Pemeliharaan Hadis pasca Pengumpulan dengan Penerapan Kaedah Seleksi
1. Penetapan kaidah Seleksi Hadis
Seleksi
hadis telah berjalan secara de facto sejak
pada masa Nabi sampai pada masa pengumpulan hadis, akan tetapi penetapan kaedah
seleksi baru ditetapkan pada akhir abad ke dua dan awal abad ketiga. Abad ini
merupakan masa keemasan dalam sejarah perjalanan hadis dan
penghimpunannya. Setelah masyarakat
muslim semakin berkembang, dan periwayatan hadis
berjalan seiring dengan perkembangan kaum muslim itu sendiri, hadis mulai mengalami persoalan-persoalan. Persoalan
yang paling krusial adalah persoalan validitas hadis
sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi.
Maraknya perkembangan hadis palsu, dan kekhawatiran
para muhaddisin tercampurnya antara hadis Rasul dan bukan hadis Rasul,
memunculkan inisiatif muhaddis untuk
menetapkan kaidah seleksi terhadap hadis ahad, seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Syafi’i (195-204
H) ketika membantah alasan pengingkar
sunnah. Jika diperhatikan realitas bahwa jumlah hadis ahad
jauh lebih banyak dibandingkan dengan hadis mutawatir.
Untuk menjamin validitas hadis ahad tersebut,
muhaddisin berupaya untuk menetapkan kaedah yang terinspirasi dari realitas
seleksi pada masa Rasul dan sahabat, yang pada pertengahan abad ke dua hijriah
dijadikan dasar dalam menerima atau menolak riwayat yang diterima’
Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan sanad hadis,[1] yaitu ketersambungan sanad
sejak periwat terakhir sampai kepada Rasul. Dalam hal ini tidak dibenarkan
adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya
(wahm)/samar. Kaedah kedua, berkaitan dengan periwayat kualitas pribadi dan
kapasitas intelektual Sanad. Dalam khasanah hadis dikenal dengan adil dan ḍabiṫ.
Berikutnya kaedah yang berhubungan dengan sanad dan
matan yaitu tidak mempunyai ilat atau
cacat yang tersembunyi pada suatu hadis
yang kelihatannya baik atau sempurna.
Terhindar dari syaz, yaitu kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari
sanad dan matan. Misalnya, hadis yang
diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat
siqah lainnva.
2. Penerapan Kaedah dalam Menyeleksi Hadis
Untuk menjaga hadis
dari aspek validitas dan orisinalitas maka ada beberapa langkah yang
dilakukan oleh para muhaddisin pasca
pengumpulan hadis.
a.
Melakukan kritik
Pada
masa ini kritik hadis merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal
itu disebabkan oleh beberapa faktor:
1)
Jalur
periwayatan semakin panjang atau jauh dengan Rasul.
2)
Penyebaran
hadis berjalan simultan dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar
Islam yang menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah
besar sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi.
Dalam
menerapkan kaedah seleksi yang berkaitan dengan kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual periwayat ada beberapa muhaddis yang sangat konsern dan terkenal di
berbagai thabaqat:[2]
a)
Ṭabaqat pertama, di antaranya adalah Malik ibn Anas (w.
179 H=795 M) di Madinah; Sufyan ibn ‘Uyainah, di Mekah; Sufyan al- Ṣauri (w.
161 H = 778 M) di Kufah; Syu’bah ibn Hajjaj (w. 160 H) dan Hammad ibn Zaid, di Basrah; dan Abu ‘Amr al-Auza’i (w. 157 H = 774 M.) di
Syam.
b)
Ṭabaqat kedua, di antaranya adalah Waki’ ibn Jarah di
Kufah; Yahya ibn Said al-Qattan dan Abd
al-Rahman ibn Mahdi di Basrah; ‘Abdullah ibn al-Mubarak(w. 181 H= 797 M) di Khurasan; Abu Ishak al-Fazari dan Abu Mashardi Syam.
c)
Ṭabaqat ketiga, di antaranya Ahmad ibn Hanbal (w. 241
H=885 M) dan Yahya ibn Ma’in di Bagdad; ‘Ali ibn al-Madini di Basrah; Muhammad
ibn ‘Abdillah ibn Numair di Kufah.
d)
Ṭabaqat keempat, di antaranya Abu Zur’ah al-Razi dan Abu
Hatim al-Razi di Ray, al-Bukhari, Muslim (w. 261 H= 875 M) dan abu Ishaq al-
Jurjani
e)
Ṭabaqat berikutnya di antaranya al-Nasa’i (w. 303 H= 915
M), al-‘Uqaili, ibn Hiban, Ibn ‘Adi, al-Azdi, al-Khatib al-Bagdadi, ibn Rumiyah
dan al-Zahabi
Untuk
kepentingan kritik sanad hadis dan matan, ada tiga syarat berkenaan dengan
sanad dan dua syarat berkenaan dengan sanad dan
matan.
(1) Periwayat bersambung
Periwayat bersambung
artinya masing-masing periwayat tersebut menerima hadis dari periwayat yang
terdekat sebelumnya dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada
periwayat yang pertama yang menerima hadis dari Rasul.[3]
Kriteria
sanad bersambung dalam prakteknya kritik
dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup masing-masing periwayat dan
lambang-lambang periwayatan yang menghubungkan
antara satu periwayat dengan periwayat lain. Telaahan tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan (mu’aşarah)
atau pertemuan dalam kapasitas guru dan murid (liqa’).
