Selasa, 20 September 2016

Pemeliharaan Hadis Pada Masa Rasul


BENTUK PEMELIHARAAN HADIS PADA MASA RASULULLAH
Hadis Rasulullah sangat urgen bagi pemahaman ajaran Islam dari sumber pertamanya secara tepat. Namun, dalam perjalanannya  terdapat berbagai hal yang berimplikasi pada otoritas dan validitas hadis Rasulullah. 
Pemeliharaan Hadis Rasul terlihat dari kondisi dan situasi yang berpengaruh terhadap pemeliharaan hadis Rasul, dan bentuk pemeliharaan hadis dari kondisi tersebut. Cara ini ditempuh dengan alasan, secara historis perbedaan situasi dan kondisi pada masa tertentu berpengaruh terhadap usaha atau kebijakan yang diambil untuk menjaga hadis Rasul.
A.   Pemeliharaan Hadis pada Masa Rasulullah
Pemeliharaan Hadis pada masa Rasulullah memiliki keistimewaan yang ditandai dengan tiga kondisi. Pertama pemeliharaan hadis bersamaan dengan keharusan sahabat menghapal al-Qur’an, karena pada waktu itu masih masa turunnya al-Qur;an. Kedua, waktu itu bersamaan dengan masa perang antara umat muslim dengan non muslim, dan Rasulullah ada di tengah-tengah umat Islam. Ketiga, para sahabat hidup bersama Rasul dan tidak ada batas antara Rasul dengan sahabat. Bahkan para sahabat ada yang bersama Rasul di mesjid, pasar, dalam perjalanan, atau bahkan dalam berbagai kesempatan. [1] Hal itu menunjukkan bahwa Rasul dalam mewurudkan hadis tidak terbatas pada tempat khusus.
Realitas tersebut di atas berakibat pada penerimaan dan pemeliharaan hadis Rasul.  Ada sebagian sahabat yang menerima hadis yang tidak diterima oleh sahabat lainnya.  Terutama pada hadis dalam bentuk fi’liyah yang hanya dilakukan Rasul dihadapan sebagian sahabat atau taqrir yang berkenaan dengan sahabat tertentu.
Kondisi dan situasi yang mengitari perkembangan hadis pada setiap periode, berdasarkan penelusuran terhadap berbagai sumber data menunjukkan adanya perbedaan bentuk pemeliharaan hadis Rasulullah. Di setiap periode mempunyai spesifikasi masing-masing, meskipun ada beberapa kesamaan namun masih dapat dikemukakan aspek yang membedakan dari masing-masing periode.
Pemeliharaan hadis pada masa Rasulullah mencakup cara Rasul memelihara hadisnya,  upaya pencarian hadis oleh sahabat kepada Rasul, penghapalan para sahabat dan penyampaian hadis Rasul oleh Rasul atau pun oleh sahabat.
Sahabat mendengar serta memperhatikan segala sesuatu yang berasal dari Rasul SAW. baik qaul (perkataan), af’al (perbuatan) serta taqrir (persetujuan) Rasul SAW., bahkan sifat dan hal-ihwal Rasul. Memelihara dan menjaga hadis yang diucapkan Rasul secara langsung tentu berbeda dengan hadis yang merupakan dialog antara Rasul dengan sahabat, dan dengan yang dilakukan atau taqrir Rasul.
1.   Cara Rasulullah Memelihara Hadis

a.     Menyampaikan hadis dengan memperhatikan kondisi dan situasi sahabat.
Sebagai salah satu upaya penjagaan hadis, Rasulullah menyampaikan hadis kepada sahabat dengan memperhatikan kondisi psikisnya.  Hal itu terlihat dari beberapa riwayat riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud dan Anas:
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah selalu meringankan pembelajaran kami pada saat yang melelahkan kami. [2]
Kondisi psikis dan pisik para sahabat dijadikan faktor yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah.  Begitu juga timing yang tepat dalam menyampaikan hadis kepada sahabat.  Semua faktor ini menjadi unsur penunjang dalam memelihara hadis yang disampaikan Rasul. Kelelahan akan mempengaruhi tingkat konsentrasi sahabat.
