PERSEPSI TENTANG PERNIKAHAN
MENURUT TUNTUNAN RASULULLAW SAW.
Berbagai persepsi tentang pernikahan muncul di kalangan remaja, ada yang menyatakan pernikahan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan seks, ada juga yang menganggapnya sebagai sarana untuk meringankan kesulitan ekonomi, ada juga yang melakukannya karena takut dikatakan sebagai orang yang tidak “laku”, Bahkan menikah hanya untuk mengikuti “mode”, dan yang sejenisnya. Semua itu sifatnya tidak mendasar dan sangat relatif. Ibarat fondasi dari suatu bangunan, persepsi tersebut sangat rapuh, sehingga keluarga yang dibina di atasnya tidak berdiri dengan mantap dan mudah rubuh. Salah satu prsayarat yang menentukan dalam pernikahan dan akan mempunyai pengaruh terhadap keutuhan keluarga adalah Persepsi tentang pernikahan. oleh sebab itu, agar tidak keliru, maka persepsi tentang pernikahan harus diluruskan.
1. Bukan hanya sekedar Pemenuhan Seks
Manusia dalam kehidupannya memerlukan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dari ketentuan yang diberikan, Islam melarang penganutnya melampiaskan naluri seksnya secara bebas(QS. al-Isra’ (17):32; QS. al-Nur (24):2 dan 3; al-Bukhari, juz IV, h. 2727-2729) Larangan tersebut tidak bertujuan untuk mengingkari eksistensi naluri seks seperti yang dipahami oleh para rahib. (‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, 1993, h. 23) Akan tetapi Islam memberikan solusi yang lebih wajar dan manusiawi
Bagi manusia, pemenuhan kebutuhan seks bukan hanya sekedar untuk memenuhi keinginan sebagaimana yang dilakukan oleh makhluk Allah lainnya (hewan) Rasul memberikan arahan bahwa muslim yang sudah mampu agar menikah, dengan menikah dapat menjaga dan menghindarkan diri dari penyaluran seks secara bebas. Bagi yang belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat mengendalikan gelora nafsu (Al-Bukhari, juz III, h. 2098-2099, Muslim, juz II, h. 1018-1020, Abu Daud, juz II, h. 219, al-Nasa’i, juz IV, h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Ibn Majah, juz I, h. 592, al-Darimi, h. 132, dan Ahmad bin Hanbal, juz I,h. 58, 378, 424, 425, 432, dan 447, al-Turmuzi, juz II, h. 272-273) Persepsi seperti ini akan membuahkan hasil, yaitu keluarga yang terbentuk akan terhindar dari penyelewengan (selingkuh).
Yang diperintah untuk melakukan pernikahan adalah pemuda karena ia mempunyai potensi yang lebih besar mendorong mereka untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya (al-Atsqalani, juz X, 1414/1993, h. 135,al-Nawawi, jilid V, juz IX, 1924, h. 173, al-Mubarakfuri, jilid IV, 1399,h. 194, al-Saharanfuri, juz X, h. 7) Bahaya yang akan muncul pada pemuda biasanya lebih besar untuk dirinya sendiri atau pun masyarakat (Singgih D. Gunarsa dan Yulia Simggih D, 1993, h. 91) Persepsi ini berimplikasi terhadap upaya pemeliharaan kesucian diri dari semua godaan dan penyelewengan yang sangat dilarang oleh Islam (al-Bukhari dan Muslim) dan dapat mengancam keutuhan keluarga.
2. Menjalankan Perintah dan Sunnah Rasul
Realitas di masyarakat ada yang menganggap pernikahan sebagai sarana untuk meringankan kesulitan ekonomi. atau karena perasaan takut dikatakan sebagai orang yang tidak “laku”, atau hanya untuk mengikuti “mode” Persepsi tentang pernikahan yang dituntunkan Rasul dalam hadisnya yang panjang adalah dalam rangka menjalankan perintah Rasul, yang akan berimplikasi pada upaya untuk menjaga pernikahan sama dengan penjagaan terhadap perintah Rasul lainnya. Juga pada proses pelaksanaan pernikahan yang sesuai dengan dan mengacu pada tuntunan yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan Hadis Rasul.
