PENGHAPUSAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
menurut tuntnunan Rasulullah Saw.
Oleh Enizar
A. PENDAHULUAN
Tindak kekerasan dalam keluarga merupakan salah satu penyebab dari tidak dapatnya anggota keluarga memperoleh haknya dan penghalang untuk meujudkan rumah tangga yang sakinah dan rahmah. Implikasinya, rumah tangga menjadi sumber nilai yang tidak baik bagi anggota keluarga, yang anggota keluarganya terbiasa dengan kekerasan. Oleh sebab itu, Islam yang menginginkan rumah tangga sakinah dan rahmah akan mengarahkan semua aturan, tuntunan dan teladan menciptakan suasana tersebut. Apalagi dalam Islam, rumah tangga merupakan unsur yang sangat penting dalam pembinaan manusia menjadi manusia.
B. PENGHAPUSAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM ISLAM
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Islam dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi jika dilihat dari sudut historis, keadaan masyarakat pra Islam lebih parah dalam memperlakukan perempuan atau pihak lemah lainnya. Ini tentu sangat tepat untuk melihat bagaimana cara Islam menghapuskan kebiasaan jelek masyarakat pada waktu itu.
1. Ada larangan memperlakukan tidak baik dan ada perintah Allah untuk memperlakukan semua anggota keluarga secara baik.
Allah dengan tegas dalam Al-Qur'an surat al-Nisa’: 19 menyatakan
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا(19) النساء
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka (dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepadanya, kecuali (apabila) mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu).
Dari ayat itu jelas bahwa :
1. Haram mewarisi perempuan dengan cara paksaan ==> kekerasan psikis
2. Larangan menyakiti perempuan dengan cara menahan dan menyusahkan mereka untuk mengambil kembali apa yang sudah diberikan kepadanya. ==> kekerasan ekonomi
3. Ada perintah untuk menggauli isteri dengan cara yang baik.
4. Solusi yang diberikan Allah jika terjadi hal yang tidak mengenakkan maka mungkin Allah mempunyai tujuan yang lebih baik.
1. Ada perintah untuk menggauli isteri dengan cara yang baik. Perlakuan secara baik tersebut meliputi pemberian nafkah yang pantas, tidak menyakiti baik dengan perkataan atau dengan tindakan, dan memperlihatkan rasa senang dan rasa kasih sayang.
Wujud lain dari kata tersebut adalah perlakuan terhadap isteri sebagai mitra. Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban untuk membantu meringankan tugas isteri, dengan melakukan sendiri atau dengan menggaji pembantu.
Bergaul dengan baik harus ada cara yang tepat seperti dalam hadis berikut:
عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع وان اعوج شيئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اعوج فاستوصوا بالنساء
Artinya: Abu Hurairah berkata bahwa Rasul bersabda:’ Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan. Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu ingin meluruskannya maka berarti kamu mematahkannya, dan jika kamu biarkan ia tetap bengkok. Maka saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan.
Dalam memberikan pendidikan terhadap perempuan harus dengan cara yang lemah lembut, jangan dengan cara kekerasan ataupun bentakan. Hadis ini sebenarnya berkaitan dengan cara menegur /cara mendidik perempuan. Diibaratkan oleh Rasul seperti tulang bengkok, kalau dibiarkan akan tetap bengkok, tetapi kalau dipaksa untuk meluruskan akan patah. Artinya harus diluruskan dengan bertahap dan sabar.
Pemahaman seperti itu dapat dilihat dalam hadis tentang topik yang sama dengan periwayatan yang berbeda berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Artinya: Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasul bersabda: sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
Anda tidak akan bisa menetapi satu cara saja. Jika anda bersenang-senang dengannya anda akan bersenang-senang dengannya, dan ia tetap bengkok. Jika engkau paksa meluruskannya engkau mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya. Dari kedua hadis di atas terlihat bahwa konteks hadis tersebut bukan pada asal kejadian perempuan, tetapi berbicara tentang cara menghadapi perempuan. Apalagi jika dilihat penjelasan dalam hadis yang disebutkan terakhir, patahnya tulang yang bengkok merupakan pernyataan dari putusnya hubungan perkawinan antara mereka. Hal ini amat sangat jelas bahwa hadis ini membicarakan tentang upaya untuk menjalani hubungan keluarga dengan baik. Jangankan dibiarkan saja apa adanya dan jangan pula terlalu keras untuk melakukan perubahan.
