BENTUK PEMELIHARAAN HADIS PADA MASA RASULULLAH
Hadis
Rasulullah sangat urgen bagi pemahaman ajaran Islam dari sumber pertamanya
secara tepat. Namun, dalam perjalanannya
terdapat berbagai hal yang berimplikasi pada otoritas dan validitas hadis
Rasulullah.
Pemeliharaan Hadis Rasul
terlihat
dari kondisi dan
situasi yang berpengaruh terhadap pemeliharaan hadis Rasul, dan bentuk
pemeliharaan hadis dari kondisi tersebut. Cara ini ditempuh dengan alasan,
secara historis perbedaan situasi dan kondisi pada masa tertentu berpengaruh
terhadap usaha atau kebijakan yang diambil untuk menjaga hadis Rasul.
A. Pemeliharaan Hadis pada Masa Rasulullah
Pemeliharaan Hadis pada
masa Rasulullah memiliki keistimewaan yang ditandai dengan tiga kondisi. Pertama pemeliharaan hadis bersamaan
dengan keharusan sahabat menghapal al-Qur’an, karena pada waktu itu masih masa turunnya
al-Qur;an. Kedua, waktu itu bersamaan
dengan masa
perang
antara umat muslim
dengan non muslim, dan Rasulullah ada di tengah-tengah umat Islam. Ketiga, para sahabat hidup bersama Rasul
dan tidak ada batas antara Rasul dengan sahabat. Bahkan para sahabat ada yang
bersama Rasul di mesjid, pasar, dalam perjalanan, atau bahkan dalam berbagai
kesempatan. [1] Hal itu menunjukkan
bahwa Rasul dalam mewurudkan hadis tidak terbatas pada tempat khusus.
Realitas
tersebut di atas berakibat pada penerimaan dan pemeliharaan hadis Rasul. Ada sebagian sahabat yang menerima hadis yang
tidak diterima oleh sahabat lainnya.
Terutama pada hadis dalam bentuk fi’liyah yang hanya dilakukan Rasul
dihadapan sebagian sahabat atau taqrir yang berkenaan dengan sahabat tertentu.
Kondisi dan
situasi yang mengitari perkembangan hadis pada setiap periode, berdasarkan
penelusuran terhadap berbagai sumber data menunjukkan adanya perbedaan bentuk
pemeliharaan hadis Rasulullah. Di setiap periode mempunyai spesifikasi
masing-masing, meskipun ada beberapa kesamaan namun masih dapat dikemukakan
aspek yang membedakan dari masing-masing periode.
Pemeliharaan
hadis pada masa Rasulullah mencakup cara Rasul memelihara hadisnya, upaya pencarian hadis oleh sahabat kepada
Rasul, penghapalan para sahabat dan penyampaian hadis Rasul oleh Rasul atau pun
oleh sahabat.
Sahabat mendengar serta memperhatikan segala sesuatu yang
berasal dari Rasul SAW. baik qaul (perkataan), af’al
(perbuatan) serta taqrir (persetujuan) Rasul SAW., bahkan sifat dan hal-ihwal Rasul. Memelihara dan menjaga hadis yang
diucapkan Rasul secara langsung tentu berbeda dengan hadis yang merupakan
dialog antara Rasul dengan sahabat, dan dengan yang dilakukan atau taqrir Rasul.
1. Cara Rasulullah Memelihara Hadis
a.
Menyampaikan hadis dengan memperhatikan
kondisi dan situasi sahabat.
Sebagai salah satu upaya penjagaan hadis, Rasulullah menyampaikan hadis
kepada sahabat dengan memperhatikan kondisi psikisnya. Hal itu terlihat dari beberapa riwayat
riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud dan Anas:
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah selalu meringankan pembelajaran
kami pada saat yang melelahkan kami. [2]
Kondisi psikis dan pisik para sahabat
dijadikan faktor yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah. Begitu juga timing yang tepat dalam
menyampaikan hadis kepada sahabat. Semua
faktor ini menjadi unsur penunjang dalam memelihara hadis yang disampaikan
Rasul. Kelelahan akan mempengaruhi tingkat konsentrasi sahabat.
Di samping itu, ada cara yang selalu
dipraktekkan oleh Rasul dan bukan hanya dituntunkan kepada sahabat dalam
menyampaikan hadis seperti yang terlihat dalam hadis berikut:
Dari Anas bin Malik Rasulullah bersabda: Mudahkanlah dan jangan
disulitkan, beri berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari. [3]
Dalam menyampaikan hadis Rasul dan menjelaskan
materi ke-Islaman, Rasul memegang prinsip yang akan membuat sahabat atau umat
Islam pada waktu itu dapat memelihara dan melaksanakan Islam dengan sukarela
dan penuh keikhlasan.
b.
