Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Selasa, 31 Mei 2011

Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek. Keduanya mempunyai hak paksa terhadap anak perempuan dalam mengikuti apapun yang sudah ditetapkan bapak dan kakeknya. Pada hal dalam setiap kesempatan Rasul telah memberikan kepada perempuan untuk menentukan siapa dan apa yang ingin dilakukannya. Sebagai bukti ada beberapa peristiwa yang terjadi di masa Rasul.
Untuk mencari dan menentukan pilihan calon suami pada umumnya memang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya menunggu datangnya laki-laki yang melamarnya. Namun, keumuman itu bukan berarti bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk melakukan atau menentukan sendiri pilihannya. Berdasarkan bukti sejarah diketahui, bahwa perempuan dapat melamar laki-laki yang disukainya. Hal itu dapat dilihat dalam hadis berikut:
ثَابِت الْبُنَانِيَّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَنَسٍ وَعِنْدَهُ ابْنَةٌ لَهُ قَالَ أَنَسٌ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرِضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَكَ بِي حَاجَةٌ فَقَالَتْ بِنْتُ أَنَسٍ مَا أَقَلَّ حَيَاءَهَا وَا سَوْأَتَاهْ وَا سَوْأَتَاهْ قَالَ هِيَ خَيْرٌ مِنْكِ رَغِبَتْ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَضَتْ عَلَيْهِ نَفْسَهَا
Berdasarkan riwayat di atas, pada masa Rasul seorang perempuan dapat saja melamar laki-laki yang diinginkannya. Namun tidak ditemukan penjelasan apakah ia mempunyai wali atau tidak. Hal itu terjadi pada diri Nabi saw sendiri. Meskipun Nabi saw tidak menerima lamaran tersebut, Nabi saw tidak menegur perempuan itu mengenai apa yang dilakukannya. Bahkan Nabi saw memberikan kesempatan kepada sahabatnya untuk menikahi perempuan itu.
Hak yang diberikan kepada perempuan dalam menentukan pendamping hidupnya sangat besar. Ada perbedaan perlakuan yang diberikan Rasul terhadap anak perempuan sesuai dengan statusnya, perawan atau janda.
Begitu juga ketika orang tua memutuskan bahwa anak perempuannya harus menikah, maka anaknya harus dimintai izin dalam menerima pendamping yang akan menikahinya. Orang tua tidak dapat memutuskan sendiri tanpa adanya persetujuan dari anaknya. Persetujuan itu dibedakan oleh Rasul antara anak gadis dengan yang sudah janda. Ketentuan itu dapat dilihat dalam hadis berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Berdasarkan riwayat di atas, sebelum memutuskan untuk menikahkan anak perempuan, wali harus meminta persetujuan anaknya baik anaknya masih perawan atau sudah janda. Ada sedikit perbedaan antara perwujudan dari rasa setuju dari anak perempuan yang sudah janda dan perawan. Untuk yang sudah janda persetujuannya eksplisit, sedangkan yang masih perawan persetujuannya dapat dilihat dari indikatornya saja, seperti diam dan lainnya yang menunjukkan bahwa ia setuju dengan keputusan orang tuanya.(Al-Bukhari, op.cit., juz III, h. 2127, Muslim, op.cit., juz II, 1036, al-Turmuzi, op.cit., h. 286, al-Nasa’i, op.cit., juz VI, h. 85, Ibn Majat, op.cit.,h. 601-602 al-Darimi, op.cit., h. 138, dan Malik bin Anas, op.cit., h. 331.)
Pada masa Rasul terjadi suatu peristiwa yang menimpa seorang perempuan (perawan) yang dikawin paksa oleh ayahnya. Ia dinikahkan oleh ayahnya dengan laki-laki (anak pamannya) yang tidak disukainya. Kenyataan itu terekam dalam riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ قَالَتِ اجْلِسِي حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Dalam riwayat di atas, dinyatakan bahwa perempuan itu menceritakan masalahnya kepada ‘Aisyah ummul mukminin. ‘Aisyah menyarankan agar ia menunggu jawaban dari Rasul terhadap masalahnya. Akhirnya Rasul memberikan keputusan sesuai dengan keinginan perempuan itu. Artinya, jika ia tidak menyukainya, ia mempunyai hak untuk dapat memohonkan perceraian dari perkawinan yang terpaksa itu. Meskipun demikian, penggugat menerima apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya.(Abu Daud, juz II, h. 232, Ibnu Majah, juz I, h. 603 dan Ahmad bin Hanbal juz I, h. 273)
Dalam hadis perempuan tersebut dengan eksplisit menyatakan bahwa pengaduannya itu bertujuan untuk mengetahui apakah perempuan mempunyai hak untuk menyatakan keengganan dan ketidak-senangannya atau tidak. Tarnyata ia menemukan bahwa Islam sangat meperhatikan pengaduannya dan memutuskan untuk memilih apakah ia akan melanjutkan atau membatalkannya.
Dari riwayat itu diketahui bahwa kemujbiran orang tua dapat digugurkan dengan keterpaksaan anak. Diketahui bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah. Agaknya, atas pertimbangan untuk mewujudkan tujuan perkawinan itulah Rasul memberikan putusan yang seperti itu. Bagaimana tujuan rumah tangga mawaddah dan rahmah akan terwujud jika keluarga dibentuk atas dasar paksaan.
Berdasarkan riwayat di atas, anak perempuan (perawan) dapat memohonkan protes atas pilihan orang tuanya, karena yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah ia sendiri. Rasul pun menyetujui permohonannya itu. Ini menunjukkan bahwa kemujbiran (daya paksa) seorang wali tidak mendapatkan tempat di dalam Islam. Anak perempuan mempunyai hak untuk menyampaikan keluhan dan keterpaksaannya dan mendapatkan haknya untuk hidup dengan pilihannya sendiri.
Untuk janda yang dikawinkan secara paksa, putusan yang diberikan oleh Rasul lebih tegas dibandingkan dengan anak perawan di atas. Dalam sebuah hadis, Rasul memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh Khansa’ binti Khidam al-Anshariyyah yang berstatus janda. Ia dinikahkan secara paksa oleh bapaknya, kemudian Rasul menolak perkawinan itu.(al- Bukhari, juz III, h. 2127, juz IV, h. 2779, Abu Daud, h. 233, Ibnu Majah, h. 602, al-Darimi, h. 139, Malik bin Anas, h. 338, al-Nasa'i , juz VI, h. 86, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h. 364 dan juz VI, h. 328-329) Ketentuan ini sebagai konsekwensi logis dari larangan menikahkan anak perempuan (janda) tanpa izinnya yang pasti yang sudah diungkap sebelumnya.

Jumat, 18 Maret 2011

HADIAH KEPADA PEJABAT YG SEDANG BERTUGAS

Kedudukan seorang petugas atau pejabat dan kekuasaan yang dimilikinya mempunyai ekses terhadap terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, sebelum bertugas seorang pejabat atau petugas diwajibkan mengucapkan sumpah dan janji yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Isi dari sumpah jabatan tersebut adanya sumpah untuk tidak menerima suatu pemberian yang diduga atau dapat diduga ada kaitannya dengan pelaksanaan tugasnya.
Bahkan akhir-akhir ini dengan maraknya korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat
Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat.

A. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas

Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah atau cendera mata yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Misalnya seorang pejabat atau petugas yang dikirim oleh suatu instansi untuk melakukan tugas pemeriksaaan, misalnya. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan semua, mulai dari transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.
Di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Untuk pejabat, amil atau petugas yang telah diberi imbalan, gaji, atau insentif untuk pelaksanaan tugasnya, bolehkah menerima hadiah? Begitu juga dengan hakim, Untuk menjawabnya, dapat dilihat hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Artinya: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” atau korup.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk untuk melakukan sesuatu, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Dari kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.
Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang ‘amil zakat yang diberi tugas oleh Rasul Saw. untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.
Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Pelaksanaan tugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah sangat berat, terutama dalam mengatasi dan menghindarkan diri dari melakukan penyelewengan atau korup terhadap dana yang dikelolanya. Karena pada masalah yang seperti ini, peluang untuk melakukan penyelewengan itu terbuka lebar, ditambah dengan rayuan syetan yang menginginkan orang tidak berjalan di rel yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu seseorang yang bertugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah dituntut untuk dapat mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap Hadis dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah Saw. dalam sabda berikut ini:

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ

Artinya: Rafi’ bin Khudaij mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang mengelola harta zakat dengan benar sama seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya’.”
Menurut riwayat di atas, ‘amil zakat/ sedekah secara eksplisit disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Ini secara inplisit terdapat tuntutan agar ‘amil atau pengelola zakat melakukan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan tugas dengan benar menyangkut semua tugas yang berkaitan dengan kontribusi, distribusi dan penentuan mustahiq. Dalam riwayat di atas, seorang ‘amil zakat dituntut untuk melakukan tugasnya dengan benar dan tidak menyeleweng. amil harus dapat menyalurkan harta zakat yang sudah dikumpulkan itu kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ‘amil yang menjalankan tugasnya dengan benar atau tidak korup, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Agaknya penyamaan tersebut disebabkan oleh godaan berat yang harus dihadapi dalam menunaikan tugas sebagai ‘amil.
Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang untuk melakukan sesuatu, jangankan untuk korup dan menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja dilarang. Secara konstitusi atau aturan, sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan.
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas tersebut mungkin akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.

BELAJAR MENURUT RASULULLAH SAW

Bagi peserta didik, belajar mencari ilmu bukan hanya kebutuhan tetapi kewajiban. Rasul dalam satu riwayat secara eksplisit menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi semua muslim. 1) Pendidikan bukan untuk mendapatkan gelar, tetapi untuk mendapatkan pengetahuan, gelar akan melekat baginya.

Dalam menuntut ilmu/belajar, ada beberapa tips yang diberikan oleh Rasulullah agar peserta didik mendapatkan ilmu dan berhasil dalam pendidikannya.

a.Belajar agar berilmu


Dalam pembelajaran, peserta didik diberikan pemahaman dan ditumbuhkan kesadaran bahwa belajar merupakan sarana untuk memperoleh ilmu, dengan ungkapan Rasul: ilmu itu hanya didapati dengan cara belajar.2) Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan, dan dengan berbagai cara Rasul Saw. memberikan motivasi kepada orang yang belajar agar punya indeks kinerja yang tinggi.
Allah menjanjikan untuk meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu (Q.S.al- Mujadilah/ 58: 11) Allah menegaskan bahwa orang yang berilmu mempunyai tingkat ketaqwaan yang lebih tinggi (Q.S.Fathir/ 35:28). Rasulullah pun dalam beberapa hadisnya memberikan motivasi kepada peserta didik agar memiliki ilmu yang bermanfaat

1)Menuntut ilmu untuk kepentingan pengembangan Ajaran Islam

Ada beberapa cara yang digunakan Rasul dalam menumbuhkan semangat menuntut ilmu dengan motivasi. Ada dua metode yang dipakai Rasul untuk ini, pertama dengan metode targhib (hadiah dari Allah), kedua, dengan metode tarhib (ancaman)
a.Rasul memberikan jaminan berdekatan dengannya di surga
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَاءَهُ الْمَوْتُ وَهُوَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ لِيُحْيِيَ بِهِ الْإِسْلَامَ فَبَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّبِيِّينَ دَرَجَةٌ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ

Diterima dari Hasan, Rasulullah bersabda: Siapa yang meninggal dan ia sedang mencari ilmu untuk mengembangkan ajaran Islam, maka antara dia dan Rasulullah satu tingkatan saja di surga.

Dari hadis di atas, terlihat bahwa jaminan yang diberikan Rasul telah mendorong para sahabat dalam proses pembelajaran dengan menggunakan semua potensi yang dimilikinya secara sungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat untuk pengembangan Islam. Ada 2 aspek yang menjadi stressing dalam sabda Rasul di atas; pertama: belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan untuk mencari nilai/IP tinggi atau gelar dan prestise. Tidak salah jika seseorang menginginkan IP/nilai tinggi, dan mendapatkan gelar, jika bukan diposisikan sebagai tujuan. Kedua: ilmu yang diperoleh diaplikasikan untuk hal yang bermanfaat, bukan mencari ilmu yang kemudian digunakan untuk merusak.

b.Rasul memberikan ancaman kepada orang yang salah motivasi atau salah tujuan dalam mencari ilmu, tidak akan mencium bau surga. Dalam hadis berikut Rasul menjelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ سُرَيْجٌ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رِيحَهَا

Abu Hurairah menyatakan, Rasul telah bersabda: Siapa saja yang menuntut ilmu bukan karena Allah akan tetapi untuk mendapatkan keuntungan dunia (gelar, prestise, pen), maka nanti ia tidak akan mendapatkan bau surga.
Bahkan dalam riwayat lain secara tegas dinyatakan bahwa yang menuntut ilmu bukan karena Allah atau bermaksud untuk selain Allah, ia akan masuk neraka.

Tujuan Mencari ilmu yang dilarang Rasul

Dalam kedua hadis di atas, tidak jelas indikasi mencari ilmu bukan karena atau untuk Allah, namun dijelaskan Rasul dalam hadis berikut:
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Alasan dan tujuan menuntut ilmu yang keliru yang diancam dengan neraka, dan harus dijauhi adalah:

1.Belajar dengan tujuan dapat mendebat/menjatuhkan ulama.
2.Belajar dengan tujuan agar dapat mengakali orang bodoh
3.Belajar dengan tujuan agar menjadi pusat perhatian orang/mengharapkan pujian atau sanjungan atau prestise.

Sangat tegas ancaman yang diberikan Rasulullah yaitu masuk neraka. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk di atas bukannya memberikan manfaat bagi orang lain, atau pengembangan Islam, malah akan menimbulkan kerusakan dimana-mana. Dengan ilmunya ia akan menimbulkan keresahan di masyarakat.

2)Belajar sungguh-sungguh

Banyak sekali hadis Rasul yang memberikan semangat agar peserta didik sungguh-sungguh dalam belajar, dan menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Rasulullah Saw. Dalam beberapa hadisnya menjelaskan:

a.Pendidik dan Peserta didik Disamakan dengan Mujahid di jalan Allah

Allah dan Rasul-Nya menempatkan pendidikan pada posisi jihad “perang”. (Q.S. al-Taubat/9: 122) Dalam ayat ini, Allah telah memperingatkan umat Islam agar tidak semua orang mengikuti perang ke medan juang, tetapi harus ada sebagian orang yang mendalami ilmu, sehingga nanti dapat diajarkan kepada mereka yang ikut perang setelah mereka kembali.
Padahal jika dilihat realitas pada saat itu, Rasul Saw. sangat membutuhkan tenaga untuk dapat membantu perjuangan umat Islam. Menurut al-Razi (w. 604 H.) , kemungkinan tentang ayat ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwa kewajiban tinggalnya sebagian umat Islam untuk mendalami ilmu, karena mungkin saja pada waktu Rasul Saw. menerima wahyu dan menyampaikannya kepada sahabat. Untuk itu, harus ada sahabat yang dapat menerima dari Rasul Saw. dan kemudian menyampaikannya kepada orang yang berangkat jihad.

Ungkapan eksplisit dari Rasulullah Saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Artinya: Abu Hurairah berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang datang ke mesjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang sedang wisata melihat kesenangan lainnya.”

Dalam riwayat di atas, Rasul Saw. mengemukakan bahwa orang yang datang ke mesjid Nabi Saw. untuk mempelajari atau menuntut ilmu diposisikan pada posisi orang yang berjihad di jalan Allah. Ada sebuah riwayat lain yang menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu berada di jalan Allah hingga ia kembali. Dapat dikatakan bahwa Rasul Saw. memberikan motivasi kepada setiap muslim untuk selalu mencari ilmu dengan berbagai cara.

