PENDAHULUAN
Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini sangat kompleks. Maraknya kasus korupsi di berbagai lini, kualitas pendidikan yang dinilai masih rendah, etos kerja rendah, kemiskinan semakin meningkat akibat dari berbagai faktor, dan krisis multidimensi, serta ditambah dengan permasalahan internasional yang berimplikasi terhadap masalah nasional. Semua itu memerlukan penanganan yang serius dari semua elemen bangsa sesuai dengan fungsi dan kemampuannya.
Begitu juga dalam aliran keagamaan, bermunculan tokoh dengan pengikut masing-masing yang bernaung di bawah panji Islam, dengan semua atributnya. Akan tetapi ajaran yang dikembangkan menyimpang dari Islam. Kondisi seperti ini tentu menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat. Lebih berbahaya lagi, dari segi ajaran, adanya penyimpangan dan penodaan terhadap Islam. Tidak heran jika kenyataan ini mendapatkan reaksi keras dari umat Islam yang tidak ingin agama Islam dinodai. Namun, yang disayangkan kadang reaksi yang muncul memberikan kesan yang bahkan dinilai ikut menodai Islam.
Di sisi lain, realitas di tengah-tengah pergulatan politik global, akhir-akhir ini umat Islam ada yang juga meresahkan seperti ada klaim bahwa segala macam bentuk teror, kekerasan identik dengan umat Islam yang memiliki ajaran jihad. Hal itu dimungkinkan dari banyaknya buku-buku fiqh, ketika membahas jihad lebih focus pada bahasan jihad dalam konteks perang.
Kemampuan Menyampaikan Kebenaran Terhadap Penguasa Zalim atau jihad politik
Jihad politik dalam bentuk sikap kritis konstruktif terhadap pemimpin, penguasa atau pejabat yang melakukan kekeliruan dan ketidak-adilan dalam menjalankan kepemimpinannya, atau penguasa/pemimpin yang memiliki karakter otoriter, tidak amanah dan anarkhis. Bahkan menurut Rasul, jihad ini dinilai sebagai jihad yang paling besar, dalam salah satu sabdanya beikut:
عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ 1.
Artinya: Abu Sa’id al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Sesunguhnya diantara jihad yang paling besar adalah mengemukakan kalimat keadilan terhadap penguasa lalim.
Jihad politik untuk memberikan pemahaman dan penjelasan argumentatif kepada pemimpin dianggap jihad paling besar karena kekeliruan/ketidakadilan seorang pemimpin dapat menimbulkan gejolak dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Dapat dimengerti bahwa jihad dalam bentuk ini dianggap lebih besar karena kebobrokan di dalam suatu wilayah yang disebabkan oleh karakteristik penguasanya dapat memancing berbagai macam reaksi, baik dari dalam maupun dari luar wilayah tersebut. Penguasa, pada prinsipnya, yang harus memulai mengatasi dan mengantisipasi terjadinya penyelewengan, dan kesemena-menaan. Jika ternyata penguasa yang melakukannya, reaksi yang dimunculkan masyarakat dapat membawa kerusuhan di tengah masyarakat dan mungkin dapat mengorbankan masyarakat banyak. Di samping dampak kezalimannya pada rakyat juga akan mengandung resiko yang besar bagi pelakunya. Di dalam jiwa setiap muslim mungkin saja terdapat penolakan terhadap kezaliman dan keinginan untuk memberontak terhadap orang yang zalim. Namun, untuk menyampaikan kepada penguasa atau pemimpin yang zalim, hanya orang yang memiliki semangat jihad tinggi yang siap menanggung berbagai kemungkinan yang akan muncul. Di sisi lain, seorang penguasa mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman terhadap orang yang tidak disukainya.
Orang yang dapat menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan hanya para intelektual. Dalam sejarah Islam dikenal peran beberapa intelektual, seperti imam Malik (w. 179 H) yang mendapatkan siksaan dari penguasa di zamannya yang mengingatkan khalifah Abbasiyah yang sudah keluar dari koridor kekhalifahan. Begitu juga dengan imam Abu Hanifah (w. 241 H) yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari penguasa karena tidak mengikuti kemauan khalifah yang tidak benar. Meskipun mereka harus menjadikan kebebasan dan hidupnya sebagai taruhan, mereka tetap menyatakan kebenaran sebagai koreksian kekeliruan penguasa.