   Di samping itu, ada cara yang selalu dipraktekkan oleh Rasul dan bukan hanya dituntunkan kepada sahabat dalam menyampaikan hadis seperti yang terlihat dalam hadis berikut:
Dari Anas bin Malik Rasulullah bersabda: Mudahkanlah dan jangan disulitkan, beri berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari. [3]
Dalam menyampaikan hadis Rasul dan menjelaskan materi ke-Islaman, Rasul memegang prinsip yang akan membuat sahabat atau umat Islam pada waktu itu dapat memelihara dan melaksanakan Islam dengan sukarela dan penuh keikhlasan.
b.    Melakukan Koreksian dan arahan terhadap Sahabat
Koreksian yang diberikan oleh Rasul merupakan bentuk pemeliharaan sunnah Rasul agar tetap sesuai dengan yang dituntunkan Rasul. Sebagai contoh, koreksian Rasul berkaitan dengan cara salat sahabat yang tidak sesuai dengan yang telah diajarkan Rasul. Pelaksanaan salat yang  benar, Rasul sampai mengoreksi sahabat yang belum sempurna menyontoh yang sudah dituntunkan Rasul sampai sahabat disuruh mengulang sampai 3 kali.
Sempurnakan wudu’mu dan salatlah dengan cara tama’ninah [4]
Pada contoh hadis di atas, Rasul mengoreksi salah seorang sahabat yang tidak sempurna dalam pelaksanaan wuḍu’nya dan salatnya tidak ṭama’ninah.  Dalam kondisi ini, pemeliharaan Rasul berkaitan dengan pengamalan hadis fi’liyah (baca, salat) yang sesuai dengan tuntunan Rasul.
Koreksian juga dilakukan Rasul  terhadap kekeliruan sahabat dalam melakukan sesuatu, seperti ketika ‘Ammar bin Yasir (w. 37 H) melakukan tayammum pengganti mandi.[5] Ammar memahami bahwa tayammum pengganti mandi, tentunya mendekati tata cara mandi, sehingga ‘Ammar melakukan tayammum pengganti mandi dengan cara berguling-guling di atas pasir. Rasul mengoreksi ‘Ammar dengan menjelaskan cara tayammumnya, dengan penjelasan bahwa tayammum pengganti mandi sama saja dengan tayamum pengganti wuḍu’.
c.    Memotifasi Sahabat untuk Menghapal dan Menyampaikan Hadis
Sahabat bersama Rasul dalam berbagai bentuk perjuangan menegakkan agama Islam, dan merupakan generasi terbaik dari umat ini. Keutamaan dan kelebihan sahabat telah diabadikan  oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Quran,[6] maupun di dalam Sunnah.[7]  Sahabat mengetahui di mana, kapan, dan mengenai apa ayat al-Quran diturunkan dan hadis Rasul diwurudkan.
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, tentu saja sahabat  memahami kedua (al-Quran maupun               al-Sunnah) dengan lebih baik. Apalagi Rasul SAW. berada di tengah-tengah mereka dan setiap saat menjadi rujukan mereka atas setiap perkara yang muncul. Rasulullah SAW. secara khusus juga memberikan motivasi kepada sahabat untuk menghapalkan Hadis serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya yang artinya;
Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghapalkannya serta menyampaikan nya (pada orang lain) [8]
Do’a yang disampaikan Rasul dapat memberikan motivasi kepada sahabat yang menghapal dan menyampaikan Hadis Rasul. 
2.   Cara Sahabat Menjaga Hadis di Masa Rasulullah
Sahabat melakukan penjagaan terhadap hadis Rasul  di saat Rasulullah masih ada di tengah mereka dengan berbagai cara, yaitu menghapal dan menyampaikan Hadis, mengamalkan dan menuliskan serta melakukan konfirmasi kepada Rasulullah SAW.
1)   Mencari, Menghapal Dan Menyampaikan Hadis Rasul
Pada masa Rasulullah ŞAW., cara yang dilakukan oleh sahabat dalam menjaga hadis adalah dengan proaktif  berguru dan bertanya kepada Rasul tentang segala sesuatu, dan menerima ajaran yang diberikan Rasulullah SAW.[9]  Salah satu contoh ketika Uqbah bin Haris diberi tahu oleh seorang wanita bahwa ‘Uqbah disusukannya bersama dengan isterinya (mereka suami isteri merupakan saudara sepersusuan). ‘Uqbah yang berada di Mekah menuju Madinah untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Berdasarkan keterangan sahabat tersebut Rasulullah akhirnya menceraikan keduanya.[10]  Sahabat melakukan konfirmasi langsung  kepada Rasul tentang hadis yang diterimanya. Dalam kasus ini menyangkut dengan permasalahan yang dihadapi oleh sahabat itu sendiri.