Penyamaan antara belajar dan mengajar dengan jihad agaknya dilihat dari 3 aspek: pertama cara, kedua, tujuan keduanya, dan ketiga: dampak yang ditimbulkan, Apabila jihad ‘perang’ dilakukan dengan menggunakan kekuatan tenaga, berkorban harta dan mungkin juga siap untuk kehilangan nyawa, sebagai wujud dari kesungguhan, maka dalam pembelajaran pun diperlukan kesungguhan yang sama. Apalagi jika diperhatikan dalam hadis tersebut kata yang digunakan untuk belajar kata thalab (mencari) dan ibtigha’(mencari) yang menunjukkan keaktifan, dengan tenaga dan mungkin dana dan ketekunan. Apabila main-main, seadanya dan pasif, hanya melewati hari-hari di sekolah/kampus atau di rumah formalitas saja, tentu apa ilmu yang diharapkan tidak akan di dapat.

Dari aspek tujuan, jika jihad perang untuk membalas perlakuan non-muslim yang berupaya menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan leluasa tanpa tekanan; dan ancaman fisik, maka menuntut ilmu bertujuan untuk mengupayakan agar muslim dapat menjalankan ajaran Islam sesuai dengan aturan dan tuntunan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keduanya sama-sama mempunyai tujuan agar ajaran Islam dapat dilaksanakan oleh setiap muslim sesuai aturan.

Dilihat dari dampak yang ditimbulkan, apabila tidak melakukan jihad perang maka musuh Islam akan leluasa mengganggu, menteror dan menyakiti umat Islam Sedangkan tanpa ilmu, manusia tidak dapat hidup dengan benar, bahkan dapat sesat dan mungkin akan menyesatkan orang lain.

Dari Hadis yang ditelusuri ditemukan bahwa Rasul Saw. sangat menekankan agar selalu ada orang berilmu agar terhindar dari kesengsaraan di dunia dan akhirat . Di anataranya dalam sabda berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْم بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ،, Rasulullah Saw. bersabda: Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, tetapi Ia mengambil ilmu dengan cara mengambil ulama. Jika orang berilmu tidak satu pun yang tinggal, orang-orang akan mengangkat orang yang tidak berilmu sebagai pemimpin. Maka jika ia ditanya, ia akan berfatwa tanpa didasari oleh ilmu. Akibatnya mereka akan sesat dan menyesatkan orang lain dengan fatwanya itu.

Riwayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa tanpa ilmu manusia akan keluar dari koridor yang sudah ditentukan. Bahkan jika orang yang tidak berilmu itu dijadikan sebagai nara sumber dalam permasalahan yang dihadapi oleh umat, maka ia akan memberikan penjelasan dan atau jawaban atau solusi dari permasalahan yang ada sesuai dengan ketidak-mengertiannya. Ia akan sesat dan menyesatkan orang lain. Kalau ia seorang hakim maka ia akan memutuskan perkara yang dihadapkan kepadanya dengan dasar ketidak-mengertiannya, yang diancam oleh Rasul Saw. dengan ancaman neraka.

Begitu juga dengan seorang yang mempunyai posisi pengambil kebijakan, tanpa dasar pengetahuan yang dimilikinya, maka Rasul Saw. menegaskan bahwa menyerahkan sesuatu kepada orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu maka kehancuranlah yang akan diterima. Dengan demikian, ilmu merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku dirinya muslim.

Dari riwayat di atas pun diketahui bahwa kebodohan merupakan sumber bencana untuk diri yang bersangkutan dan atau untuk orang lain, bahkan bencana bagi kemurnian ajaran Islam. Tanpa pengetahuan, orang akan dengan mudah melakukan sesuatu yang dianggapnya benar, atau yang dikatakan orang lain benar, meskipun kenyataannya tidak benar atau tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Dari berbagai metode yang digunakan oleh Rasulullah Saw. sepertinya beliau menginginkan umat Islam beramal dan berkarya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Agaknya, inilah yang menyebabkan penyamaan kegiatan belajar mengajar dengan jihad. Karena dampak yang ditimbulkan oleh kebodohan dan ketidaktahuan terutama masalah agama tidak kurang dari kegiatan musuh Islam yang berupaya menghancurkan Islam.

Bukan hanya menyamakan, ketika harus memilih antara jihad perang dengan menuntut ilmu, dari hadis-hadis Rasul yang ada, al-Nawawi menyatakan bahwa kegiatan menyebarkan ilmu diutamakan dari pada jihad (perang), apabila jihad (perang) tersebut masih dalam taraf fardhu kifayah. Sangat luar biasa, terutama bagi bangsa Indonesia yang menurut penilian para pakar bahwa pendidikannya kurang berkualitas, maka jihad kita adalah dengan cara pelaksanaan pendidikan bermutu.

b.Tidak terpengaruh dengan rintangan, gangguan, baik pisik, psikis atau pun financial.

Sama dengan jihad perang, agar muslim tetap punya semangat dan tidak merasa khawatir dengan konsekwensi yang mungkin muncul ketika mencari ilmu, misalnya merasa sulit, merasa berat costnya, atau merasa banyak kendalanya dan tantangannya, Rasulpun memberikan motivasi dengan jaminan yang akan diberikan Allah kepadanya.
Rasulullah selalu menumbuhkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan pertolongan, karena dalam sebuah hadis Rasul menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya ke surga, dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Dalam riwayat lain, Rasul Saw. menjelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu, Allah akan memberikan salah satu jalan untuknya dari beberapa jalan ke surga. Pada hadis lain, Rasul menambahkan bagi penuntut ilmu akan mendapatkan bantuan dari Malaikat

Bahkan Rasul memberikan apresiaisi yang luar biasa bagi orang yang mau menuntut ilmu, walaupun setelah berusaha ia tidak mendapatkan ilmu, yaitu berupa balasan dari Allah dalam hadis berikut:

سَمِعْتُ وَاثِلَةَ بْنَ الْأَسْقَعِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ فَأَدْرَكَهُ كَانَ لَهُ كِفْلَانِ مِنَ الْأَجْرِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْهُ كَانَ لَهُ كِفْلٌ مِنَ الْأَجْرِ

Dalam hadis di atas, Rasul memberikan penghargaan ketika proses, bukan saja pada hasil. Agaknya, jaminan yang diberikan Allah dan Rasul itulah yang telah memberikan semangat yang luar biasa kepada para sahabat di zaman Rasul, sehingga dapat merubah karakter jahiliyah menjadi Islami. Bagaimana mungkin dengan jaminan itu umat Islam khususnya menjadi malas, ogah-ogahan. Pada hari ini pun, jika dilandasi semangat yang luar biasa, ternyata Rasulullah terhadap pendidikan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
===============