Melakukan Koreksian dan arahan terhadap
Sahabat
Koreksian yang
diberikan oleh Rasul merupakan bentuk pemeliharaan sunnah Rasul agar tetap
sesuai dengan yang dituntunkan Rasul. Sebagai contoh, koreksian Rasul berkaitan
dengan cara salat sahabat yang tidak sesuai dengan yang telah diajarkan Rasul. Pelaksanaan salat yang benar, Rasul sampai mengoreksi sahabat yang
belum sempurna menyontoh yang sudah dituntunkan Rasul sampai sahabat disuruh
mengulang sampai 3 kali.
Pada
contoh hadis di atas, Rasul mengoreksi salah seorang sahabat yang tidak
sempurna dalam pelaksanaan wuḍu’nya dan salatnya tidak ṭama’ninah. Dalam kondisi ini, pemeliharaan Rasul
berkaitan dengan pengamalan hadis fi’liyah (baca, salat) yang sesuai dengan
tuntunan Rasul.
Koreksian juga
dilakukan Rasul terhadap kekeliruan
sahabat dalam melakukan sesuatu, seperti ketika ‘Ammar bin Yasir (w. 37 H)
melakukan tayammum pengganti mandi.[5] ‘Ammar memahami bahwa tayammum pengganti
mandi, tentunya mendekati tata cara mandi, sehingga ‘Ammar melakukan tayammum
pengganti mandi dengan cara berguling-guling di atas pasir. Rasul mengoreksi
‘Ammar dengan menjelaskan cara tayammumnya, dengan
penjelasan bahwa tayammum pengganti mandi sama saja
dengan tayamum pengganti wuḍu’.
c.
Memotifasi Sahabat untuk Menghapal dan
Menyampaikan Hadis
Sahabat bersama Rasul dalam berbagai
bentuk perjuangan menegakkan agama Islam, dan merupakan
generasi terbaik dari umat ini. Keutamaan
dan kelebihan sahabat telah diabadikan oleh
Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Quran,[6]
maupun di dalam Sunnah.[7] Sahabat mengetahui
di mana, kapan, dan mengenai apa ayat al-Quran diturunkan dan hadis Rasul
diwurudkan.
Berdasarkan
ayat dan hadis tersebut, tentu saja sahabat memahami kedua (al-Quran maupun al-Sunnah) dengan lebih baik. Apalagi Rasul SAW. berada di tengah-tengah mereka dan setiap saat menjadi rujukan mereka atas setiap perkara yang muncul. Rasulullah SAW.
secara khusus juga memberikan motivasi kepada sahabat untuk menghapalkan Hadis
serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya yang artinya;
Semoga Allah memperindah wajah
orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghapalkannya serta menyampaikan nya (pada orang lain) [8]
Do’a yang disampaikan Rasul dapat
memberikan motivasi kepada sahabat yang menghapal dan menyampaikan Hadis
Rasul.
2.
Cara Sahabat Menjaga Hadis
di Masa Rasulullah
Sahabat melakukan penjagaan
terhadap hadis Rasul di saat Rasulullah
masih ada di tengah mereka dengan berbagai cara, yaitu menghapal dan menyampaikan
Hadis, mengamalkan dan menuliskan serta melakukan konfirmasi kepada Rasulullah SAW.
1) Mencari, Menghapal
Dan Menyampaikan Hadis Rasul
Pada masa
Rasulullah ŞAW., cara yang dilakukan oleh sahabat dalam menjaga
hadis adalah dengan proaktif berguru dan bertanya kepada Rasul
tentang segala sesuatu, dan menerima ajaran yang diberikan Rasulullah
SAW.[9] Salah satu contoh ketika Uqbah bin Haris
diberi tahu oleh
seorang
wanita bahwa ‘Uqbah disusukannya bersama dengan isterinya (mereka suami isteri merupakan saudara
sepersusuan). ‘Uqbah yang berada di Mekah menuju Madinah untuk menanyakan hal
itu kepada Rasulullah. Berdasarkan keterangan sahabat tersebut Rasulullah
akhirnya menceraikan keduanya.[10] Sahabat melakukan konfirmasi langsung kepada Rasul tentang hadis yang diterimanya. Dalam
kasus ini menyangkut dengan permasalahan yang dihadapi oleh sahabat itu
sendiri.
