HADIAH KEPADA PEJABAT/PETUGAS
Kedudukan seorang petugas atau pejabat dan kekuasaan yang dimilikinya mempunyai ekses terhadap terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, sebelum bertugas seorang pejabat atau petugas diwajibkan mengucapkan sumpah dan janji yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Isi dari sumpah jabatan tersebut adanya sumpah untuk tidak menerima suatu pemberian yang diduga atau dapat diduga ada kaitannya dengan pelaksanaan tugasnya.
Bahkan akhir-akhir ini dengan maraknya korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat
Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat.
A. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas
Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah atau cendera mata yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Misalnya seorang pejabat atau petugas yang dikirim oleh suatu instansi untuk melakukan tugas pemeriksaaan, misalnya. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan semua, mulai dari transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.
Di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Untuk pejabat, amil atau petugas yang telah diberi imbalan, gaji, atau insentif untuk pelaksanaan tugasnya, bolehkah menerima hadiah? Begitu juga dengan hakim, Untuk menjawabnya, dapat dilihat hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Artinya: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” atau korup.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk untuk melakukan sesuatu, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Dari kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.
Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang ‘amil zakat yang diberi tugas oleh Rasul Saw. untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.
Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Pelaksanaan tugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah sangat berat, terutama dalam mengatasi dan menghindarkan diri dari melakukan penyelewengan atau korup terhadap dana yang dikelolanya. Karena pada masalah yang seperti ini, peluang untuk melakukan penyelewengan itu terbuka lebar, ditambah dengan rayuan syetan yang menginginkan orang tidak berjalan di rel yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu seseorang yang bertugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah dituntut untuk dapat mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap Hadis dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah Saw. dalam sabda berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ
Artinya: Rafi’ bin Khudaij mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang mengelola harta zakat dengan benar sama seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya’.”
Menurut riwayat di atas, ‘amil zakat/ sedekah secara eksplisit disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Ini secara inplisit terdapat tuntutan agar ‘amil atau pengelola zakat melakukan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan tugas dengan benar menyangkut semua tugas yang berkaitan dengan kontribusi, distribusi dan penentuan mustahiq. Dalam riwayat di atas, seorang ‘amil zakat dituntut untuk melakukan tugasnya dengan benar dan tidak menyeleweng. amil harus dapat menyalurkan harta zakat yang sudah dikumpulkan itu kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ‘amil yang menjalankan tugasnya dengan benar atau tidak korup, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Agaknya penyamaan tersebut disebabkan oleh godaan berat yang harus dihadapi dalam menunaikan tugas sebagai ‘amil.
Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang untuk melakukan sesuatu, jangankan untuk korup dan menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja dilarang. Secara konstitusi atau aturan, sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan.
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas tersebut mungkin akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
B. Hadiah kepada Hakim
Begitu juga dengan hakim, pemberian hadiah kepada hakim termasuk risywah, karena orang yang memberi hadiah ketika ia tidak memberi sebelum hakim menangani kasusnya pasti pemberian hadiah itu mengandung maksud tertentu. Minimal dengan hadiahnya itu, ia bemaksud untuk melakukan pendekatan personal kepada hakim, menghormatinya dan meyang diberikan
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Kata Risywah berasal dari bahasa Arab rasya- yarsyu – rasywan – risywatan yang berarti sogokan, bujukan, suap, uang pelicin. Biasanya risywah ini memiliki makna memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menghindarkan dari kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditanggungnya. Dapat juga bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batal.
Di dalam al-Qur'an ( al-Baqarah/2:188) Allah dengan tegas melarang seseorang memakan sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang batil (tidak benar) dan melarang orang membawa perkara kepada hakim dengan tujuan untuk mendapatkan harta orang lain dengan jalan berbuat dosa. Risywah nerupakan salah satu cara pemberian yang tidak dilandasi oleh keikhlasan untuk mencari kerelaan Allah melainkan untuk tujuan yang bertentangan dengan tuntunan atau tuntutan syari'at Allah.