Ibnu Majah, op.cit., juz 1, h. 81. Meskipun ada sanad bermasalah yang menyebabkan Hadis ini dinilai dha’if, tetapi kandungan Hadis dimaksud sejalan dengan al-Qur'an dan Hadis yang lebih Sahih. Mungkin ini yang menyebabkan al-Suyuthi, mengutip pendapat Syekh Muhy al-Din ketika ditanya tentang kualitas Hadis ini, beliau menyatakan bahwa sanadnya dha’if, tetapi dari aspek maknanya Hadis ini sahih. Jamal al-Din menyatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa jalur sanad yang dapat mengangkat kualitasnya menjadi Hasan.
Al- Bukhari.juz 1, h. 42.
Ibn Majah juz 1, h. 92-93, Abu Daud, juz 3, h. 320, Al-Darimi, juz 1, h. 80-81, Ahmad, juz 8, no. 8438
Al-Turmuzi, juz 4, h. 141 no. 2793
Al-Turmuzi , juz 4, h. 140-141, Ibnu Majah, juz 1, h. 93, dan al-Darimi juz 1, h. 104-105 dan Ahmad bin Hanbal juz 1, h. 190
Muhammad al-Razi Fakhr al-Din ibn ‘Allamah Dhiya’ al-Din ‘Umar selanjutnya disebut al-Razi (544-604), Tafsir al-Fakhr al-Razi (al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib), (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), juz 16, h. 230.
Ibn Majah, op.cit., juz 1, h. 83. Dalam Zawaid dinyatakan bahwa sanadnya Sahih atas syarat Muslim. Lihat, Al-’Asqalani.op.cit.,juz 6, h.2-4; juz 2, h. 128-129; Juz 3, h. 41-42; juz 8, h. 452- 454. Dari penilaian terhadap sanad, tidak ada sanad yang disepakati oleh kritikus periwayat Hadis yang mempunyai kualitas kurang. Dapat dikatakan bahwa kualitas Hadis ini minimal hasan.
Al-Turmuzi dalam bab al-’ilm, juz 4, h. 137. Al-Turmuzi menyatakan bahwa Hadis ini kualitasnya Hasan Gharib.
Al-Bukhari, op.cit.,juz 1,h. 56 , Muslim, op.cit.,juz 4, h. 2058, al-Turmuzi, ibid., h. 139; al-Darimi, op.cit., juz 1, h. 77; dan Ahmad bin Hanbal , ibid., h. 162 dan 190.
Hadis di atas ditakhrij oleh Abu Daud dalam kitab aqdhiyyah, op.cit., juz 3, h. 299; dan Ibnu Majah dalam kitab ahkam, op.cit., juz 2, h. 776.
Al- Bukhari, op.cit., juz 1, h. 36.
Ab­ Zakariyya Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Fatwa al-imam al-Nawawi al-Masail al-Mansyurah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1982/1402), h. 117.
Muslim, op.cit., juz 4, h. 2074, Abu Daud, op.cit Al-Turmuzi, juz 3, h. 458, Abu Daud juz 3, h. 313, Ibn Majah, juz 1, h. 81, Al-Darimi juz 1, h. 98 dan h. 101, dan Ahmad no. 8299.,; .
Abu Daud dalam kitab ilmu,. ibid, juz 3, h. 317. Semua periwayat tidak ada yang memiliki cacat. Lihat al-’Asqalani, juz 10, h. 107-109; juz 5, h. 199-120 dan h. 41; juz 3, h. 181-182.
Al-Turmuzi, juz 4, h. 153 no. 2823, ibn Majah juz 1, h. 81 (2 jalur) dan rijalnya siqat
Darimi, juz 1, h. 97
Al- Isfahani, op.cit., h. 209.
Al-Kandahlawi, Aujaz, op.cit., h. 197.
al-Darimi, juz 1, h. 86-87

TIPOLOLOGI PENUNTUT ILMU

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai keistimewaan tersendiri di bandingkan dengan makhluk lainnya. Perbedaan ini nyata terletak pada sifat kehidupan rohaninya yaitu berupa potensi akal budi yang dimilikinya. Dengan potensi itu manusia dapat berbuat dan berfikir sesuai dengan kemampuan akalnya, sehingga ia dapat memahami hal-hal yang abstrak di samping yang kongkrit.
Kemampuan berpikir sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia, karena kemampuan
berpikir itu mempengaruhi kemampuan berkreasi. Berpikir sebagai gejala jiwa dapat menetapkan hubungan antara pengetahuan yang pernah dialami selama ini. Sehingga
pengetahuan yang telah diperoleh akan tetap berkembang selama proses berpikir masih berjalan.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pengetahuan itu sampai ke tangan manusia menempuh dua jalur yaitu :
Ilmu abadi (perenial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam Alquran dan hadis, serta segala yang dapat diambil dari keduanya. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) ternasuk sains, kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif dan pengadaan, fariasi terbatas dan pengalihan antara budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.1
Pengetahuan yang didapat manusia lewat jalur pertama sudah siap pakai tinggal memahami dan mengamalkannya, yang dijadikan sebagai pegangan hidup yakni Alquran dan hadis. Jalur kedua adalah pengetahuan yang belum siap pakai dan memerlukan daya nalar yang akhirnya melahirkan teknologi. Hal ini dapat ditangkap dari isyarat yang diberikan misalnya QS. Ali Imran/3: 190-191 berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190), yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, periharalah kami dari siksaan neraka.
Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa zikir dan berpikir merupakan indikator dari ulil albab (orang yang berakal). Oleh sebab itu pendidikan harus diarahkan kepada mempersiapkan manusia yang serasi dalam zikir dan fikir. Namun, dalam kenyataan sekarang pendidikan lebih menekankan pada tujuan “pandai”. Mochtar Naim mengungkapkan: “ Di bidang pendidikan yang ditekankan adalah menjadi “pintar” atau “pandai”tetapi tidak menjadi “cerdas”. Untuk menjadi pintar atau pandai, kita tahu, jangankan manusia, binatangpun bisa diajar.2 Tentu saja ada perbedaan antara pembelajaran pada manusia, yang melibatkan semua komponen yang telah diberikan Allah.

1. Tipologi Penuntut Ilmu

Islam dengan semua ajarannya mengajak manusia ke jalan kebaikan, kemaslahatan, memperkenalkan yang haq dan menjelaskan hukum-hukum yang semuanya mengarah kepada kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dalam menuntut ilmu perolehan yang didapat oleh seseorang berbeda dengan yang lain, karenanya ada beberapa kemungkinan yang akan diperoleh oleh seseorang, karena perbedaan keadaan jiwa dan persiapan serta kesungguhannya, seperti yang dijelaskan Rasulullah Saw. dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلآ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاتُمْسِكُ مَاءً وَلاا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ 3

Dari Abu Musa, Nabi bersabda hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepada saya ibarat hujan lebat yang menyirami bumi. Ada jenis tanah yang subur, keyika hujan turun ia menyerap air, lalu menumbuhkan rerumputandan tanaman yang beragam. Ada jenis tanah yang kering, menyerap air, dan air tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk minum, menyirami kebun dan bercocok tanam. Ada jenis tanah tandus tidak menerima curahan hujan dan tidak menumbuhkan tanaman apapun. Itulah ibarat orang yang memahami agama Allah dan ia menggunakan apa yang disampaikan Rasulullah, kemudian ia mengilmuinya dan mengajarkannya kepada orang lain. Kedua adalah ibarat orang yang tidak peduli dengan apa yang diberikan Allah. Yang ketiga ibarat orang yang tidak menerima hidayah dan ilmu keislaman

Rasulullah diutus kepada umatnya dengan al-Qur’an yang dapat mengarahkannya kepada kebaikan, menunjukinya dengan sesuatu yang mendatangkan maslahat. Rasul memberitahu yang harus diketahui, menjelaskan hukum-hukum, dan memberantas kebodohan. Namun demikian, manusia berbeda dalam merespons ilmu dan hidayah yang diberikan, karena ada operbedaan kondisi hati dan kesiapan menerima ilmu.
Berdasarkan hadis ini ada tiga tipe penuntut ilmu yang digambarkan Rasulullah yaitu:

1.Tipe yang digambarkan Rasulullah seperti tanah yang subur yang disirami hujan, yang dapat menahan air dan dapat menumbuhkan tanaman beraneka ragam.
Contoh ini diberikan untuk mengambarkan Tipe orang yang memiliki kebersihan hati, dan tidak menodainya dengan perbuatan dosa dan kejahatan. Mereka yang mau berusaha memahami agama Allah, mempelajari, MENGAMALKAN dan mengajarkannya kepada orang lain. Jika dikaitkan dengan Q.S. al-Nahl: 78, tipe ini adalah orang yang menggunakan semua potensi yang diberikan Allah kepadanya. Sehingga ilmu yang diperolehnya bermanfaat untuk dirinya, untuk orang lain, dan bahkan ilmu tersebut dapat dikembangkan

2. Tipe yang dicontohkan Rasulullah Saw. seperti tanah yang keras yang disirami hujan, dapat menahan air hujan, yang dapat dimanfaatkan orang lain untuk minum, menyirami lahan dan untuk bercocok tanam.
Contoh ini diberikan oleh Rasulullah Saw. untuk menggambarkan orang yang menuntut ilmu secara mendalam. Secara keilmuan ia dapat dikatakan pakar/ahli, BAHKAN MEMILIKI GELAR AKADEMIK YANG TINGGI dan ilmu yang dimilikinya tidak berbekas pada dirinya. Ilmunya tidak diamalkannya, tetapi ilmu yang dituntutnya dapat dimanfaatkan orang lain.