Realitas itu
menunjukkan bahwa sejak awal, hadis Nabi telah diterima dan
mendapat perhatian yang cukup serius serta menjadi rujukan utama setelah al-Qur’an.
Terdapat banyak riwayat tentang antusias masyarakat muslim awal terhadap hadis. Umar bin Khaṫab (w.23 H) menceritakan bahwa ia berganti-gantian dengan tetangganya dari kalangan
Anşar menghadiri majelis Nabi dan mereka saling menyampaikan apa yang ia dengar
dari Nabi Hal ini dapat ditemukan dalam riwayat berikut:
عَنْ
عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ
زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا
نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ
فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ [11]
“Bersumber dari Umar, ia berkata: saya dengan tetangga
saya, seorang anşar, di Bani Umayyah bin Zaid – yaitu suatu nama dataran tinggi
sekitar Madinah – kami tiap hari bergantian mengikuti Rasulullah, apabila saya
yang mndapat giliran, saya menyampaikan berita-berita tentang wahyu
dan kejadian hari itu (kepada tetangga) yang mendapat giliran dan ia melakukan
seperti itu pula”.
Majelis Rasul bukan hanya diikuti oleh umat Islam Madinah, tetapi juga
diikuti oleh utusan dari kabilah-kabilah yang kediamannya jauh dari
Madinah. Mereka diutus untuk belajar dan mendapatkan ajaran Islam dari beliau dan
kemudian kembali kepada mereka sebagai orang-orang terpelajar.[12]
Utusan ini nanti akan menyampaikan hadis yang mereka terima kepada kaumnya.
Mencari hadis Rasulullah kemudian diikuti dengan cara menghapalnya. Penghapalan hadis merupakan salah satu bentuk
pemeliharaan hadis pada masa Rasulullah. Meskipun berbarengan dengan pemeliharaan al-Qur’an, para sahabat Rasul di samping menghapal al-Qur’an mereka juga menghapal hadis. Ada beberapa, motivasi yang membuat sahabat memiliki keinginan kuat untuk menghapal hadis,
yaitu:
a)
Budaya
menghapal
Budaya menghapal merupakan budaya
yang sudah dikenal oleh sahabat sejak masa pra Islam dan mereka dikenal kuat
daya hapalannya.
Dalam rangka menyebarluaskan hadis yang diperoleh dari
Rasul, Sahabat yang hadir disarankan untuk menyampaikan pada sahabat yang tidak
hadir.[13] Dalam
kesempatan lain, Rasul mengisyaratkan untuk menjaga hadis dengan cara menyampaikan kepada orang lain. Seperti yang
terlihat dalam hadis yang terjemahannya:
Mungkin
saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih
faqih darinya. [14]
Adanya keharusan
untuk menyampaikan hadis Rasulullah dan ketika sahabat
mendapatkan tugas untuk menyampaikan hadis dari Rasul, maka secara tidak
langsung, sahabat yang mendengar hadis dari Rasul dituntut untuk
menghapal hadis Rasul
dengan baik, sehingga dapat menyampaikannya dengan benar.
Kegiatan mengahapal hadis merupakan kegiatan yang tidak baru bagi para
sahabat, karena meskipun pada masa Rasul ada kewajiban menghapal al-Qur’an
tetap ada yang membedakannya dengan hapalan hadis. Jika al-Qur’an dilakukan pengulangan oleh
Rasul, sampai ayat dimaksud dihapal oleh sahabat dan sampai pada waktu turunnya
ayat baru. Juga untuk al-Qur’an ada
kewajiban menuliskan, sementara untuk hadis tidak ada keharusan menuliskannya.
b) Rasul memberikan
batasan terhadap perintah dan anjuran dengan tidak menyampaikan semua berita
yang didengar.
Untuk tetap menjaga dan memelihara hadis Rasul, perintah dan anjuran
menyampaikan hadis Rasul ada aturan dan arahan Rasul yang harus diperhatikan
sahabat. untuk mengantisispasi agar sahabat tidak menyampaikan semua berita yang
didengarnya dari Rasul, maka Rasul memberikan arahan seperti terlihat dalam
sabda Rasul yang artinya:
Hai
manusia, jauhilah olehmu memperbanyak periwayatan hadis dariku, siapa saja yang
mengatakan sesuatu dan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar.
