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan karena penyakit.
B. Mulai Haid
Masing-masing wanita berbeda waktu mulai haid. Berdasarkan kebiasaan yang dialami oleh wanita, batas minimal biasa mulai haid pada umur 9 tahun. Ada juga yang mengalami haid pada umur 12, 15 dan bahkan 17 tahun.
C. Lama Haid
Batas minimal haid adalah satu hari satu malam dan maksimalnya 15 hari.[2] Sedangkan masa biasanya, seperti jawaban yang diberikan Rasul kepada Mihnah binti Jahsy: Jadikanlah masa haidmu 6 atau 7 hari dengan sepengetahuan Allah, kemudian mandilah dan laksanakan salat selama 24 hari atau 23 malam.[3] Bagi wanita yang sudah biasa haid, lama masa haidnya adalah masa haid biasa yang dialaminya.[4] Biasanya antara wanita satu dengan lainnya berbeda-beda. Mengetahui lama haid ini sangat penting, karena jika bisanya 5 hari misalnya, maka jika masih ada darah yang melebihi batas waktu biasa maka darah yang keluar bukan lagi darah haid, tetapi istihadah.
D. Akibat hukum Datangnya Haid
Setelah haid, wanita wajib mandi. Karena haid termasuk hadas besar. Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh wanita yang merasa sudah berhenti haid:
a. Meyakinkan haid sudah berhenti, dengan cara meletakkan kapas/kain pada liang vagina. Jka sudah tidak ada kotoran, maka sudah berhenti, seperti yang disabdakan Rasul ketika menjawab pertanyaan seorang wanita.[5]
b. Mandi dengan cara yang diajarkan oleh Rasul, yaitu dengan cara terlebih dahulu berwudhu' seperti layaknya wudhu mau salat, menyiramkan air ke kepala sampai basah akar rambut lalu menyiramkan ar ke seluruh tubuh, kemudian mengambil secarik kain dan membersihkan lubang vagina.[6]
E. Amalan yang Dilarang Bagi Wanita Haid
1. Mengerjakan salat, sabda Rasul kepada Fatimah binti Abi Jahsy "apabila haidmu datang, maka tinggalkanlah salat" [7] Salat yang ditinggalkan selama masa haid tidak perlu diqadha. Hadis dari 'Aisyah: Dahulu pada zaman Rasul jika kami haid diperintahkan untuk mengkadha puasa tapi tidak diperintahkan mengkadha salat.[8]
2. Mengerjakan puasa, berdasarkan hadis Rasul yang diriwayatkan oleh jama'ah di atas (wajib mengkadhanya di hari lain).
3. Membaca al-Qur'an. Sabda Rasul: Orang haid dan orang yang sedang junub tidak boleh membaca al-Qur'an.[9] Boleh melafalkan al-Qur'an yang dihafal (Maliki) atau belajar membaca al-Qur'an
4. Masuk mesjid, jika dikhawatirkan darah haid mengotori mesjid. Memang ada larangan Rasul kepada wanita haid dan yang junub untuk masuk mesjid.[10] Namun ada hadis lain dari 'Aisyah ketika disuruh Rasul mengambil sesuatu ke dalam mesjid dan ia sedang haid. Rasul menjelaskan: Haidmu bukan di tanganmu.[11]
5. Bersetubuh, didasarkan pada al-Qur'an surat al-Baqarah/2: 222. Dalam ayat ini, suami diperintah untuk menjauhi isterinya yang sedang haid sampai ia suci. Namun bukan dalam arti menjauh seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi sebelumnya. Mereka para suami tidak mau makan bersama dan tinggal bersama dalam satu rumah dengan isteri.[12] Dalam ayat ini yang dimaksudkan adalah bersetubuh, sesuai dengan sabda Rasul, ketika menjawab pertanyaan seorang sahabat apa yang bisa dilakukan ketika isteri sedang haid: Lakukan segalanya, kecuali jima' (bersetubuh).[13] Kemudian juga ada hadis lain yang membolehkan suami melakukan hubungan dengan isterinya di atas kain (fauq al-izar), Rasul memerintahkan untuk mengencangkan kain pada bagian pusat sampai ke lutut.[14] Jangan sampai terjadi jima'
6. Talak, suami dilarang menjatuhkan talak ketika isterinya sedang haid. Hal itu di dasarkan kepada Hadis sebagai respons terhadap kasus 'Abdullah bin 'Umar yang menceraikan isterinya ketika sedang haid. Rasul memerintahkan "Umar agar menyuruh ibn Umar kembali kepada isterinya sampai ia suci, haid dan suci kembali. Setelah itu, Ia boleh memilih apakah ia jadi mentalak atau tidak. Kalau mau mentalak, suami tidak boleh lagi berhubungan dengan isterinya.[15] Ada hukuman bagi suami yg menjatuhkan isteri ketika sdg haid, yaitu hrs hidup bersama tp tidak boleh kontak badan.