Juga ada ancaman bagi yang tidak mau menikah, tanpa alasan yang dibenarkan berarti ia tidak mengikuti pola hidup yang dituntunkan Rasul (Al-Bukhari, juz III, h. 2097. Muslim, juz II, h. 1020, al-Nasa’i, juz VI, h. 60, al-Darimi, h. 133, Ibn Majat, h. 592-593, dan Ahmad bin Hanbal, juz II, h. 158, juz III, h. 239, juz V, h. 409, dan juz VI, h. 57) dan memakai pola hidup lain (Al-Nawawi, h. 176, dan al-Atsqalani, Fath al-Bari, h. 131)Bahkan ada yang eksplisit menyatakan sebagai tidak mengikuti sunnah Rasul (al-Turmuzi, h. 272 dan Ibn Majat, h. 592) Ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang tidak mengakui pernikahan sebagai salah satu yang diatur dalam Islam. Dengan demikian, tidak termasuk dalam ancaman ini orang yang tidak menikah dengan alasan lain. Seperti karena tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dan tidak membawa ia keluar dari Islam (Al-Astsqalani,h.131)
3. Pernikahan Yang Benar adalah Sarana Bantuan Allah
Dalam realitas di tengah-tengah masyarakat, terlihat adanya fenomena sebagian orang merasa takut untuk berkeluarga, karena khawatir lebih terkekang dan dihantui oleh beratnya tanggung jawab ekonomi, perasaan aman, kasih sayang dan perhatian dan pendidikan anak yang harus dipikul setelah berkeluarga (Ibn Musthafa, 1993, h. 23) sementara itu naluri seksualnya tetap ada. Memang menurut Islam, berkeluarga mempunyai konsekwensi munculnya kewajiban yang harus ditanggung oleh semua pihak yang terlibat dalam keluarga.
Dalam sabda Rasul yang berarti … orang yang mendapatkan bantuan Allah adalah orang yang menikah dengan maksud untuk menjaga diri agar tidak melakukan maksiat. (Al-Turmuzi, juz III, h. 103, al-Nasa’i, juz VI, hal. 15-16 dan 61 dan Ahmad bin Hanbal, juz II, 251 dan 437), yaitu memelihara diri dari godaan yang dapat mengarah pada penyaluran seks bebas dan penyelewengan seksual (al-Mubarakfuri, juz V, h. 296) seperti hubungan seks sejenis homo seksual atau lesbian. Dalam konteks ini Allah akan memberikan pertolongan kepada orang tersebut dalam menjalani kehidupan keluarganya dan dalam merespons dan mengatasi masalah yang dihadapi oleh keluarga.
Rasul menggunakan berbagai versi untuk memberikan arahan dalam mempersepsi pernikahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa menikah bukan hanya sebagai tameng dari penyelewengan, akan tetapi untuk menjaga eksistensi umat Islam dan mengikuti sunnah Nabi.
4. Cara Meninggalkan tabattul (sikap hidup membujang)
Dalam Al-Qur'an (Q.S. Ali ‘Imran/3:14), laki-laki mempunyai kecenderungan terhadap perempuan. Sehingga dilarang keras untuk bersikap sebaliknya yaitu memilih tidak menikah (tabattul (Ahmad bin Hanbal, juz III, h. 158 dan 245. al-Turmuzi, juz II, h. 273, al-Nasa’i, juz VI, h. 59-60, Ibn Majat, h. 593, al-Darimi, juz II, h. 133) Bahkan Sahabat menyatakan jika dibolehkan sikap itu, sahabat akan menjalaninya. (Al-Bukhari, juz III, h. 2101, Muslim, juz II, 1020-1021, Abu Daudjuz II, h. 273, al-Nasa’i, juz VI, h. 58, Ibn Majat, dan Ahmad bin Hanbaljuz I, h. 176 dan 182) Atau menghindarkan diri dari perempuan dan tidak mau menikah (al-Mubarakfuri, h. 200 dan 202-203)
Larangan tabattul karena dikhawatirkan sikap hidup membujang tersebut akan membuka peluang bagi pria atau wanita untuk melakukan penyaluran kebutuhan seksual melalui cara yang tidak dibenarkan oleh Islam. Atau akibat negatif bagi fisik dan psikis,yaitu : (1) melemahkan anggota tubuh utama yaitu hati dan IQ, yang berpengaruh terhadap daya intelektual seseorang. (2) berarti merusak dunia dan keturunan. (al-Razi, jilid VI juz XII, 1994/1414, h. 74. Meskipun keengganan seseorang untuk menikah dan menghindari semua kenikmatan yang diperoleh dalam hidup berkeluarga disebabkan oleh adanya keinginan beribadah kepada Allah (Al-Atsqalani, h. 118, dan al-Nawawi, h. 176-177). Pengertian kedua ini senada dengan pengertian kata al-tabattul dalam QS. al-Muzammil (73):8, yaitu memusatkan diri hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Muhammad Hasan al-Mahshi, h. 574.
Artinya, beribadah bukan dalam artian sempit, tetapi ibadah dalam arti luas. Pemenuhan kebutuhan hidup, seperti mancari nafkah, manyalurkan kebutuhan seks merupakan ibadah apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam. Karena Rasul ketika dialog dengan sahabat ttg penyaluran kebutuhan seks dengan isteri dapat pahala ?, Rasul menjawab dengan jika menyalurkan seks pada tempat yang haram dijatuhi hukuman dan dosa. maka jalan yang halal, seseorang akan mendapatkan pahala (Muslim, juz 2, h. 697-698.)
Kamis, 14 Februari 2008
Persepsi Ttg Pernikahan
23.45
tadabbur