Siapa saja yang mengatakan sesuatu atas namaku yang tidak pernah aku katakan
maka ia menyiapkan tempatnya di neraka.[15]
Penggabungan antara kedua
ketentuan di atas, terlihat bahwa pemeliharaan hadis Rasul dilakukan dengan
cara menyebarkan hadis Rasul, namun harus tetap diperhatikan agar dalam
menyampaikan tetap memperhatikan kesesuaiannya dengan yang disampaikan Rasul
dan dampak negatif yang akan muncul ketika penyampaian hadis tersebut tidak
terkendali.
2)
Mengamalkan seperti yang dilakukan
Rasul
Sahabat di masa Rasul berupaya untuk mengamalkan hadis Rasul. Hadis pada
masa Rasulullah yang berupa qauliyah, fi’liyah atau pun taqririyah diamalkan
oleh sahabat sesuai dengan kemampuannya.
Cara sahabat menjaga hadis Rasul terutama hadis fi’liyah adalah dengan
cara mengamalkan seperti yang dilakukan oleh Rasul. Salah satu contoh tentang
pelaksanaan salat sesuai dengan demonstrasi yang ditunjukkan Rasul dalam sabda yang terjemahannya:
Penjagaan terhadap hadis fi’liyah Rasulullah SAW. lebih difokuskan pada
pengamalan ibadah sesuai dengan amalan yang pernah dilakukan Rasulullah. Para
sahabat saling mengingatkan tata cara Rasulullah melakukan suatu amalan sesuai
dengan pengalaman mereka masing-masing ketika bersama Rasulullah.
Hal itu juga terlihat dari pernyataan ‘Umar bin Khaṫab ketika mencium
hajar Aswad dalam hadis berikut:
عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ
قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ يُقَبِّلُ الْحَجَرَ وَيَقُولُ إِنِّي لأُقَبِّلُكَ
وَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ وَلَوْلا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ لَمْ أُقَبِّلْكَ[17]
‘Abis bin Rabi’ah megatakan melihat ‘Umar mencium hajar Aswad sambil berkata: Aku
akan menciummu dan aku tahu engkau batu, seandainya aku tidak melihat
Rasulullah menciummu pasti aku tidak akan menciummu.
Hadis Fi’liyah Rasul dipahami oleh sahabat sebagai salah satu bentuk
ittiba’ Rasul, meskipun ada ketidaktahuan tentang alasan dan tujuan Rasul
melakukannya. Rasul adalah contoh dalam melakukan sesuatu baik mengenai tata caranya atau pun waktunya.
3)
Menuliskan Hadis Rasul
Pada masa Rasul juga ditemukan cara lain yang ditempuh oleh sahabat dalam
memelihara dan menjaga hadis Rasul, yaitu dengan penulisan hadis yang diterima
dari Rasul, meskipun hanya dilakukan oleh sahabat tertentu,[18] dan hanya untuk kepentingan
tertentu. Penulisan hadis, bukan hanya
pada hadis qauliyah, tetapi juga dilakukan terhadap hadis fi’liyah, taqririyah
dan dialog Rasul dengan sahabat.
Walaupun para sahabat menerima hadis dari Rasul SAW. dengan cara menghapal, bukan berarti hadis tersebut tidak
ditulis. Penulisan hadis di masa Rasul, terlihat dilakukan untuk kepentingan sahabat itu sendiri. Penulisan hadis
di zaman Rasul berdasarkan dari riwayat yang
ada, terdapat kontroversi antara hadis Rasul yang melarang [19] dan hadis yang membolehkan
menulis hadis.
Banyak riwayat yang sahih menyatakan
bahwa di antara sahabat ada beberapa orang yang memiliki catatan-catatan hadis. Sahabat yang memiliki ṡaḥifah
adalah ‘Abdullah
ibn ‘Amr ibn al-‘Aṡ (w. 65 H = 685 M), yang memiliki Al-Şaḥifah
al-Şādiqah, Sumrah bin Jundab (w. 60 H = 680 M), ‘Abdullah
ibn ‘Abbas (w. 69 H = 689 M), Jabir ibn ‘Abdillah (w. 78 H = 697 M) dan
‘Abdullah bin Abi Aufa (w. 86 H =705 M)[20] Semua sahabat mencatat sebagai bentuk pemeliharaan
hadis yang diterimanya.