Sanad bersambung
(ittiṣal al-sanad), dalam prakteknya diketahui
dari ada
hubungan antara guru dan murid. Hal itu dapat diketahui dari:
· Tahun kelahiran
dan wafatnya periwayat
· Tempat pencarian
hadis yang dikunjungi
·
Guru
dan muridnya.
·
Kata yang
digunakan oleh periwayat dalam hubungannya dengan periwayat sebelumnya.[4]
Kebersambungan
(muttaṣil) sanad ini menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai saat sekarang dapat dipertanggungjawabkan berasal
dari Nabi, sebaliknya keterputusan sanad mengakibatkan riwayat yang disampaikan
tertolak.
(2) Keadilan (integritas kepribadian) Periwayat
Integritas
kepribadian (‘adil) bagi seorang periwayat
tercermin dalam komitmen
periwayat terhadap ajaran Islam, kemantapan
agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan kerendahan muru’ah (etika). Karena
itu ‘adil mengandung unsur-unsur: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama Islam, serta memelihara muru’ah.[5]
Dalam aplikasi
kaedah kualitas
pribadi (‘adil) periwayat dilakukakan
dengan cara :
·
mengamati popularitas keutamaan periwayat atau
integritas kepribadian periwayat yang bersangkutan
di kalangan ulama hadis;
·
menyeleksi penilaian dari para kritikus
hadis;
·
penerapan
kaedah-kaedah jarh dan ta’dil.
(3) Kapasitas Intelektual (ḍabit)
Kapasitas
intelektual (ḍabit) adalah kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui
proses pendengaran dan kemampuan untuk menghapal secara kontinyu hingga
pesan-pesan tersebut disampaikan kepada orang lain
Aplikasi kaidah
yang berkaitan dengan kapasitas
intelektual periwayat hadis (ḍabit), dilakukan penilaian berdasar kesaksian
para ulama, dan mengkomparasi riwayat
periwayat dengan periwayat yang ḍabit. Hasilnya akan diketahui periwayat
Pengujian
terhadap periwayat yang telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu
hadis tersendiri yang disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Al-jarh
mengandung pengertian tentang cacat-cacat
seorang periwayat yang menyebabkan hadisnya ditolak. Sedangkan al-ta’dil
berkaitan dengan adalat al-rawiy yang
karena itu hadisnya dapat diterima. Hasil
pengujian
periwayat baik dari aspek integritas kepribadian periwayat atau
pun dari aspek kapasitas intelektual tersebut berimplikasi pada diterima atau
tidaknya hadis yang diriwayatkan.
Jarh wa ta’dil ini, tampaknya
sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para periwayat
telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis. Banyak
karya tulis di bidang ini dari yang sederhana sampai yang paling lengkap. Para
kritikus telah melahirkan karya semisal Mizan al-I’tidal, Tahᶎib
al-Tahᶎib, dan Tahᶎib al-Kamal, untuk saat ini, melalui kitab
semacam ini dapat dilacak kredibilias para periwayat hadis.
(4) Terhindar dari Syaẓ
Syaẓ
adalah kejanggalan dalam bentuk: riwayat yang
disampaikan periwayat yang ṡiqah (periwayat yang adil dan ḍabit) bertentangan dengan para periwayat yang lebih ṡiqah, baik
pada sanad maupun pada matan.[6]
(5) Terhindar dari‘illat
Dalam mengaplikasikan kaidah
terhindar dari ilat ini, seleksi terhadap hadis dilakukan dengan
memperhatikan ada atau tidaknya ‘ilat. Cara yang dilakukan adalah dengan
melakukan komparasi antara beberapa hadis lengkap dengan sanadnya.
Dengan cara
komparasi tersebut akan diketahui cacat (’ilat) yang terdapat dalam hadis, berikut
ini:
(1). sanad yang
tampak muttaṣil dan marfu’ ternyata muttaṣil dan mawquf, atau mursal.
(2). terjadinya
percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya,
(3). kesalahan dalam
menyebutkan nama periwayat.
Semua
kriteria tersebut di atas disusun
dengan logika yang jelas, yang didasari pada argumen-argumen yang relevan dengan maksud dan
tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini pada dasarnya adalah
bersifat historis di samping juga bersifat normatif. Meskipun argumen-argumen
tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan saling
memperkuat.
Dari
sini dapat simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya dalam dimensi keilmuan
semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan keyakinan. Karenanya dapat
dipahami, bila acuan-acuan kritik hadis menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab
hal ini membawa beban psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat
transendental.
Sementara
menyangkut dengan Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan
matan, tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis
Gottschalk, menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya
bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan,
kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul
dari pada yang tidak terdidik atau yang tidak berpengalaman.[7]
Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan cukup
rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas
integritas kepribadian dan kapasitas intelektual periwayat, tampaknya hanya ada
dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah.Sedangkan yang berkaitan dengan matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan (syazd) dan cacat (illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis sahih, yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.
a.
Hasil Penerapan Kaidah Seleksi ulama Hadis
1. Imam Malik bin Anas (93 H- 179 H) dengan kitab
al-Muwatta’
Imam Malik
merupakan imam Fiqh yang sekaligus imam hadis. Kitab al-Muwatta’ ini dinamai
dengan al-Muwatta’ oleh Imam Malik sendiri, karena berdasarkan riwayat
al-Suyuti dikemukakan: Imam Malik menyatakan:”saya sodorkan kitabku ini kepada
70 orang fuqaha’ Medinah, semuanya setuju dengan ku tentang kitab itu. Kemudian
aku namai kitab ini dengan Muwatta’”.[1]
Sebagai periwayat hadis, imam Malik
mempunyai kriteria khusus dalam menerima hadis.