Realitas itu menunjukkan bahwa  sejak awal, hadis Nabi telah diterima dan mendapat perhatian yang cukup serius serta menjadi rujukan utama setelah al-Qur’an. Terdapat banyak riwayat tentang antusias masyarakat muslim awal terhadap hadis. Umar bin Khaṫab (w.23 H) menceritakan bahwa ia berganti-gantian dengan tetangganya dari kalangan Anşar menghadiri majelis Nabi dan mereka saling menyampaikan apa yang ia dengar dari Nabi Hal ini dapat ditemukan dalam riwayat berikut:
عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ [11]
“Bersumber dari Umar, ia berkata: saya dengan tetangga saya, seorang anşar, di Bani Umayyah bin Zaid – yaitu suatu nama dataran tinggi sekitar Madinah – kami tiap hari bergantian mengikuti Rasulullah, apabila saya yang mndapat giliran, saya menyampaikan berita-berita tentang wahyu dan kejadian hari itu (kepada tetangga) yang mendapat giliran dan ia melakukan seperti itu pula”.
Majelis Rasul bukan hanya diikuti oleh umat Islam Madinah, tetapi juga diikuti oleh utusan dari kabilah-kabilah yang kediamannya jauh dari Madinah. Mereka diutus untuk belajar dan mendapatkan ajaran Islam dari beliau dan kemudian kembali kepada mereka sebagai orang-orang terpelajar.[12] Utusan ini nanti akan menyampaikan hadis yang mereka terima kepada kaumnya.
Mencari hadis Rasulullah kemudian diikuti dengan cara menghapalnya. Penghapalan hadis merupakan salah satu bentuk pemeliharaan hadis pada masa Rasulullah.  Meskipun berbarengan dengan pemeliharaan al-Qur’an, para sahabat Rasul  di samping menghapal al-Qur’an  mereka juga menghapal hadis. Ada beberapa, motivasi yang membuat sahabat memiliki keinginan kuat untuk menghapal hadis, yaitu:
a)   Budaya menghapal
Budaya menghapal merupakan budaya yang sudah dikenal oleh sahabat sejak masa pra Islam dan mereka dikenal kuat daya hapalannya.
Dalam rangka menyebarluaskan hadis yang diperoleh dari Rasul, Sahabat yang hadir disarankan untuk menyampaikan pada sahabat yang tidak hadir.[13] Dalam kesempatan lain, Rasul mengisyaratkan untuk menjaga hadis dengan cara  menyampaikan kepada orang lain. Seperti yang terlihat dalam hadis  yang terjemahannya:
Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya. [14]
Adanya keharusan untuk menyampaikan hadis Rasulullah dan ketika sahabat mendapatkan tugas untuk menyampaikan hadis dari Rasul, maka secara tidak langsung, sahabat yang mendengar hadis dari Rasul dituntut untuk menghapal hadis Rasul dengan baik, sehingga dapat menyampaikannya dengan benar.
Kegiatan mengahapal hadis merupakan kegiatan yang tidak baru bagi para sahabat, karena meskipun pada masa Rasul ada kewajiban menghapal al-Qur’an tetap ada yang membedakannya dengan hapalan hadis.  Jika al-Qur’an dilakukan pengulangan oleh Rasul, sampai ayat dimaksud dihapal oleh sahabat dan sampai pada waktu turunnya ayat baru.  Juga untuk al-Qur’an ada kewajiban menuliskan, sementara untuk hadis tidak ada keharusan menuliskannya.
b)  Rasul memberikan batasan terhadap perintah dan anjuran dengan tidak menyampaikan semua berita yang didengar.
Untuk tetap menjaga dan memelihara hadis Rasul, perintah dan anjuran menyampaikan hadis Rasul ada aturan dan arahan Rasul yang harus diperhatikan sahabat. untuk mengantisispasi agar sahabat tidak menyampaikan semua berita yang didengarnya dari Rasul, maka Rasul memberikan arahan seperti terlihat dalam sabda Rasul yang artinya:
Hai manusia, jauhilah olehmu memperbanyak periwayatan hadis dariku, siapa saja yang mengatakan sesuatu dan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar. Siapa saja yang mengatakan sesuatu atas namaku yang tidak pernah aku katakan maka ia menyiapkan tempatnya di neraka.[15]
Penggabungan antara kedua ketentuan di atas, terlihat bahwa pemeliharaan hadis Rasul dilakukan dengan cara menyebarkan hadis Rasul, namun harus tetap diperhatikan agar dalam menyampaikan tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan yang disampaikan Rasul dan dampak negatif yang akan muncul ketika penyampaian hadis tersebut tidak terkendali.