Tentang adanya pencatatan yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ, Imam al-Bukhãri telah meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abu Hurairah dengan terjemahan sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi
yang lebih banyak meriwayatkan hadis dariku selain ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Aṣ,
karena sesungguhnya dia mencatat hadis sedangkan aku tidak. [21]
Şahifah al-Şadiqah yang ditulis
oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ, berpindah tangan kepada cucunya, yaitu ‘Amr
ibn Syu’aib. Imam Aḥmad meriwayatkan bahwa sebagian besar isi Şahifah ini
dalam Musnad-nya.[22]
Dalam salah satu riwayat dari Abdullah ibn ‘Amr, beliau
berkata: “Saya telah menulis segala apa yang aku dengar dari Rasulullah SAW.
untuk aku hapalkan.” Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan berkata:
“apakah kamu menulis segala sesuatu sedangkan Rasulullah SAW. itu adalah
manusia yang kadang-kadang dalam keadaan marah.” Maka aku pun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya kepada
Rasulullah SAW., sambil menunjuk mulutnya, beliau bersabda yang
artinya:
‘Abdullah bin ‘Amr
sangat menghargai Şahifah ini sebagaimana pernyataannya, yang artinya:
Tidak ada
yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-Şadiqah dan al-wahṭ, adapun
al-Şadiqah adalah Şahifah yang aku tulis dari Rasulullah SAW.[24]
Selain Şahifah Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Aṣ, ada Şahifah Ali bin Abi Ṭalib (w. 40 H= 661 M). Al-Bukhãri meriwayatkan tentang Şahifah
ini dari riwayat Abu Juḥaifah katanya: Aku bertanya (kepada Ali): “Apakah kamu
mempunyai kitab?” Ia menjawab: “Tidak, kecuali Kitab Allah; ilmu yang ku dapati
dari seorang muslim, dan apa yang terdapat dalam Şahifah ini.” Aku bertanya: “Apa yang
terdapat dalam Şahifah itu?”Ia menjawab: “’Aql (ketentuan-ketentuan diat), tentang pembebasan tawanan perang, dan
bahwa seorang Muslim tidak dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang
kafir.”[25]
Di samping pemberian izin kepada ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasul juga memerintahkan kepada sahabat untuk
menuliskan hadis Rasul untuk Abu Syah. Sabda Rasulullah:
Tulislah untuk Abu Syah.
Riwayat di atas dan riwayat lainnya
yang sejenis memberikan bukti bahwa pemeliharaan lewat penulisan hadis telah
dilakukan oleh para sahabat di saat Rasulullah SAW. masih berada di
tengah-tengah mereka.
Memang ada sejumlah hadis yang secara lahiriah
bertentangan dengan hadis di atas, sahabat
dilarang menuliskan hadis di masanya. Dalam riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri (12
SH- 74 H. ), bahwa
Rasulullah SAW. bersabda:
“Janganlah kamu tulis sesuatu
dariku selain Al-Quran. Barang siapa telah menulis sesuatu dariku selain
Al-Quran hendaklah ia menghapusnya.” [27]
Dalam riwayat lain dari
Abu Sa’id al-Khuḍri: ”kami minta
izin untuk menulis hadis di zaman Rasul, beliau melarang” [28]
Hadis tentang adanya penjelasan tidak adanya
penulisan hadis tersebut di atas telah dijadikan dalil oleh
sejumlah kalangan terutama orientalis sebagai alat justifikasi untuk mendukung
pendapat mereka bahwa hadis tidak ditulis oleh para sahabat disebabkan adanya
larangan tersebut.
Terhadap kontradiksi dua dalil ini, para ulama telah
memberikan pandangannya. Namun, dalam
hal ini muncul dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama, kasus ini merupakan mansukh al-sunnah bi al-sunnah.
Pada awalnya,
Rasulullah SAW. melarang penulisan hadis, kemudian karena sunnah semakin banyak
dan dikhawatirkan akan hilang maka beliau memerintahkan untuk menuliskannya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276 H). [29] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Khatṭabi dalam kitabnya Ma’alim
al-Sunan.[30]
yang mengatakan bahwa kemungkinan besar larangan
penulisan itu datang lebih dahulu, kemudian datang pembolehannya.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh Nuruddin ‘Itr bahwa kasus pelarangan tersebut
disebabkan adanya kekhawatiran percampuradukkan antara Al-Quran dan hadis. Jadi
ada semacam ‘illat munculnya pelarangan tersebut yaitu kekhawatiran atau
ketakutan akan tercampurnya Kitab Allah dengan Sunnah.
Pendapat di atas terlihat disandarkan pada riwayat dari ‘Urwah ibn Zubair
(w.94), [31] bahwa Umar ibn al-Khatṭab berkeinginan untuk
menuliskan hadis dan setelah disampaikan keinginan tersebut kepada para
sahabat, maka sahabat pun menyetujuinya. Namun
setelah beliau bersitikharah, beliau mengatakan: “Sesungguhnya saya pernah
berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi, aku
ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka asyik
menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan Kitab Allah. Demi
Allah saya tidak akan mencampur adukkan Kitab Allah dengan sesuatu apa pun buat selama-lamanya.”