Di samping itu, ada para ahli yang memahami frase tersebut dalam bentuk metafora. dengan arti perempuan mempunyai sifat, karakter dan kecendrungan yang tidak sama dengan pria. Bila hal ini tidak disadari, akan menjadikan pria bersikap tidak wajar. Meskipun pria sudah berusaha, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, seperti tidak berhasilnya meluruskan tulang yang bengkok.
Berbuat baik terhadap orang tua sangat jelas dalam Al-Qur'an perintahnya diseiringkan dengan perintah menyembang Allah. Dan dalam hadis Rasul memberikan posisi 3x kepada ibu dibandingkan ayah.
b. Menjanjikan ganjaran kepada seseorang yang baik terhadap perempuan.
Sebagaimana halnya agar perintah untuk melakukan sesuatu diikuti oleh yang diperintah, Islam juga menggunakan janji mendapatkan ganjaran sebagai salah satu cara untuk melaksanakan suatu perintah. Dalam masalah yang ada kaitan dengan memperlakukan perempuan dengan baik, Rasul juga menjanjikan balasan kelak di akhirat. Mereka yang berlaku baik terhadap perempuan akan memperoleh surga sebagai balasannya. Janji itu berlaku bagi orang tua atau saudara yang baik terhadap anak atau saudara perempuannya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَكُونُ لِأَحَدِكُمْ ثَلَاثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ فَيُحْسِنُ إِلَيْهِنَّ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan bahwa orang yang peduli dan memenuhi kebutuhan anak atau saudara perempuannya nanti di hari kiamat dekat dengan Rasul. Beliau mengibaratkan dengan memperlihatkan jari tangan beliau. Hal itu dapat dilihat dalam riwayat berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ
Dalam riwayat di atas, secara eksplisit Rasul mengemukakan bahwa orang yang berlaku baik terhadap anak atau saudara perempuan ia akan mendapatkan balasan surga. Sementara dalam hadis lain yang mempunyai pesan yang sama meski pun dengan peristiwa yang beda, Rasul mengemukakan bahwa anak atau saudara perempuan yang diberlakukan baik oleh keluaganya, maka mereka kelak akan menjadi penghalang dari api neraka. Artinya, anak atau saudara perempuan tersebut akan menjadi penghalang masuknya orang tua atau saudaranya itu ke dalam neraka. Balasan yang diberikan kepadanya adalah terhindar dari siksaan kelak di akhirat.
Oleh sebab itu, dalam berbagai cara Rasul memberikan persamaan kasih sayang kepada semua anak. Di samping perintah memperlakukan secara baik, ada larangan anak menyakiti orang tua dan orang tua menyakiti anak terutama perempuan.
3. Larangan menyakiti atau melakukan kekerasan
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ.....
Artinya: Hadis diterima dari al-Mughirat bin Syu’bah, Rasulullah saw. bersabda: Allah SWT. mengharamkan terhadapmu mendurhakai orang tua, menyakiti (mengubur hidup) anak perempuan, menahan hak orang lain dan menuntut sesuatu yang bukan haknya,....
Dalam hadis di atas secara jelas Rasul mengharamkan melakukan kekerasan kepada orang yang dalam posisi lemah, orang tua, anak-anak dan para pembantu yang mereka dituntut untuk bekerja seseuai dengan keinginan tuannya, tapi tidak membayar gajinya. Dapat juga masuk disini meminta pelayanan yang melebihi dari tanggungjawab/kewajibannya.