Untuk kepentingan seleksi tersebut, imam Malik memberikan persyaratan
untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum.
Kriteria
yang digunakan Imam malik dalam menyeleksi hadis adalah (a). Periwayat bukan
orang yang berperilaku jelek; (b). Periwayat bukan pelaku bid’ah; (c). Periwayat bukan orang yang suka
berdusta dalam hadis; (d) Periwayat bukan orang yang berilmu tetapi tidak
mengamalkan ilmunya.[2]
Di samping itu, Imam malik juga melakukan seleksi dengan cara memisahkan hadis
yang bersumber dari Nabi, asar atau fatwa sahabat, fatwa tabi’in, ijma’
penduduk Medinah dan pendapat imam Malik sendiri.
Hasil
seleksi tersebut dimuat dalam kitab al-Muwatta’. Di dalam kitab ini, Imam Malik tidak
hanya memasukkan hadis yang bersumber
dari Nabi, akan tetapi dari sahabat dan tabi’in. Ada beberapa perbedaan ulama
dalam menentukan jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’, ada yang
mengatakan bahwa hanya 500 hadis yang lulus seleksi dari 100.000 hadis yang
dikumpulkannya;[3] 1612 hadis;[4]
1824 hadis; [5] dan ada
yang menyatakan jumlah hadisnya 1804.[6]
Kitab
al-Muwatta’ ini sampai kepada umat Islam hari ini. Penilaian yang diberikan
oleh para ulama setelah Imam Malik seperti Imam al-Syafi’i menyatakan bahwa:”di
dunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih dari kitab
Muwatta’ Malik.[7] Komentar
Imam al-Syafi’i ini menurut Ibn Shalah [8]muncul
sebelum adanya kitab sahih al-Bukhari dan Muslim.
Memperhatikan
hadis yang ada di dalam kitab al-Muwatta’ al-Suyuti [9]
mengemukakan bahwa Sufyan ibn ‘Uyaynah menyatakan: seluruh hadis yang
diriwayatkan Imam Malik adalah sahih. Walaupun ada yang berpendapat bahwa
terdapat beberapa hadis mursal, mauquf dan maqthu’, [10]
hal itu memang Malik memasukkan hadis atau asar sahabat dan tabi’in yang
diangggap sahih oleh Imam Malik.
2. Muhammad bin Idris al-Syafi’i (195-204 H)
Imam
Syafi’i telah menghapal Al-Qur’an pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghapal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik
pada usia 12 (dua belas) tahun,[11]
sebelum berjumpa langsung dengan Imam Malik di
Madinah.
Di hadapan Imam Malik, beliau membaca
al-Muwaththa’ yang telah dihapalnya di Mekkah, dan hapalannya itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada
Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai imam Malik wafat pada tahun 179 H.
Berbeda
dengan Imam Malik, al-Syafi’i memberikan batasan Sunnah hanya yang bersumber
dari Rasulullah SAW. saja.[12]
Sementara asar sahabat dan fatwa tabi’in hanya dapat dijadikan sebagai dasar
hukum sekunder, sedangkan dasar primer adalah yang dating dari Nabi.[13]
Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi‘i dan
memintanya
untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat al-Qur’an dan lain-lain. Maka beliau pun
menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.[14] Imam
Ahmad berkata, “Bagi
Syafi‘i jika telah yakin dengan keṣaḥiḥan sebuah hadis, maka dia akan
menyampaikannya
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Aṣ-ḥab al- Hadiṡ,
al-Syafi’i selalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber. Beliau berkata, “Jika kalian
telah mendapatkan Sunnah Nabi,
maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”
Imam Syafi'i dikenal sebagai seorang ulama yang punya perhatian besar dalam
ilmu hadis. Bahkan, ia sangat mengecam orang-orang yang suka menyebut sebagai
penganut sunnah,
namun perilakunya bertentangan dengan ajaran Sunnah.
Imam Syafi'i juga tak
segan-segan untuk menegur pihak-pihak yang menyampaikan seolah-olah hadis Nabi
Muhammad SAW. padahal bukan hadis Nabi.
Dalam
pandangan Imam Syafi'i, hadis mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, yakni
sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Ia sangat mengutamakan sunnah Nabi SAW. dalam melandasi
pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya.
Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.[15] Bahkan seorang ulama besar, Abdul
Hamid al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul Imam Syafi'i, Pembela Sunnah dan Peletak dasar
Ilmu Usul Fikih.
Imam
al-Syafi’i dikenal sebagai pembela sunnah, karena perhatiannya yang besar
terhadap sunnah dan mengecam orang yang mengingkari sunnah serta pemalsu hadis.
Ahmad ibn Hanbal menyatakan: “ Bahwa Allah menetapkan di setiap satu abad ada
orang yang mengajarkan sunnah dan meniadakan kebohongan terhadap hadis, 100
tahun pertama ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz dan 100 kedua adalah al-Syafi’i.[16]
3. Ahmad bin Hanbal [17]
(164 - 241 H) dengan Musnad Ahmad
Imam Ahmad bin
Hanbal seorang muhaddis yang melakukan rihlah atau perlawatan ke beberapa
daerah dalam rangka mencari hadis. Daerah
yang dikunjungi adalah Kufah, Basrah, Mekah, Medinah, Yaman, Siria dan
Mesopotamia.