3. Seperti tanah tandus yang disirami hujan, yang tidak menyimpan air dan tidak dapat ditumbuhi tanaman dan rumput.
Contoh ini diberikan untuk menggambarkan orang yang tidak ada bedanya setelah atau sebelum menuntut ilmu, tidak ada manfaat dari usahanya untuk perbaikan dirinya dan orang lain. Ilmu yang dicari, dipelajari tidak membuahkan apa-apa pada dirinya, tidak dapat mengembangkannya.
==================
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran; Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 62-63.
2. Mochtar Naim, Agama dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Makalah (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1996), h. 5.
3. al- Bukhari, dalam kitab ‘ilmu no 77 dan Muslim

Senin, 28 Februari 2011

BER"KURBAN" IDUL ADHA MENURUT TUNTUNAN RASUL

Pada dasarnya kurban adalah sunnah dari beberapa sunnah Rasulullah. Dan hukumnya Wajib bagi yang mampu dalam sabdanya: “man wajada sa’atan falam yudhahh fala yaqrabanna mushallana.( Ahmad bin Hanbal, juz 2 h. 321 dan Ibn Maajah) Barang siapa yg memiliki kemampuan tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati musalla kami
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: tidak ada amalan keturunan Adam yang lebih dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha selain menyembelih kurban sesunggguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat nanti dengan tanduk bulu dan kukunya sesunggguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke bumi yang membuat jiwa merasa senang. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26 Menurut al-Turmuzi hadis ini Hasan Gharib) Bahkan berkurban dilakukan oleh Rasul setiap tahun. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32 Hadis Hasan)
Dalam riwayat lain, kewajiban bagi setiap keluarga di setiap tahun melakukan pemotongan hewan kurban dan ‘atirah (yaitu korban 10 hari pertama bulan rajab), akan tetapi atirah ini sdh mansukh.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 93, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)
‘Atirah sudah dilakukan oleh umat sebelum Islam, lalu setelah muslim seorang sahabat bertanya tentang atirah itu kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah memberikan penjelasan tentang larangan atirah (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 105, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3,)
Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh umat Islam yang akan berkurban
a. Kurban harus dilakukan hanya karena Allah
Orang yang berkurban bukan karena Allah, jangankan ridha Allah, mala ia akan mendapatkan laknat Allah . Sabda Rasulullah, Bahwa Allah melaknat org yg melaknat orang tuanya, orang menyembelih kurban bukan karena Allah, dan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi serta orang yang memindahkan patok/batas kepemilikan tanah. (Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1567, dan al Nasa’I, juz 7, h. 232)

b. Jumlah hewan kurban
a) 2 ekor domba (1 untuk diri dan keluarga dan 1 untuk umat Islam yang tidak sanggup kurban) Rasulullah melakukan kurban dengan dua ekor domba yang sangat baik kualitasnya dan Rasulullah menyembelihnya sendiri (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz 3, h. 2287, 2289, 2291, Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1556-1557, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26-27. Kualitas hadis ini Hasan Sahih, al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 219-221)
Rasul berkurban dengan 2 ekor, satu ekor untuk dirinya sendiri dan keluarganya, satu ekor untuk umatnya yang tidak sanggup berkurban. Hadis berikut: “Tadhhiyyatun Nabi ‘an nafsihi wa ‘amman lam yudhahhi min ummatihi” (Rasululah senantiasa berkurban setiap tahun dengan 2 ekor domba, satu untuk diri dan keluarganya dan satu untuk umatnya. (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31)
b) Satu ekor domba (untuk diri dan keluarga)
Dalam realitasnya, Rasul menuntunkan bahwa Berkurban Satu ekor domba untuk satu orang atas namanya dan keluarganya (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31, Hadis Hasan Sahih)
c) Atau Satu ekor sapi untuk 7 orang bersama-sama (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 98, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 30 Menurut al-Turmuzi hadisnya Hasan Sahih. Itu juga dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 221-222, Malik, al-Muwata’, h. 303)

c. Waktu Kurban
1. setelah melontar jamarat, penyembelihan kurban dilakukan setelah melakukan pelontaran jamarat bagi yang melakukan ibadah haji. (Muslim, Sahih Muslim, juz 2, h. 892)
2. selesai salat ‘id, Bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji Penyembelihan hewan kurban dilakukan selesai salat ‘id. Dari al-Barra’ saya mendengar Rasulullah saw berkhutbah bahwa pertama kita memulai hari kita ini kita shalat id, kita kembali dan kita berkurban, siapa yang melakukan maka sesungguhnya itulah sunnah kita yang benar. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 369, h. 378, juz 3, h. 2284, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96)
Berdasarkan hadis di atas, Rasul memberikan urutan kurban selesai salat, pulang dan menyembelih kurban. Penyembelihan hewan yang dilakukan sebelum shalat ‘Idil Adhha sama dengan penyembelihan biasa, dan diperintahkan oleh Rasul untuk menggantinya dengan binatang sembelihan lain. (Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 378. 382, juz 3, h. 2288Muslim, juz 3, h. 1551-1552, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32-33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 222-224)
d. Bacaan yang dibaca Rasululllah ketika berkurban:
Ada beberapa versi do’a yang dibaca Rasul ketika menyembelih hewan kurban:
1. Berdasarkan Riwayat Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 155, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94, Rasul membaca:
.... ثم قال: باسم الله اللهم تقبل من محمد و أل محمد و من أمة محمد
2. Dalam riwayat lain dalam hadis Riwayat Abu Daud (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 99)
بسم الله والله اكبر هذا عنى و عمن لم يضح من أمتى
3. Dalam riwayat lain, diawali dengan do’a seperti iftitah “ inni wajjahtu ...sampai akhir baru basmallah dan takbir

e. Distribusi daging hewan kurban
1. Orang yang berkurban boleh mendapatkan maksimal 1/3 bagian sementara yang lainnya dibagikan utk orang yang berhak. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.99)
Ketika banyak orang yang berkurban, maka bagian 1/3 ini dapat dimaknai dengan jumlah untuk konsumsi 10 hari .( al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34)

2. Pemilik atau Orang yang berkurban hanya mendapat bagian sekedar konsumsi daging untuk 3 hari, tidak boleh makan daging kurban lebih dari 3 hari.i
Rasulullah melarang kami memakan daging kurban lebih dari 3 hari (Muslim, juz 3, h. 1560-1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 33, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 232-233, Malik, al-Muwata’, h. 302)
Alasan yang diberikan oleh Rasul dapat dilihat dari riwayat lain: Rasululah bersabda Saya melarang lebih dari tiga hari agar ada pemerataan perolehan daging diantara mereka yang lemah atau tidak mampu (Muslim, juz 3, h. 1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h.33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 235-236 dan Malik, al-Muwata’, h. 302)
Dalam riwayat dari ‘Aisyah, Rasul melarang mengambil bagian daging kurban lebih dari kebutuhan 3 hari, ketika yang berkurban sedikit, sementara yang tidak berkurban jumlahnya banyak, lebih baik memberikan kurban kepada orang yang tidak berkurban (al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 dan badingakan dengan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 236. Dalam beberapa hadis ada penjelasan tentang “memakan daging kurban nya” ditujukan kepada yang berkurban.
3. Penerima daging kurban pun tidak boleh menerima melebihi konsumsi 3 hari, karena dalam beberapa riwayat lain tanpa kata “nya”, jika dikaitkan dengan alasan Rasul tidak membolehkan orang memakan daging kurban lebih dari 3 hari, maka bukan hanya terbatas pada orang yang berkurban tapi juga bagi yang akan menerima kurban. Tidak menumpuk pada orang tertentu. Sehingga harus ada koordinasi antara panitia kurban ttg penerima daging kurban.
Pengecualian atau rukhshah dari aturan maksimal 3 hari:
a. Ketika kondisi umat Islam banyak yang menyembelih hewan kurban
Dalam suatu riwayat, Rasul memberikan alasan boleh labih dari kebutuhan 3 hari ketika kondisi umat banyak yang kurban.( Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 100)

b. Bagi yang akan membutuhkan bekal di Perjalanan:
Rasul membolehkan menyimpan daging hewan kurban untuk waktu lebih dari tiga hari untuk bekal di perjalanan jauh (Muslim, juz 3, h. 1562)


f. Penyempurna ibadah kurban
Bagi yang berkurban, maka penyempurna idul adha baginya adalah dengan cara tidak memotong kuku, kumis, atau rambut, atau bulu ketiak dan alat vital kecuali setelah melakukan kurban (al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 212-213)

g. Berkurban atas nama yang sudah meninggal
Hanya dilakukan ketika ada wasiat, seperti Telah dicontohkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, memberikan kurban 2 ekor domba, ketika ditanya, ‘Ali menjawab saya diberi wasiat oleh Rasul utk melakukan kurban atas namanya. Maka saya berkurban satu urtk Rasul. (Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94)
Ada perbedaan pendapat tentang ini, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Menurut ibn Mubarak : lebih baik diberikan sedekah atas namanya, bukan kurban. Tetapi jika dengan kurban, maka tidak boleh diambil sedikitpun untuk dimakan.