==> larangan melakukan kekerasan psikis dan fisik.memukul isteri/suami anak-anak bahkan orang tua Melukai :
Dalam Islam melukai termasuk tindak pidana yang harus dihukum dengan hukuman qisas, yaitu hukuman yang sama/ setimpal dengan pelukaan yang dilakukannya. Banyak sekali hadis Rasulullah Saw. ang mengatur tentang itu.
Rasul dalam menjalankan kehidupan rumah tangga memanggil isterinya dengan mesra dengan menonjolkan kelebihan, seperti kepada ‘Aisyah dengan “humaira”. Ucapan yang mengnadung penghinaan dan ejekan akan berbuntut pada minder
Dalam Islam semua tuntunan bertujuan menghingkan ketidak berdayaan. Hal itu terlihat ketika orang tua memutuskan bahwa anak perempuannya harus menikah, maka anaknya harus dimintai izin dalam menerima pendamping yang akan menikahinya. Orang tua tidak dapat memutuskan sendiri tanpa adanya persetujuan dari anaknya. Persetujuan itu dibedakan oleh Rasul antara anak gadis dengan yang sudah janda. Ketentuan itu dapat dilihat dalam hadis berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ Berdasarkan riwayat di atas, sebelum memutuskan untuk menikahkan anak perempuan, orang tua harus meminta persetujuan anaknya baik anaknya masih perawan atau sudah janda. Ada sedikit perbedaan antara perwujudan dari rasa setuju dari anak perempuan yang sudah janda dan perawan. Untuk yang sudah janda persetujuannya harus jelas eksplisit, sedangkan yang masih perawan persetujuannya dapat dilihat dari indikatornya saja, seperti diam dan lainnya yang menunjukkan bahwa ia setuju dengan keputusan orang tuanya.
Pada masa Rasul terjadi suatu peristiwa yang menimpa seorang perempuan (perawan) yang dikawin paksa oleh ayahnya. Ia dinikahkan oleh ayahnya dengan laki-laki (anak pamannya) yang tidak disukainya. Kenyataan itu terekam dalam riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ قَالَتِ اجْلِسِي حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Dalam riwayat di atas, dinyatakan bahwa jika ia tidak menyukainya, ia mempunyai hak untuk dapat memohonkan perceraian dari perkawinan yang terpaksa itu. Meskipun demikian, penggugat menerima apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya.
Dalam hadis di atas, perempuan itu dengan eksplisit menyatakan bahwa pengaduannya itu bertujuan untuk mengetahui apakah perempuan mempunyai hak untuk menyatakan keengganan dan ketidak-senangannya atau tidak. Tarnyata ia menemukan bahwa Islam sangat meperhatikan pengaduannya dan memutuskan untuk memilih apakah ia akan melanjutkan atau membatalkan perkawinannya.
Diketahui bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah. Agaknya, atas pertimbangan untuk mewujudkan tujuan perkawinan itulah Rasul memberikan putusan yang seperti itu. Bagaimana tujuan rumah tangga mawaddah dan rahmah akan terwujud jika keluarga dibentuk atas dasar paksaan.
Berdasarkan riwayat di atas, anak perempuan (perawan) dapat mengajukan keberatan atas paksaan orang tuanya, karena yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah ia sendiri. Anak perempuan mempunyai hak untuk menyampaikan keluhan dan keterpaksaannya dan mendapatkan haknya untuk hidup dengan pilihannya sendiri.
Untuk janda yang dikawinkan secara paksa, putusan yang diberikan oleh Rasul lebih tegas dibandingkan dengan anak perawan di atas. Dalam sebuah hadis, Rasul memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh Khansa’ binti Khidam al-Anshariyyah yang berstatus janda. Ia dinikahkan secara paksa oleh bapaknya, kemudian Rasul berdasarkan gugatan Khansa’ menolak perkawinan itu. Ketentuan ini sebagai konsekwensi logis dari larangan menikahkan anak perempuan (janda) tanpa izinnya yang pasti yang sudah diungkap sebelumnya..
