Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Minggu, 17 Februari 2008

PENGENALAN CALON - Persiapan Nikah 3

PENGENALAN CALON BUKAN PACARAN
PERSIAPAN PERNIKAHAN
Pada zaman sekarang ini, pengenalan calon suami atau isteri dialakukan dengan cara atau proses pacaran. yang dapat bergaul dan bepergian secara bebas. Tujuannya, mungkin untuk lebih mengetahui kpribadian calon, tetapi prosesnya tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dalam Islam, setelah seseorang mendapatkan dan menemukan calon suami atau isteri yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan dan dianjurkan, yang merupakan tindak lanjut dari pemilihan. Pengenalan antara kedua calon tidak hanya terbatas pada pengenalan postur dan rupa masing-masing, tetapi juga kepribadian, sifat, karakter dan sebagainya yang tidak dapat diketahui dari pengenalan awal. Kedua belah pihak harus mengenali kecenderungan, kejiwaan, persepsi dan cara berpikir calon pasangannya. Hasil pengamatannya dapat dijadikan bahan pertimbangan dan analisis terhadap bisa atau tidaknya kedua calon itu hidup bersama di bawah panji pernikahan, dengan cara:

a. Melihat sendiri
Setelah seseorang merasa yakin akan pilihannya, sebelum melakukan pernikahan dianjurkan untuk melihat atau mengetahui hal yang menarik (Muslim, juz II, h. 1040, dan al-Nasa’i, juz h. 69) Secara etimologi, kata nazhara berarti penglihatan mata dan hati, atau memperhatikan dengan seksama dengan mata (Ibn Manzhur, juz VII, h. 72) Perhatian terhadap semua aspek yang melekat pada diri seseorang dapat membuahkan pengenalan terhadap kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Nazhara dengan begitu bukan hanya terbatas pada masalah fisik saja. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa penglihatan sendiri hanya akan menjangkau penampilan luar saja. Memberikan prioritas pada pengenalan fisik tidak dapat menjanjikan apa-apa selain dari rasa senang memandang.
Perintah melihat yang dianjurkan oleh Rasulullah bukan hanya berorientasi fisik, tetapi meliputi semua aspek, terutama yang akan berpengaruh terhadap keutuhan keluarga kelak. Ada tujuan yang diinginkan dari hasil melihat, sebagai bahan masukan dalam memberikan keputusan. Tujuan melihat dan mengenal langsung tersebut untuk dapat mengekalkan hubungan perkawinan (Al-Nasa’i, h. 69-70 dan al-Turmuzi, juz II, h. 275. Ibn Majah, juz I, h. 599-600, Al-darimi, juz II, h. 34, dan Ahmad bin Hanbal, juz IV, h. 245 dan 246) Sedangkan tujuan antaranya, dengan melihat calon akan memunculkan pengertian terhadap calon pasangan dan mencari kecocokan antara keduanya. Sehingga dapat memahami calon dan membantu upaya penyesuaian diri terhadap kekurangan an kelebihan masing-masing. Apabila seseorang membentuk keluarga setelah mengetahui pribadi pasangannya jauh sebelumnya, maka apapun yang dialami setelah berkeluarga tidak mendatangkan penyesalan (Al-Mubarakfuri, juz IV, h. 206-207) Sebaliknya, keluarga yang dibentuk tanpa didasari pengenalan pribadi pasangannya, maka kekurangan yang ditemukan dalam perkawinan dapat membawa kepada kekurangpuasan atau bahkan keretakan keluarga.
Objek yang boleh dilihat pada masa pengenalan itu, dapat dikategorikan kepada dua hal, yaitu fisik dan non fisik. Kebolehan melihat fisik, berdasarkan hadis Rasul hanya terbatas pada mata dan sesuatu yang dapat memotivasi untuk terjadinya pernikahan.. Dapat diketahui bahwa kedua calon tersebut nanti setelah menikah akan hidup bersama, diharapkan pengenalan awal dapat memberikan keyakinan bahwa pilihannya kelak sesuai dengan harapan.

b. Melihat Lingkungan di sekitarnya.
Untuk menambah keyakinan terhadap pribadi calon pasangan, di samping melihat sendiri Rasul juga menganjurkan untuk melihat lingkungan pergaulannya. Pribadi seseorang kebanyakan dipengaruhi oleh lingkungan tempat dia dibesarkan dan diasuh. Biasanya wadah akan menentukan isinya (Al-Turmuzi, juz IV, h. 17, Abu Daud, juz IV, h. 259, dan Ahmad bin Hanbal, juz II, h. 303 dan 334) Meskipun memilih kawan untuk bergaul, namun anjuran untuk menyelidiki pendamping hidup sangat krusial dan lebih utama. Karena, dalam kehidupan rumah tangga intensitas pergaulan antara suami dan isteri lebih tinggi dibandingkan dengan kawan bergaul sehari-hari.Untuk mengetahui pribadi dan karakter seseorang, dapat diketahui dari karakter dan pribadi kawan-kawan yang selalu bersamanya. Secara psikologis, seseorang akan mudah bergaul dengan orang yang sepaham dengannya. Sebaliknya, seseorang akan sulit menerima orang yang mempunyai pandangan dan karakter yang berbeda dengannya (Elizabeth B. Hurlock, h. 234)

c. Mengutus seseorang yang dapat dipercaya
Untuk mengemban tugas tersebut, diperlukan orang yang mempunyai pribadi yang dapat dipercaya, baik agama dan kejujurannya. Hal ini penting, karena informasi yang diberikan oleh informan tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Oleh sebab itu, kebenaran sumber sangat menentukan. Pengutusan orang lain yang dapat dipercayai pernah dilakukan oleh Rasulullah.. untuk mengetahui bau mjulut dan postur tubuh (Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, juz II, 1398/1979, h. 166, dan Ahmad bin Hanbaljuz III, h. 231) Dengan mengetahui bau mulut dan postur tubuh, namun banyak sekali hal yang terkait dengannya. Dengan melihat keadaan tubuhnya, akan diketahui cacat yang tersembunyi yang tidak dapat dilihat langsung. Begitu pula dengan keaslian penampilannya jika berada di rumah, karena biasanya seseorang keluar rumah akan tampil dengan memakai make up.Dengan mencium bau mulut, akan dikatahui kebersihan mulut dan giginya. Labih jauh lagi, dengan aroma mulut akan dikatahui penyakit di bagian dalam tubuhnya (perut). Banyak orang yang selalu menyikat giginya, tetapi memiliki aroma mulut yang tidak sedap.
Semua metoda yang telah disebutkan, pada prinsipnya bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih mendekati kebenaran (apa adanya) Walaupun upaya tersebut tidak dapat megungkap semua aspek tentang calon, minimal sudah dapat memberikan gambaran yang mengarah kepada pribadinya. Tujuan akhirnya adalah untuk membereikan arahan agar pembinaan keluarga dan stabilitas perkawinan menjadi lebih kokoh. Yang lebih penting lagi adalah untuk mengantisipasi terhadap perceraian dengan alasan yang sebenarnya dapat diatasi sebelumnya.

