Manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai keistimewaan tersendiri di bandingkan dengan makhluk lainnya. Perbedaan ini nyata terletak pada sifat kehidupan rohaninya yaitu berupa potensi akal budi yang dimilikinya. Dengan potensi itu manusia dapat berbuat dan berfikir sesuai dengan kemampuan akalnya, sehingga ia dapat memahami hal-hal yang abstrak di samping yang kongkrit.
Kemampuan berpikir sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia, karena kemampuan
berpikir itu mempengaruhi kemampuan berkreasi. Berpikir sebagai gejala jiwa dapat menetapkan hubungan antara pengetahuan yang pernah dialami selama ini. Sehingga
pengetahuan yang telah diperoleh akan tetap berkembang selama proses berpikir masih berjalan.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pengetahuan itu sampai ke tangan manusia menempuh dua jalur yaitu :
Ilmu abadi (perenial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam Alquran dan hadis, serta segala yang dapat diambil dari keduanya. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) ternasuk sains, kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif dan pengadaan, fariasi terbatas dan pengalihan antara budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.1
Pengetahuan yang didapat manusia lewat jalur pertama sudah siap pakai tinggal memahami dan mengamalkannya, yang dijadikan sebagai pegangan hidup yakni Alquran dan hadis. Jalur kedua adalah pengetahuan yang belum siap pakai dan memerlukan daya nalar yang akhirnya melahirkan teknologi. Hal ini dapat ditangkap dari isyarat yang diberikan misalnya QS. Ali Imran/3: 190-191 berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190), yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, periharalah kami dari siksaan neraka.
Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa zikir dan berpikir merupakan indikator dari ulil albab (orang yang berakal). Oleh sebab itu pendidikan harus diarahkan kepada mempersiapkan manusia yang serasi dalam zikir dan fikir. Namun, dalam kenyataan sekarang pendidikan lebih menekankan pada tujuan “pandai”. Mochtar Naim mengungkapkan: “ Di bidang pendidikan yang ditekankan adalah menjadi “pintar” atau “pandai”tetapi tidak menjadi “cerdas”. Untuk menjadi pintar atau pandai, kita tahu, jangankan manusia, binatangpun bisa diajar.2 Tentu saja ada perbedaan antara pembelajaran pada manusia, yang melibatkan semua komponen yang telah diberikan Allah.
1. Tipologi Penuntut Ilmu
Islam dengan semua ajarannya mengajak manusia ke jalan kebaikan, kemaslahatan, memperkenalkan yang haq dan menjelaskan hukum-hukum yang semuanya mengarah kepada kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dalam menuntut ilmu perolehan yang didapat oleh seseorang berbeda dengan yang lain, karenanya ada beberapa kemungkinan yang akan diperoleh oleh seseorang, karena perbedaan keadaan jiwa dan persiapan serta kesungguhannya, seperti yang dijelaskan Rasulullah Saw. dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلآ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاتُمْسِكُ مَاءً وَلاا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ 3
Dari Abu Musa, Nabi bersabda hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepada saya ibarat hujan lebat yang menyirami bumi. Ada jenis tanah yang subur, keyika hujan turun ia menyerap air, lalu menumbuhkan rerumputandan tanaman yang beragam. Ada jenis tanah yang kering, menyerap air, dan air tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk minum, menyirami kebun dan bercocok tanam. Ada jenis tanah tandus tidak menerima curahan hujan dan tidak menumbuhkan tanaman apapun. Itulah ibarat orang yang memahami agama Allah dan ia menggunakan apa yang disampaikan Rasulullah, kemudian ia mengilmuinya dan mengajarkannya kepada orang lain. Kedua adalah ibarat orang yang tidak peduli dengan apa yang diberikan Allah. Yang ketiga ibarat orang yang tidak menerima hidayah dan ilmu keislaman
Rasulullah diutus kepada umatnya dengan al-Qur’an yang dapat mengarahkannya kepada kebaikan, menunjukinya dengan sesuatu yang mendatangkan maslahat. Rasul memberitahu yang harus diketahui, menjelaskan hukum-hukum, dan memberantas kebodohan. Namun demikian, manusia berbeda dalam merespons ilmu dan hidayah yang diberikan, karena ada operbedaan kondisi hati dan kesiapan menerima ilmu.
Berdasarkan hadis ini ada tiga tipe penuntut ilmu yang digambarkan Rasulullah yaitu:
1.Tipe yang digambarkan Rasulullah seperti tanah yang subur yang disirami hujan, yang dapat menahan air dan dapat menumbuhkan tanaman beraneka ragam.
Contoh ini diberikan untuk mengambarkan Tipe orang yang memiliki kebersihan hati, dan tidak menodainya dengan perbuatan dosa dan kejahatan. Mereka yang mau berusaha memahami agama Allah, mempelajari, MENGAMALKAN dan mengajarkannya kepada orang lain. Jika dikaitkan dengan Q.S. al-Nahl: 78, tipe ini adalah orang yang menggunakan semua potensi yang diberikan Allah kepadanya. Sehingga ilmu yang diperolehnya bermanfaat untuk dirinya, untuk orang lain, dan bahkan ilmu tersebut dapat dikembangkan
2. Tipe yang dicontohkan Rasulullah Saw. seperti tanah yang keras yang disirami hujan, dapat menahan air hujan, yang dapat dimanfaatkan orang lain untuk minum, menyirami lahan dan untuk bercocok tanam.
Contoh ini diberikan oleh Rasulullah Saw. untuk menggambarkan orang yang menuntut ilmu secara mendalam. Secara keilmuan ia dapat dikatakan pakar/ahli, BAHKAN MEMILIKI GELAR AKADEMIK YANG TINGGI dan ilmu yang dimilikinya tidak berbekas pada dirinya. Ilmunya tidak diamalkannya, tetapi ilmu yang dituntutnya dapat dimanfaatkan orang lain.
3. Seperti tanah tandus yang disirami hujan, yang tidak menyimpan air dan tidak dapat ditumbuhi tanaman dan rumput.
Contoh ini diberikan untuk menggambarkan orang yang tidak ada bedanya setelah atau sebelum menuntut ilmu, tidak ada manfaat dari usahanya untuk perbaikan dirinya dan orang lain. Ilmu yang dicari, dipelajari tidak membuahkan apa-apa pada dirinya, tidak dapat mengembangkannya.
==================
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran; Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 62-63.
2. Mochtar Naim, Agama dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Makalah (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1996), h. 5.
3. al- Bukhari, dalam kitab ‘ilmu no 77 dan Muslim
Jumat, 18 Maret 2011
TIPOLOLOGI PENUNTUT ILMU
01.26
tadabbur