Namun ada yang perlu diingat, bahwa ada keseimbangan aturan dalam Islam yang menjaga hak masing-masing. Orang tua juga harus dimintakan persetujuan (izin) untuk melakukan pernikahan. Anak perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin dari walinya. Bahkan pada masa Rasul ada kejadian yang seperti ini. Ada beberapa hadis yang mengatur tentang masalah ini, seperti:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَأَنَسٍ
Riwayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa nikah tidak dapat dan tidak sah dilaksanakan tanpa wali. Artinya, seorang anak perempuan yang menikah, harus ada walinya. Keberadaan wali dalam pernikahan memberikan indikasi bahwa wali meyetujui pernikahannya. Di samping itu, wali juga berfungsi sebagai orang yang mengaqadkan pernikahan (ijab) bagi anak perempuannya.
Untuk menjaga hak wali tersebut, Rasul memberikan jaminan dengan hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Berdasarkan riwayat di atas, perkawinan yang dilakukan tanpa seizin wali dianggap batal. Rasul mengulangi batal itu sampai 3 X. Jika akibat dari pernikahan tersebut sudah terjadi hubungan seksual suami dan isteri, maka ia berhak mendapatkan mahar utuh. Akibatnya, pernikahannya setelah itu batal demi hukum.
Untuk menjamin hak anak atas kekuasaan absolut wali, dalam hadis di atas juga diberikan solusi, jika wali enggan tanpa alasan syar’i (wali adhal) makauntuk pernikahan anak perempuan dengan mengunakan wali hakim. ==> tidak ada pemaksaan dlm Islam
Solusi jika terjadi masalah Sebagai konsekwensi dari pernikahan anggota keluarga mendapatkan hak untuk diperlakukan secara baik oleh pasangannya, maka masing-masing juga diberi hak untuk merasa keberatan atas perlakuan yang tidak baik. Bahkan dalam menghadapi masalah yang timbul dari masing-masing pihak, Islam memberikan perlakuan yang seimbang. Misalnya, ada aturan khusus yang harus diikuti oleh suami untuk mengatasinya, seperti yang terdapat dalam QS. al-Nisa’/4: 34 yang mengatur bagaimana menghadapi adanya indikator nusyuz pada isteri. Begitu juga isteri memiliki solusi dalam menghadapi adanya indikator nusyuz pada suami, seperti yang terdapat dalam QS. al-Nisa’/4: 128.
Memperhatikan kata تخافون dan خافت dalam kedua ayat diatas mempunyai makna bahwa telah terlihat adanya indikasi yang mengarah kepada nusyuz. (Tidak menjalankan kewajiban) Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak membiarkan terjadinya penyimpangan dan yang kemudian berkembang menjadi nusyuz. Oleh sebab itu, sejak dini masing-masing harus mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya nusyuz pada masing-masing pihak.
Nusyuz adalah sikap tinggi hati. Isteri dikatakan nusyuz jika tidak melaksanakan kewajibannya terhadap Allah, suami dan anak-anaknya. Sedangkan suami dikatakan nusyuz jika tidak menunaikan hak Allah, isteri dan anaknya.
Untuk menghadapi kekhawatiran nusyuznya isteri, Allah memberikan tiga langkah alternatif
1. Memberikan pengertian, dengan cara mengkomunikasikannya (dialog), jika tidak berubah, maka diambil langkah kedua.
2. Pisah ranjang, artinya masih dikamar yang sama. Dalam Islam pisah ranjang merupakan upaya untuk mengingatkan kekeliruan. Disini terlihat bahwa dalam kondisi normal suami tidak boleh meninggalkan isterinya tidur sendirian dan isteri merupakan subjek dalam pemenuhan kebutuhan seksual Akan menjadi solusi jika hanya pisah ranjang. Anggota keluarga lain tidak tahu apa yang terjadi. Kenyataannya, pergi dari rumah, sehingga bukan selesai malah tambah runyam. Jika langkah kedua tidak berhasil baru ditempuh langkah ketiga:
3. Memberikan hukuman pisik, tidak sama dengan kekerasan fisik. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ketiga alternatif itu diberikan secara bertahap. Tahap kedua ditempun jika tahap pertama tidak berhasil. Begitu juga dengan tahap ketiga, hanya bisa dilakukan jika tahap pertama dan kedua tidak dapat mengatasi permasalahan.