PEMILIHAN CALON - Persiapan Nikah 2

PEMILIHAN CALON
(PERSIAPAN PERNIKAHAN)
Pertimbangan Pemilihan Calon
Untuk membentuk keluarga, para calon harus memahami bahwa keluarga adalah lembaga yang suci, bukan sarana uji coba pasangan yang cocok, yang dapat digagalkan apabila tidak menemukan pasangan yang cocok. Seperti di dunia Barat, dua individu dapat hidup bersama sebelum melangsungkan perkawinan untuk mencari pasangan yang cocok (Yulia Singgih D dan Singgih D. Gunarsa, 1995, h. 26), yang bebas memilih, menikah atau berpisah. Proses pemilihan calon merupakan proses paling penting dari pemilihan lainnya. Diibaratkan sebuah bangunan, untuk membuat bangunan yang kokoh, orang akan memilih bahan yang berkualitas tinggi, letak yang strategis, dan konstruksi yang baik. Pemilihan itu lebih penting lagi dalam bangunan keluarga, karena keluarga terdiri dari unsur yang mempunyai watak, tabiat dan tingkah laku yang berbeda. Di samping itu, nanti dari keluarga akan muncul individu baru sebagai generasi penerus.
Dalam al-Qur’an dan hadis dikemukakan tipologi orang yang tidak dapat dipilih untuk calon isteri atau mahram. Bahkan untuk memilih calon dari tipe yang dibolehkan, Islam memberikan bimbingan dan arahan yang lugas dan tegas.
Cara Pemilihan Calon
Dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama untuk memilih calonnya. Selama ini, isu yang berkembang adalah hanya laki-laki saja yang mempunyai hak untuk memilih. Sedangkan perempuantidak berhak menentukan pilihannya. Dalam Islam secara umum diberikan kriteria untuk memilih calon, baik laki-laki atau pun wanita. (QS. al-Nur (24):26.) Untuk menjalankan ketentuan tersebut, maka salah satu cara adalah melakukan seleksi agar laki-laki baik mendapatkan perempuan yang baik pula, dan laki-laki tidak baik juga pantas untuk perempuan tidak baik pula, bukan sebaliknya.
1. Pemilihan calon Isteri
Dalam memilih calon isteri biasanya pertimbangannya cenderung kepada sesuatu yang bersifat materi, karena hal itu dengan mudah dapat dikatahui dan dirasakan. Hal tersebut diakui oleh Rasulullah
تنكح المرءة لاربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
(Perempuan biasanya dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, agamanya. Pilihlah yang punya agama, engkau akan bahagia) (Al-Bukhari, h. 2107-2108, Muslim, h. 1086-1087, Abu Daud, h. 219, al-Turmuzi, juz III, h. 275, al-Nasa’i, juz VI, h. 65 dan 68, Ibn Majat, h. 597 al-Darimi, h. 134, dan Ahmad bin Hanbal, juz VI, h. 152).
Ada empat kriteria yang dijadikan pertimbangan untuk memilih calon isteri, yaitu kekayaan, kebangsawanan, kecantikan, dan ketaatan menjalankan agama. Biasanya kriteria tersebut terdapat pada perempuan secara alternatif dan mungkin sedikit sekali kriteria itu yang kumulatif. Jika keempat kriteria itu terdapat pada perempuan secara kumulatif, itulah perempuan idaman. Jika kriterianya hanya alternatif, Rasulullah memberikan arahan untuk menjatuhkan pilihan, yaitu dengan memprioritaskan ketaatan menjalankan agama. Dikuatkan dengan hadis berikut:
a. Sisi negatif alternatif pertimbangan selain agama
Dari alternatif pertimbangan yang ada, Rasul menekankan untuk menjatuhkan pilihan dengan menyatakan nilai plus minus dari masing-masing alternatif yang ditawarkan. Pertama sisi negatifnya : (Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya, mungkin kecantikannya bisa mencelakakan. Juga jangan karena kekayaannya, mungkin hartanya bisa membuatnya sombong. Akan tetapi, kawinilah perempuan karena agamanya, sesungguhnya hamba sahaya yang hitam kulitnya tapi kuat agamanya lebih utama).( Ibn Majat, h. 597.)
Dalam hadis di atas, agama menduduki prioritas utama dibandingkan dengan kriteria yang lain. Kecantikan yang tidak dilindungi dengan pembinaan agama akan membahayakan. Karena kecantikannya itu dapat dijadikan sebagai modal untuk merayu atau membuat orang tertarik padanya. Sehingga ia akan memanfaatkan semua laki-laki yang tertarik kepadanya. Begitu juga kekayaan tanpa keluhuran budi dapat membuatnya sombong terhadap suaminya, dengan cara melecehkan dan merendahkan. Perempuan yang merasa bahwa kemampuan keuangannya mengungguli suaminya, jika tidak diiringi dengan keluhuran budi akan menjadikan suaminya tidak memiliki harga diri dan diremehkan.
Itu juga bukan tidak menjadikan keduanya sebagai bahan pertimbangan hanya saja posisi keduanya berada di bawah agama. Dengan menjadikan cantik dan kaya itu sebagai pelengkap agama dan budi, apalagi dua pilihan antara cantik tidak beragama dengan beragama tapi tidak cantik. Apabila sama sama dalam agamanya, menikahi perempuan cantik lebih diutamakan (Al-Atsqalani, Fath al-Bari, juz X, h. 169) Ada anjuran Rasul untuk melihat calon isteri sebelum meminang (Al-Nasa’i, h. 69-70, al-Turmuzi, h. 275, Ibn Majah, h. 599-600, al-Darimi, h. 34, dan Ahmad bin Hanbal juz IV, h. 245 dan 246)
b. Sisi positif alternatif pertimbangan agama
Berkaitan dengan saran Rasul untuk memilih perempuan shalihah, ketika QS. al-Taubat (9):34-35 turun, sahabat bertanya, ya Rasul harta apakah yang kami simpan ?, Rasul menjawab “Hati yang selalu bersyukur, lidah yang selalu berzikir, dan isteri shalihat (al-Naisaburi, Asbab 1988/1409, h. 165, al-Turmuzi, juz IV, h. 341, Ibn Majat, Ahmad bin Hanbal, juz V, h. 278, 282, dan 366), jawaban Rasul bahwa isteri salihah dapat membebaskan umat Islam dari siksaan azab yang amat pedih Isteri shalihat, memandang perkawinan dan keluarga sesuatu yang luhur dan harus dijaga keseimbangannya. Jika cantik akan menjaga kecantikannya dari sesuatu yang dapat mengantarkannya kepada maksiat. Jika kaya dan dari keturunan bangsawan tidak akan menggunakannya untuk merendahkan suaminya.
Realitas yang tidak terbantahkan dalam masyarakat sekarang ini, terjadinya keretakan keluarga banyak disebabkan oleh hilangnya faktor agama dalam panduan kehidupan sehari-hari, yang memicu terjadinya penyelewengan dalam keluarga. Sedangkan isteri salihah akan menjalankan tugas dan memelihara amanah (Ibn Katsir, juz II 1992/ 1412), h. 428, al-Nasa'i, juz VI, h. 68, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, juz II, h. 251, 432 dan 438)
Pertimbangan lain, kemampuan menjalankan rumah tangga serta dapat menjalankan fungsi reproduksi. (Abu Daud, kitab nikah no. 1754 dan al-Nasa’i, kitab nikah no. 3175, untuk melanjutkan keturunan dan dapat menyayangi anak-anak dan suaminya. Kemampuan untuk mempunyai anak dapat dilihat dari keadaan keluarganya. Juga perempuan yang penyayang. Aspek lain yang disarankan adalah virginitas. Meski pun Rasulullah Saw. hanya memiliki satu orang isteri yang perawan dan dalam beberapa pernikahannya, perempuan yang dipilih berstatus janda. Namun, kepada sahabat Rasulullah Saw. selalu menyarankan agar mereka memilih perempuan yang masih gadis (al- Bukhari, juz II, h. 798,873-874, juz III, h. 2103, 2168 dan 2169, Muslim, h. 1088-1089, Abu Daud, h.220, al-Nasa'i, h. 61, Ibnu Majah, h. 598, al-Darimih. 146, dan Ahmad bin Hanbal, juz III, h. 294, 302, 308, 314, 362, 369, 374, dan 376) Karena perawan mempunyai kemungkinan untuk saling bercanda dan bercengkrama, secara alami dan murni. Sedangkan janda “kemungkinan akan dibayangi oleh pengalaman masa lalunya dengan mantan suaminya (Abadi, juz VI, h. 44, al-Nawawi, jilid V, juz X, h. 52-53 dan al-Mubarakfuri, juz IV, h.226) Bagi janda yang mempunyai anak dengan suami sebelumnya, waktunya dan perhatiannya tersita untuk mengurusi anak-anaknya dan akan mengurangi intensitas untuk bercanda dan bergurau dengan suaminya yang baru. Beda dengan yang masih perawan. (Abadi, h. 44 dan al-Nawawi, h. 53) Meskipun tidak tertutup kemungkinan perempuan janda pun dapat menciptakan suasana yang ceria dalam keluarganya.
2. Pemilihan calon suami
Faktor agama dan keluhuran budi merupakan kriteria utama dalam memilih calon suami. Dari kedua kriteria tersebut sebenarnya telah terkandung makna yang dalam. Laki-laki yang mempunyai agama yang kuat dan akhlak mulia mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya (Al-Turmuzi, juz II, h. 274, dan Ibn Majat, h. 632-633. kualitas shahih li ghirih al-Mubarakfuri, h. 205 dan Hamzah Dlaib Mushthafa, juz I, 1406/1986, h. 325) Hal itu disebabkan oleh rasa tanggung jawab agama untuk memenuhi kebutuhan materil keluarga atau rasa aman dan kasih sayang dalam keluarga.
Mengabaikan kedua kriteria tersebut untuk menjatuhkan pilihan. Apabila perempuan hanya dikawinkan walinya dengan laki-laki yang mempunyai status sosial dan ekonomi saja, maka akan banyak perempuan yang tanpa suami dan banyak laki-laki yang tidak dapat beristeri. Hal ini membuka peluang untuk melakukan penyelewengan seksual(Al-Mubarakfuri, h. 204)
Ancaman munculnya fitnah dan kebinasaan di bumi, ketika laki-laki yang memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang kuat dan keluhuran budi pekerti tidak diterima sebagai calon suami atau menantu. Begitu juga sebaliknya, pihak perempuan yang hanya memperhatikan faktor ekonomi dengan mengenyampingkan faktor agama, akan memotivasi laki-laki untuk mengumpulkan kekayaan tanpa memperhatikan cara dan prosesnya.
.

PERSIAPAN SEBELUM MENIKAH 1

PERSIAPAN DIRI SEBELUM MENIKAH
MENURUT TUNTUNAN RASULULLAH

Keluarga merupakan salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial bagi manusia. Dari keluarga manusia hadir di dunia ini QS al-Nisa’ (4) : 1. Dalam keluarga manusia tumbuh dan berkembang. Melalui keluarga manusia memenuhi kebutuhan biologisnya secara wajar dan regenerasi dapat dicapai dengan cara yang sah. Keluarga wadah yang sangat efektif pendidikan pertama dan utama bagi anak-anak. Keluarga merupakan lembaga sosialisasi bagi anak, semua pengalaman anak pada waktu kecilnya akan mempunyai pengaruh dalam kepribadian, dalam penentuan sikap, tindakan dan cara menghadapi persoalan hidup, terutama dalam kehidupan keluarga (Zakiah Daradjat, 1974, h. 8).Di sisi lain, keluarga merupakan lembaga sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk mengubah suatu organisme biologis menjadi manusia (William J. Goode, h. 16) Keluarga wadah satu-satunya untuk menghindarkan diri dari penyakit dan penyimpangan seksual (Ibn Musthafa, 1993, h. 63-65)
Keluarga yang kurang serasi, sangat besar kemungkinan anggotanya menjadi parasit bagi masyarakat (Soerjono Soekamto,1992, h. 40), dapat dikatakan tulang punggung masyarakat (Quraish Shihab, 1992, h. 253), yang mempunyai andil yang besar bagi bangun atau runtuhnya suatu masyarakat. Bagi muslim, Rasulullah saw. merupakan tokoh untuk dijadikan panutan, karena dalam berbagai kesempatan Rasul selalu memberikan perhatian yang besar terhadap persiapan pernikahan. Apalagi pada masa sekarang, keluarga dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat sulit dan rawan permasalahan. Banyak terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga antara suami isteri, dan antara anak dan orang tua. Keluarga juga mendapatkan tantangan dan pengaruh perkembangan dunia luar, yang banyak menayangkan kekerasan dalam rumah tangga. Oleh sebab itu, Rasul menjelaskan persiapan yang harus ada sebelum menikah, yaitu yang berkaitan dengan persiapan fisik dan persiapan psikis.

1. Persiapan fisik
Persiapan fisik merupakan salah satu prasyarat untuk menikah, yang sangat menentukan adalah umur untuk melakukan pernikahan