Dalam menyeleksi
hadis yang diterimanya, Ahmad bin Hanbal menggunakan satu kriteria bahwa hadis tersebut menggambarkan karakter
yang sesungguhnya dari Nabi.[18]
Imam Ahmad tidak terlalu menekankan pada rangkaian periwayat atau isnad. Selama hadis tersebut diriwayatkan oleh
periwayat yang tidak ditinggalkan oleh muhaddis, maka Ahmad menerima hadis
tersebut. Walaupun kriteria yang dipakai oleh Imam Ahmad tidak seperti yang
dipakai oleh al-Bukhari, Muslim imam hadis lainnya, tetapi bukan berarti bahwa
hadis yang diambil Ahmad bin Hanbal tidak melewati proses seleksi. Hanya saja
ada perbedaan kriteria.
Musnad Ahmad
dengan judul “Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal” merupakan kitab hadis terbesar
yang disusun pada abad ketiga hijriah.[19]
Kitab ini melengkapi dan menghimpun kitab hadis sebelumnya dan merupakan kitab
yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam agama dan dunia.[20]
Musnad Ahmad
memuat 40.000 hadis, sekitar 10.000 diantaranya dengan pengulangan. [21]
Dari 30.000 hadis yang tidak terulang sekitar 10.000 hadis merupakan tambahan
dari ‘Abdullah putra Ahmad bin hamnbal dan beberapa hadis tambahan dari Abu
Bakar al-Qathi’i.
Hadis yang asli
dari Ahmad ibn Hanbal sebelum ada tambahan berkualitas sahih, maqbul dan marfu’
serta sanadnya bersambung.[22]
Kalau pun dari hasil penelitian ulama belakangan ada hadis palsu dalam musnad
Ahmad, ternyata itu adalah hadis yang bersumber dari tambahan yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Qathi’i.[23]
Untuk saat ini,
ketika menjadikan musnad Ahmad sebagai referensi harus dilakukan secara teliti
dan yakin bahwa hadis tersebut bukan hasil tambahan yang berkualitas palsu.
4. Al-Bukhari dan Muslim
1) Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194-256 H)
Muhammad bin Ismail al-Bukhari [24]
sebagai seorang muhaddis, dalam perjalanan pencarian dan seleksi hadis
al-Bukhari menemui ulama hadis dan melawat ke Syam, Mesir, Jazair, Bashrah,
Kufah dan Baghdad. Al-Bukhari kemudian
bermukim di Hijaz selama 6 (enam) tahun.
Dalam sejarah
tercatat bahwa guru hadis al-Bukhari sebanyak 1080 orang yang semuanya ahli
hadis. Al-Bukhari menghapal 100.000
hadis sahih dan 200.000 hadis tidak sahih.
Dalam mengaplikasikan kaedah kesahihan hadis, al-Bukhari telah menghasilkan hadis yang lulus seleksi berjumlah
4.000 tanpa pengulangan dan 7.275 dengan pengulangan.[25]
Terlepas dari
jumlah hadis yang ada di dalam kitab shahih al-Bukhari, berdasarkan pernyataan al-Bukhari bahwa semua hadis
yang dicantumkan merupakan hasil penyaringan dari 600.000 hadis, selama 16 tahun.[26] Dalam melakukan seleksi hadis yang akan
dimasukkan dalam kitabnya, al-Bukhari meneliti periwayat yang terlibat dalam
periwayatan hadis untuk memastikan kesahihan hadis yang diterimanya. Cara lain
adalah dengan membandingkan hadis yang satu dengan hadis lainnya, meneliti dan
memilih hadis yang menurutnya paling sahih.
Syarat hadis
sahih menurut al-Bukhari adalah [27]
(a) Periwayat hadis harus muslim, berakal, jujur, tidak mudallis dan tidak
mukhtaalith, adil, kuat ingatan, selalu memelihara hadis yang diriwayatkan,
sehat pikiran, panca inderanya dipakai untuk mendengar dan menghapal, sedikit
salahnya dan baik aqidahnya. (b).
sanadnya bersambung dan (c) matan hadis
tidak janggal dan tidak cacat.
Berdasarkan
penelitian ulama kriteria yang dipakai oleh al-Bukhari lebih ketat dari ulama hadis sebelumnya, yaitu adanya
keharusan bertemu antara guru dan murid, tidak hanya sezaman.[28]
Di samping itu, al-Bukhari dalam menyeleksi hadis lebih banyak mengambil hadis
dari periwayat yang paling tinggi tingkatannya, [29]
dan hanya sedikit mengambil hadis dari periwayat tingkatan kedua.[30]
Berdasarkan
penelitian ulama abad ke enam yang bernama Hazami dan Maqdisi, al-Bukhari
berpegang pada tingkat kesahihan hadis yang paling tinggi, kecuali pada hadis
yang bukan materi pokok seperti hadis yang berfungsi sebagai pendukung dari
jalur sanad lain baik syahid atau muttabi’.