JIHAD MENYAMPAIKAN KEBENARAN ISLAM DAN MEMPERTAHANKAN AQIDAH YANG BENAR”

PENDAHULUAN
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini sangat kompleks. Maraknya kasus korupsi di berbagai lini, kualitas pendidikan yang dinilai masih rendah, etos kerja rendah, kemiskinan semakin meningkat akibat dari berbagai faktor, dan krisis multidimensi, serta ditambah dengan permasalahan internasional yang berimplikasi terhadap masalah nasional. Semua itu memerlukan penanganan yang serius dari semua elemen bangsa sesuai dengan fungsi dan kemampuannya.
Begitu juga dalam aliran keagamaan, bermunculan tokoh dengan pengikut masing-masing yang bernaung di bawah panji Islam, dengan semua atributnya. Akan tetapi ajaran yang dikembangkan menyimpang dari Islam. Kondisi seperti ini tentu menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat. Lebih berbahaya lagi, dari segi ajaran, adanya penyimpangan dan penodaan terhadap Islam. Tidak heran jika kenyataan ini mendapatkan reaksi keras dari umat Islam yang tidak ingin agama Islam dinodai. Namun, yang disayangkan kadang reaksi yang muncul memberikan kesan yang bahkan dinilai ikut menodai Islam.
Di sisi lain, realitas di tengah-tengah pergulatan politik global, akhir-akhir ini umat Islam ada yang juga meresahkan seperti ada klaim bahwa segala macam bentuk teror, kekerasan identik dengan umat Islam yang memiliki ajaran jihad. Hal itu dimungkinkan dari banyaknya buku-buku fiqh, ketika membahas jihad lebih focus pada bahasan jihad dalam konteks perang.
Secara etimologis, kata jihad berarti mengerahkan segala kemampuan, sukar, sulit, dan letih. Namun dalam pemakaiannya, seringkali ketika mendengar kata jihad maka yang muncul dalam pemikirannya adalah perang. Melekatnya citra jihad dalam konteks perang, penyerbuan, dan pemaksaan berarti mereduksi makna jihad yang sesunggguhnya dalam Islam. Sekaligus mengabaikan prinsip perdamaian dalam Islam, dan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam raya ini Q.S. Al- Anbiya’/21: 107.
Rasulullah SAW menyatakan “jihad telah dimulai sejak pengangkatannya sebagai Rasul Saw.” dengan al-Qur’an yaitu menyampaikan kebenaran dan ajaran yang benar. Jika jihad hanya dipahami dengan perang, tentu saja tidak didukung oleh realitas sejarah, karena perang dalam Islam baru dimulai setelah Rasulullah Saw. dan sahabat berada di Medinah.
Di bagian akhir Hadis di atas, Rasul menyatakan jihad harus selalu dilakukan sepanjang masa dalam situasi dan kondisi apapun, meskipun keadilan sudah merata dan negara di bawah kepemimpinan orang yang adil. Sedangkan jihad dalam arti perang hanya dilakukan pada saat ancaman bersenjata dari pihak musuh Islam yang mengancam eksistensi ajaran dan umat Islam.
Ketentuan dalam Hadis ini juga dapat meluruskan pemahaman yang selama ini berkembang di kalangan umat. Informasi yang berkembang memberikan pemahaman bahwa jihad hanya satu-satunya dalam bentuk perang dan untuk menghadapi musuh Islam agar masuk Islam, serta meluaskan wilayah Islam. Sehingga menimbulkan kesan yang tidak menguntungkan untuk ajaran Islam dan umat Islam.
Dalam hadis, semua yang mengaku muslim tanpa kecuali diperintahkan oleh Rasulullah untuk berjihad, dengan semua potensi yang dimilikinya. Agar perintah jihad tersebut tidak salah arah dan dapat dilaksanakan dengan benar, maka bagi umat Islam, Rasulullah harus menjadi rujukan, karena beliau telah memberikan tuntunan dan tata cara berjihad, yang dilakukan sendiri atau di arahkan kepada sahabat, dalam masa aman, atau pun konflik. Mari kita perhatikan tuntunan yang telah diberikan Rasulullah agar kita semua dapat melaksanakan jihad sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Jihad yang dituntunkan dan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. sangat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan umat Islam. Untuk merealisasikan jihad dalam menghadapi kenyataan yang ada sekarang, maka keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. merupakan suatu yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan. Pertama, secara normatif, Rasulullah Saw. telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur'an sebagai teladan. Pada masa sekarang, untuk dapat meneladani Rasulullah Saw. tentu dari Hadis yang ditinggalkannya. Apalagi Rasulullah Saw. Menyatakan Hadis merupakan pedoman, selain Al-Qur'an yang harus diperhatikan dan diamalkan oleh umat Islam yang tidak menginginkan keluar jalur yang sudah ditetapkan Allah. Di samping itu, yang lebih penting bahwa secara normatif Rasulullah Saw. merupakan penafsir terhadap perintah jihad yang ditetapkan Allah dengan firman- Nya.
Kedua, secara logis, Rasulullah Saw. merupakan pelaku jihad dengan berbagai situasi dan kondisi pada masa itu. Rasulullah Saw. juga memberikan keterangan dan tuntunan tentang jihad kepada para sahabatnya. Bentuk jihad Rasulullah Saw. beserta sahabatnya merupakan aplikasi dari perintah jihad dalam al-Qur’an. Sehingga dalam pelaksanaan jihad tidak akan memberikan kesan Islam direndahkan dan dihina.
Perlunya mengungkap tuntunan Rasul terhadap jihad diharapkan semua bentuk jihad yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. diterapkan secara proporsional oleh umat Islam. Ada suatu hal yang amat krusial dalam pemahaman Hadis secara utuh dengan memperhatikan faktor sosio historis sebagai penyebab munculnya Hadis dan asbab wurud al-Hadis. Sebab muncul Hadis ini sering terlewatkan ketika suatu Hadis dinukil atau dijelaskan.
Jihad merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim sepanjang kehidupannya. Semua muslim tanpa kecuali wajib berjihad dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimilikinya dan dengan cara yang mampu dilakukan. Selama masih hidup, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang yang mengaku muslim untuk tidak berjihad. Bahkan dalam keadaan aman damai dan kehidupan sejahtera, Jihad tidak boleh berhenti, apalagi dalam kondisi umat Islam tidak aman, tidak dapat menjalankan ajaran agamanya dengan damai, atau ajaran Islam diselewengkan.
Jihad sesuatu yang sangat vital dalam pengamalan Islam secara benar, pengembangan dan pelestarian agama Islam yang benar dan untuk keamanan umat Islam. Oleh sebab itu, Jihad menempati posisi strategis dan signifikan dalam ajaran Islam. Jihad merupakan amalan terbaik dalam al-Qur’an. Salah satu dari tiga pokok keimanan, adalah kontinuitas jihad sejak awal Islam sampai kiamat datang, dilakukan sepanjang waktu. Al-Syaukani (w. 1255 H), mengomentari hadis ini bahwa jihad mesti dilakukan selama umat Islam dan agama Islam masih eksis. Rasulullah Saw. menyatakan tidak ada batasan waktu bagi umat Islam untuk melakukan jihad.
Orang yang tidak mau jihad dan atau tidak berpartisipasi aktif dalam jihad, tidak pernah mengalami keletihan badan atau tidak pernah memberikan harta untuk kepentingan jihad. oleh Rasul diancam kelak di akhirat dibangkit dengan kondisi yang tidak sempurna, termasuk kelompok munafiq; dan akan mengalami malapetaka, bencana besar, atau kehancuran sebelum kehancuran dahsyat (kiamat) Luar biasa ancaman yang diberikan Rasul.
Juga ada jaminan yang diberikan Rasul bagi pelaku jihad, dengan jihad sarana penghapus dosa, selain hutang, lebih baik dari dunia dan isinya, orang yang jihad tidak ada satu detikpun tanpa pahala.