a. Umur untuk melakukan perkawinan
Dalam Hadis tidak ada ketentuan pasti tentang umur untuk menikah. Tetapi ada isyarat pada kata al-syabab yang berarti kematangan (Ibn Manzhur, h. 462), atau kedewasaan. Secara biologis, fisik manusia tumbuh berangsur-angsur sesuai dengan pertambahan usia. Elizabeth mengungkapkan (Elizabeth B. Hurlock, 1993, h. 189) bahwa pada pria, organ-organ produksinya di usia 14 tahun baru sekitar 10 persen dari ukuran matang. Setelah dewasa, ukuran dan proporsi tubuh berkembang, juga organ-organ reproduksi. Bagi pria, kematangan organ reproduksi terjadi pada usia 20 atau 21 tahun. Pada perempuan, organ reproduksi tumbuh secara pesat pada usia 16 tahun. Pada masa tahun pertama menstruasi dikenal dengan tahap kemandulan remaja, yang tidak menghasilkan ovulasi atau pematangan dan pelepasan telur yang matang dari folikel dalam indung telur. Organisme reproduksi dianggap sudah cukup matang di atas usia 18 tahun, uterus bertambah panjang dan indung telur bertambah berat. Kematangan fisik seseorang menurut keterangan di atas ditentukan oleh usia. Semakin bertambah usia seseorang semakin matang organisme reproduksinya.
Kata الشباب memiliki pengertian kedewasaan usia dan kematangan emosional. karena, syabab adalah penamaan terhadap orang yang sudah balig sampai dengan umur 30 tahun, penamaan terhadap orang yang sudah berumur 16 tahun atau orang yang berumur maksimal 30 tahun, karena istilah untuk orang yang lebih dari 30 tahun adalah al-syuyukh (al-Nawawi, h. 173, dan al-Atsqalani, h. 135) Tidak adanya ukuran pasti dalam hadis menunjukkan pada sebagian orang tidak seimbang antara kedewasaan usia kalender dengan usia psikis. Begitu juga sebaliknya, ada yang usia kalendernya lebih muda tetapi memiliki kematangan emosional tinggi.
b. Persiapan finansial
Dalam kehidupan keluarga, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penting Pernyataan Nabi dalam hadis, bahwa kemampuan merupakan prasyarat menikah. Kata al-baat secara leksikal berarti jima’ (Al-’Atsqalani, h. 108), namun konteksnya kemampuan material (al-’Aini, h. 278 dan al-Mubarakfuri, h. 199), .karena jika kata baat adalah lemah kemampuan seksual, maka perintah untuk melakukan puasa tidak mempunyai makna bagi orang yang tidak mempunyai gairah seksual. Jadi, maknanya kekayaan atau kelebihan di bidang material atau mempunyai kemampuan untuk memperoleh sesuatu (Wahbat Zuhaili, 1991/1411, h. 13.dan Muhammad Rasyid Ridha, 1973, h. 17), dalam bentuk harta kekayaan atau keahlian yang dimilikinya. Dalam QS. al-Nur (24):33 : (orang-orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk menikah hendaklah ia menjaga dirinya sampai Allah memampukan mereka).
Dari hadis terlihat bahwa perintah menikah menjadi wajib jika yang bersangkutan telah memiliki atau dapat mempersiapkan financial untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini sering diabaikan oleh sebagian umat Islam. Pemahaman semakin jelas dengan mengaitkannya dengan ketentuan dalam Q.S. al-Nur’: 34, yang menunjukkan ada keikut-sertaan atau pendampingan wali dalam masalah financial calon yang belum mandiri ekonominya. Banyak yamg memahami bahwa dalam Islam seseorang tidak perlu melakukan persiapan finansial. Anggapan yang seperti ini tentu sangat keliru, jika dikaitkan dengan ayat dan hadis di atas. Di sisi lain, hadis ttg wali agar tidak menjadikan kemampuan finansial sebagai standar/dasar menerima calon menantu. (Al-Mubarakfuri, h. 204), agar laki-laki yang menginginkan anaknya tidak menghalalkan semua cara agar dapat harta dan kedudukan.
2. Persiapan mental
Berkeluarga berarti bersatunya dua individu yang mempunyai pribadi, karakter, latar belakang keluarga dan latar belakang pendidikan, serta sikap yang berbeda. Oleh sebab itu, dituntut penyesuaian diri dengan lingkungan dan tanggung jawab baru dan siap menerima orang lain. Masalah penyesuaian diri dalam perkawinan, yang paling pokok dan umum berpengaruh kepada kebahagiaan keluarga adalah penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan dan penyesuaian dengan orang lain dalam keluarga pihak masing-masing (Elizabeth B. Hurlock, h. 290). Untuk itu hanya orang yang sudah dewasa mental yang dapat melakukan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga barunya. Kesiapan mental dimaksud karena ada tanggung jawab dalam hadis yang harus diemban oleh masing-masing pihak (al-Bukhari, h. 2144, Muslim h. 1459, Abu Daud, h. 130, al-Turmuzi, h. 124, dan Ahmad bin Hanbal, h. 54)
Dalam hal ini yang cukup penting juga adalah pengetahuan tentang proporsional hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam keluarga.

Kamis, 14 Februari 2008

Persepsi Ttg Pernikahan

PERSEPSI TENTANG PERNIKAHAN
MENURUT TUNTUNAN RASULULLAW SAW.
Berbagai persepsi tentang pernikahan muncul di kalangan remaja, ada yang menyatakan pernikahan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan seks, ada juga yang menganggapnya sebagai sarana untuk meringankan kesulitan ekonomi, ada juga yang melakukannya karena takut dikatakan sebagai orang yang tidak “laku”, Bahkan menikah hanya untuk mengikuti “mode”, dan yang sejenisnya. Semua itu sifatnya tidak mendasar dan sangat relatif. Ibarat fondasi dari suatu bangunan, persepsi tersebut sangat rapuh, sehingga keluarga yang dibina di atasnya tidak berdiri dengan mantap dan mudah rubuh. Salah satu prsayarat yang menentukan dalam pernikahan dan akan mempunyai pengaruh terhadap keutuhan keluarga adalah Persepsi tentang pernikahan. oleh sebab itu, agar tidak keliru, maka persepsi tentang pernikahan harus diluruskan.

1. Bukan hanya sekedar Pemenuhan Seks
Manusia dalam kehidupannya memerlukan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dari ketentuan yang diberikan, Islam melarang penganutnya melampiaskan naluri seksnya secara bebas(QS. al-Isra’ (17):32; QS. al-Nur (24):2 dan 3; al-Bukhari, juz IV, h. 2727-2729) Larangan tersebut tidak bertujuan untuk mengingkari eksistensi naluri seks seperti yang dipahami oleh para rahib. (‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, 1993, h. 23) Akan tetapi Islam memberikan solusi yang lebih wajar dan manusiawi
Bagi manusia, pemenuhan kebutuhan seks bukan hanya sekedar untuk memenuhi keinginan sebagaimana yang dilakukan oleh makhluk Allah lainnya (hewan) Rasul memberikan arahan bahwa muslim yang sudah mampu agar menikah, dengan menikah dapat menjaga dan menghindarkan diri dari penyaluran seks secara bebas. Bagi yang belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat mengendalikan gelora nafsu (Al-Bukhari, juz III, h. 2098-2099, Muslim, juz II, h. 1018-1020, Abu Daud, juz II, h. 219, al-Nasa’i, juz IV, h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Ibn Majah, juz I, h. 592, al-Darimi, h. 132, dan Ahmad bin Hanbal, juz I,h. 58, 378, 424, 425, 432, dan 447, al-Turmuzi, juz II, h. 272-273) Persepsi seperti ini akan membuahkan hasil, yaitu keluarga yang terbentuk akan terhindar dari penyelewengan (selingkuh).
Yang diperintah untuk melakukan pernikahan adalah pemuda karena ia mempunyai potensi yang lebih besar mendorong mereka untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya (al-Atsqalani, juz X, 1414/1993, h. 135,al-Nawawi, jilid V, juz IX, 1924, h. 173, al-Mubarakfuri, jilid IV, 1399,h. 194, al-Saharanfuri, juz X, h. 7) Bahaya yang akan muncul pada pemuda biasanya lebih besar untuk dirinya sendiri atau pun masyarakat (Singgih D. Gunarsa dan Yulia Simggih D, 1993, h. 91) Persepsi ini berimplikasi terhadap upaya pemeliharaan kesucian diri dari semua godaan dan penyelewengan yang sangat dilarang oleh Islam (al-Bukhari dan Muslim) dan dapat mengancam keutuhan keluarga.
2. Menjalankan Perintah dan Sunnah Rasul
Realitas di masyarakat ada yang menganggap pernikahan sebagai sarana untuk meringankan kesulitan ekonomi. atau karena perasaan takut dikatakan sebagai orang yang tidak “laku”, atau hanya untuk mengikuti “mode” Persepsi tentang pernikahan yang dituntunkan Rasul dalam hadisnya yang panjang adalah dalam rangka menjalankan perintah Rasul, yang akan berimplikasi pada upaya untuk menjaga pernikahan sama dengan penjagaan terhadap perintah Rasul lainnya. Juga pada proses pelaksanaan pernikahan yang sesuai dengan dan mengacu pada tuntunan yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan Hadis Rasul.
Juga ada ancaman bagi yang tidak mau menikah, tanpa alasan yang dibenarkan berarti ia tidak mengikuti pola hidup yang dituntunkan Rasul (Al-Bukhari, juz III, h. 2097. Muslim, juz II, h. 1020, al-Nasa’i, juz VI, h. 60, al-Darimi, h. 133, Ibn Majat, h. 592-593, dan Ahmad bin Hanbal, juz II, h. 158, juz III, h. 239, juz V, h. 409, dan juz VI, h. 57) dan memakai pola hidup lain (Al-Nawawi, h. 176, dan al-Atsqalani, Fath al-Bari, h. 131)Bahkan ada yang eksplisit menyatakan sebagai tidak mengikuti sunnah Rasul (al-Turmuzi, h. 272 dan Ibn Majat, h. 592) Ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang tidak mengakui pernikahan sebagai salah satu yang diatur dalam Islam. Dengan demikian, tidak termasuk dalam ancaman ini orang yang tidak menikah dengan alasan lain. Seperti karena tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dan tidak membawa ia keluar dari Islam (Al-Astsqalani,h.131)
3. Pernikahan Yang Benar adalah Sarana Bantuan Allah
Dalam realitas di tengah-tengah masyarakat, terlihat adanya fenomena sebagian orang merasa takut untuk berkeluarga, karena khawatir lebih terkekang dan dihantui oleh beratnya tanggung jawab ekonomi, perasaan aman, kasih sayang dan perhatian dan pendidikan anak yang harus dipikul setelah berkeluarga (Ibn Musthafa, 1993, h. 23) sementara itu naluri seksualnya tetap ada. Memang menurut Islam, berkeluarga mempunyai konsekwensi munculnya kewajiban yang harus ditanggung oleh semua pihak yang terlibat dalam keluarga.
Dalam sabda Rasul yang berarti … orang yang mendapatkan bantuan Allah adalah orang yang menikah dengan maksud untuk menjaga diri agar tidak melakukan maksiat. (Al-Turmuzi, juz III, h. 103, al-Nasa’i, juz VI, hal. 15-16 dan 61 dan Ahmad bin Hanbal, juz II, 251 dan 437), yaitu memelihara diri dari godaan yang dapat mengarah pada penyaluran seks bebas dan penyelewengan seksual (al-Mubarakfuri, juz V, h. 296) seperti hubungan seks sejenis homo seksual atau lesbian. Dalam konteks ini Allah akan memberikan pertolongan kepada orang tersebut dalam menjalani kehidupan keluarganya dan dalam merespons dan mengatasi masalah yang dihadapi oleh keluarga.
Rasul menggunakan berbagai versi untuk memberikan arahan dalam mempersepsi pernikahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa menikah bukan hanya sebagai tameng dari penyelewengan, akan tetapi untuk menjaga eksistensi umat Islam dan mengikuti sunnah Nabi.