Untuk realisasi dari setiap tahapan ada aturan khusus yang ditetapkan oleh Rasul. Hal itu dapat dilihat dari hadis berikut: ... و لا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تهجر الا فى البيت maksudnya:
Dalam memberikan pembelajaran atau ajaran, suami tidak boleh mengungkapkannya dengan kata-kata yang kasar dan dengan cacian. Kata قبح berarti bahwa suami jangan mengatakan kepada isteri kata yang dapat menyakitkan hatinya, dan tidak mengecewakannya. Jika seperti itu, bukannya menyelesaikan malah akan menambah keruh suasana. Artinya, suami mempunyai niat yang baik untuk memperbaiki bukn untuk mengungkit kesalahan dan kekuarangan si isteri.
Dalam pisah ranjang, terdapat beberapa penafsiran para penafsir. Ada yang memahami dengan pisah kamar atau pisah ranjang. Ada yang memahami dengan masih tidur di ranjang yang sama, tetapi tidak saling bicara dan saling belakang membelakangi. Agaknya ini diperlukan untuk memberikan kesempatan untuk introspeksi.
Dalam pemberian hukuman fisik agar berbeda dengan kekerasan fisik, Rasul meberikan batasan yang sangat rinci dan jelas. Ada batasan wilayah badan yang boleh dipukul, yaitu tidak pada bagian muka. Hal itu mungkin disebabkan karena bagian wajah bagian yang mudah terlihat. Di samping itu pada bagian wajah terdapat anggota tubuh yang halus, seperti mata, telinga, alat penciuman, dan bagian tubuh yang dipertahankan pesonanya oleh perempuan.
Dalam pemberian hukuman pisik ini, suami melakukannya untuk menyadarkan isteri dari kesalahannya, untuk mendidik bukan untuk balas sakit hati. Oleh sebab itu, dalam hadis lain, Rasul memberikan batas ukuran pemukulan yang dibenarkan, yaitu pukulan itu tidak meninggalkan bekas pukulan, tidak memar dan tidak luka. Dengan demikian, pemukulan yang dilakukan adalah pemukulan ringan yang tidak termasuk pada tindak kekerasan.
Begitu juga halnya jika dikhawatirkan terjadinya nusyuz suami, Allah dalam QS 4: 128, memberikan solusi untuk mengadakan ishlah. Isteri yang sudah melihat adanya gejala dan tanda- tanda bahwa suami melalaikan tugasnya, bersikap acuh tak acuh , maka isteri harus mengingatkan suaminya dengan membicarakannya secara tenang, jauh dari situasi yang memancing bertambah parahnya suasana. Solusi yang diberkan Islam agar anak tidak mengalami kekerasan psikis dari permasalahan yang dihadapi orang tuanya.
Kata ishlah dalam ayat di atas berarti bahwa isteri atau suami dapat merelakan sebagian haknya untuk mempertahankan kenyamanan, kesatuan dan kecocokan antara mereka. Lebih utama lagi untuk menjaga agar tidak terjadi perceraian kalau masih memungkinkan untuk bersatu.
Jika permasalahannya disebabkan oleh kedua belah pihak tidak mungkin mneyelesaikan sendiri, Allah telah memberikan pedoman dalam QS al-Nisa’/4: 35, yang menjelaskan, jika sudah terlihat tanda akan munculnya perselisihan atau sudah terjadi pertengkaran, maka perlu dilibatkan hakam dari keluarga masing-masing. Hakam ini diharapkan dapat melihat persoalan secara objektif,dan proporsional sehingga tidak menyalahkan satu pihak dengan berpihak kepada yang lain.
