Untuk mencari dan menentukan pilihan calon suami pada umumnya memang dilakukan oleh laki-laki. Perempuan hanya menunggu datangnya laki-laki yang melamarnya. Namun, keumuman itu bukan berarti bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk melakukan atau menentukan sendiri pilihannya. Berdasarkan bukti sejarah diketahui, bahwa perempuan dapat melamar laki-laki yang disukainya. Hal itu dapat dilihat dalam hadis berikut:
ثَابِت الْبُنَانِيَّ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ أَنَسٍ وَعِنْدَهُ ابْنَةٌ لَهُ قَالَ أَنَسٌ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرِضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَكَ بِي حَاجَةٌ فَقَالَتْ بِنْتُ أَنَسٍ مَا أَقَلَّ حَيَاءَهَا وَا سَوْأَتَاهْ وَا سَوْأَتَاهْ قَالَ هِيَ خَيْرٌ مِنْكِ رَغِبَتْ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَضَتْ عَلَيْهِ نَفْسَهَا
Berdasarkan riwayat di atas, pada masa Rasul seorang perempuan dapat saja melamar laki-laki yang diinginkannya. Namun tidak ditemukan penjelasan apakah ia mempunyai wali atau tidak. Hal itu terjadi pada diri Nabi saw sendiri. Meskipun Nabi saw tidak menerima lamaran tersebut, Nabi saw tidak menegur perempuan itu mengenai apa yang dilakukannya. Bahkan Nabi saw memberikan kesempatan kepada sahabatnya untuk menikahi perempuan itu.
Hak yang diberikan kepada perempuan dalam menentukan pendamping hidupnya sangat besar. Ada perbedaan perlakuan yang diberikan Rasul terhadap anak perempuan sesuai dengan statusnya, perawan atau janda.
Begitu juga ketika orang tua memutuskan bahwa anak perempuannya harus menikah, maka anaknya harus dimintai izin dalam menerima pendamping yang akan menikahinya. Orang tua tidak dapat memutuskan sendiri tanpa adanya persetujuan dari anaknya. Persetujuan itu dibedakan oleh Rasul antara anak gadis dengan yang sudah janda. Ketentuan itu dapat dilihat dalam hadis berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Berdasarkan riwayat di atas, sebelum memutuskan untuk menikahkan anak perempuan, wali harus meminta persetujuan anaknya baik anaknya masih perawan atau sudah janda. Ada sedikit perbedaan antara perwujudan dari rasa setuju dari anak perempuan yang sudah janda dan perawan. Untuk yang sudah janda persetujuannya eksplisit, sedangkan yang masih perawan persetujuannya dapat dilihat dari indikatornya saja, seperti diam dan lainnya yang menunjukkan bahwa ia setuju dengan keputusan orang tuanya.(Al-Bukhari, op.cit., juz III, h. 2127, Muslim, op.cit., juz II, 1036, al-Turmuzi, op.cit., h. 286, al-Nasa’i, op.cit., juz VI, h. 85, Ibn Majat, op.cit.,h. 601-602 al-Darimi, op.cit., h. 138, dan Malik bin Anas, op.cit., h. 331.)
Pada masa Rasul terjadi suatu peristiwa yang menimpa seorang perempuan (perawan) yang dikawin paksa oleh ayahnya. Ia dinikahkan oleh ayahnya dengan laki-laki (anak pamannya) yang tidak disukainya. Kenyataan itu terekam dalam riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ قَالَتِ اجْلِسِي حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Dalam riwayat di atas, dinyatakan bahwa perempuan itu menceritakan masalahnya kepada ‘Aisyah ummul mukminin. ‘Aisyah menyarankan agar ia menunggu jawaban dari Rasul terhadap masalahnya. Akhirnya Rasul memberikan keputusan sesuai dengan keinginan perempuan itu. Artinya, jika ia tidak menyukainya, ia mempunyai hak untuk dapat memohonkan perceraian dari perkawinan yang terpaksa itu. Meskipun demikian, penggugat menerima apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya.(Abu Daud, juz II, h. 232, Ibnu Majah, juz I, h. 603 dan Ahmad bin Hanbal juz I, h. 273)
Dalam hadis perempuan tersebut dengan eksplisit menyatakan bahwa pengaduannya itu bertujuan untuk mengetahui apakah perempuan mempunyai hak untuk menyatakan keengganan dan ketidak-senangannya atau tidak. Tarnyata ia menemukan bahwa Islam sangat meperhatikan pengaduannya dan memutuskan untuk memilih apakah ia akan melanjutkan atau membatalkannya.
Dari riwayat itu diketahui bahwa kemujbiran orang tua dapat digugurkan dengan keterpaksaan anak. Diketahui bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah. Agaknya, atas pertimbangan untuk mewujudkan tujuan perkawinan itulah Rasul memberikan putusan yang seperti itu. Bagaimana tujuan rumah tangga mawaddah dan rahmah akan terwujud jika keluarga dibentuk atas dasar paksaan.
Berdasarkan riwayat di atas, anak perempuan (perawan) dapat memohonkan protes atas pilihan orang tuanya, karena yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah ia sendiri. Rasul pun menyetujui permohonannya itu. Ini menunjukkan bahwa kemujbiran (daya paksa) seorang wali tidak mendapatkan tempat di dalam Islam. Anak perempuan mempunyai hak untuk menyampaikan keluhan dan keterpaksaannya dan mendapatkan haknya untuk hidup dengan pilihannya sendiri.
Untuk janda yang dikawinkan secara paksa, putusan yang diberikan oleh Rasul lebih tegas dibandingkan dengan anak perawan di atas. Dalam sebuah hadis, Rasul memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh Khansa’ binti Khidam al-Anshariyyah yang berstatus janda. Ia dinikahkan secara paksa oleh bapaknya, kemudian Rasul menolak perkawinan itu.(al- Bukhari, juz III, h. 2127, juz IV, h. 2779, Abu Daud, h. 233, Ibnu Majah, h. 602, al-Darimi, h. 139, Malik bin Anas, h. 338, al-Nasa'i , juz VI, h. 86, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h. 364 dan juz VI, h. 328-329) Ketentuan ini sebagai konsekwensi logis dari larangan menikahkan anak perempuan (janda) tanpa izinnya yang pasti yang sudah diungkap sebelumnya.