4. Cara Meninggalkan tabattul (sikap hidup membujang)
Dalam Al-Qur'an (Q.S. Ali ‘Imran/3:14), laki-laki mempunyai kecenderungan terhadap perempuan. Sehingga dilarang keras untuk bersikap sebaliknya yaitu memilih tidak menikah (tabattul (Ahmad bin Hanbal, juz III, h. 158 dan 245. al-Turmuzi, juz II, h. 273, al-Nasa’i, juz VI, h. 59-60, Ibn Majat, h. 593, al-Darimi, juz II, h. 133) Bahkan Sahabat menyatakan jika dibolehkan sikap itu, sahabat akan menjalaninya. (Al-Bukhari, juz III, h. 2101, Muslim, juz II, 1020-1021, Abu Daudjuz II, h. 273, al-Nasa’i, juz VI, h. 58, Ibn Majat, dan Ahmad bin Hanbaljuz I, h. 176 dan 182) Atau menghindarkan diri dari perempuan dan tidak mau menikah (al-Mubarakfuri, h. 200 dan 202-203)
Larangan tabattul karena dikhawatirkan sikap hidup membujang tersebut akan membuka peluang bagi pria atau wanita untuk melakukan penyaluran kebutuhan seksual melalui cara yang tidak dibenarkan oleh Islam. Atau akibat negatif bagi fisik dan psikis,yaitu : (1) melemahkan anggota tubuh utama yaitu hati dan IQ, yang berpengaruh terhadap daya intelektual seseorang. (2) berarti merusak dunia dan keturunan. (al-Razi, jilid VI juz XII, 1994/1414, h. 74. Meskipun keengganan seseorang untuk menikah dan menghindari semua kenikmatan yang diperoleh dalam hidup berkeluarga disebabkan oleh adanya keinginan beribadah kepada Allah (Al-Atsqalani, h. 118, dan al-Nawawi, h. 176-177). Pengertian kedua ini senada dengan pengertian kata al-tabattul dalam QS. al-Muzammil (73):8, yaitu memusatkan diri hanya untuk beribadah kepada Allah semata. Muhammad Hasan al-Mahshi, h. 574.
Artinya, beribadah bukan dalam artian sempit, tetapi ibadah dalam arti luas. Pemenuhan kebutuhan hidup, seperti mancari nafkah, manyalurkan kebutuhan seks merupakan ibadah apabila dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam. Karena Rasul ketika dialog dengan sahabat ttg penyaluran kebutuhan seks dengan isteri dapat pahala ?, Rasul menjawab dengan jika menyalurkan seks pada tempat yang haram dijatuhi hukuman dan dosa. maka jalan yang halal, seseorang akan mendapatkan pahala (Muslim, juz 2, h. 697-698.)

Senin, 04 Februari 2008

Menghadiri walimah

MENGHADIRI WALIMAH
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain adalah menghadiri undangan. Ada perintah menghadiri undangan Menghadiri undangan walimah dengan demikian merupakan suatu kewajiban bagi yang diundang. Dalam hadis Rasul berikut secara tegas dikemukakan :
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا [1]
Tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar untuk tidak menghadirinya, meskipun dalam keadaan puasa, secara jelas Rasul menyatakan bahwa:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ [2]
Di samping perintah menghadiri walimah, keharusan menghadiri undangan itu juga dinyatakan Rasul dengan memberikan ancaman bagi orang yang tidak mau datang. Dalam riwayat yang telah disebut di awal, bahwa orang yang tidak menghadiri undangan walimah berarti telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.[3]
Jika undangan lebih dari satu tempat pada waktu yang sama, Rasul memberikan tuntunan yang didatangi adalah yang paling dekat ". [4] Al-Syaukani memberikan penjelasan paling dekat dalam hadis Rasul itu dapat saja kedekatan tempat dan kedekatan hubungan. Jika kedekatannya sama dan tidak mungkin menghadiri semua, maka yang didahulukan adalah yang lebih dahulu mengundang. Jika waktu mengundangnya sama, maka dilakukan pengundian untuk menentukan undangan mana yang akan dihadiri.[5]
Ada aturan lain tidak boleh datang jika tidak diundang. Hadis Rasul: "orang yang menghadiri walimah pada hal ia tidak diundang, maka masuknya sama seperti pencuri dan keluarnya dari perjamuan sama seperti orang yang tidak punya rasa. [6] Lanjut Rasul menjelaskan bahwa: "orang yang tidak diundang baru dibolehkan masuk dan menikmati perjamuan apabila sudah diizinkan oleh pelaksana walimah." [7]
Dalam tuntunan Rasul, kedatangan tamu diharapkan dapat memberikan do'a kepada kedua penganten. Bukan ”selamat menempuh hidup baru”. Tapi ”barakallahu laka. Atau Barakallahu laka wa baraka lakuma wa jama'a bainakuma fial-khair”. [8] Walimah dengan demikian harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah, sehingga walimah yang tadinya sebagai tradisi atau kebutuhan dapat menjadi salah satu yang bernilai menjalankan perintah agama.[9]
[1] Al-Bukhari, h. 2140, Muslim, h. 1052-1053, Abu Daud, h. 340-341, al-Turmuzi, h. 279, Malik, h. 347 dan al-Darimi, h. 143.
[2] Hadis diterima dari Abu Hurairah dapat dilihat dalam Muslim, h. 1054 dan Abu Daud, h. 340.
[3] al-Bukhari, h. 2141, Muslim, h. 1054, dan bandingkan dengan Malik, h. 347, dan Abu Daud, h. 341
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari dalam al-Syaukani, h. 303.
[5] Al-Syaukani, ibid.
[6]Abu Daud, h. 341, meskipun ada seorang periwayat hadis yang bermasalah, namun ada hadis lain yang ,enguatkannyayang dinilai oleh al-Turmuzi sebagai hadis yang Hasan Shahih.
[7] Al-Turmuzi, h. 279-280 kualita hadisnya Hasan sahih.
[8] Abu Daud, juz 3, h. 291, al-Turmuzi, h. 276-277, dan Ibn Majah, h. 614.
[9] Untuk menambah wawasan dan pemahaman dapat dibacaAbdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, juz 6, h. 1917-1920

Pelaksaan Walimah

PELAKSANAAN WALIMAH AL-'URSY
Walimah terambil dari kata walm yang berarti berkumpul dan berhimpun. Hal itu dikarenakan dua orang suami isteri yang tadinya terpisah telah bersatu menjadi keluarga baru. [1] juga dipahami bahwa pada acara tersebut pengantin baru dan keluarganya mengumpulkan orang terdekatnya untuk menghadiri hari bahagia itu.
Kesan bahwa walimah merupakan kebiasaan atau trend yang harus diikuti sudah saatnya dihilangkan dan dikembalikan kepada sunnah Rasulullah. Karena dalam Islam walimah mempunyai dasar hukum dan aturan yang jelas untuk diikuti.
Pada masa Rasul, setiap perkawinan yang dilakukan oleh Rasul. [2] dan sahabat beliau melakukan dan memerintahkan walimah. Hal itu terlihat dalam salah satu hadis berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ صُفْرَةً فَقَالَ مَا هَذِهِ الصُّفْرَةُ قَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ [3]
Dalam hadis di atas, diketahui bahwa ada perintah Rasul kepada orang yang sudah menikah untuk melakukan walaimah. Agar masyarakat dapat mengetahui bahwa kedua orang yang telah hidup bersama telah melakukan perkawinan secara Islam. Di samping itu, juga dalam rangka memberikan ucapan do'a agar kedua mempelai mendapatkan berkah dari Allah.
Perintah dan praktek Rasul memunculkan perbedaan pendapat para ulama 1.Wajib, seperti yang dikemukan oleh al-zhahiriah dan al-syafi'i dalam al-Um.2.Sunnah, seperti yang dinyatakan oleh Ahmad.3.Mandub, seperti yang dikemukakan jumhur ulama, dengan alasan tidak ada perintah kepada semua sahabat yang melakukan pernikahan, meskipun Rasul tidak pernah meninggalkan walimah.[4]
Dalam melakukan walimah yang terkait dengannya adalah undangan dan perjamuan. Rasulullah memberikan aturan rinci dalam masalah yang berkaitan dengan etika mengundang dan menyuguhkan jamuan.
- Tidak memilih yang diundang berdasarkan status sosial ekonomi
Ada aturan bagi penyelenggara walimah dalam mengundang tetangga dan orang yang dikenalnya, Untuk itu, hadis berikut ini dapat diperhatikan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا … [5]
Dalam hadis secara tegas dinyatakan secara tegas bahwa orang yang mengadakan walimah tidak boleh memilih-milih dan membeda-bedakan orang yang akan diundang dengan alasan status sosial ekonominya. Fenomena yang dihadapi pada masa sekarang memang menunjukkan pada pemilihan undangan kepada orang yang dapat memberi sumbangan banyak. Oleh sebab itu, peringatan Rasul di atas harus dijadikan dasar bagi umat Islam dalam mengadakan walimah, sehingga tidak ada pembedaan dalam mengundang atas dasar kondisi ekonomi. Di samping itu, walimah tidak dijadikan sebagai lahan untuk berbisnis mencari keuntungan.

[1] Al-Syaukani, Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar Min Ahadis Sayyidil Akhyar, jilid 3, juz 6, h. 297.
[2] Al-Bukhari, h. 2139 dan Muslim, h. 1052. Malik, h. 397 dan al-Shan'ani, Subulus Salam Syarh Bulughul Maram juz 3, h. 158. Al-Tirmizi, h. 278.
[3] Al-Bukhari, juz 3, h. 2101, Muslim, juz 2, h. 1050, al-Tirmizi, juz 2, h. 277-278, Abu Daud, juz 3, h. 341, Malik, h. 346, al-Darimi, juz 2, h. 143.
[4] Al-Shan'ani, , h. 154-155
[5] al-Bukhari, h. 2141, Muslim, h. 1054, dan bandingkan dengan Malik, h. 347, dan Abu Daud, h. 341