Oleh sebab itu, ancaman yang ditujukan kepada pelaku risywah terlihat sangat tegas dalam hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Arti Hadis: 'Abdullah bin 'Umar berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok (memberi suap) dan orang yang disogok (menerima sogokan).
Kata لَعَنَ dalam hadis bermakna jauh dari rahmat Allah. Sedangkan kata الرَّاشِي adalah orang yang memberikan suap/ sogokan kepada seseorang untuk memuluskan urusan atau untuk maksud mengaburkan putusan hukum. Dengan ungkapan lain, orang yang memberikan suatu hadiah untuk menjadikan yang salah tidak salah, yang tidak berhak jadi berhak. Sedangkan kata َالْمُرْتَشِي dalam hadis berarti orang yang mengambil sogokan.
Dalam hadis di atas, di samping secara internal seorang hakim harus memiliki kompetensi, ada masalah eksternal yang dapat mempengaruhi profesionalitas dan keadilan hakim dalam menjalankan tugasnya yang biasa disebut risywah dan hadiah.
Secara tegas dalam hadis ada larangan memberikan sogokan (suap, uang pelicin) dan menerima sogokan. Dalam riwayat lain ada pembatasan hadis dengan kata "fi al-hukm" di ujung hadis, yang menurut al-Turmuzi kualilitasnya Hasan Sahih. Dengan penambahan dimaksud memberikan batasan kepada risywah yang berkaitan dengan masalah hukum saja. Namun jika dilihat dari pengaruhnya terhadap tugas yang ditimbulkan oleh adanya uang atau materi yang tidak legal yang berkaitan dengan tugas, maka larangan secara umum lebih dapat diterima. Akan tetapi pengaruh suap pada bidang hukum jauh lebih besar, karena dapat membuat hakim memutarbalikkan masalah dari fakta yang sebenarnya.
Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad ada tambahan lain setelah kata al-murtasyi yaitu kata "al-raisy" yaitu orang yang menjadi perantara antara orang yang memberi dan menerima sogokan. Secara logika pengaruh perantara ini cukup dominan untuk terjadinya sogok/suap bagi orang yang memberi suap dan hakim.
Dalam prakteknya risywah diselubungi oleh sesuatu yang sepertinya tidak membawa masalah, seperti pemberian hadiah, membayar transaksi jual beli, atau membebaskan dari hutang. Semuanya tetap risywah jika berkaitan dengan pemutarbalikan fakta, mencemarkan nama baik dan menyia-nyiakan amanah.
Oleh sebab itulah di dalam hadis dinyatakan bahwa orang yang memberi dan menerima risywah mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul serta orang lain. Hal itu disebabkan karena pemberi risywah mendorong penerima melalaikan tugasnya sebagai penegak kebenaran; memudahkannya memakan sesuatu yang bukan milik secara batil; menumbuhkan perilaku tercela; membantu hakim mengambil keputusan hukum yang tidak benar.
Sedangkan penerima sogokan mendapatkan laknat, karena mengambil harta orang lain secara tidak benar dengan menerima sogokan; dan menghalangi orang berhak mendapatkan haknya, atau membebaskan orang dari kewajiban dan tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Risywah dilarang karena dilihat dari pelaksanaannya pemberian dan penerimaan risywah jauh dari keikhlasan, karena didorong oleh keinginan mendapatkan atau menghindari sesuatu dengan cara yang tidak dibenarkan. Sedangkan dilihat dari tujuannya, risywah dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Risywah dengan demikian haram bagi seorang hakim, karena berimplikasi pada penjatuhan hukuman secara tidak benar, berpihak dan tidak profesional.
Dengan demikian, hukum risywah adalah haram, karena dengan risywah tersebut seorang hakim akan menafikan keprofesionalan, tugas dan tuntunan serta tuntutan agama, ia bekerja sesuai dengan pesanan yang membayar, meskipun harus melawan hati nurani dan menzalimi pihak lain.
Untuk kondisi saat ini, dapat dilihat dampak dari risywah dimaksud, bagi hakim yang terindikasi menerima sogokan, akan berbalik menjadi terdakwa. Dari segi wibawa hukum hukum sepertinya dipermainkan sesuai keinginan orang yang bermain di dalamnya.