Allah juga memberikan posisi penting pada jihad, terlihat ketika penempatan kata jihad dalam al-Qur’an sering diseiringkan dengan klausa iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Posisi penting jihad ini agaknya kemudian sebagian kelompok umat Islam jihad ditempatkan sebagai rukun Islam yang ke enam, seperti yang dipahami oleh kaum Khawarij, dan golongan Syi’ah.
Semua muslim harus berjihad sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing. Hal itu terlihat dari bentuk atau jenis jihad yang yang dilakukan oleh Rasul Saw. bersama umat Islam pada masanya sebagai aplikasi dari perintah Allah kepada Rasul Saw. untuk melakukan jihad. Untuk mengatahuinya tidak dapat dilakukan kecuali dengan memperhatikan Hadis-Hadis yang berhubungan dengan pelaksanaan jihad Rasulullah Saw. dan sahabatnya. Merujuk kepada beberapa riwayat yang ditemukan, salah satu bentuk jihad yang ditetapkan dan diisyaratkan oleh Hadis Rasul Saw. yaitu:
Jihad dengan menggunakan potensi diri, dan atau harta, dan atau lisan untuk menyampaikan kebenaran Islam kepada kepada yang mengingkari dan Islam yang benar kepada yang menyelewengkan, serta mengamalkan Islam secara benar.
Dari realitas sejarah diketahui, Jihad Rasul pada awalnya berhubungan dengan upaya Rasulullah Saw. dan para sahabat dalam mengamalkan, mengembangkan dan mempertahankan ajaran Islam. Jihad dilakukan dengan menyampaikan al-Qur’an, dan itu tidak terlepas dari cemoohan, ejekan, gangguan, teror, dan intimidasi kafir Quraisy terhadap Rasul Saw. dan umat Islam waktu itu. Untuk masa sekarang, dengan perkembangan akhir-akhir ini, jihad dalam konteks ini sangat penting, karena banyak sekali penyelewengan terhadap ajaran Islam. Banyak yang memakai simbol Islam tetapi ajarannya bertolak belakang dengan Islam. Jihad yang seperti ini adalah jihad yang harus dilakukan oleh ulama, muballig dan guru. Kelompok ini (ulama, muballig dan guru) yang memiliki komitmen untuk menjaga dan meninggikan kalimat Allah pasti akan mendapatkan tantangan, cemoohan, dan godaan. Oleh sebab itu, optimis dalam menjalankan tugas mulia, harus dimotifasi oleh perjalanan jihad Rasul. Jangankan manusia biasa, Rasul manusia pilihanpun mendapatkan hambatan, tantangan dan godaan.
Termasuk juga dalam konteks ini, kesungguhan untuk tetap konsisten dalam akidah yang benar dan ke-Islaman, meskipun di bawah ancaman fisik dan teror mental, atau himpitan ekonomi. Dengan semangat jihad dan kekuatan iman, umat Islam dapat bertahan dalam keyakinan yang benar. Seperti yang dialami oleh sahabat Bilal bin Rabah, disiksa dengan berbagai cara dan selalu dipaksa agar ia kembali menyembah Latta dan ‘Uzza. Namun dengan kekuatan iman, ia dapat bertahan dalam keyakinan yang benar. Begitu juga dengan sahabiah yang bernama Ummi ‘Ammar Samiyah, beliau adalah korban dari penyiksaan mereka yang menginginkan ia kembali ke agama sebelumnya. Mereka menyiksanya sampai meninggal, dan merupakan perempuan pertama yang mati syahid dalam Islam. Pada saat sekarang, jihad seperti ini harus dilakukan oleh semua orang Islam, apalagi akhir-akhir ini banyak sekali godaan, rayuan dan tantangan yang membuat orang tergelincir pada akidah yang tidak benar dan tidak konsisten dalam ajaran Islam, hanya karena iming-iming financial. Hal itu juga pernah dialami salah seorang sahabat Rasul.
Semoga dapat menjadi pemotivasi umat Islam dalam menjalankan tugas mulia ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Hal itu terlihat dalam beberapa kitab fiqh yang memuat keterangan yang rinci tentang jihad yang isinya lebih difokuskan pada perang. Begitu juga dalam kitab karya dan al-Mawardi (w. 450 H.) Hal itu mungkin karena jihad yang berkaitan dengan masalah hukum dan kenegaraan adalah jihad dalam artian perang tersebut.Namun al-Maududi (w.1979 ) yang menulis tentang jihad dalam karyanya al-Jihad fi al-Islam dan Jihad fi Sabililah lebih luas menjelaskan tentang jihad baik dari segi bentuk, dan objeknya.
Abu al-Husain Ahmad bin Farris bin Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lughat, juz I, Tahqiq Abd al-Salam Muhammad Harun (Mesir: Maktabat al-Khariji, 1981/1402, h. 486.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis, Modernis, hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) , h. 127.
Abu Daud Sulaiman ibn al- Asy’as al-Sijistani (selanjutnya disebut Abu Daud), Sunan Abu Daud, juz 3, (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th.),h. 18.
Rasulullah saw bersabda:” Saya memerintahkan kamu lima hal yang diperintah Allah, yaitu sam’, taat, jihad, hijrah, dan jama’ah...., lihat al-Turmuzi, op.cit., juz 4, h. 226 dan Ahmad ibn Hanbal,op.cit., juz 5, h. 344. Menurut al-Turmuzi, kualitas hadis ini adalah Hasan shahih
Rasul bersabda: “Berjihadlah kamu dengan tangan (kekuatan), lidah dan hartamu”( Dari Anas ) dalam Al-Nasa’i, op.cit, h. 51.
Lihat Al-Qur'an surat al-Ahzمb/33: 21 yang lengkapnya berbunyi:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Malik bin Anas, al-Muwaththa’ (Beirut: Dمr al-Fikr, 1970), h. 602. Lengkapnya Hadis tersebut sebagai berikut:
عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ *
al-Bukhari ibid., juz 1, h. 712 dan juz 2, h. 1093 bandingkan dengan al-Nasa’i, juz 5, h. 114-115 dan Ahmad ibn Hanbal op.cit., juz 2, h. 421, juz 6, h. 67-68, 71, 75 dan 294.
Abu Daud op.cit. juz 3, h. 18. Berdasarkan kritik sanad, kualitas Hadisnya minimal Hasan yang dapat dijadikan dasar dalam beramal.
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani(w. 1255 H), selanjutnya disebut al- Syaukani, Nail al- Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayyid al-Akhbar, (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.), juz 8, h. 31.
al-Mubarakfuri, op.cit., juz 5, h. 251
al-Turmuzi, op.cit., juz 3, h. 107-108, dan Ibnu Majah, op.cit., juz 2, 923.
Muslim, op.cit., juz 3, h. 1517, Abu Daud , op.cit., juz 3, h. 10, al-Nasa'i , op.cit., juz 6, h. 8
Lihat, Ibnu Majah , op.cit., juz 2, h. 923, bandingkan dengan al-Darimi , op.cit., juz 2, h. 209, dan Abu Daud, loc.cit.,
Muslim, op.cit.,juz 3, 1588, al-Turmuzi, op.cit.,juz 3, h. 127, al-Nasa’i, op.cit.,juz 6, h. 33-34, al-Darimi, op.cit.,juz 2, h. 207.
al- Bukhari, op.cit., juz 3, h. 1130-1131, bandingkan dengan Muslim, op.cit., juz 3, h. 1499 dan 1500, dan al-Turmuzi, op.cit., juz 3, h. 100-101.
Al-Kandahlawi, op.cit., juz 8, h. 201.
Rahimin, Konsep Jihad dalam Al- Qur'an Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, (Disertasi), 1999.
Philip K. Hitty, op.cit., History of the Arab, Ed. 10, h. 136.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Jihad, Ulumul Qur’an No. 7 Volume II/ 1990/1411, h. 56.
Ibn Hisyam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq dan Abu Muhammad ‘Abd al-Malik al-Ayyub Al-Humairi, 1962 M/1393 H. .Al-Sirat al-Nabi Shallallah ‘alaih wa Sallam. Al-Mathba’ah al- Madani: Mesir. h.226-227.
Ihsan Al-Haqqi,. Rasul al-Salam Muhammad Saw. Siratuh wa Risalatuh. Dar al-Basyar: Beirut., 1988 M./1409 H. h. 11-12.
Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas, lihat ibid., h. 12 dan Abu al-Fida’ Isma’il ibn Kasir, Bidayat. Wa Nihayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.), Jilid 2, juz 3, h. 56-57
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il. t.t. Shahih al-Bukhari. Dahlan: Indonesia., juz 3, h. 1817-1919. Yang artinya Dari Khabbab saya bekerja sebagai penjaga di masa Jahiliyah, dan al-’Is bin Wail belum membayarkan hakku. Kemudian aku mendatanginya untuk menagihnya. Al-’Is berkata: saya tidak akan memberikan kepadamu sampai engkau tidak mempercayai Muhammad. Saw. Aku menjawab: saya tidak akan pernah mengingkari Muhammad S.aw. sampai kapanpun.