Peringatan Rasul Ttg Nazar

Nazar
Nazar dalam bahasa Arab berarti adalah mewajibkan sesuatu yang pada mulanya tidak wajib atas diri sendiri sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa.
[1] Biasanya orang bernazar:
1. Untuk tercapainya suatu kenikmatan, kesuksesan atau pun keinginan. 2. Agar terhindar dari kesulitan. Dalam al-Qur’an ada ayat tentang nazar namun lebih pada suatu usaha hamba Allah untuk pendekatan diri kepada Allah, yg fuqaha' masukkan dalam kategori nazar al-tabarrur.[2]
Karena nazar tersebut masih tetap dilakukan oleh manusia sampai Islam datang, maka al-Qur'an pun mengatur tentang nazar ini, seperti yang terlihat dalam surat al-Baqarah/2:270: وَمَا أَنفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ "apa saja yang kamu nafkahkan dan apa saja yang telah kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengatahuinya"; ثُمَّ لِيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
"dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka"; al-Insan/76:7 yang artinya: "mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari azab-Nya merata di mana-mana". (Q.Surat al-Hajj/22:29)
Dalam kedua ayat ada perintah untuk melaksanakan nazar yang sudah terlanjur diucapkan. Namun ada beberapa kriteria nazar yang harus dilaksanakan oleh orang yang telah terlanjur bernazar
a. Nazar yang Harus Dipenuhi
Ketika nazar sudah terucap, berarti ada suatu janji yang harus ditepati. Orang yang bernazar kadang-kadang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang dihadapinya saat itu, sehingga mungkin saja nazar yang diucapkan tidak mempertimbangkan objek nazar tersebut dalam bingkai ketaatan kepada Allah atau sebaliknya malah maksiat kepada Allah. Misalnya saja, seorang yang marah dengan kondisi kemiskinan atau penyakit yang dihadapinya, ia melakukan nazar "kalau saya masih seperti ini, maka saya tidak akan pernah salat selama-lamanya". Atau saya akan bunuh diri.
1. Menazarkan sesuatu yang diperbolehkan
Ketika seseorang bernazar, kadang tidak memperhatikan nazar yang diucapkannya, hal itu terlihat dari arahan Rasulullah dalam hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ
[3]
('Aisyah r.a. Nabi Saw. bersabda: siapa saja yang telah bernazar untuk mena'ati Allah, maka hendaklah ia mena'ati-Nya. Siapa saja yang telah bernazar untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah ia memaksiati-Nya).
2. Bernazar dengan sesuatu yang disanggupi
Orang yang bernazar kadang emosional, oleh keinginan yang luar biasa atau kekhawatiran yang sangat tinggi, membuat seseorang bernazar dengan sesuatu yang kadang di luar jangkauan atau di luar kemampuannya. Oleh sebab itu nazar dengan yang tidak dimiliki atau tidak sesuai dengan kemampuan tidak perlu dipenuhi. Ada dua hal yang secara vis a vis terjadi pada kondisi tersebut. Kewajiban memenuhi nazar di satu sisi dengan ketidakmampuan memenuhi di sisi lain. Solusi yang diberikan Rasul dapat diperhatikan dalam salah satu sabda Rasul berikut:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلا فِيمَا لا يَمْلِكُ ابْنُ آدَم َ
[4]
Bukan hanya itu, objek nazar yang menyusahkan atau mempersulit diri juga tidak perlu dipenuhi, seperti yang terlihat dalam hadis (Dari Ibn 'Abbas ketika Nabi sedang berkhutbah tiba-tiba seseorang berdiri, lalu ia ditanya kenapa demikian ? mereka menjawab: Abu Isra'il telah bernazar untuk selalu berdiri, tidak akan duduk, tidak berteduh, tidak berbicara dan akan berpuasa. Lalu Nabi bersabda: perintahkan orang itu untuk berbicara, untuk berteduh/ berlindung dan untuk duduk. Hendaklan ia menyempurnakan puasa nazarnya).
3. Kewajiban menyempurnakan nazar
Kewajiban menyempurnakan nazar tetap ada dan nazar tersebut dilaksanakan, dan berlaku selamanya. Bahkan jika yang bernazar ketika hidupnya belum menunaikan apa yang dinazarkannya, maka ahli warisnyalah yang diberikan kewajiban sama untuk melaksanakan nazar yang telah diucapkannya. Hal itu terekam dalam hadis Rasul berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ
[6]
Dalam hadis di atas, terlihat bahwa penyempurnaan nazar tidak gugur oleh kematian. Bukan hanya puasa tapi semua yang telah dinazarkan seperti yang terlihat dalam hadis berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَذْرٍ كَانَ عَلَى أُمِّهِ تُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَهُ فَقَالَ اقْضِهِ عَنْهَا
[7]
Dalam hadis di atas, terlihat bahwa nazar apapun yang belum terbayarkan sampai meninggal, maka mereka ahli waris wajib melaksanakan nazarnya. Dalam hadis yang lain,
[8] objek nazarnya adalah haji. Rasul menyamakan nazar tersebut dengan hutang lain. bahkan hutang kepada Allah lebih prioritas untuk ditunaikan.
Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari ketentuan di atas, yaitu:
1. Jika terlanjur bernazar, diberitahukan kepada keluarga terdekat, karena kita tidak tahu apakah nazar tersebut dapat dilaksanakan sendiri atau tidak.
2. Nazar yang belum dibayarkan sama dengan hutang lainnya.
3. Ahli waris mempunyai kewajiban untuk membayar nazar yang belum sempat ditunaikan oleh pembuat nazar, sama dengan kewajiban membayar hutang lainnya.
B. Konsekwensi Tidak Melakasanakan Nazar yang sudah terlanjur diucapkan
Konsistensi umat Islam dengan janjinya menjadi sangat ditekankan dan diwajibkan. Begitu juga dengan nazar, yang merupakan janji seseorang kepada Allah untuk melakukan sesuatu. Orang yang sudah mengucapkan nazar, setelah sesuatu yang diinginkannya tercapai, maka yang dinazarkan menjadi kewajiban baginya.
Nazar bukanlah perbuatan main-main yang dapat saja dibatalkan oleh pelakunya. Untuk itu terlihat ada unsur keseriusan dalam nazar, sehingga jika tidak dipenuhi akan dibebani dengan sesuatu sebagai pengganti. Ancaman hukuman bagi orang yang tidak memenuhi nazarnya dengan berbagai alasan adalah mambayar kaffarat. Hal itu terlihat dalam hadis berikut:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ
[9]
Artinya: Dari 'Uqbah bin 'Amir, Rasulullah bersabda: Kaffarat nazar adalah kaffarat sumpah
Dalam hadis di atas, kaffarat nazar sama dengan kaffarat sumpah. yang ditentukan dalam al-Qur'an surat al-Ma'idah/5: 89 ada tiga alternatif yaitu:1 Memberi makan sepuluh orang miskin, sama dengan makanan sehari-hari;2. atau memberi pakaian sepuluh orang miskin seperti pakaian yang dipakai sendiri;3. atau memerdekakan budak;4.atau puasa 3 hari, jika tidak sanggup untuk melakukan salah satu dari tiga alternatif
C. Esensi Nazar
Umat Islam bernazar selalu dihubungkan dengan keinginan dan harapan untuk mendapatkan atau terhindar dari sesuatu.
1. Nazar Tidak Akan Merubah Apapun
Agar umat Islam tetap berada dalam tuntunan dan garis yang telah ditetapkan Allah dan Rasul, perlu pemahaman yang utuh tentang nazar. Nazar harus dilihat sebagai sesuatu yang dulunya merupakan kebiasaan manusia di tempat ayat al-Qur'an diturunkan, sehingga diatur dalam al-Qut'an dan Hadis. agar tidak terjadi kesalahan dalam bernazar Sabda Rasulullah :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
[10]
(Nazar itu tidak mendahulukan sesuatu dan tidak pula mengakhirkan sesuatul Nazar itu hanya mengeluarkan orang dari kebakhilan). Nazar itu tidak mempunyai kekuatan apa-apa, Nazar tidak dapat mempercepat sesuatu yang belum saatnya atau menyebabkan adanya sesuatu yang pada dasarnya tidak atau belum ada pada saat itu. Nazar juga tidak akan memperlambat sesuatu yang seharusnya sudah saatnya terjadi. Sesuatu akan terjadi sesuai dengan taqdir
[11] Kalau pun antara keinginan dan harapan orang yang bernazar itu sesuai dengan keinginannya, maka sebenarnya nazar itulah yang sesuai dengan takdir yang sudah ditetapkan Allah.
Kesadaran tentang esensi nazar yang telah ditetapkan Rasul menjadi sangat krusial, agar umat Islam tidak memberikan posisi berlebihan pada nazar sebagai sesuatu yang dapat merubah sesuai dengan yang diinginkan. Hal itu untuk menjaga aqidah umat Islam dari sesuatu yang akan mempengaruhinya secara tidak disadari. yaitu dg memahami Allah memberikan sesuatu sesuai dengan keinginnannya karena nazar yang sudah dilakukannya.[12]
Nazar hanya dapat menjadikan orang kikir mengeluarkan hartanya atau melakukan sesuatu. Dinyatakan kikir oleh Rasulullah, karena dalam kenyataannya, org kikir tidak akan melakukan sesuatu jika tidak mendapatkan sesuatu. Orang yang bernazar akan melakukan atau memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya, dan tidak mewajibkan dirinya untuk melakukannya apabila yang diinginkannya tidak terpenuhi sesuai dengan harapannya.
[13]
2. Larangan Bernazar
Nazar mempunyai kesan bahwa kebajikan yang akan dilakukan selalu dikaitkan dengan kebajikan yang telah diperoleh, atau terhindar dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu dapat dilihat dari sabda Rasullah Saw. berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَنْهَانَا عَنِ النَّذْرِ وَيَقُولُ إِنَّهُ لا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الشَّحِيحِ
[14] (Dari 'Abdullah bin 'Umar Rasulullah mengambil satu hari yang beliau melarang kami bernazar) Pelarangan karena nazar itu tidak akan menolak atau menghambat terjadinya sesuatu. Juga koreksian terhadap kesukaan bernazar dan keyakinan nazar akan mengantarkan utk mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginan. Juga arahan jangan membawa pengrusakan akidah, karena Islam mengajarkan untuk berusaha mendapatkan atau menghindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di samping itu, jangan lupa berdo'a. Jika sesuai dengan keinginan kita diharuskan bersyukur dan jika tidak, harus bersabar.
Berdasarkan hadis tersebut, Ulama berbeda pendapat tentang hukum bernazar:
[16]
1. Menurut Mazhab Hanafi, untuk ketaatan kepada Allah hukumnya mubah (boleh) saja;2. Menurut mazhab Maliki, hukumnya mandub, tetapi bernazar dengan yang berulang-ulang hukumnya makruh tanzih;3. Menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali hukumnya makruh tanzih (tidak disukai)

[1] al-Raghib al-Ishfahani, Mufradat Alfaz al-Qur'an, Beirut: Dar al-Syamiyah, 1412/1992, h. 797
[2] ibid., h. 140 dan 142
[3] Al-Bukhari, kitab aiman dan nazar 6202, Muslim, Al-Turmuzi kitab aiman dan nazar no. 1446, al-Nasa'i kitab iman dan nazar 3746- 3748, Abu Daud kitab iman dan nazar no. 2862, Ibn Majah kitab kaffarat, no.2117 , Malik, kitab aiman dan nazar no. 902, Al-Darimi kitab aiman dan nazar no. 1446 dan Ahmad
[4] al-Nasa'i aiman dan nazar no 3752, al-Bukhari hanya menyebutkan fi ma la yamlik , kitab adab no 5587, = muslim kitab aiman dan nazar n0, 159, Abu Daud, kitab aiman dan nazar no. 2835,
[5] Al-Bukhari, kitan aiman wa al-nazar no. 6210
[6] al-Bukhari, kitab washaya no. 2555, kitab aiman dan nazar no. 6204, Muslim, kitab nazar no. 3092, al-Turmuzi kitab nazar no. 1466, al-Nasa'i kitab washaya no. 3599, 3600, 3602, 3603, kitab aiman dan nazar no. 3757- 3759, Abu Daud kitab aiman dan nazar no. 2878, Ibn Majah kitab kaffarat no. 2123, Malik kitab nazar no. 895, dan Ahmad bin Hanbal.
[7] Al-Bukhari, kitab nazar no. 6204, al-Nasa'i aiman dan nazar no. 3757
[8] Al-Bukhari , kitab nazar no. 6205
[9] Muslim, kitab aaiman dan nazar no. 3103, al-Turmuzi , no. 1448, al-Nasa'i no. 3772
[10] Muslim kitab aiman dan nazar no. 3094, al-Nasa'i kitab aiman dan nazar no. 3743, 3745 bandingkan dengan Al-Bukhari, nazar 6198,
[11] Muslim kitab aiman dan nazar no. 3098 bandingkan dengan Al-Bukhari, nazar 6200,
[12] Al-Syaukani, Muhammad bin Muhammad, Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar Min Ahadis Sayd al-Akhyar, jilid 4, juz 7, h. 129
[13] Al-Bukhari kitab nazar no 6200
[14] Al-Bukhari, nazar 6199, Muslim , al-Nasa'i kitab aiman dan nazar no. 3741, 3742, Muslim kitab nazar 3096
[16] Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ;ala Mazahib al-Arba'ah ,(Beirut: Dar al-Fikr, tt., juz 2, h. 140-141