Di samping cara
ilmiah yang disebutkan di atas, ternyata al-Bukhari juga menggunakan cara lain
untuk memastikan bahwa hadis yang hasil seleksi tersebut benar-benar sahih
seperti yang disampaikan oleh salah seorang muridnya:[31]
”saya mendengar imam al-Bukhari berkata: ‘aku menyusun al-Jami’ ini di mesjid
al-Haram dan aku tidak akan memasukkan sebuah hadis pun ke dalam kitab ini
sebelum aku salat istikhaarah dua rakaat.
Setelah itu baru aku yakin bahwa hadis itu adalah sahih.’
Melalui kedua
aspek di atas, al-Bukhari meneliti, menyaring dan memilih hadis yang sesuai
dengan kriteria yang sudah ditetapkannya. Hasil dari seleksi tersebut
dikumpulkan dalam Kitab Sahih
al-Bukhari dengan judul al-Jami’ al-Musnad al-sahih al-Mukhtasar min
Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamih. Kitab ini merupakan kitab
pertama yang menghimpun hadis sahih; lebih banyak hadis sahih; disusun
berdasarkan berbagai masalah fiqh.
2) Muslim (204-261 H = 820-875 M) dengan Sahih Muslim
Muslim[32]
sebagai seorang muhaddis, dalam perjalanan pencarian dan seleksi hadis, sama
dengan al-Bukhari, Muslim menemui ulama
hadis dan melawat ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, Khurasan, Roy, dan Baghdad. [33]
Bahkan ketika kunjungannya ke Baghdad pada waktu yang bersamaan dengan
al-Bukhari, Muslim sering mengikuti majelisnya dan mengambil banyak hadis dari
al-Bukhari.[34]
Dalam
mengaplikasikan kaedah yang sudah ditetapkan, Muslim sangat teliti dalam
mempelajari, menyeleksi hadis yang diriwayatkannya, membandingkan antara
periwayatan yang satu dengan yang lainnya, meneliti susunan lafalnya, dan
memberikan penjelasan jika terdapat perbedaan lafal hadis.
Muslim dalam
melakukan seleksi mengikuti cara al-Bukhari, memperhatikan ilmunya dan
mengikuti bentuk seperti yang dilakukan oleh al-Bukhari.[35]
Dalam menyeleksi hadis Muslim melakukannya terhadap hadis yang sudah dihapalnya
atau pun sudah dicatatnya.
Seleksi hadis
dilakukan Muslim dengan cara menyaring dari 300.000 hadis yang dimilikinya.
Imam Muslim sangat berhati-hati dalam menyeleksi dan memilih hadis dan
berdasarkan argument yang jelas. Kaitan dengan ini, Muslim menyatakan “saya tidak mencantumkan hadis
dalam kitabku, kecuali dengan alasan, dan saya tidak mengugurkan hadis kecuali
dengan alasan pula.[36]
Seleksi tersebut
dilakukan oleh Muslim secara terus menerus, baik sedang ada di tempat menetap
ataupun ketika sedang melawat ke berbagai daerah. Usaha tersebut dilakukan
selama 15 (lima belas) tahun. [37] Waktu yang sangat panjang dalam melakukan
seleksi.
Muslim dalam
melakukan seleksi tidak menjelaskan syarat diterimanya hadis secara eksplisit,
kecuali pada hadis mu’an’an.[38]
Kriteria yang ditetapkan oleh Muslim pada hadis mu’an’an adalah mu’asyarah atau semasa antara guru dan murid,
meskipun mereka tidak bertemu. Namun dalam kitab Sahih Muslim, dimulai dengan
muqaddimah[39] yang
berisi gambaran kitab sahihnya serta ilmu hadis yang digunakan dalam menyaring hadis.
Ada pernyataan
Muslim bahwa ia tidak memasukkan semua hadis sahih ke dalam kitabnya, kecuali
yang sudah disepakati oleh ulama hadis saja.[40]
Imam Muslim menyodorkan kitab yang telah disusunnya selama 15 (lima belas)
tahun tersebut kepada 2 (dua) orang pakar hadis terkemuka di masanya yaitu ḥāfiẓ Makki ibn Ibrahim (126-215 H),[41] dan Abu Zur’ah al-Razi (w.
264 H). Makki ibn Ibrahim berkata: ‘saya mendengar
Muslim berkata: ’aku perlihatkan kitabku ini kepada Abū Zur’ah al-Razi,[42]
semua hadis yang diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, maka aku meninggal
kannya. Semua hadis yang dikatakan nya ṣaḥiḥ itulah yang aku riwayatkan. [43]
Salah satu bukti lain dari kehati-hatian Imam Muslim terhadap hasil seleksi
yang telah dilakukannya.
Ibn Salah
memberikan komentar tentang pernyataan Muslim ini, kemungkinan yang dimaksudkan
adalah imam Muslim hanya memasukkan hadis yang memenuhi persyaratan sahih yang
sudah disepakati [44]
oleh para ulama hadis.
Dari hasil
penelitian para ulama terhadap kitab sahih Muslim ada beberapa kriteria yang
dipakai oleh Muslim dalam menyeleksi hadis yang akan dimasukkan ke dalam
kitabnya, yaitu: (1) hadis tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang adil
dan dabit, dapat dipertanggung jawabkan kejujurannya dan amanah; (2) hadis yang
musnad (lengkap sanadnya), muttasil (bersambung sanadnya), dan marfu’ (bersumber dari Rasulullah). [45]
Muslim tidak memasukkan hadis yang mauquf
[46]
dan mu’allaq [47] dalam
kitabnya.