1. Risywah adalah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
2. Risywah merupakan salah satu faktor ekstern yang akan mempengaruhi dan mendorong hakim untuk tidak profesional dalam tugasnya.
3. Haram bagi hakim mengambil risywah, karena di samping mendapatkan sesuatu bukan dengan cara yang benar, juga akan mempengaruhi hakim sehingga lalai dalam tugasnya dan mendorong terjadinya penyelewengan dan perlskusn ysng tidsk sdil.
4. Memberikan Risywah kepada hakim hukumnya haram, karena pemberian itu bertujuan untuk memutarbalikkan fakta dan mengharapkan sesuatu yang bukan haknya.
Dari bahasan terhadap hadis-hadis Rasul tentang hadiah, dengan sangat jelas dan rinci pesan Rasul tentang anjuran untuk saling memberi hadiah. Hadiah yang diberikan kepada pejabat atau petugas termasuk hakim, menjadi perhatian yang sangat serius, karena ada kekhawatiran akan mempengaruhi pelaksanaan tugas.
1. Hadiah yang murni hadiah berfungsi sebagai bingkai dan sarana untuk menimbulkan rasa kasih sayang antara sesama.
2. Ada perintah untuk saling memberi hadiah, meskipun benda atau sesuatu yang dihadiahkan tersebut tidak memiliki nilai ekonomis atau tidak berharga. Kemurnian dan ketulusan hati, serta maksud baik sebagai dasar dalam penerimaan hadiah.
3. Pnerima hadiah harus memiliki kekuatan untuk mengidentifikasi hadiah yang diterima, ada atau tidak indikasi perubahan hadiah menjadi yang lain.
4. Penerima hadiah dipesankan agar membalas dengan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Apalagi hadiah yang diberikan oleh bawahan kepada atasan, rakyat/anak buah kepada pimpinan. Hal ini sebagai realisasi dari perintah saling memberi hadiah. Rasul memberikan peringatan kepada umat Islam bahwa:
• Hadiah bukan tukar menukar, barter atau jual beli meskipun ada aturan untuk membalas. Perintah membalas ditujukan kepada penerima hadiah, bukan kepada pemberi hadiah
• Pemberi hadiah tidak boleh memberi hadiah karena mengharapkan balasan yang lebih besar, apalagi sampai ada kesan memaksa penerima hadiah untuk memberi balasan sesuai keinginan pemberi
5. Tidak boleh menolak hadiah hanya karena melihat nilai hadiah. Alasan yang dapat dijadikan dasar penolakan hadiah yang diperkenankan Rasul dalam hadisnya yaitu:
• Maksud/keinginan pemberi hadiah yang mengharapkan pamrih yang memberatkan penerima hadiah.
• Penerima hadiah akan mengalami kesulitan dengan menerima hadiah tersebut.
6. Pejabat/petugas termasuk hakim yang sedang melakukan tugas, tidak boleh menerima hadiah, ketika hadiah tersebut berkaitan dengan tugas, atau bahkan akan menghambat/mempengaruhi pelaksanan tugas.
• Ancaman yang diberikan Rasul adalah ghulul (khianat) atau korup, di dunia jauh dari rahmat Allah dan neraka di dunia dan akhirat.
• Pejabat/petugas hanya diperkenankan menerima imbalan yang sudah ditetapkan secara legal.
Sulitnya kehidupan dan tingginya cita-cita dan harapan yang diinginkan seseorang, menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang dapat mencapai keinginan tersebut. Di samping itu, ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang itu. Oleh sebab itu agar tidak terjadi kesalahan atau penyelewenagan maka sebaiknya pejabat/petugas termasuk hakim saat ini :
1. Menolak hadiah yang diberikan hanya pada saat melakukan tugas yang ada kaitannya atau dapat diduga mengandung maksud tertentu dari pemberi.
2. Menjadikan ancaman jauh dari rahmat Allah dan ancaman neraka bagi pelaku korup untuk menghindari hadiah yang diindikasikan suap/korup yang akan mempengaruhi tugas.