2)       Mengamalkan seperti yang dilakukan Rasul
Sahabat di masa Rasul berupaya untuk mengamalkan hadis Rasul. Hadis pada masa Rasulullah yang berupa qauliyah, fi’liyah atau pun taqririyah diamalkan oleh sahabat sesuai dengan kemampuannya.
Cara sahabat menjaga hadis Rasul terutama hadis fi’liyah adalah dengan cara mengamalkan seperti yang dilakukan oleh Rasul. Salah satu contoh tentang pelaksanaan salat sesuai dengan demonstrasi yang ditunjukkan Rasul dalam sabda yang terjemahannya:
Laksanakanlah salat seperti kamu semua melihat aku salat [16]
Penjagaan terhadap hadis fi’liyah Rasulullah SAW. lebih difokuskan pada pengamalan ibadah sesuai dengan amalan yang pernah dilakukan Rasulullah.  Para sahabat saling mengingatkan tata cara Rasulullah melakukan suatu amalan sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing ketika bersama Rasulullah.
Hal itu juga terlihat dari pernyataan ‘Umar bin Khaṫab ketika mencium hajar Aswad dalam hadis berikut:
عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ يُقَبِّلُ الْحَجَرَ وَيَقُولُ إِنِّي لأُقَبِّلُكَ وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ[17]
‘Abis bin Rabi’ah megatakan melihat ‘Umar mencium hajar Aswad sambil berkata: Aku akan menciummu dan aku tahu engkau batu, seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu pasti aku tidak akan menciummu.
Hadis Fi’liyah Rasul dipahami oleh sahabat sebagai salah satu bentuk ittiba’ Rasul, meskipun ada ketidaktahuan tentang alasan dan tujuan Rasul melakukannya. Rasul adalah contoh dalam melakukan sesuatu  baik mengenai tata caranya atau pun waktunya.
3)       Menuliskan Hadis Rasul
Pada masa Rasul juga ditemukan cara lain yang ditempuh oleh sahabat dalam memelihara dan menjaga hadis Rasul, yaitu dengan penulisan hadis yang diterima dari Rasul, meskipun hanya dilakukan oleh sahabat tertentu,[18] dan  hanya untuk kepentingan tertentu. Penulisan hadis,  bukan hanya pada hadis qauliyah, tetapi juga dilakukan terhadap hadis fi’liyah, taqririyah dan dialog Rasul dengan sahabat.
Walaupun para sahabat menerima hadis dari Rasul SAW. dengan cara menghapal, bukan berarti hadis tersebut tidak ditulis. Penulisan hadis di masa Rasul, terlihat dilakukan untuk kepentingan sahabat itu sendiri. Penulisan hadis di zaman Rasul berdasarkan dari riwayat yang ada, terdapat kontroversi antara hadis Rasul yang melarang [19] dan hadis yang membolehkan menulis hadis.
Banyak riwayat yang sahih menyatakan bahwa di antara sahabat ada beberapa orang yang memiliki catatan-catatan hadis. Sahabat yang memiliki ṡaḥifah adalah Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Aṡ (w. 65 H = 685 M), yang memiliki Al-Şaḥifah al-Şādiqah, Sumrah bin Jundab (w. 60 H = 680 M), ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 69 H = 689 M), Jabir ibn ‘Abdillah (w. 78 H = 697 M) dan ‘Abdullah bin Abi Aufa (w. 86 H =705 M)[20] Semua sahabat mencatat sebagai bentuk pemeliharaan hadis yang diterimanya.