Kitab hadis
hasil seleksi Muslim ini dikenal dengan Sahih Muslim dengan judul lengkap al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan
bi al-Naql al-‘Adl ‘an Rasulillah SAW. Untuk penulisan hasil seleksi
tersebut dalam kitab sahihnya, Muslim dibantu oleh sahabat yang juga muridnya
Ahmad ibn Salamah.Kitab ini berisi 12.000 hadis sebagaimana yang dijelaskan
oleh Ahmad ibn Salamah.[48]
Jumlah ini dimungkinkan ketika didasarkan pada jumlah sanadnya, karena dalam
penghitungan ulama lain jumlah hadis yang ada tidak lebih dari 4.000 hadis.
5. Abu Daud, al-Tirmizi, al-Nasa’i dan Ibn Majah
1) Abu Daud (202-275 H) dengan Sunannya
Sama dengan
al-Bukhari dan Muslim, Abu Daud dalam pencarian dan penyaringan hadis juga
melakukan rihlah ke berbagai daerah seperti Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah
Arabia, Khurasan, Naisabur dan Basrah.[49]
Berbeda dengan
kitab hadis hasil seleksi imam sebelumnya, Abu Daud lebih memfokuskan dirinya
untuk menyeleksi hadis hukum. Seleksi
hadis dilakukan Abu Daud dengan sangat cermat [50]
Hal itu terlihat dari hadis yang terdapat dalam sunannya yang berjumlah 4.800
hadis tanpa pengulangan dan 5.274 dengan pengulangan. 4.800 hadis tersebut
merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis yang telah dihimpun sebelumnya.[51]
Ini menunjukkan betapa selektifnya Abu Daud dalam melakukan penyusunan hadis.
Dalam melakukan
seleksi, Abu Daud tidak hanya dengan menerapkan kaedah/kriteria hadis sahih
saja, karena Abu Daud juga mengambil hadis ḍa’if dengan catatan hadis ḍa’if
tersebut (1) tidak ditinggalkan oleh ulama hadis sebelumnya atau (2) tidak ada
catatan tentang kelemahan hadis tersebut.[52]
Ada alasan Abu
Daud dalam mengambil hadis ḍa’if yaitu ketika tidak didapatkan hadis lain yang
mengatur masalah tersebut dan untuk tujuan mengubah pandangan hukum ulama
sebelumnya.[53] Bahkan,
Abu Daud lebih tegas menyatakan bahwa hadis ḍa’if dengan kategori seperti yang
disebutkan lebih baik dari pada pendapat ulama [54]
yang hanya berdasarkan pemikiran.
Ada yang menarik
dari hasil seleksi yang dimuat dalam kitabnya yang berjudul Sunan Abi Daud tersebut, bahwa Abu Daud
mengambil dan memasukkan hadis dalam kitab hadisnya dengan menyebutkan
klasssifikasi hadis tersebut. Dari surat Abu Daud kepada penduduk Mekah ketika
menjelaskan sunannya, ada lima klassifikasi hadis yaitu (1) hadis ṣaḥiḥ; (2)
hadis yang menyerupai ṣaḥiḥ; (3) hadis yang mendekati ṣaḥiḥ; (4) hadis yang wahn syadid (hadis yang sangat lemah;
(5) hadis ṣaliḥ [55] Klassifikasi yang hampir sama dengan
klassifikasi yang dibuat oleh al-Turmuzi.
Hadis yang
memenuhi kriteria ṣahiḥ, di dalam kitabnya, Abu Daud tidak memberikan
penjelasan atau komentar terhadap hadis tersebut. Bisa saja hadis tersebut telah dipilih oleh
al-Bukhari dan Muslim atau pun hadis ssahih yang tidak dimuat dalam 2 (dua)
kitab sahih tersebut.
Untuk Hadis ḍa’if
yang dipilih, Abu Daud menjelaskan letak kelemahannya. Dengan kenyataan ini
terlihat konsistensi Abu Daud dalam memegang kaedah kesahihan hadis, karena
dengan penjelasan sebab keḍa’ifan hadis menunjukkan bahwa Abu Daud tidak
menurunkan kriteria seleksi hadis. Akan tetapi memberikan penjelasan kepada
umat Islam bahwa hadis tersebut tidak sahih.
Abu Daud juga
memasukkan hadis munkar [56]
dalam kitabnya, akan tetapi Abu Daud menjelaskan bahwa hadis dimaksud adalah munkar. [57] Kenyataan
ini juga menunjukkan bahwa meskipun hadis munkar dimasukkan dalam kitabnya
bukan berarti hadis tersebut dapat dijadikan dasar hukum. Hal itu dibuktikan dengan adanya klassifikasi
ṣaliḥ oleh Abu Daud, yang dimaksudkan adalah hadis yang dapat dijadikan hujjah. Konsekwensi logisnya, hadis
munkar tidak dapat dijadikan hujjah.
Sama halnya
dengan Muslim, Abu Daud juga menyodorkan kitab hadis hasil seleksi kepada
gurunya Ahmad bin Hanbal.[58]
Ahmad bin Hanbal menilai bahwa kitab Abu Daud bagus.