Jumat, 01 Februari 2008

menu utama

Upah
Anda orang yang bekerja pada orang lain. Atau anda mempekerjakan orang lain, ada aturan Islam tentang upah, waktu pembayaran dan besaran upah yang dituntunkan Rasulullah Saw.
Selanjutnya
...........................
Anda muslimah yang kedatangan tamu setiap bulan (haid, menstruasi) masih lancar atau tidak teratur. Anda harus memahami apa yang harus dihindarkan selama masa haid, dan apa yang harus dilakukan setelah masa haid selesai. Anda muslimah yang mengalami haid tidak terartur dan mengalami pendarahan di luar haid, bagaimana cara menyikapinya sesuai dengan tuntunan Rasul
Selanjutnya

..........................
Tindak kekerasan dalam keluarga merupakan salah satu penyebab dari tidak dapatnya anggota keluarga memperoleh haknya dan penghalang untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Implikasinya, rumah tangga akhirnya menjadi sumber nilai yang tidak baik bagi anggota keluarga, sehingga anggota keluarganya terbiasa dengan kekerasan. Oleh sebab itu, Islam telah memberikan aturan, tuntunan dan teladan menciptakan anti kekerasan dalam rumah tangga. Aturan Islam telah jauh mendahului UU anti KDRT yang ditetapkan di Indonesia.
Selanjutnya

.........................
Kesan bahwa walimah merupakan kebiasaan atau trend yang harus diikuti oleh yang menikah sudah saatnya dihilangkan dan dikembalikan kepada sunnah Rasulullah. Karena dalam Islam walimah mempunyai dasar hukum dan aturan yang jelas untuk diikuti. Bagaimana caranya?
Selanjutnya
..........................

Fenomena pelaksanaan walimah, kadang membuat yang diundang bingung karena banyaknya yang ngundang, merasa berat karena tidak punya tanda mata cukup, atau enggan hadir karena terlalu sering pesta. Pada hal ada kewajiban agama untuk menghadiri undangan. Bagaimana kiatnya menurut tuntunan Rasul ?
Selanjutnya:
................................

Anda suka dan sering bernazar, hati-hati ada larangan dan peringatan Rasul tentang nazar, umat Islam yang sering bernazar jangan menganggap nazar dapat mengantarkan ia mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau terhindar dari sesuatu yang ia takutkan, spt apa tuntunan Rasul
selanjutnya
.....................................
Persepsi ttg Pernikahan
Anda pemuda/pemudi yang takut atau tidak mau menikah, karena tidak mau terikat (terkekang), atau merasa beratnya tanggungjawab ekonomi dan pendidikan anak yang akan dipikul ? Atau anda pemuda/pemudi yang menikah karena menganggap pernikahan hanya untuk meringankan kesulitan ekonomi. atau karena perasaan takut dikatakan sebagai orang yang tidak “laku”, atau hanya untuk mengikuti “mode”? Jika demikian ada mispersepsi ttg nikah, dan mungkin berbahaya. Bagaimana seharusnya persepsi muslim tentang pernikahan menurut tuntunan Rasulullah.?.
Selanjutnya
......................................
PERSIAPAN DIRI SEBELUM MENIKAH
Anda pemuda/pemudi yang akan menikah?, Sebelumnya anda harus mempersiapkan diri anda. Karena banyak masalah yang dihadapi kelurga sebenarnya dapat diantisipasi jauh sebelum menikah. Misalnya ketidakcocokan, pertengkaran, dan kekerasan dalam rumah tangga, serta pihak-pihak tidak menjalankan kewajibannya masing-masing. Dalam Islam, Rasulullah menjelaskan persiapan yang harus dipenuhi pemuda/pemudi dalam mempersiapkan pernikahan.
Selanjutnya,.......................................

PEMILIHAN CALON
Anda pemuda/pemudi yg bingung dalam menentukan calon isteri/suami, jangan sampai tergiur dgn performance yg mungkin memukau, penetapan kriteria yg keliru berimplikasi pada keputusan anda dan akan sangat besar akibatnya bagi kehidupan keluarga anda nantinya. Dlm Islam Ada tips yg diberikan Rasul utk menentukan kriteria dan menjatuhkan pilihan.
Selanjutnya,
............................

PENGENALAN CALON
Anda pemuda/pemudi yg sdh mantap utk menikah, kenali dulu calon anda sebelum melakukan akad nikah. Agar informasi ttg calon isteri/suami anda valid dan mendekati kebenaran ada hal yg tdk dpt dilihat dari luar dan tdk dpt anda lihat sendiri. Lewat Pacaran spt yg banyak dilakukan muda/mudi sekarang, informasinya yg didpt tdk sebenarnya banyak kamuflase, dibuat-buat. Ada Cara yang ditawarkan Islam utk mengenal berbagai aspek penting dan menjamin informasi tsb. mendekati kebenaran.
Selanjutnya,............................

PENGHAPUSAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

menurut tuntnunan Rasulullah Saw.

Oleh Enizar

A. PENDAHULUAN

Tindak kekerasan dalam keluarga merupakan salah satu penyebab dari tidak dapatnya anggota keluarga memperoleh haknya dan penghalang untuk meujudkan rumah tangga yang sakinah dan rahmah. Implikasinya, rumah tangga menjadi sumber nilai yang tidak baik bagi anggota keluarga, yang anggota keluarganya terbiasa dengan kekerasan. Oleh sebab itu, Islam yang menginginkan rumah tangga sakinah dan rahmah akan mengarahkan semua aturan, tuntunan dan teladan menciptakan suasana tersebut. Apalagi dalam Islam, rumah tangga merupakan unsur yang sangat penting dalam pembinaan manusia menjadi manusia.

B. PENGHAPUSAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM ISLAM

Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Islam dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi jika dilihat dari sudut historis, keadaan masyarakat pra Islam lebih parah dalam memperlakukan perempuan[1] atau pihak lemah lainnya.[2] Ini tentu sangat tepat untuk melihat bagaimana cara Islam menghapuskan kebiasaan jelek masyarakat pada waktu itu.

1. Ada larangan memperlakukan tidak baik dan ada perintah Allah untuk memperlakukan semua anggota keluarga secara baik.

Allah dengan tegas dalam Al-Qur'an surat al-Nisa’: 19 menyatakan

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا(19) النساء

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksaan, dan janganlah kamu menyakiti mereka (dengan menahan dan menyusahkan mereka) kerana kamu hendak mengambil balik sebahagian dari apa yang kamu telah berikan kepadanya, kecuali (apabila) mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkah-lakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedang Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu).

Dari ayat itu jelas bahwa :

1. Haram mewarisi perempuan dengan cara paksaan ==> kekerasan psikis

2. Larangan menyakiti perempuan dengan cara menahan dan menyusahkan mereka untuk mengambil kembali apa yang sudah diberikan kepadanya. ==> kekerasan ekonomi

3. Ada perintah untuk menggauli isteri dengan cara yang baik.

4. Solusi yang diberikan Allah jika terjadi hal yang tidak mengenakkan maka mungkin Allah mempunyai tujuan yang lebih baik.

1. Ada perintah untuk menggauli isteri dengan cara yang baik.

Perlakuan secara baik tersebut meliputi pemberian nafkah yang pantas, tidak menyakiti baik dengan perkataan atau dengan tindakan, dan memperlihatkan rasa senang dan rasa kasih sayang. [3]

Wujud lain dari kata tersebut adalah perlakuan terhadap isteri sebagai mitra. Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban untuk membantu meringankan tugas isteri, dengan melakukan sendiri atau dengan menggaji pembantu. [4]

Bergaul dengan baik harus ada cara yang tepat seperti dalam hadis berikut:

عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع وان اعوج شيئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اعوج فاستوصوا بالنساء [5]

Artinya: Abu Hurairah berkata bahwa Rasul bersabda:’ Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan. Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu ingin meluruskannya maka berarti kamu mematahkannya, dan jika kamu biarkan ia tetap bengkok. Maka saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan.

Dalam memberikan pendidikan terhadap perempuan harus dengan cara yang lemah lembut, jangan dengan cara kekerasan ataupun bentakan. Hadis ini sebenarnya berkaitan dengan cara menegur /cara mendidik perempuan. Diibaratkan oleh Rasul seperti tulang bengkok, kalau dibiarkan akan tetap bengkok, tetapi kalau dipaksa untuk meluruskan akan patah. Artinya harus diluruskan dengan bertahap dan sabar.

Pemahaman seperti itu dapat dilihat dalam hadis tentang topik yang sama dengan periwayatan yang berbeda berikut ini :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا

Artinya: Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasul bersabda: sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Anda tidak akan bisa menetapi satu cara saja. Jika anda bersenang-senang dengannya anda akan bersenang-senang dengannya, dan ia tetap bengkok. Jika engkau paksa meluruskannya engkau mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.

Dari kedua hadis di atas terlihat bahwa konteks hadis tersebut bukan pada asal kejadian perempuan, tetapi berbicara tentang cara menghadapi perempuan. Apalagi jika dilihat penjelasan dalam hadis yang disebutkan terakhir, patahnya tulang yang bengkok merupakan pernyataan dari putusnya hubungan perkawinan antara mereka. Hal ini amat sangat jelas bahwa hadis ini membicarakan tentang upaya untuk menjalani hubungan keluarga dengan baik. Jangankan dibiarkan saja apa adanya dan jangan pula terlalu keras untuk melakukan perubahan.

Di samping itu, ada para ahli yang memahami frase tersebut dalam bentuk metafora. dengan arti perempuan mempunyai sifat, karakter dan kecendrungan yang tidak sama dengan pria. Bila hal ini tidak disadari, akan menjadikan pria bersikap tidak wajar. Meskipun pria sudah berusaha, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, seperti tidak berhasilnya meluruskan tulang yang bengkok.[6]

Berbuat baik terhadap orang tua sangat jelas dalam Al-Qur'an perintahnya diseiringkan dengan perintah menyembang Allah. Dan dalam hadis Rasul memberikan posisi 3x kepada ibu dibandingkan ayah.

b. Menjanjikan ganjaran kepada seseorang yang baik terhadap perempuan.