JIHAD POLITIK sesuai Tuntunan Rasul

PENDAHULUAN
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini sangat kompleks. Maraknya kasus korupsi di berbagai lini, kualitas pendidikan yang dinilai masih rendah, etos kerja rendah, kemiskinan semakin meningkat akibat dari berbagai faktor, dan krisis multidimensi, serta ditambah dengan permasalahan internasional yang berimplikasi terhadap masalah nasional. Semua itu memerlukan penanganan yang serius dari semua elemen bangsa sesuai dengan fungsi dan kemampuannya.
Begitu juga dalam aliran keagamaan, bermunculan tokoh dengan pengikut masing-masing yang bernaung di bawah panji Islam, dengan semua atributnya. Akan tetapi ajaran yang dikembangkan menyimpang dari Islam. Kondisi seperti ini tentu menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat. Lebih berbahaya lagi, dari segi ajaran, adanya penyimpangan dan penodaan terhadap Islam. Tidak heran jika kenyataan ini mendapatkan reaksi keras dari umat Islam yang tidak ingin agama Islam dinodai. Namun, yang disayangkan kadang reaksi yang muncul memberikan kesan yang bahkan dinilai ikut menodai Islam.
Di sisi lain, realitas di tengah-tengah pergulatan politik global, akhir-akhir ini umat Islam ada yang juga meresahkan seperti ada klaim bahwa segala macam bentuk teror, kekerasan identik dengan umat Islam yang memiliki ajaran jihad. Hal itu dimungkinkan dari banyaknya buku-buku fiqh, ketika membahas jihad lebih focus pada bahasan jihad dalam konteks perang.

Kemampuan Menyampaikan Kebenaran Terhadap Penguasa Zalim atau jihad politik
Jihad politik dalam bentuk sikap kritis konstruktif terhadap pemimpin, penguasa atau pejabat yang melakukan kekeliruan dan ketidak-adilan dalam menjalankan kepemimpinannya, atau penguasa/pemimpin yang memiliki karakter otoriter, tidak amanah dan anarkhis. Bahkan menurut Rasul, jihad ini dinilai sebagai jihad yang paling besar, dalam salah satu sabdanya beikut:

عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ 1.
Artinya: Abu Sa’id al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Sesunguhnya diantara jihad yang paling besar adalah mengemukakan kalimat keadilan terhadap penguasa lalim.

Jihad politik untuk memberikan pemahaman dan penjelasan argumentatif kepada pemimpin dianggap jihad paling besar karena kekeliruan/ketidakadilan seorang pemimpin dapat menimbulkan gejolak dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Dapat dimengerti bahwa jihad dalam bentuk ini dianggap lebih besar karena kebobrokan di dalam suatu wilayah yang disebabkan oleh karakteristik penguasanya dapat memancing berbagai macam reaksi, baik dari dalam maupun dari luar wilayah tersebut. Penguasa, pada prinsipnya, yang harus memulai mengatasi dan mengantisipasi terjadinya penyelewengan, dan kesemena-menaan. Jika ternyata penguasa yang melakukannya, reaksi yang dimunculkan masyarakat dapat membawa kerusuhan di tengah masyarakat dan mungkin dapat mengorbankan masyarakat banyak. Di samping dampak kezalimannya pada rakyat juga akan mengandung resiko yang besar bagi pelakunya. Di dalam jiwa setiap muslim mungkin saja terdapat penolakan terhadap kezaliman dan keinginan untuk memberontak terhadap orang yang zalim. Namun, untuk menyampaikan kepada penguasa atau pemimpin yang zalim, hanya orang yang memiliki semangat jihad tinggi yang siap menanggung berbagai kemungkinan yang akan muncul. Di sisi lain, seorang penguasa mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman terhadap orang yang tidak disukainya.
Orang yang dapat menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan hanya para intelektual. Dalam sejarah Islam dikenal peran beberapa intelektual, seperti imam Malik (w. 179 H) yang mendapatkan siksaan dari penguasa di zamannya yang mengingatkan khalifah Abbasiyah yang sudah keluar dari koridor kekhalifahan. Begitu juga dengan imam Abu Hanifah (w. 241 H) yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari penguasa karena tidak mengikuti kemauan khalifah yang tidak benar. Meskipun mereka harus menjadikan kebebasan dan hidupnya sebagai taruhan, mereka tetap menyatakan kebenaran sebagai koreksian kekeliruan penguasa.
Kemampuan para intelektual dalam menangani permasalahan yang dihadapi dengan berbagai dalil dan argumen sangat membantu dalam pelaksanaan koreksian tersebut. Oleh sebab itu, jihad yang bersifat korektif terhadap penguasa tersebut bertujuan untuk mengantisipasi bermacam keresahan yang membuat masyarakat tidak aman dan tidak nyaman berada di tempat tinggalnya.
Pernyataan Rasul Saw. dalam Hadis di atas memberikan pembatasan kepada intelektual untuk berani memberikan koreksian dan kritikan, dan tidak diperintahkan untuk meninggalkan penguasa yang seperti itu, juga tidak diperintahkan untuk mengangkat senjata untuk melawan mereka. Memberikan kritikan membangun dan koreksian tidak akan menimbulkan keresahan dan malapetaka bagi masyarakat.
Pada saat ini, di Indonesia kebanyakan masyarakat, yang tidak puas dengan kinerja pemimpin/penguasa melakukannya dengan demo, kadang anarchis sehingga menimbulkan kerusakan dan menelan korban sia-sia, bahkan dengan pengorbanan yang luar biasa, pesan yang disampaikan tidak sampai sasaran. Lebih miris lagi peserta demo, kadang tidak paham apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan. Agar koreksi terhadap penguasa/pemimpin yang zalim bernilai jihad, bahkan jihad yang paling besar, bukan hanya dengan mencari kekurangan dan ketidakpuasan semata. Tetapi dilengkapi datanya dengan fakta yang menunjukkan kekeliruan yang dilakukan pemimpin; disertai dengan dasar dan argumen yang jelas serta dapat dipertanggung jawabkan. Tidak kalah penting harus menawarkan solusinya dan disampaikan dengan santun, hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.
1. Hadis riwayat Al-Turmuzi, op.cit., juz 3, h. 318,Ibn Majah, op.cit., juz 2, h. 1329, dan Ahmad bin Hanbal op.cit., juz 3, h. 19, juz 4, h. 314, juz 5, h. 251 dan 256.