2) Al-Tirmizi (209-279 H)
Al-Tirmizi
dengan nama lengkap Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Ṡaurat al-Tirmizi, sama
dengan gurunya (al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud) banyak mencurahkan
perhatiannya untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadis. Untuk itu, al-tirmizi
melakukan perlawatan ke berbagai daerah Irak, Hijaz, Khurasan dan lain-lain. [59]
Dalam malakukan
seleksi hadis yang akan dimasukkan ke dalam kitabnya, al-Tirmizi menggunakan
metode yang berbeda dengan imam hadis sebelumnya, yaitu: (1) Memilih/
meriwayatkan hadis yang sudah diamalkan
oleh para fuqaha. [60]
(2) menjelaskan kualitas dan keadaan hadis yang ia tulis setelah
mendiskusikannya dengan para ulama.[61]
Ada 4 (empat)
syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmizi dalam menyeleksi hadisnya, yaitu (1)
hadis yang sudah disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim; (2) Hadis sahih menurut
standar kesahihan Abu Daud dan al-Nasa’i tentang hadis yang tidak disepakati
ulama untuk meninggalkannya dengan catatan harus bersambung sanadnya dan tidak
mursal; (3) Hadis yang tidak dipastikan kesahihannya dengan menjelaskan
sebab-sebab kelemahannya; (4) Hadis yang dijadikan hujjah oleh para fuqaha baik
hadis tersebut ṣaḥiḥ atau tidak. [62]
Hasil seleksi
hadis tersebut dimasukkan dalam kitab al-Jami’ al-Shahih atau Sunan al-Tirmizi
sebanyak 3.956 hadis dengan tidak berulang dan sesuai dengan nomor hadis
berjumlah 4.107 hadis.
Hasil seleksi
yang dilakukan Al-Tirmizi juga memunculkan istilah hasan[63]
untuk menjelaskan kualitas hadis antara sahih dan ḍa’if. Bahkan kata Hasan ini
kadang digabungkan dengan kata lain seperti hasan ṣaḥiḥ, dan ḥasan gharib.
[1] Seperti yang terdapat
dalam Muhammad Muhammad Abu Zahw,
op.cit., h. 246 dan dapat juga
dilihat dalam Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Kitab
al-Syu’b al-Muwatta’ li Imam wa ‘Alim al-Madinat Mailik bin Anas, (tanpa
resensi, h. 4
[2] Ahmad al-Syarbasi. Sejarah dan Biografi Imam Mazhab, Sabil Huda dan A. Ahmadi (Penterjemah),
Jakarta, Bumi Aksara, 1992, h. 104
[4] A.J. Wensinck, Miftah Kunuz al-Sunnah Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi (Penerjemah), Libanon,
Suhail, 1981, h. lam-mim
[8] Abu ‘Amr ‘Usman ibn ‘Abd
al-Rahman al-Syahrazury, ‘Ulum al-hadis
li Ibn Shalah, Madinat
al-Munawwarah, al-Maktabat al-‘Ilmiyyat, 1973, h.14
[9] Jalaludin al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh al- Muwatta’, Beirut,
Dar al-Ihya’ Kutub al-‘Arabiyah, t.t., juz I, h. 9
[10] Seperti yang diungkapkan
oleh Muhammad Zakaria ibn Muhammad Yahya al-Kandahlawi, Muqaddimah Aujaz al-Masalik ila Muwatta Malik, India, Maktabat al-Sa’adat, 1973, h. 44
[11] Diungkapkan oleh al-Muzni yang menyatakan bahwa ia mendengar dari
Syafi’i , lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahzib,
juz 9, h. 27
[12] Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muṫallib,
Tauṡiq al-Sunnaṯ
fi Qarn al-Ṡanial-HijrAsassuh
wa Ittijahuh, Mesir, Maktabah Kharij, 1981, h. 19
[13] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Risalaṯ, Ahmad Muhammad Syakir (Ed.), Mesir,
Maktabaṯ Muṡṫafa
Babi al-Halabi, 1938, h. 73-91
[14] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahzib,
juz 9, h. 27.
[15] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahzib
, juz 9, h. 28-29
[16] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahzib,
juz 9, h. 27
[18] Ziaul Haque, Ahmad ibn Hanbal; the Saint Scholar of
Baghdad, Nurul Agustina (Petj), Jurnal Studi-studi Islam al-Hikmah, Bandung, Yayasan Muthahhari,
1992
[23] Ada sekitar 38 atau 29
hadis palsu , Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit.,
h. 373 dan M. Syuhudi ismail, Pengantar,
h. 118
[24] Muhammad bin Isma’il
al-Bukhari lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H= 21 Juli 810 M w. malam idul
Fitri 256 H=31 Agustus 870 M. Lihat dalam
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul ,
h. 309 dan Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op.cit., h. 41
[25] Al-Syahrazury, op.cit., h. 15 Berbeda
dengan Ibn Shalah, Ibn Hajar menyatakan hadis maushul dalam Kitab shahih
al-Bukhari tanpa pengulangan sebanyak
2602 hadis. Hadis mu’allaq namun marfu’ sebanyak 159 Hadis. Jumlah seluruhnya
secara berulang 7397 ditambah hadis
mu’allaq 1341 ditambah dengan muttabi’ 344 hadis, semuanya sebanyak 9082
hadis. Ibn Hajar al-Asqalani, Hady
al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, Beirut, dar al-Fikr, t.t., h. 469
[28] Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis, h. 120, al-Husaini
‘Abdul Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhari
Muhaddis wa Faqih, T.Tp. dar
al-Qaumiyyah, t.th, h. 102
[29] Tingkatan pertama yaitu
periwayat yang memiliki sifat adil, kuat hapalan, teliti, jujur dan lama
berguru dengan gurunya. Lihat Abu Syuhbah, op.cit.,
h. 62
[30] Tingkatan kedua semuanya
sama dengan tingkatan pertama kecuali periwayat tidak lama berguru dengan
gurunya. Ibid.