Tentang adanya pencatatan yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ, Imam al-Bukhãri telah meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abu Hurairah    dengan terjemahan sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadis dariku selain ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Aṣ, karena sesungguhnya dia mencatat hadis sedangkan aku tidak. [21]
Şahifah al-Şadiqah yang ditulis oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ, berpindah tangan kepada cucunya, yaitu ‘Amr ibn Syu’aib. Imam Aḥmad meriwayatkan bahwa sebagian besar isi Şahifah ini dalam Musnad-nya.[22]
 Dalam salah satu riwayat  dari Abdullah ibn ‘Amr, beliau berkata: “Saya telah menulis segala apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW. untuk aku hapalkan.” Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata: “apakah kamu menulis segala sesuatu sedangkan Rasulullah SAW. itu adalah manusia yang kadang-kadang dalam keadaan marah.” Maka aku pun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada Rasulullah SAW.,  sambil menunjuk mulutnya, beliau bersabda yang artinya:
“Tulislah! Demi Ẓat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali yang hak.” [23]
‘Abdullah bin Amr sangat menghargai Şahifah ini sebagaimana pernyataannya, yang artinya:
 Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-Şadiqah dan al-wahṭ, adapun al-Şadiqah adalah Şahifah yang aku tulis dari Rasulullah SAW.[24]
Selain Şahifah Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Aṣ, ada Şahifah Ali bin Abi Ṭalib (w. 40 H= 661 M). Al-Bukhãri meriwayatkan tentang Şahifah ini dari riwayat Abu Juḥaifah katanya: Aku bertanya (kepada Ali): “Apakah kamu mempunyai kitab?” Ia menjawab: “Tidak, kecuali Kitab Allah; ilmu yang ku dapati dari seorang muslim, dan apa yang terdapat dalam Şahifah ini.” Aku bertanya: “Apa yang terdapat dalam Şahifah itu?”Ia menjawab: “Aql (ketentuan-ketentuan diat), tentang pembebasan tawanan perang, dan bahwa seorang Muslim tidak dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang kafir.”[25]
Di samping pemberian izin kepada Abdullah bin ‘Amr, Rasul juga memerintahkan kepada sahabat untuk menuliskan hadis Rasul untuk Abu Syah. Sabda Rasulullah:
[26]   ﺸﺍﻩ لابي اكتب 
Tulislah untuk Abu Syah.
Riwayat di atas dan riwayat lainnya yang sejenis memberikan bukti bahwa pemeliharaan lewat penulisan hadis telah dilakukan oleh para sahabat di saat Rasulullah SAW. masih berada di tengah-tengah mereka.
Memang ada sejumlah hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan hadis di atas, sahabat dilarang menuliskan hadis di masanya. Dalam riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri (12 SH- 74 H.  ), bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Janganlah kamu tulis sesuatu dariku selain Al-Quran. Barang siapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Quran hendaklah ia menghapusnya.” [27]
Dalam riwayat lain dari  Abu Sa’id al-Khuḍri: kami minta izin untuk menulis hadis di zaman Rasul, beliau melarang [28]
Hadis tentang adanya penjelasan tidak adanya penulisan hadis tersebut di atas telah dijadikan dalil oleh sejumlah kalangan terutama orientalis sebagai alat justifikasi untuk mendukung pendapat mereka bahwa hadis tidak ditulis oleh para sahabat disebabkan adanya larangan tersebut.
Terhadap kontradiksi dua dalil ini, para ulama telah memberikan pandangannya. Namun, dalam hal ini muncul dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama, kasus ini merupakan mansukh al-sunnah bi al-sunnah. Pada awalnya, Rasulullah SAW. melarang penulisan hadis, kemudian karena sunnah semakin banyak dan dikhawatirkan akan hilang maka beliau memerintahkan untuk menuliskannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276 H). [29] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Khatṭabi dalam kitabnya Ma’alim al-Sunan.[30] yang mengatakan bahwa kemungkinan besar larangan penulisan itu datang lebih dahulu, kemudian datang pembolehannya.
 Pendapat kedua, dikemukakan oleh  Nuruddin ‘Itr bahwa kasus pelarangan tersebut disebabkan adanya kekhawatiran percampuradukkan antara Al-Quran dan hadis. Jadi ada semacam ‘illat munculnya pelarangan tersebut yaitu kekhawatiran atau ketakutan akan tercampurnya Kitab Allah dengan Sunnah.  
Pendapat di atas terlihat disandarkan pada riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair (w.94), [31]  bahwa Umar ibn al-Khatṭab berkeinginan untuk menuliskan hadis dan setelah disampaikan keinginan tersebut kepada para sahabat, maka sahabat pun menyetujuinya. Namun setelah beliau bersitikharah, beliau mengatakan: “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi, aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka asyik menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampur adukkan Kitab Allah dengan sesuatu apa pun buat selama-lamanya.”
 Pernyataan ‘Umar tersebut secara tegas menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap tersebut dilatarbelakangi oleh adanya ‘illat yaitu kekhawatiran tercampurnya Al-Quran dan hadis. Al-Khaṭib [32] mengatakan: “hasil penelitian menunjukkan bahwa keengganan penulisan hadis pada masa awal tiada lain agar tidak terjadi keserupaan Al-Quran dengan yang lainnya, atau agar Al-Quran tidak ditinggalkan karena menekuni selainnya.”