Kemampuan para intelektual dalam menangani permasalahan yang dihadapi dengan berbagai dalil dan argumen sangat membantu dalam pelaksanaan koreksian tersebut. Oleh sebab itu, jihad yang bersifat korektif terhadap penguasa tersebut bertujuan untuk mengantisipasi bermacam keresahan yang membuat masyarakat tidak aman dan tidak nyaman berada di tempat tinggalnya.
Pernyataan Rasul Saw. dalam Hadis di atas memberikan pembatasan kepada intelektual untuk berani memberikan koreksian dan kritikan, dan tidak diperintahkan untuk meninggalkan penguasa yang seperti itu, juga tidak diperintahkan untuk mengangkat senjata untuk melawan mereka. Memberikan kritikan membangun dan koreksian tidak akan menimbulkan keresahan dan malapetaka bagi masyarakat.
Pada saat ini, di Indonesia kebanyakan masyarakat, yang tidak puas dengan kinerja pemimpin/penguasa melakukannya dengan demo, kadang anarchis sehingga menimbulkan kerusakan dan menelan korban sia-sia, bahkan dengan pengorbanan yang luar biasa, pesan yang disampaikan tidak sampai sasaran. Lebih miris lagi peserta demo, kadang tidak paham apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan. Agar koreksi terhadap penguasa/pemimpin yang zalim bernilai jihad, bahkan jihad yang paling besar, bukan hanya dengan mencari kekurangan dan ketidakpuasan semata. Tetapi dilengkapi datanya dengan fakta yang menunjukkan kekeliruan yang dilakukan pemimpin; disertai dengan dasar dan argumen yang jelas serta dapat dipertanggung jawabkan. Tidak kalah penting harus menawarkan solusinya dan disampaikan dengan santun, hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.
1. Hadis riwayat Al-Turmuzi, op.cit., juz 3, h. 318,Ibn Majah, op.cit., juz 2, h. 1329, dan Ahmad bin Hanbal op.cit., juz 3, h. 19, juz 4, h. 314, juz 5, h. 251 dan 256.
Begitu juga dalam aliran keagamaan, bermunculan tokoh dengan pengikut masing-masing yang bernaung di bawah panji Islam, dengan semua atributnya. Akan tetapi ajaran yang dikembangkan menyimpang dari Islam. Kondisi seperti ini tentu menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan masyarakat. Lebih berbahaya lagi, dari segi ajaran, adanya penyimpangan dan penodaan terhadap Islam. Tidak heran jika kenyataan ini mendapatkan reaksi keras dari umat Islam yang tidak ingin agama Islam dinodai. Namun, yang disayangkan kadang reaksi yang muncul memberikan kesan yang bahkan dinilai ikut menodai Islam.
Di sisi lain, realitas di tengah-tengah pergulatan politik global, akhir-akhir ini umat Islam ada yang juga meresahkan seperti ada klaim bahwa segala macam bentuk teror, kekerasan identik dengan umat Islam yang memiliki ajaran jihad. Hal itu dimungkinkan dari banyaknya buku-buku fiqh, ketika membahas jihad lebih focus pada bahasan jihad dalam konteks perang.
Kemampuan Menyampaikan Kebenaran Terhadap Penguasa Zalim atau jihad politik
Jihad politik dalam bentuk sikap kritis konstruktif terhadap pemimpin, penguasa atau pejabat yang melakukan kekeliruan dan ketidak-adilan dalam menjalankan kepemimpinannya, atau penguasa/pemimpin yang memiliki karakter otoriter, tidak amanah dan anarkhis. Bahkan menurut Rasul, jihad ini dinilai sebagai jihad yang paling besar, dalam salah satu sabdanya beikut:
عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ 1.
Artinya: Abu Sa’id al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Sesunguhnya diantara jihad yang paling besar adalah mengemukakan kalimat keadilan terhadap penguasa lalim.
Jihad politik untuk memberikan pemahaman dan penjelasan argumentatif kepada pemimpin dianggap jihad paling besar karena kekeliruan/ketidakadilan seorang pemimpin dapat menimbulkan gejolak dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Dapat dimengerti bahwa jihad dalam bentuk ini dianggap lebih besar karena kebobrokan di dalam suatu wilayah yang disebabkan oleh karakteristik penguasanya dapat memancing berbagai macam reaksi, baik dari dalam maupun dari luar wilayah tersebut. Penguasa, pada prinsipnya, yang harus memulai mengatasi dan mengantisipasi terjadinya penyelewengan, dan kesemena-menaan. Jika ternyata penguasa yang melakukannya, reaksi yang dimunculkan masyarakat dapat membawa kerusuhan di tengah masyarakat dan mungkin dapat mengorbankan masyarakat banyak. Di samping dampak kezalimannya pada rakyat juga akan mengandung resiko yang besar bagi pelakunya. Di dalam jiwa setiap muslim mungkin saja terdapat penolakan terhadap kezaliman dan keinginan untuk memberontak terhadap orang yang zalim. Namun, untuk menyampaikan kepada penguasa atau pemimpin yang zalim, hanya orang yang memiliki semangat jihad tinggi yang siap menanggung berbagai kemungkinan yang akan muncul. Di sisi lain, seorang penguasa mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman terhadap orang yang tidak disukainya.
Orang yang dapat menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan hanya para intelektual. Dalam sejarah Islam dikenal peran beberapa intelektual, seperti imam Malik (w. 179 H) yang mendapatkan siksaan dari penguasa di zamannya yang mengingatkan khalifah Abbasiyah yang sudah keluar dari koridor kekhalifahan. Begitu juga dengan imam Abu Hanifah (w. 241 H) yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari penguasa karena tidak mengikuti kemauan khalifah yang tidak benar. Meskipun mereka harus menjadikan kebebasan dan hidupnya sebagai taruhan, mereka tetap menyatakan kebenaran sebagai koreksian kekeliruan penguasa.
Kemampuan para intelektual dalam menangani permasalahan yang dihadapi dengan berbagai dalil dan argumen sangat membantu dalam pelaksanaan koreksian tersebut. Oleh sebab itu, jihad yang bersifat korektif terhadap penguasa tersebut bertujuan untuk mengantisipasi bermacam keresahan yang membuat masyarakat tidak aman dan tidak nyaman berada di tempat tinggalnya.
Pernyataan Rasul Saw. dalam Hadis di atas memberikan pembatasan kepada intelektual untuk berani memberikan koreksian dan kritikan, dan tidak diperintahkan untuk meninggalkan penguasa yang seperti itu, juga tidak diperintahkan untuk mengangkat senjata untuk melawan mereka. Memberikan kritikan membangun dan koreksian tidak akan menimbulkan keresahan dan malapetaka bagi masyarakat.
Pada saat ini, di Indonesia kebanyakan masyarakat, yang tidak puas dengan kinerja pemimpin/penguasa melakukannya dengan demo, kadang anarchis sehingga menimbulkan kerusakan dan menelan korban sia-sia, bahkan dengan pengorbanan yang luar biasa, pesan yang disampaikan tidak sampai sasaran. Lebih miris lagi peserta demo, kadang tidak paham apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan. Agar koreksi terhadap penguasa/pemimpin yang zalim bernilai jihad, bahkan jihad yang paling besar, bukan hanya dengan mencari kekurangan dan ketidakpuasan semata. Tetapi dilengkapi datanya dengan fakta yang menunjukkan kekeliruan yang dilakukan pemimpin; disertai dengan dasar dan argumen yang jelas serta dapat dipertanggung jawabkan. Tidak kalah penting harus menawarkan solusinya dan disampaikan dengan santun, hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.
1. Hadis riwayat Al-Turmuzi, op.cit., juz 3, h. 318,Ibn Majah, op.cit., juz 2, h. 1329, dan Ahmad bin Hanbal op.cit., juz 3, h. 19, juz 4, h. 314, juz 5, h. 251 dan 256.