[32] Muslim dengan nama
lengkap Abu al-Husain Muslim Ibn Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy
al-Naysabury. Muslim lahir pada tahun
204 H=820 M dan meninggal pada tahun 261 H=875 M
[33] Abu al-Husain Muslim Ibn
Hajjaj, Sahih Muslim, juz 1, Beirut,
dar al-Fikr, 1412 H=1992, h. b dan c
[34] Muhammad Isma’il Sya’ban,
al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an wa
al-Sunnat, Kairo, dar al-Anshary, t.t., h. 72
[35] Diungkapkan oleh Al-Khaṭib al-Baghdadi seperti yang dinyatakan oleh Al-Syahrazuri, op.cit., h. 14
[38] Hadis mu’an’an dinyatakan muttasil (bersambung sanadnya)
dengan ketentuan mu’asyarah yaitu
periwayat yang satu (murid) hidup semasa dengan periwayat lainnya (guru) dan
tidak disyaratkan para periwayat pernah bertemu (yang disebutkan terakhir ini
merupakan perbedaan antara al-Bukhari dengan Muslim. Lihat Muslim, op.cit.,.Muqaddimah
[39] Isi
dari bab muqaddimah ini adalah penjelasan tentang macam-macam hadis, keadaan
para periwayat, dan ilat hadis. Di
dalamnya juga terdapat anjuran agar umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan
hadis dan dilarang meriwayatkan hadis dari periwayat yang lemah dan banyak
salahnya. Ibid.
[40] Muḥammad ibn Alawi al-Maliki al-Ḥasani, al-Manhaj al- Latīf fī Uṣūl al-Ḥadīs al-Syarīf, (tanpa resensi), h. 98-99
[42] Salah
seorang ahli hadis kenamaan dengan nama lengkap ‘Ubaidillah ibn ‘Abdil Karim, yang
hidup semasa dengan Muslim, salah seorang guru dan murid Muslim, dan jarang
tandingannya dalam kekuatan hapalan, kecerdasan, keberagamaan, keikhlasan,
keilmuan dan amalannya, ia wafat tahun tahun 264 H. Lihat Ibn Hajar al-‘Aṡqalani,
Tahzib, juz 7, h. 30-33
[45] Ibid. dan Muslim, op.cit., h. 21-23
[46] Mauquf adalah hadis yang
sandaran terakhirnya (disandarkan kepada) sahabat atau tidak sampai kepada
Rasulullah. lihat
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat, h. 48
[47] Mu’allaq adalah hadis yang
periwayat di awal sanadnya (periwayat yang menjadi sandaran penghimpun hadis)
gugur (terputus), seorang atau lebih, Ibid.,
h. 26
[50] Abu Syuhbah, ibid.,h. 109
dan Abū Dāud, Sunan Abi \Daud, t.tp,
Dar al-Fikr, t.t., h. 10
[52] Abu Syuhbah, op.cit., h.
109 dan M.M. Azami, Studies in Hadits
Metodologi and Literature, A. Yamin (Ptj), Metodologi Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1992, h. 121
[53] M.M. Azami, Metdologi, h.
121
[54] Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit.,
h. 412
[55] Ahmad
Umar Hasyim, Qawa’id al-Hadis, T.tp.,
Dar al-Fikr, t.t., h.80 . Hadis yang
menyerupai sahih adalah hadis yang sahih karena mendapat dukungan dari jalur
sanad lain. Hadis dalam klassifikasi
mendekati sahih, adalah hadis hasan (menurut istilah al-Tirmizi) lizatih
[56] Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat yang ḍa’if baik riwayat atau
pun isisnya bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh orang ṡiqat, lihat Ibn Hajar al-‘Aṡqalani,
Nuzhat, h. 21
[58] Abū Dāud ibn al-Asy’aṡ al-Sijistany, Sunan
Abi Daud, T.Tp., Dar al-Fikr, t.t., juz I, h. 12 dan Abu Syuhbah, op.cit., h. 103
[60] Kecuali 2 (dua) hadis (1) hadis tentang kebolehan menjama’ shalat
meskipun tidak ada alasan dan tidak
kemana-mana. Lihat Abu
‘Isa Muhammad
al-Tirmizi, (selanjutnya disebut al-Tirmizi) Sunan al-Tirmizi, Beirut, Dar al-Fikr,
1963, h. 392.Terhadap hadis ini terdapat perbedaan pendapat fuqaha’. (2) hadis tentang hukuman bunuh bagi peminum
khamar yang terbukti melakukan pidana
minum khamar yang ke 4 kali. Hadis ini menurut al-tirmizi telah mansukh.
[61] al-Tirmizi mengungkapkan
bahwa apa yang disebutkan dalam kitabnya baik mengenai ‘ilal hadis, tentang
rijal hadis, dan sejarah adalah hasil dari kitab tarikh dan kebanyakan adalah
hasil diskusi dengan imam al-Bukhari. Lihat al-Tirmizi, ibid., h. 394
[62] Menurut Abu Faḍl ibn Ťahir al-Maqdisi, dalam Muhammad al-Mubarakfuri, Tuḥfat al-Aḥwazi
bi Syarḥ Jami’
al-Tirmizi, Mesir, Ba’at al-Madani, 1963, juz 1, h.
362