Pernyataan ‘Umar tersebut secara
tegas menjelaskan kepada para sahabat bahwa sikap tersebut dilatarbelakangi
oleh adanya ‘illat yaitu kekhawatiran tercampurnya Al-Qur’an dan hadis. Al-Khaṭib [32] mengatakan: “hasil penelitian
menunjukkan bahwa keengganan penulisan hadis pada masa awal tiada lain agar
tidak terjadi keserupaan Al-Qur’an dengan
yang lainnya, atau agar Al-Qur’an tidak
ditinggalkan karena menekuni selainnya.”
Oleh
karena itu, penulisan hadis sudah dilakukan secara individu oleh para sahabat.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ibn ‘Amr yang telah diberikan izin
oleh Rasulullah SAW, sebab beliau tidak khawatir terhadap
Abdullah ibn ‘Amr akan mencampurnya dengan Al-Qur’an ditambah ia adalah sahabat yang tekun dan cakap dalam membuat catatan
sehingga beliau tidak melarangnya.
Adanya riwayat yang kontra tersebut harus dipahami dengan cara
menggabungkan kedua hadis tersebut dengan cara melihat pada situasi atau
kondisi yang ada pada saat itu. Penggabungan
ini dilakukan mengingat dalam kenyataannya di satu sisi ada beberapa orang
sahabat yang mempunyai catatan hadis, sementara di sisi lain tidak mungkin
sahabat mengabaikan larangan Rasulullah. Untuk hal yang semacam ini,
memperhatikan kemungkinan adanya kebijakan Rasul ketika menyampaikan hadis
tentang larangan dan kebolehan menulis hadis darinya merupakan suatu
keniscayaan, sehingga mencari dan menelusuri penjelasan kondisi yang mengitari
ketika hadis itu dimunculkan oleh Rasulullah sangat penting dilakukan.
Analisis yang dilakukan oleh Ibnu Qutaibah [33] bahwa kebolehan menulis sunnah itu dikhususkan bagi beberapa orang
sahabat, seperti Abdullah bin ‘Amr karena ia dapat membaca kitab-kita terdahulu
dan dapat menulis dengan bahasa Siryani dan Arab. Sedangkan sahabat yang lain
adalah orang-orang yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, kecuali satu dua
orang yang bila menulis belum dapat dipertanggungjawabkan karena tidak sesuai
dengan kaidah penulisan huruf hijaiyah. Oleh karena itu, ketika beliau
mengkhawatirkan adanya kesalahan penulisan, maka beliau melarangnya, maka
ketika beliau yakin bahwa kekhawatiran itu tidak terjadi pada Abdullah bin
‘Amr, maka beliau mengizinkannya.
Kontradiksi antara hadis tentang pelarangan dan pemberian izin menulis
hadis bukan hakikat.[34]
Larangan Rasul untuk menuliskan hadis merupakan larangan menulis secara resmi
dan komunal seperti penulisan al-Qur’an.
Sedangkan izin penulisan merupakan toleransi terhadap sahabat tertentu
yang menulis hadis untuk menjaga hadis Rasul untuk dirinya sendiri atau untuk
seseorang tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas, pemeliharaan hadis secara tertulis
dilakukan pada masa Rasul ketika:
1.
Sahabat dapat memisahkan
antara al-Qur’an dan Hadis dan dapat menulis dengan benar sesuai dengan kaedah
kebahasaan, seperti ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aṣ.
2.
Sahabat tidak dapat menghapal
dengan baik, atau kesulitan menghapal
seperti Abu Syah.[35]
Dari data sejarah, terdapat banyak sahifah-sahifah
yang sudah masyhur dalam sejarah hadis yang ditulis oleh para sahabat. Muhammad Mustafa Azami.[36]
mencatat tak kurang dari 52 orang sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis
dan tabi’in yang juga menuliskan hadis dari mereka.