Solusi yang dikemukakan di atas bukan untuk memaksa, menindas, menghinakan dan merendahkan martabat masing- masing, tetapi suatu upaya untuk mengatasi keretakan dan perpecahan yang berpotensi menimbulkan terjadinya perceraian.
Anti Kekerasan seksual
Dalam memenuhi kebutuhan seksual, baik suami atau isteri mempunyai tanggung jawab yang sama. Namun hadis yang sering dimunculkan terkesan hanya isteri yang harus memenuhi kebutuhan suami. Misalnya, hadis tentang ancaman dilaknat malaikat bagi isteri yang enggan melakukan hubungan seksual dengan suaminya berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Menurut riwayat di atas, isteri yang tidak mau diajak oleh suami akan mendapatkan laknat malaikat sampai shubuh. Aturan ini harus dikaitkan dengan kewajiban suami agar melihat situasi dan kondisi isteri, yaitu dalam kondisi isteri baik dan tidak ada masalah Kalau isteri capek, sakit dan yang sejenisnya maka tidak termasuk dalam ancaman dalam hadis tersebut Sebelumnya sudah djelaskan bahwa isteri sama-sama subjek dalam pemenuhan seksual. Agaknya aturan ini merupakan bentuk kekonsistenan ajaran Islam yang menganjurkan pemuda untuk menikah agar terhindar dari zina. Jika isteri tidak bisa digauli nanti suami akan mencari jajan di luar.
Di samping itu, sebelum Islam orang mempunyai isteri tidak terbatas jumlahnya, tetapi setelah Islam datang Rasul membatasi maksimal empat orang dengan persyaratan yang sangat ketat. Caranya adalah dengan menceraikan isteri yang lain. Ada beberapa sahabat yang secara eksplisit meriwayatkan hadis mengenai perintah Rasul untuk menceraikan isteri bagi yang memiliki isteri lebih dari empat orang. Jika dengan isteri yang sudah terbatas tersebut suami tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualitasnya maka dapat membuka peluang terbukanya pintu perzinaan. Hal itu terbukti dalam beberapa kasus yang terjadi saat ini, sebagian besar laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan bukan isterinya, karena isterinya tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Begitu juga dalam hal perlakuan suami terhadap isteri. Suami tidak membolehkan isteri keluar ke tempat ibadah. Hal itu terlihat dari perlakuan masyarakat yang diungkap dari pernyataan ‘Umar bin Khattab, bahwa orang sebelumnya melarang perempuan ke rumah ibadah.
Perempuan tidak mempunyai hak kepemilikan. Sebelum Islam datang perempuan tidak mempunyai hak milik apa-apa, ia tidak mendapatkan mahar kalau menikah. Jika seorang perempuan menikah, maka yang berhak menerima maharnya adalah orang tua
Perempuan pada masa itu bukan hanya tidak menerima warisan, dari suami atau dari orang tuanya. Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada masa Islam sebelum ketentuan tentang warisan diturunkan oleh Allah. Secara umum sudah dikoreksi oleh QS. Al-Nisa’/4: 6, yang menyatakan bahwa laki- laki dan perempuan sama-sama mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabatnya. Lebih tegasnya, koreksian itu diberikan ketika seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak perempuan, serta satu orang saudara laki- laki. Dengan tidak memperhatikan ahli waris yang lain, saudara mengambil semua harta peninggalan saudaranya. Isteri yang tidak punya dana sedikit pun mengadukannya kepada Rasul, dengan alasan ia tidak mempunyai uang untuk menikahkan kedua putrinya. Peristiwa ini menjadi peneyab turunnya ayat tentang kewarisan, yang mengatur bahwa dua orang anak perempuan mendapatkan 2/3 dari harta warisan ayahnya QS. Al-Nisa’/4:11. Isteri yang memiliki anak mendapatkan 1/8 bagian QS. Al-Nisa’/4: 12. Dalam hadis, setelah ayat 11 dan 12 di atas turun Rasul memerintahkan agar isteri dan dua orang anak perempuan mendapatkan bagiannya, dan sisanya menjadi milik saudara mayit tersebut.