Sebagaimana halnya agar perintah untuk melakukan sesuatu diikuti oleh yang diperintah, Islam juga menggunakan janji mendapatkan ganjaran sebagai salah satu cara untuk melaksanakan suatu perintah. Dalam masalah yang ada kaitan dengan memperlakukan perempuan dengan baik, Rasul juga menjanjikan balasan kelak di akhirat. Mereka yang berlaku baik terhadap perempuan akan memperoleh surga sebagai balasannya. Janji itu berlaku bagi orang tua atau saudara yang baik terhadap anak atau saudara perempuannya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَكُونُ لِأَحَدِكُمْ ثَلَاثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ فَيُحْسِنُ إِلَيْهِنَّ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ [7]

Dalam riwayat lain, Rasul menyatakan bahwa orang yang peduli dan memenuhi kebutuhan anak atau saudara perempuannya nanti di hari kiamat dekat dengan Rasul. Beliau mengibaratkan dengan memperlihatkan jari tangan beliau. Hal itu dapat dilihat dalam riwayat berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ [8]

Dalam riwayat di atas, secara eksplisit Rasul mengemukakan bahwa orang yang berlaku baik terhadap anak atau saudara perempuan ia akan mendapatkan balasan surga. Sementara dalam hadis lain yang mempunyai pesan yang sama meski pun dengan peristiwa yang beda, Rasul mengemukakan bahwa anak atau saudara perempuan yang diberlakukan baik oleh keluaganya, maka mereka kelak akan menjadi penghalang dari api neraka.[9] Artinya, anak atau saudara perempuan tersebut akan menjadi penghalang masuknya orang tua atau saudaranya itu ke dalam neraka. Balasan yang diberikan kepadanya adalah terhindar dari siksaan kelak di akhirat.

Oleh sebab itu, dalam berbagai cara Rasul memberikan persamaan kasih sayang kepada semua anak. Di samping perintah memperlakukan secara baik, ada larangan anak menyakiti orang tua dan orang tua menyakiti anak terutama perempuan.

3. Larangan menyakiti atau melakukan kekerasan

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ..... [10]

Artinya: Hadis diterima dari al-Mughirat bin Syu’bah, Rasulullah saw. bersabda: Allah SWT. mengharamkan terhadapmu mendurhakai orang tua, menyakiti (mengubur hidup) anak perempuan, menahan hak orang lain dan menuntut sesuatu yang bukan haknya,....

Dalam hadis di atas secara jelas Rasul mengharamkan melakukan kekerasan kepada orang yang dalam posisi lemah, orang tua, anak-anak dan para pembantu yang mereka dituntut untuk bekerja seseuai dengan keinginan tuannya, tapi tidak membayar gajinya. Dapat juga masuk disini meminta pelayanan yang melebihi dari tanggungjawab/kewajibannya. ==> larangan melakukan kekerasan psikis dan fisik.memukul isteri/suami anak-anak bahkan orang tua

Melukai :

Dalam Islam melukai termasuk tindak pidana yang harus dihukum dengan hukuman qisas, yaitu hukuman yang sama/ setimpal dengan pelukaan yang dilakukannya. Banyak sekali hadis Rasulullah Saw. ang mengatur tentang itu.

Rasul dalam menjalankan kehidupan rumah tangga memanggil isterinya dengan mesra dengan menonjolkan kelebihan, seperti kepada ‘Aisyah dengan “humaira”. Ucapan yang mengnadung penghinaan dan ejekan akan berbuntut pada minder

Dalam Islam semua tuntunan bertujuan menghingkan ketidak berdayaan. Hal itu terlihat ketika orang tua memutuskan bahwa anak perempuannya harus menikah, maka anaknya harus dimintai izin dalam menerima pendamping yang akan menikahinya. Orang tua tidak dapat memutuskan sendiri tanpa adanya persetujuan dari anaknya. Persetujuan itu dibedakan oleh Rasul antara anak gadis dengan yang sudah janda. Ketentuan itu dapat dilihat dalam hadis berikut :

حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ

Berdasarkan riwayat di atas, sebelum memutuskan untuk menikahkan anak perempuan, orang tua harus meminta persetujuan anaknya baik anaknya masih perawan atau sudah janda. Ada sedikit perbedaan antara perwujudan dari rasa setuju dari anak perempuan yang sudah janda dan perawan. Untuk yang sudah janda persetujuannya harus jelas eksplisit, sedangkan yang masih perawan persetujuannya dapat dilihat dari indikatornya saja, seperti diam dan lainnya yang menunjukkan bahwa ia setuju dengan keputusan orang tuanya.

Pada masa Rasul terjadi suatu peristiwa yang menimpa seorang perempuan (perawan) yang dikawin paksa oleh ayahnya. Ia dinikahkan oleh ayahnya dengan laki-laki (anak pamannya) yang tidak disukainya. Kenyataan itu terekam dalam riwayat berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَتَاةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ وَأَنَا كَارِهَةٌ قَالَتِ اجْلِسِي حَتَّى يَأْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِيهَا فَدَعَاهُ فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَ أَلِلنِّسَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ [11]

Dalam riwayat di atas, dinyatakan bahwa jika ia tidak menyukainya, ia mempunyai hak untuk dapat memohonkan perceraian dari perkawinan yang terpaksa itu. Meskipun demikian, penggugat menerima apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya.

Dalam hadis di atas, perempuan itu dengan eksplisit menyatakan bahwa pengaduannya itu bertujuan untuk mengetahui apakah perempuan mempunyai hak untuk menyatakan keengganan dan ketidak-senangannya atau tidak. Tarnyata ia menemukan bahwa Islam sangat meperhatikan pengaduannya dan memutuskan untuk memilih apakah ia akan melanjutkan atau membatalkan perkawinannya.

Diketahui bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mencapai keluarga yang sakinah. Agaknya, atas pertimbangan untuk mewujudkan tujuan perkawinan itulah Rasul memberikan putusan yang seperti itu. Bagaimana tujuan rumah tangga mawaddah dan rahmah akan terwujud jika keluarga dibentuk atas dasar paksaan.

Berdasarkan riwayat di atas, anak perempuan (perawan) dapat mengajukan keberatan atas paksaan orang tuanya, karena yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah ia sendiri. Anak perempuan mempunyai hak untuk menyampaikan keluhan dan keterpaksaannya dan mendapatkan haknya untuk hidup dengan pilihannya sendiri.

Untuk janda yang dikawinkan secara paksa, putusan yang diberikan oleh Rasul lebih tegas dibandingkan dengan anak perawan di atas. Dalam sebuah hadis, Rasul memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan oleh Khansa’ binti Khidam al-Anshariyyah yang berstatus janda. Ia dinikahkan secara paksa oleh bapaknya, kemudian Rasul berdasarkan gugatan Khansa’ menolak perkawinan itu.[12] Ketentuan ini sebagai konsekwensi logis dari larangan menikahkan anak perempuan (janda) tanpa izinnya yang pasti yang sudah diungkap sebelumnya..

Namun ada yang perlu diingat, bahwa ada keseimbangan aturan dalam Islam yang menjaga hak masing-masing. Orang tua juga harus dimintakan persetujuan (izin) untuk melakukan pernikahan. Anak perempuan tidak dapat melakukan pernikahan tanpa izin dari walinya. Bahkan pada masa Rasul ada kejadian yang seperti ini. Ada beberapa hadis yang mengatur tentang masalah ini, seperti:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَأَنَسٍ [13]

Riwayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa nikah tidak dapat dan tidak sah dilaksanakan tanpa wali. Artinya, seorang anak perempuan yang menikah, harus ada walinya. Keberadaan wali dalam pernikahan memberikan indikasi bahwa wali meyetujui pernikahannya. Di samping itu, wali juga berfungsi sebagai orang yang mengaqadkan pernikahan (ijab) bagi anak perempuannya.

Untuk menjaga hak wali tersebut, Rasul memberikan jaminan dengan hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ [14]

Berdasarkan riwayat di atas, perkawinan yang dilakukan tanpa seizin wali dianggap batal. Rasul mengulangi batal itu sampai 3 X. Jika akibat dari pernikahan tersebut sudah terjadi hubungan seksual suami dan isteri, maka ia berhak mendapatkan mahar utuh. Akibatnya, pernikahannya setelah itu batal demi hukum.

Untuk menjamin hak anak atas kekuasaan absolut wali, dalam hadis di atas juga diberikan solusi, jika wali enggan tanpa alasan syar’i (wali adhal) makauntuk pernikahan anak perempuan dengan mengunakan wali hakim. ==> tidak ada pemaksaan dlm Islam

Solusi jika terjadi masalah

Sebagai konsekwensi dari pernikahan anggota keluarga mendapatkan hak untuk diperlakukan secara baik oleh pasangannya, maka masing-masing juga diberi hak untuk merasa keberatan atas perlakuan yang tidak baik. Bahkan dalam menghadapi masalah yang timbul dari masing-masing pihak, Islam memberikan perlakuan yang seimbang. Misalnya, ada aturan khusus yang harus diikuti oleh suami untuk mengatasinya, seperti yang terdapat dalam QS. al-Nisa’/4: 34 yang mengatur bagaimana menghadapi adanya indikator nusyuz pada isteri. Begitu juga isteri memiliki solusi dalam menghadapi adanya indikator nusyuz pada suami, seperti yang terdapat dalam QS. al-Nisa’/4: 128.

Memperhatikan kata تخافون dan خافت dalam kedua ayat diatas mempunyai makna bahwa telah terlihat adanya indikasi yang mengarah kepada nusyuz. (Tidak menjalankan kewajiban)[15] Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak membiarkan terjadinya penyimpangan dan yang kemudian berkembang menjadi nusyuz. Oleh sebab itu, sejak dini masing-masing harus mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya nusyuz pada masing-masing pihak.

Nusyuz adalah sikap tinggi hati. Isteri dikatakan nusyuz jika tidak melaksanakan kewajibannya terhadap Allah, suami dan anak-anaknya. Sedangkan suami dikatakan nusyuz jika tidak menunaikan hak Allah, isteri dan anaknya. [16]

Untuk menghadapi kekhawatiran nusyuznya isteri, Allah memberikan tiga langkah alternatif

1. Memberikan pengertian, dengan cara mengkomunikasikannya (dialog), jika tidak berubah, maka diambil langkah kedua.

2. Pisah ranjang, artinya masih dikamar yang sama. Dalam Islam pisah ranjang merupakan upaya untuk mengingatkan kekeliruan. Disini terlihat bahwa dalam kondisi normal suami tidak boleh meninggalkan isterinya tidur sendirian dan isteri merupakan subjek dalam pemenuhan kebutuhan seksual Akan menjadi solusi jika hanya pisah ranjang. Anggota keluarga lain tidak tahu apa yang terjadi. Kenyataannya, pergi dari rumah, sehingga bukan selesai malah tambah runyam. Jika langkah kedua tidak berhasil baru ditempuh langkah ketiga:

3. Memberikan hukuman pisik, tidak sama dengan kekerasan fisik. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ketiga alternatif itu diberikan secara bertahap. Tahap kedua ditempun jika tahap pertama tidak berhasil. Begitu juga dengan tahap ketiga, hanya bisa dilakukan jika tahap pertama dan kedua tidak dapat mengatasi permasalahan.

Untuk realisasi dari setiap tahapan ada aturan khusus yang ditetapkan oleh Rasul. Hal itu dapat dilihat dari hadis berikut: [17]... و لا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تهجر الا فى البيت maksudnya:

Dalam memberikan pembelajaran atau ajaran, suami tidak boleh mengungkapkannya dengan kata-kata yang kasar dan dengan cacian. Kata قبح berarti bahwa suami jangan mengatakan kepada isteri kata yang dapat menyakitkan hatinya, dan tidak mengecewakannya.[18] Jika seperti itu, bukannya menyelesaikan malah akan menambah keruh suasana. Artinya, suami mempunyai niat yang baik untuk memperbaiki bukn untuk mengungkit kesalahan dan kekuarangan si isteri.