4)
Konfirmasi
Kepada Rasulullah
Rasulullah
berada di tengah Sahabat, sehingga apapun yang terjadi, sahabat dengan mudah
berkomunikasi dengan Rasulullah, terutama berkaitan dengan hadis. Realitas
dalam sejarah terbukti bahwa dalam menjaga isi hadis,
sahabat langsung konfirmasi kepada Rasulullah tentang kebenaran Rasul
menyabdakan hadis tersebut. Hal itu dapat dilihat dari beberapa
riwayat berikut:
a)
Konfirmasi yang dilakukan untuk menjaga agar Hadis tidak
disalahpahami dalam tataran aplikasi, seperti yang dilakukan oleh Umar bin
Khatab tentang hadis yang sering disampaikan Mu’az bin Jabal (w.18 H ) yang artinya:
Dari Anas bin
Malik, ketika Mu’az bin Jabal melakukan perjalanan bersama Rasul, Rasulullah
memanggilnya sampai 3 kali dan bersabda: “Siapa yang di akhir hayatnya
mengucapkan kalimat la ilaha illallah, pasti masuk surga, lalu Mu’az menanyakan
bolehkah aku beritakan hadis ini kepada orang banyak untuk memberikan kabar
gembira, Rasul mejawab: jangan, saya khawatir mereka akan kurang beramal.” [37]
Hadis di atas muncul ketika Umar menanyakan kepada
Rasul tentang hadis dimaksud benar-benar dari Rasulullah, Rasul menjawab: “benar”
Rasulullah pernah menyabdakannya. Ketika Rasulullah bertanya kepada ‘Umar bin
Khatab tentang alasannya mempertanyakannya, lalu ‘Umar menyatakan bahwa dengan
pemahaman hadis itu, masyarakat jadi berkurang gairah ibadahnya. Menanggapi
konfirmasi tersibut lalu Rasul bersabda: kalau hadis tersebut membawa pengaruh
tidak baik seperti itu, maka jangan disampaikan.[38]
Dari realitas tersebut, konfirmasi yang dilakukan ‘Umar
bin Khatab mempunyai 2 (dua) tujuan, pertama:
membuktikan kebenaran Rasul pernah menyabdakan hadis tersebut, kedua: menjaga hadis Rasul dari
kesalahan dalam memahami dan mengaplikasikannya.
b)
Konfirmasi kepada Rasul juga dilakukan oleh sahabat
dalam rangka meyakinkan riwayat yang diterima.
Konfirmasi
kepada Rasul dilakukan oleh sahabat seperti yang dilakukan oleh Ḍimam bin
Ṡa’labah yang sudah masuk Islam sebelum bertemu dengan Rasul. Ḍimam mendatangi
Rasul untuk mendengar langsung dari Rasul hadis yang telah disampaikan sahabat
kepadanya.[39]
Konfirmasi yang dilakukan menyangkut dengan kebenaran hadis Rasul yang disampaikan
kepadanya oleh sahabat lain.
Sebagai
contoh lain dalam sebuah riwayat yang berisi dialog antara sahabat dengan
Rasulullah tentang kebenaran hadis yang disampaikan oleh sahabat. Realitas
tersebut terlihat ketika seseorang mendatangi Rasulullah untuk mempertanyakan
apakah yang mengutus Rasul (anda) kepada semua manuasia adalah Allah, dijawab Rasul ya, apakah ada kewajiban salat,
ya, jawab Rasul, kemudian ia menanyakan
apakah juga ada kewajiban zakat, lalu dijawab Rasul: ya.[40]
Pemeliharaan dan penjagaan hadis pada
masa Rasul lebih terjamin karena pengawasan langsung dari Rasul sendiri dan
dari kesungguhan sahabat dalam menjaganya.
Kesungguhan sahabat menjaga hadis pada masa Rasul terlihat dari cara
sahabat menerima dan menyampaikan hadis Rasul. Di samping itu, pada masa ini
lebih terbebas dari persyaratan tertentu dalam periwayatan hadis dibandingkan
dengan masa sesudahnya. Hal itu disebabkan karena pada masa belum terbukti
adanya pemalsuan hadis dan masih mudah melakukan pemeriksaan apabila terjadi keraguan.
[1] Mustafa
al-Siba’i, al-Sunnaṯ wa Makãnatuhã
fi al-Tasyri’ al-Islãmi, Kairo, Dar al-Qaumiyyah,
1949, h. 61
[2] Muhammad bin
Isma’il al-Bukhãri, Sahih al-Bukhãri, Dahlan,
Bandung, t.t., juz 1, h. 42-43 hadis nomor 68
[3] Ibid., h. 43 dan al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz 1, Maktabah
Dahlan, Indonesia, t.t.
kitab
muqaddimah, bab 34
[4] al-Bukhãri,
juz 1, h. 297 hadis nomor 726, Muslim, Sahih
Muslim,
Maktabat Dahlan, Indonesia, juz 1, h. 298 hadis nomor 45 dan 36; Abū Dāud, Sunan Abi Daud, juz 1, Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t., h.