7. Tawaf, karena Rasul mengatakan kepada 'Aisyah: Jika kamu haid, maka lakukanlah amalan-amalan haji, tetapi jangan tawaf di Baitullah.[16] Ada perbedaan ulama ttg tawaf ifadah (rukun haji).
a. Jumhur ulama : wanita haid harus menunggu ia suci.
b. Mazhab Hanafi: jika khawatir akan ditinggal rombongan, wanita haid boleh tawaf tapi harus membayar dam (1 unta/sapi)
c. Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim (Mazhab Hanbali): jika pada waktu keberangkatan rombongan belum suci, wanita haid boleh tawaf dengan syarat: harus mandi terlebih dahulu, kemudian memakai pembalut yang dapat menjamin darah haid tidak akan tembus dan mengotori mesjid(tidak ada cara lain yang bisa dipilih).
F. Penundaan Haid
Di zaman modern, dunia medis menawarkan obat untuk menahan keluarnya haid, sehingga wanita dapat melaksanakan ibadah haji atau puasanya dengan penuh.
Tidak ada nash yang mengatur masalah ini, boleh atau tidak. Para ulama kontemporer, memberikan fatwa boleh bagi wanita yang khawatir ibadah puasa atau hajinya tidak sempurna untuk menunda waktu haidnya. Dengan alasan wanita itu akan mendapatkan kesulitan pada waktu haji (jika waktunya pas tawaf ifadhah), dan sulit untuk mengkadha puasanya. Di samping itu, penundaan haid itu tidak mendatangkan mudarat baginya.
MUI pada tahun 1984, dalam sidang komisi fatwanya menetapkan bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusu'an wanita dalam melaksanakan ibadah, maka:
a. Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji dibolehkan.
b.Penggunaan pil anti haid untuk dapat melaksanakan puasa sebulan penuh pada dasarnya hukum makruh. Tetapi bagi wanita yang sulit mengkadha puasa di hari lain hukumnya boleh.
G. Istihadah
Yaitu keluarnya darah dari pangkal rahim wanita di luar kebiasaan haidnya. Jika seorang wanita biasa haid 6 hari, kemudian pada waktu tertentu lebih dari 6 hari, maka setelah 6 hari adalah istihadhah. Darah tersebut termasuk penyakit, bukan haid.
Begitu juga bagi ibu-ibu yang menggunakan alat kontrasepsi yang membuat masa haidnya tidak teratur, maka jika sebelum pakai alat kontrasepsi masa haidnya teratur, maka masa bersihnya dihitung berdasarkan itu. Jika dia masih mengalami keluar darah, maka sisa dari biasanya adalah istihadhah. Jika biasanya haid 7 hari, maka waktu sucinya adalah 23 hari atau bagi yang siklus haidnya 28 hari, maka masa sucinya 20 hari. Minimal masa suci adalah 15 hari.
Berbeda dengan haid, wanita yang mengalami istihadah wajib tetap melaksanakan ibadah salat, puasa, tawaf, dan membaca al-Qur'an.
Untuk salat, wanita yang istihadhah, setelah mandi haid ia harus mengganti pembalutnya dan berwudu' setiap akan salat. Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal ini. [17] Ada yang menyatakan bahwa ia wajib mandi setiap akan salat.
Semoga bermanfaat wallahu a'lam bi al-Shawab
[1] Disampaikan pada Kajian 2 Mingguan BKMT Kota Metro, tgl 16 Pebruari 2007
[2] Menurut 'Atha' dalam Al-Bukhari , juz 1, h. 138.
[3] Hadis riwayat Abu Daud, al-Nasa'I, Ahmad bin Hanbal, dan al-Turmuzi
[4] Hadis riwayat Al-Bukhari, juz 1, loc.cit dan Muslim juz 1, h. 264
[5] Hadis riwayat Muslim, Shahih Muslim, juz 1, (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.) h. 260
[6] ibid. h. 261 dan al-Bukhari, juz 1, h. 132
[7] Hadis riwayat al-Bukhari, juz 1, h. 128-129 dan h. 130 Muslim, al-Nasa'i, juz 1, h. 207-208
[8] Hadis riwayat al-Bukhari, juz 1, h. 135-136 Muslim, juz 1, h. 265, al-Nasa'i, juz 1, h. 191-192
[9] Hadis riwayat al-Turmuzi, Ibn Majah, dan al-Baihaqi dari 'Abdullah bin 'Umar dan al-Daruquthni dari Jabir bin Abdullah.
[10] Hadis Riwayat Abu Daud
[11] Hadis riwayat Muslim, juz 1, h. 245
[13] Hadis diriwayatkan oleh Muslim, juz 1, h. 246 Abu Daud, Ibn Majah, al-Turmuzi, al-Nasa'i, al-Darimi, Malik dan Ahmad bin Hanbal .
[14] Hadis riwayat al-Bukhari, juz 1, h. 128, Muslim, juz 1, h. 242-243, Malik, h. 39
[15] Hadis riwayat Muslim, al-Turmuzi, Abu Daud, Ibn Majah, al-Darimi, al-Nasa'I, juz 1, h. 189, Malik dan Ahmad bin Hanbal.
[16] Hadis riwayat al-Bukhari, juz 1, h. 126 dan h. 129, Muslim , al-Nasa'I, juz 1, h. 180
[17] Hadis riwayat al-Bukhari, juz 1, 138, Muslim, juz 1, h. 262-264, Malik, h. 41-42, al-Nasa'i juz 1, h. 183-184
0 komentar:
Posting Komentar