Dalam pisah ranjang, terdapat beberapa penafsiran para penafsir. Ada yang memahami dengan pisah kamar atau pisah ranjang. [19] Ada yang memahami dengan masih tidur di ranjang yang sama, tetapi tidak saling bicara dan saling belakang membelakangi. [20] Agaknya ini diperlukan untuk memberikan kesempatan untuk introspeksi.

Dalam pemberian hukuman fisik agar berbeda dengan kekerasan fisik, Rasul meberikan batasan yang sangat rinci dan jelas. Ada batasan wilayah badan yang boleh dipukul, yaitu tidak pada bagian muka. Hal itu mungkin disebabkan karena bagian wajah bagian yang mudah terlihat. Di samping itu pada bagian wajah terdapat anggota tubuh yang halus, [21] seperti mata, telinga, alat penciuman, dan bagian tubuh yang dipertahankan pesonanya oleh perempuan.

Dalam pemberian hukuman pisik ini, suami melakukannya untuk menyadarkan isteri dari kesalahannya, untuk mendidik bukan untuk balas sakit hati. Oleh sebab itu, dalam hadis lain, Rasul memberikan batas ukuran pemukulan yang dibenarkan, yaitu pukulan itu tidak meninggalkan bekas pukulan, tidak memar dan tidak luka.[22] Dengan demikian, pemukulan yang dilakukan adalah pemukulan ringan yang tidak termasuk pada tindak kekerasan.

Begitu juga halnya jika dikhawatirkan terjadinya nusyuz suami, Allah dalam QS 4: 128, memberikan solusi untuk mengadakan ishlah. Isteri yang sudah melihat adanya gejala dan tanda- tanda bahwa suami melalaikan tugasnya, bersikap acuh tak acuh , maka isteri harus mengingatkan suaminya dengan membicarakannya secara tenang, jauh dari situasi yang memancing bertambah parahnya suasana. Solusi yang diberkan Islam agar anak tidak mengalami kekerasan psikis dari permasalahan yang dihadapi orang tuanya.

Kata ishlah dalam ayat di atas berarti bahwa isteri atau suami dapat merelakan sebagian haknya untuk mempertahankan kenyamanan, kesatuan dan kecocokan antara mereka. Lebih utama lagi untuk menjaga agar tidak terjadi perceraian kalau masih memungkinkan untuk bersatu.

Jika permasalahannya disebabkan oleh kedua belah pihak tidak mungkin mneyelesaikan sendiri, Allah telah memberikan pedoman dalam QS al-Nisa’/4: 35, yang menjelaskan, jika sudah terlihat tanda akan munculnya perselisihan atau sudah terjadi pertengkaran, maka perlu dilibatkan hakam dari keluarga masing-masing. Hakam ini diharapkan dapat melihat persoalan secara objektif,dan proporsional sehingga tidak menyalahkan satu pihak dengan berpihak kepada yang lain.

Solusi yang dikemukakan di atas bukan untuk memaksa, menindas, menghinakan dan merendahkan martabat masing- masing, tetapi suatu upaya untuk mengatasi keretakan dan perpecahan yang berpotensi menimbulkan terjadinya perceraian.

Anti Kekerasan seksual

Dalam memenuhi kebutuhan seksual, baik suami atau isteri mempunyai tanggung jawab yang sama. Namun hadis yang sering dimunculkan terkesan hanya isteri yang harus memenuhi kebutuhan suami. Misalnya, hadis tentang ancaman dilaknat malaikat bagi isteri yang enggan melakukan hubungan seksual dengan suaminya berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ [23]

Menurut riwayat di atas, isteri yang tidak mau diajak oleh suami akan mendapatkan laknat malaikat sampai shubuh. Aturan ini harus dikaitkan dengan kewajiban suami agar melihat situasi dan kondisi isteri, yaitu dalam kondisi isteri baik dan tidak ada masalah Kalau isteri capek, sakit dan yang sejenisnya maka tidak termasuk dalam ancaman dalam hadis tersebut Sebelumnya sudah djelaskan bahwa isteri sama-sama subjek dalam pemenuhan seksual. Agaknya aturan ini merupakan bentuk kekonsistenan ajaran Islam yang menganjurkan pemuda untuk menikah agar terhindar dari zina.[24] Jika isteri tidak bisa digauli nanti suami akan mencari jajan di luar.

Di samping itu, sebelum Islam orang mempunyai isteri tidak terbatas jumlahnya, tetapi setelah Islam datang Rasul membatasi maksimal empat orang dengan persyaratan yang sangat ketat. Caranya adalah dengan menceraikan isteri yang lain. Ada beberapa sahabat yang secara eksplisit meriwayatkan hadis mengenai perintah Rasul untuk menceraikan isteri bagi yang memiliki isteri lebih dari empat orang. Jika dengan isteri yang sudah terbatas tersebut suami tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualitasnya maka dapat membuka peluang terbukanya pintu perzinaan. Hal itu terbukti dalam beberapa kasus yang terjadi saat ini, sebagian besar laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan bukan isterinya, karena isterinya tidak dapat memenuhi kebutuhannya.

Begitu juga dalam hal perlakuan suami terhadap isteri. Suami tidak membolehkan isteri keluar ke tempat ibadah. Hal itu terlihat dari perlakuan masyarakat yang diungkap dari pernyataan ‘Umar bin Khattab, bahwa orang sebelumnya melarang perempuan ke rumah ibadah.

Perempuan tidak mempunyai hak kepemilikan. Sebelum Islam datang perempuan tidak mempunyai hak milik apa-apa, ia tidak mendapatkan mahar kalau menikah. Jika seorang perempuan menikah, maka yang berhak menerima maharnya adalah orang tua

Perempuan pada masa itu bukan hanya tidak menerima warisan, dari suami atau dari orang tuanya. Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada masa Islam sebelum ketentuan tentang warisan diturunkan oleh Allah. Secara umum sudah dikoreksi oleh QS. Al-Nisa’/4: 6, yang menyatakan bahwa laki- laki dan perempuan sama-sama mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabatnya. Lebih tegasnya, koreksian itu diberikan ketika seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak perempuan, serta satu orang saudara laki- laki. Dengan tidak memperhatikan ahli waris yang lain, saudara mengambil semua harta peninggalan saudaranya. [25] Isteri yang tidak punya dana sedikit pun mengadukannya kepada Rasul, dengan alasan ia tidak mempunyai uang untuk menikahkan kedua putrinya. Peristiwa ini menjadi peneyab turunnya ayat tentang kewarisan, yang mengatur bahwa dua orang anak perempuan mendapatkan 2/3 dari harta warisan ayahnya QS. Al-Nisa’/4:11. Isteri yang memiliki anak mendapatkan 1/8 bagian QS. Al-Nisa’/4: 12. Dalam hadis, setelah ayat 11 dan 12 di atas turun Rasul memerintahkan agar isteri dan dua orang anak perempuan mendapatkan bagiannya, dan sisanya menjadi milik saudara mayit tersebut.




[1] Perempuan diwariskan, boleh menggauli budak perempuan tanpa nikah, poligami tiada batas, anak perempuan dibunuh hidup-hidup.

[2] anak diperlakukan seperti orang dewasa kecil sehingga hak anak tidak dipenuhi.

[3] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar., juz IV, h. 456.

[4] Al-Qurthubi, Tafsir al-qurthubi juz V, h. 97-98

[5] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., jilid III, juz VII, h. 34. Muslim,shahih Muslim., jilid I, h. 625.

[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, 1996, h. 300.

[7] Al Bukhari, Zakat, Muslim, dalam kitab Bir wa Shilah, Al-Turmuzi, bir wa shilah, al-Nasa'i, kitab Shaid, Abu Daud, kitan Dhahayaa, dan Ibnu Majah kitab zabaih dan adab.

[8] Muslim, bir wa shillah, al-Turmuzi, bir wa shillah Ahmad bin Hanbal.

[9] al- Bukhari, Muslim, Ibnu Majah

[10] al- Bukhari, Muslim, al-Darimi, Ahmad bin Hanbal,

[11] Abu Daud, juz II, h. 232, Ibnu Majah, juz I, h. 603 dan Ahmad bin Hanbal juz I, h. 273.

[12] al- Bukhari, juz III, h. 2127, juz IV, h. 2779, Abu Daud, h. 233, Ibnu Majah, h. 602, al-Darimi, h. 139, Malik bin Anas, h. 338, al-Nasa'i , juz VI, h. 86, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h. 364 dan juz VI, h. 328-329.

[13] Abu Daud, ibid, h. 229, al-Turmuzi, op.cit., juz II, h. 280-283, Ibnu Majah, ibid., h. 605, al-Darimi, ibid., h. 137 dan Ahmad bin Hanbal, ibid, juz I, h. 250, juz IV, h. 294, 413 dan 418. Kualitas hadis di atas termasuk hadis sahih, karena periwayatnya tidak ada yang memiliki cacat. Lihat Al-’Asqalani, Juz IX, h. 410, juz VI, h. 440, juz XI, h. 434, Jua VIII, h. 64, juz XII, h. 18 dan juz V, h. 362-363.

[14] Lihat al-Turmuzi, ibid., h. 281, al-Darimi, ibid., dan Ahmad bin Hanbal, ibid., juz VI, h. 47 dan 66. Semua periwayatnya dinilai siqat dan sanadnya bersambung, jadi dapat dikatakan hadisnya tergolong sahih.

[15] Rasyid Ridha, op.cit., juz VII, h. 72, lihat juga Muhammad Husain Thaba’thaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz V, Beirut: Muassasat al-A’lami li al-Mathbu’at, 1411/1991, h. 100 dan Al-Qurthubi, op.cit., juz V, h. 171.

[16] Rasyid Ridha, ibid., h. 71.

[17] Hadis di atas terdapat dalam hadis yang panjang, lihat Abu Daud, op.cit., juz II, h. 244-245, dan al-Turmuzi, op.cit., juz II, h. 315.

[18] Lihat al-saharanfury, op.cit., juz X, h. 185.

[19] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992, h. 403.

[20] Ridha, op.cit., h. 73 dan al-Thaba’thaba’i, op.cit., h. 353.

[21] Al-Qari, loc.cit.

[22] Abu Daud, loc.cit., dan al-Turmuzi, loc.cit.

[23] Muslim, op.cit.,juz 2, h. 1059

[24] Dalam sebuah hadis secara tegas diperintahkan oleh Rasul:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء

Lihat, Al-Bukhari, op.cit., juz III, h. 2098-2099, Muslim, op.cit., juz II, h. 1018-1020, Abu Daud, op.cit., juz II, h. 219, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t., h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Abu ‘Abdullah bn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 592, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, bin aal-Fadhl, bin Bahram al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz II, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 132, dan Ahmad bin Hanbal, opcit,. juz I, h. 58, 378, 424, 425, 432, dan 447.

[25] Al-Turmuzi, ibid., h. 280, bandingkan dengan Abu Daud, ibid., h. 121.