226, hadis nomor 856, Abu ‘Isa Muḥammad ibn ‘Isa
al-Turmuẓi, Sunan al-Turmuẓi ( al-Jami’ al-Şaḥîḥ) ,(Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.) juz 1, h. 185-187, hadis nomor 301, 302, al-Nasã’i, Sunan al-Nasã’i, juz 1, Indonesia, ṭoha Putra, t.t., h.225-226 Al-Dãrimi,
Sunan al-Dãrimi, juz 1, h. 305, hadis
nomor 1278, Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad al-Imãm Aḥmad bin Ḥanbal, Dãr al-Fikr,
t.t., juz 2, h. 427.
[5] al-Bukhãri,
ibid, juz 1, h. 143-144 (6 hadis),
Muslim, ibid. Juz 1, h. 280 (5
hadis), Abū Dāud, ibid, juz 1, h. 87-88 (7
hadis), al-Nasã’i, ibid., juz 1, h. 165-171 (5 hadis), Abu ‘Abdillãh Muhammad
ibn Yazid al-Qazwini Ibn Mãjah (207-275
H), Sunan Ibn Mãjah, juz 1, Maktabah
Dahlan, Indonesia, t.t., h. 188-189 (2 hadis), Al-Dãrimi, ibid,, juz 1, h. 180, Aḥmad ibn Ḥanbal, ibid., juz 6, h. 146, 263, 264, 265, dan
319
[7] Hadis tentang larangan mencerca sahabat
Rasulullah , Hadis riwayat al-Bukhãri, op.cit.
juz 2, h.292, Muslim, op.cit. juz
4, h.1967-1968 Abū Dāud, op.cit. juz
4, h. 214, Al-Turmuẓi, op.cit.m juz 5,h. 357-358, dan Aḥmad ibn Ḥanbal, op.cit.m juz 3, h. 11 Juga ada hadis tentang kelebihan sahabat dari
generasi lainnya, Hadis riwayat
al-Bukhãri, juz 2, h.101-102, 287-288;
Muslim, juz 4, h. 1962-1965; Abū Dāud, juz 2, h.
214; Al-Turmuẓi, juz 3, h. 340 dan 376; Ibn Mãjah, juiz. 2 h. 791
dan Aḥmad ibn Ḥanbal, juz 1.h. 278, 317
[9]
Syamsudin Abi Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyah, (selanjutnya disebut Ibn al-Qayyim) I’lãm al-Muwaqqi’in ‘An Rabbil
‘Ãlamin, Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah, Tt, Juz.2, h. :282
[17] al-Bukhari, juz
1, h. 623 no. 1514 dan 1515, Muslim, juz 2, h. 925 no. 1270 (248-251), al-Turmuẓi, juz 2, h. 175 no. 862, Abū Dāud, juz 2, h. 175 no. 1873
[18] Muhammad ‘Ajjãj al-Khaṭib, Uşul al-Hadis ‘Ulumuh wa Muşṭalahuh, Beirut: Dãr al-Fikr, 1409H/1989 M, h. 147
[19] Hadis yang melarang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri yang artinya: Jangan tulis dari ku selain al-Qur’an, siapapun yang menulis selain
al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya. Hadis riwayat Aḥmad,
juz 3 h. 12, 21, 39 dan al-Dārimi, op.cit.,
juz 1, h. 119.
[20] Şubhi
al-Şalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musṭalãhuh, Dãr ‘ilm li
al-Malãyin, Beirut, 1977, h. 23- 32 dan bandingkan dengan M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Kasahihan Sanad, Jakarta: Bulan
Bintang, 1988,
h.
90
[21] Al-Bukhãri
Juz I (Kitãbul ‘Ilm): h. 61 hadis nomor 113. hadis
tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Juz IV,:
h. 146 hadis nomor 2806)
[35] Abu Syah
adalah seorang sahabat yang berasal dari luar, ketika ia berkunjung menemui
Rasulullah dan menyatakan ke-Islamannya, menjelang pulang ke daerahnya ia
memohon kepada Rasulullah untuk memberikan catatan hadis Rasul yang akan
dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Rasulullah memerintahkan sahabat untuk
menulis hadis.
[36] Muhammad
Mustafa Azami,Studies in Early Hadiṭ Literature, Ali Mustafa
Yaqub (penerjemah), Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 132-200
[38] Muhammad Ṭahir
al-Jawwãbi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd
Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Tunis: Muassasah ‘Abdu al-Karimbin
;Abdillah, t.t. h. 106-107
0 komentar:
Posting Komentar