3. Tidak menjadikan suap/sogok pada wilayah abu-abu hadiah.
CATATAN KAKI
Abu Daud, op.cit., juz 3, h. 134.
Semua periwayat yang terlibat dalam periwatan Hadis dinilai ثقة, al-’Asqalani op.cit., juz 3, h. 393; juz 4, h. 450-453; juz 6, h. 442-443; juz 5, h.157- 158; kecuali Husain al-Mu’allim (w. 145 H.) dinilai ثقة , ليس به بأس dan ضعيف Bahkan ada yang menyatakan bahwa ia tidak meriwayatkan Hadis dari bapaknya, juz 2, h. 338-339. Hadis ini minimal Hasan.
Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, op.cit., juz 4, h. 2870- 2871; Muslim,op.cit., juz 3, h. 1463; Abu Daud,ibid., juz 3, h. 134-135; Al-Darimi, op.cit., juz 1, h. 394; dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz 5, h. 423. Uraian lebih luas dapat dilihat dalam, Al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, jilid 1, juz 2 (Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405), h. 344-347.
Al-Nawawi, op.cit., juz 12, h. 219.
Al-Turmuzi, op.cit.,juz 2, h. 79; Abu Daud, op.cit., juz 3, h. 132; Ibnu Majah, op.cit., juz 1, h. 578. Menurut al-Turmuzi Hadis tersebut berkualitas Hasan, karena salah seorang sanadnya Yazid bin ‘Iyad da’if, sementara yang melalui sanad Muhammad bin Ishak lebih sahih
Al-Kahlani, juz 4, h. 124
Abu Daud, aqdhiyah no. 3109, al-Turmuzi, ahkam no. 1257, Ibn Majah, ahkam no. 2304 dan Ahmad bin Hanbal
Tuhfat al-Ahwazi, juz 4, h. 471
al-Khuli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz, Adab al-Nabawi, Beirut, Dar al-Fikr, t.t,.h. 300
Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Al-Turmuzi
Lihat lebih jauh dalam Al-Syaukani, jiliz 4 juz 9, h. 158
al-Khuli, h. 301
Al-Shan'ani juz 4, h. 124-125
al-Khuli, h. 301
BIBLIOGRAFI
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz 1, juz 2, juz 4, juz 5., Beirut, Dar al-Fikr, t.t.,
Al-Asqalani, Syihab al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajr al-, Tahzib al- Tahzib, (India: Dairah al-Ma’arif Ni§amiyah, 1326 H)
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz 1,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t,
Al-Darimi, Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, Indonesia:Dahlan, tt. juz 1, 2
Ibn Hisyam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq dan Abu Muhammad ‘Abd al-Malik bin Hisyam al-Ayyub al- Humairi, Sirah al-Nabi Shallallah ‘alaih wa Sallam, (Mesir: al-Mathba’ah al- Madani, 1962 M/ 1393 H.), juz 4.
Ibn Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini. t.t. Sunan Ibn Majah. Maktabah Dahlan: Indonesia. juz 1, 2,
al-Kahlani, Muhammad bin Isma’il, Subulus Salam Syarh Bulugul Maram, juz 3, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t..
al-Khuli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz, Adab al-Nabawi, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
Malik bin Anas, al-Muwaththa’ Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Muslim, Abu al-Husain bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz 2,3,4, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Al-Nawawi, Muhy al-Din Abu Zakariyya, Shahih Muslim ‘ala Syarh al-Nawawi, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M. /1401 H.)
Al-Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasat al-Risalat Dar al-Qalam, 1981), cet. Ke 6, juz 2
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.)
Al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, jilid 1, juz 2 (Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405)
Al-Suyuthi, Jalalu al- Din, Sunan al- Nasa'i bi Syarh al-Suyuthi, juz 5, Semarang: Thoha Putra, 1930/1348
al-Syaukani, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayyid al-Akhyar, jilid 3, juz 5, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurat al-Turmuzi, Sunan al- Turmuzi (Jami’ al-Shahih), juz 1,3,4, Indonesia, Dahlan, t.t.,
Minggu, 03 Mei 2009
HADIAH KEPADA PEJABAT/PETUGAS
22.50
tadabbur