Oleh karena itu, penulisan hadis sudah dilakukan secara individu oleh para sahabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ibn ‘Amr yang telah diberikan izin oleh Rasulullah SAW, sebab beliau tidak khawatir terhadap Abdullah ibn ‘Amr akan mencampurnya dengan Al-Quran ditambah ia adalah sahabat yang tekun dan cakap dalam membuat catatan sehingga beliau tidak melarangnya.
Adanya riwayat yang kontra tersebut harus dipahami dengan cara menggabungkan kedua hadis tersebut dengan cara melihat pada situasi atau kondisi yang ada pada saat itu. Penggabungan ini dilakukan mengingat dalam kenyataannya di satu sisi ada beberapa orang sahabat yang mempunyai catatan hadis, sementara di sisi lain tidak mungkin sahabat mengabaikan larangan Rasulullah. Untuk hal yang semacam ini, memperhatikan kemungkinan adanya kebijakan Rasul ketika menyampaikan hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis darinya merupakan suatu keniscayaan, sehingga mencari dan menelusuri penjelasan kondisi yang mengitari ketika hadis itu dimunculkan oleh Rasulullah sangat penting dilakukan.
Analisis yang dilakukan oleh Ibnu Qutaibah [33] bahwa kebolehan menulis sunnah itu dikhususkan bagi beberapa orang sahabat, seperti Abdullah bin ‘Amr karena ia dapat membaca kitab-kita terdahulu dan dapat menulis dengan bahasa Siryani dan Arab. Sedangkan sahabat yang lain adalah orang-orang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, kecuali satu dua orang yang bila menulis belum dapat dipertanggungjawabkan karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan huruf hijaiyah. Oleh karena itu, ketika beliau mengkhawatirkan adanya kesalahan penulisan, maka beliau melarangnya, maka ketika beliau yakin bahwa kekhawatiran itu tidak terjadi pada Abdullah bin ‘Amr, maka beliau mengizinkannya.
Kontradiksi antara hadis tentang pelarangan dan pemberian izin menulis hadis bukan hakikat.[34] Larangan Rasul untuk menuliskan hadis merupakan larangan menulis secara resmi dan komunal seperti penulisan al-Qur’an.  Sedangkan izin penulisan merupakan toleransi terhadap sahabat tertentu yang menulis hadis untuk menjaga hadis Rasul untuk dirinya sendiri atau untuk seseorang tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas, pemeliharaan hadis secara tertulis dilakukan pada masa Rasul ketika:
1.     Sahabat dapat memisahkan antara al-Qur’an dan Hadis dan dapat menulis dengan benar sesuai dengan kaedah kebahasaan, seperti ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ.
2.     Sahabat tidak dapat menghapal dengan baik, atau kesulitan menghapal  seperti Abu Syah.[35]
Dari data sejarah, terdapat banyak sahifah-sahifah yang sudah masyhur dalam sejarah hadis yang ditulis oleh para sahabat. Muhammad Mustafa Azami.[36] mencatat tak kurang dari 52 orang sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis dan tabi’in yang juga menuliskan hadis dari mereka.

4)       Konfirmasi  Kepada  Rasulullah 
Rasulullah berada di tengah Sahabat, sehingga apapun yang terjadi, sahabat dengan mudah berkomunikasi dengan Rasulullah, terutama berkaitan dengan hadis. Realitas dalam sejarah terbukti bahwa  dalam menjaga isi hadis, sahabat langsung konfirmasi kepada Rasulullah tentang kebenaran Rasul menyabdakan hadis tersebut. Hal itu dapat dilihat dari beberapa riwayat berikut:
a)   Konfirmasi yang dilakukan untuk menjaga agar Hadis tidak disalahpahami dalam tataran aplikasi, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khatab tentang hadis yang sering disampaikan Mu’az bin Jabal (w.18 H ) yang artinya:
Dari Anas bin Malik, ketika Mu’az bin Jabal melakukan perjalanan bersama Rasul, Rasulullah memanggilnya sampai 3 kali dan bersabda: “Siapa yang di akhir hayatnya mengucapkan kalimat la ilaha illallah, pasti masuk surga, lalu Mu’az menanyakan bolehkah aku beritakan hadis ini kepada orang banyak untuk memberikan kabar gembira, Rasul mejawab: jangan, saya khawatir mereka akan kurang beramal.” [37]
Hadis di atas muncul ketika Umar menanyakan kepada Rasul tentang hadis dimaksud benar-benar dari Rasulullah, Rasul menjawab: “benar” Rasulullah pernah menyabdakannya. Ketika Rasulullah bertanya kepada ‘Umar bin Khatab tentang alasannya mempertanyakannya, lalu ‘Umar menyatakan bahwa dengan pemahaman hadis itu, masyarakat jadi berkurang gairah ibadahnya. Menanggapi konfirmasi tersibut lalu Rasul bersabda: kalau hadis tersebut membawa pengaruh tidak baik seperti itu, maka  jangan disampaikan.[38]
Dari realitas tersebut, konfirmasi yang dilakukan ‘Umar bin Khatab mempunyai 2 (dua) tujuan, pertama: membuktikan kebenaran Rasul pernah menyabdakan hadis tersebut, kedua: menjaga hadis Rasul dari kesalahan dalam memahami dan mengaplikasikannya.
