Bahkan akhir-akhir ini dengan maraknya korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat
Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat.
A. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas
Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah atau cendera mata yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Misalnya seorang pejabat atau petugas yang dikirim oleh suatu instansi untuk melakukan tugas pemeriksaaan, misalnya. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan semua, mulai dari transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.
Di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Untuk pejabat, amil atau petugas yang telah diberi imbalan, gaji, atau insentif untuk pelaksanaan tugasnya, bolehkah menerima hadiah? Begitu juga dengan hakim, Untuk menjawabnya, dapat dilihat hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Artinya: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” atau korup.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk untuk melakukan sesuatu, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Dari kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.
Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang ‘amil zakat yang diberi tugas oleh Rasul Saw. untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.
Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Pelaksanaan tugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah sangat berat, terutama dalam mengatasi dan menghindarkan diri dari melakukan penyelewengan atau korup terhadap dana yang dikelolanya. Karena pada masalah yang seperti ini, peluang untuk melakukan penyelewengan itu terbuka lebar, ditambah dengan rayuan syetan yang menginginkan orang tidak berjalan di rel yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu seseorang yang bertugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah dituntut untuk dapat mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap Hadis dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah Saw. dalam sabda berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ
Artinya: Rafi’ bin Khudaij mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang mengelola harta zakat dengan benar sama seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya’.”
Menurut riwayat di atas, ‘amil zakat/ sedekah secara eksplisit disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Ini secara inplisit terdapat tuntutan agar ‘amil atau pengelola zakat melakukan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan tugas dengan benar menyangkut semua tugas yang berkaitan dengan kontribusi, distribusi dan penentuan mustahiq. Dalam riwayat di atas, seorang ‘amil zakat dituntut untuk melakukan tugasnya dengan benar dan tidak menyeleweng. amil harus dapat menyalurkan harta zakat yang sudah dikumpulkan itu kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ‘amil yang menjalankan tugasnya dengan benar atau tidak korup, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Agaknya penyamaan tersebut disebabkan oleh godaan berat yang harus dihadapi dalam menunaikan tugas sebagai ‘amil.
Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang untuk melakukan sesuatu, jangankan untuk korup dan menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja dilarang. Secara konstitusi atau aturan, sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan.
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas tersebut mungkin akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.