b)   Konfirmasi kepada Rasul juga dilakukan oleh sahabat dalam rangka meyakinkan riwayat yang diterima.
Konfirmasi kepada Rasul dilakukan oleh sahabat seperti yang dilakukan oleh Ḍimam bin Ṡa’labah yang sudah masuk Islam sebelum bertemu dengan Rasul. Ḍimam mendatangi Rasul untuk mendengar langsung dari Rasul hadis yang telah disampaikan sahabat kepadanya.[39] Konfirmasi yang dilakukan menyangkut dengan kebenaran hadis Rasul yang disampaikan kepadanya oleh sahabat lain.
Sebagai contoh lain dalam sebuah riwayat yang berisi dialog antara sahabat dengan Rasulullah tentang kebenaran hadis yang disampaikan oleh sahabat. Realitas tersebut terlihat ketika seseorang mendatangi Rasulullah untuk mempertanyakan apakah yang mengutus Rasul (anda) kepada semua manuasia adalah Allah,  dijawab Rasul ya, apakah ada kewajiban salat, ya,  jawab Rasul, kemudian ia menanyakan apakah juga ada kewajiban zakat, lalu dijawab Rasul: ya.[40]
       Pemeliharaan dan penjagaan hadis pada masa Rasul lebih terjamin karena pengawasan langsung dari Rasul sendiri dan dari kesungguhan sahabat dalam menjaganya.  Kesungguhan sahabat menjaga hadis pada masa Rasul terlihat dari cara sahabat menerima dan menyampaikan hadis Rasul. Di samping itu, pada masa ini lebih terbebas dari persyaratan tertentu dalam periwayatan hadis dibandingkan dengan masa sesudahnya. Hal itu disebabkan karena pada masa belum terbukti adanya pemalsuan hadis dan masih mudah melakukan pemeriksaan apabila terjadi keraguan.


[1] Mustafa al-Siba’i, al-Sunna  wa Makãnatuhã fi al-Tasyri’ al-Islãmi, Kairo, Dar al-Qaumiyyah, 1949, h. 61
[2] Muhammad bin Isma’il al-Bukhãri, Sahih al-Bukhãri, Dahlan, Bandung, t.t., juz 1, h. 42-43 hadis nomor 68  
[3] Ibid., h. 43  dan al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz 1, Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t. kitab muqaddimah, bab 34
[4] al-Bukhãri, juz 1, h.  297 hadis nomor 726, Muslim, Sahih Muslim, Maktabat Dahlan, Indonesia, juz 1,  h. 298 hadis nomor 45 dan 36; Abū Dāud, Sunan Abi Daud, juz 1, Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t., h. 226, hadis nomor 856, Abu ‘Isa Muammad ibn ‘Isa al-Turmui, Sunan al-Turmui ( al-Jami’ al-Şaî) ,(Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.)  juz 1, h. 185-187, hadis nomor 301, 302,  al-Nasã’i, Sunan al-Nasã’i, juz 1, Indonesia, oha Putra, t.t., h.225-226 Al-Dãrimi, Sunan al-Dãrimi, juz 1, h. 305, hadis nomor 1278, Amad ibn anbal, Musnad al-Imãm Amad bin anbal, Dãr al-Fikr, t.t., juz 2, h. 427.
[6] Lihat misalnya QS. Al-Baqarah/2: 143, Ali Imran/3: 110, al-Fa/48: 18 dan 29
[7]  Hadis tentang larangan mencerca sahabat Rasulullah , Hadis riwayat al-Bukhãri, op.cit. juz 2, h.292, Muslim, op.cit. juz 4, h.1967-1968 Abū Dāud, op.cit. juz 4, h. 214, Al-Turmui, op.cit.m juz 5,h. 357-358, dan Amad ibn anbal, op.cit.m juz 3, h. 11  Juga ada hadis tentang kelebihan sahabat dari generasi lainnya,  Hadis riwayat al-Bukhãri, juz 2, h.101-102, 287-288;  Muslim, juz 4,            h. 1962-1965; Abū Dāud, juz 2, h. 214;  Al-Turmui, juz 3, h. 340 dan 376; Ibn Mãjah, juiz. 2  h. 791  dan Amad ibn anbal, juz 1.h. 278, 317   
[8] Al-Turmui, juz 4, h. 142, hadis nomor 2795
[9] Syamsudin Abi Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyah, (selanjutnya disebut Ibn al-Qayyim)  I’lãm al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Ãlamin, Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, Tt, Juz.2, h. :282
[10]  al-Bukhãri, kitab ilm bab 26
[11] al-Bukhãri , Juz. I, h. 51 dan  Ibn Hajar al-‘Asaqalani, Fah al-Bãri: I. h. 195 Hadis No. 88.
[12]  Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Beirut, Dãr al-Fikri, 1981, h. 88
[13]  Al-Bukhãri, op.cit.juz 1, h. 41-42 hadis nomor 66 dan        h. 58-59, hadis nomor 105
[14] Abū Dāud, juz III: h. 321, dan al-Turmui, juz 4, h. 141
[15] Amad ibn anbal, op.cit., juz 4, h. 297
[16] Al-Bukhari, op,cit.,kuz 1, h. 155
[17] al-Bukhari, juz 1, h. 623 no. 1514 dan 1515, Muslim, juz 2, h. 925 no. 1270 (248-251), al-Turmui, juz 2, h. 175 no. 862, Abū Dāud, juz 2, h. 175 no. 1873
[18] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaib, Uşul al-Hadis ‘Ulumuh wa Muşalahuh, Beirut: Dãr al-Fikr, 1409H/1989 M, h. 147
[19] Hadis yang melarang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri  yang artinya: Jangan tulis dari ku selain al-Qur’an, siapapun yang menulis selain al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya. Hadis riwayat Amad, juz 3 h. 12, 21, 39 dan al-Dārimi, op.cit., juz 1, h. 119. 
[20] Şubhi al-Şalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musalãhuh, Dãr ‘ilm li al-Malãyin, Beirut, 1977, h. 23- 32 dan bandingkan dengan M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Kasahihan Sanad, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 90  
[21] Al-Bukhãri Juz I (Kitãbul Ilm): h. 61 hadis nomor 113. hadis tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Juz IV,: h. 146 hadis nomor 2806)
[22] Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadis. Dãr al-Fikr Damaskus.     h.  30.
[23] Abi Daud, op.cit.,Juz III, h. 318, Ahmad,  Juz II,   h. 162
[24]  al-Dãrimi,  juz I, h. 127
[25] Al- Bukhãri, op.cit, juz 1, h. 60, hadis nomor 111
[26] al-Bukhãri, ibid., h. 60-61, Muslim, al-Turmui, op.cit., juz 4, h. 146, hadis nomor 2805.
[27]  Muslim,  Şaî Muslim Juz II, hal 710,  Amad ibn anbal, Musnad Ahmad, Juz III, hal 12 dan 21
[28] Al-Turmui,  Sunan Al-Turmui,  juz 4, h. 145, hadis nomor 2803
[29] Nuruddin Itr, ‘Ulum, h. 26.
[30] Ibid.
[31] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Asqalãniy, Fath al-Bari, Jilid I, Dar al-Fikr, t.t., h. 218
[32] Al-Khaib al-Baghdadi,  Taqyid al-‘Ilm, h. 27
[33] Ibid, h.  26
[34] Mustafa al-Siba’i, al-sunnah wa Makãnatuhã, h. 64-65
[35] Abu Syah adalah seorang sahabat yang berasal dari luar, ketika ia berkunjung menemui Rasulullah dan menyatakan ke-Islamannya, menjelang pulang ke daerahnya ia memohon kepada Rasulullah untuk memberikan catatan hadis Rasul yang akan dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Rasulullah memerintahkan sahabat untuk menulis hadis.
[36] Muhammad Mustafa Azami,Studies in Early Hadi Literature, Ali Mustafa Yaqub (penerjemah), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,  Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 132-200
[37] Al-Bukhãri, op,cit, juz 1, h. 68 hadis no. 128 dan 129
[38] Muhammad ahir al-Jawwãbi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Tunis: Muassasah ‘Abdu al-Karimbin ;Abdillah, t.t. h. 106-107
[39] Khaib al-Baġdadi, Rihlah fi alabil Hadis, h. 32 dan 188-190
[40] Al-Bukhãri, juz 1, h. 38-39, hadis nomor 62

0 komentar: