Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Rabu, 13 Mei 2009

SEBAB WURUD

FUNGSI SEBAB WURUD DALAM MEMAHAMI HADIS

A. Pendahuluan

Bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Sebagai pedoman dan petunjuk, al-Qur’an memberikan berbagai aturan yang sebagian besarnya bersifat global. Di samping itu, untuk memberikan aturan yang lebih rinci Allah memberikan bimbingan kepada rasulnya yaitu Muhammad melalui ungkapan, perbuatan, dan taqrirnya, yang dikenal dengan hadis atau sunnah. Al-Qur’an dengan demikian merupakan sumber utama dan pertama, sedangkan hadis merupakan sumber kedua setelah al-Quran.
Untuk menjaga keorisinilan hadis, para ulama hadis telah banyak melakukan berbagai upaya agar hadis Rasul jangan tercampur dengan yang bukan dari Rasul. Diantara upaya tersebut adalah dengan cara menyaring hadis marfu’ dari hadis mauquf dan maqthu’. Upaya ini dilatarbelakangi oleh pengumpulan dan pembukuan hadis -secara resmi atas instruksi khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz (99-101 H)- masih menggabungkan antara hadis yang bersumber langsung dari Rasul, atsar sahabat dan tabi’in.
Upaya lain yang telah dilakukan oleh para ulama hadis adalah menyaring hadis yang otentik dari hadis palsu. Upaya ini dilatarbelakangi oleh munculnya para pembuat hadis maudhu’ yang lebih mengutamakan kepentingan dan tujuannya masing-masing. Dengan melakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis dapat dibedakan antara hadis shahih, hasan, dan dha’if, dengan berbagai tingkatnya masing-masing. Hadis maudhu’ termasuk pada tingkatan hadis yang paling dha’if. Upaya ini menghasilkan kumpulan hadis shahih saja, seperti kitab shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Begitu juga dengan hadis dha’if dan hadis maudhu’, para ulama telah melakukan pembukuan terhadap hadis yang dianggap masuk pada kriteria itu.
Semua upaya yang dilakukan mengingat fungsi strategis hadis dalam Islam. Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, hadis berfungsi sebagai berikut: pertama, sebagai ta’kid terhadap ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Fungsi yang kedua, sebagai bayan tafsir (mengkhususkan, membatasi, dan merinci) ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas maksudnya, karena ‘am, muthlaq, atau karena mujmal-nya. Fungsi ketiga sebagai ziyadah terhadap ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Mengingat pentingnya fungsi hadis dalam ajaran Islam, maka pemahaman terhadap hadis menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan, karena upaya para ulama terdahulu -yang telah diungkapkan di atas- tidak akan banyak berarti jika hadis Rasul yang telah disaring dan diteliti tidak dipahami secara proporsional dan tepat. Upaya ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya kesan bahwa pesan yang dibawa oleh hadis bertentangan dengan al-Qur’an dan atau pikiran sehat.
Kajian terhadap pembahasan ini, dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa hadis -sama halnya dengan al-Qur’an- diungkapkan dan dimunculkan oleh Rasul ada yang mempunyai sebab dan ada yang tidak, yang dalam istilah muhaddisin dikenal dengan istilah asbab wurud al-hadis. Kondisi, situasi, dan peristiwa yang menyebabkan suatu hadis dimunculkan dapat menunjukkan dalam konteks apa hadis tersebut dikemukakan.
Dalam memahami hadis ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual adalah pendekatan yang dilakukan dalam memahami hadis sesuai dengan bunyi teks hadis itu sendiri. Sedangkan pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang dilakukan untuk memahami hadis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi ketika hadis itu dimunculkan oleh Nabi.
Diakui atau tidak,umat Islam pada masa Nabi di pusat Islam berkembang, selain memiliki kesamaan juga mempunyai perbedaan dengan masyarakat Islam sekarang. Perbedaan tersebut bisa saja disebabkan oleh perbedaan waktu dan tempat. Dihubungkan dengan pernyataan Allah bahwa Nabi Muhammad diutus untuk semua umat manusia sepanjang zaman (QS. Al-Saba’:28), maka perbedaan masyarakat baik kondisi atau pun situasi tersebut memberikan indikasi bahwa dalam Islam ada ajaran yang berlakunya terikat oleh waktu dan tempat, dan ada yang tidak terikat oleh waktu dan tempat tertentu. Menurut istilah M. Syuhudi Ismail ada ajaran Islam yang bersifat universal, temporal dan lokal. Untuk dapat membedakan ketiganya salah satunya dapat diketahui dengan mempelajari dan mengetahui situasi, kondisi dan peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadis atau asbab al-wurud hadis.


B. Asbab Wurud al-Hadis
Dalam ilmu hadis, asbab wurud al-hadis merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu hadis. Para ulama memberikan pengertian asbab wurud al-hadis sebagai berikut:
1. Asbab wurud al-hadis adalah sesuatu yang membatasi arti suatu hadis yang berkenaan dengan umum atau khusus, mutlak atau terbatas, nasikh atau mansukh, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis pada saat kemumnculannya.
2. Asbab wurud al-hadis adalah keadaan, peristiwa dan kenyataan sosial yang menyebabkan suatu hadis dimunculkan oleh Rasul saw.
Berdasarkan pengertian asbab wurud hadis di atas, dapat diketahui bahwa sebab wurud al-hadis itu dapat berupa pertanyaan sahabat mengenai sesuatu masalah, tanggapan Rasul dalam menyikapi peristiwa yang terjadi baik yang berdasarkan laporan sahabat atau pun tidak. Dengan demikian, asbab wurud tersebut hanya ada pada masa Rasul, dan hanya dapat diketahi melalui riwayat.
Sebab wurud untuk sebuah hadis, ada yang satu riwayat dan ada pula yang lebih. Untuk yang satu riwayat memang hadis itu dimunculkan karena peristiwa itu saja. Sedangkan sebab wurud yang berbeda riwayat mungkin disebabkan oleh perbedaan riwayat atau oleh perbedaan peristiwa. Karena dalam kenyataannya suatu hadis muncul bukan hanya disebabkan oleh satu peristiwa. Akan tetapi sebabnya bisa berbeda karena Rasul mengungkapkan hadis yang sama untuk masalah yang berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat dari hadis berikut:
عن ابى هريرة قال قال رسول الله من كذب علي متعمدا فاليتبوأ مقعده من النار
Artinya: Diterima dari Abu Hurairah Rasul bersabda: “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka ia mempersiapkan tempatnya di neraka.
Hadis di atas muncul disebabkan oleh suatu peristiwa yang dikemukakan dalam suatu riwayat yang diterima dari Abu Buraidah tentang seorang laki-laki yang melamar seorang wanita. Ketika wanita itu menolak lamarannya, laki-laki itu mengatakan bahwa ia melamar atas perintah Rasul, sehingga akhirnya lamaran itu diterima. Di antara sahabat yang mendengar berita itu langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasul. Rasul menyatakkan bahwa orang tersebut berdusta. Atas peristiwa itu Rasul memutuskan untuk memberikan hukuman kepada laki-laki itu, dan muncullah hadis di atas.
Menurut riwayat lain, hadis tersebut muncul yang diterima dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash tentang seorang laki-laki yang memakai pakaian seperti pakaian Nabi untuk mendapatkan fasilitas. Pengakuannya bahwa ia diperintahkan oleh Nabi untuk menginap di rumah siapa saja yang disukainya, sehingga para sahabat memberikan fasilitas yang disukainya itu. Setelah dikonfirmasikan kepada Rasul ternyata Rasul memerintahkan Abu bakar dan ‘Umar untuk menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut. Pada waktu itulah hadis itu dimunculkan oleh Rasul.
Bagi para pengkaji yang concern terhadap sebab wurud hadis ini, saat ini tidak terlalu sulit, karena hadis-hadis yang mempunyai sebab wurud telah dihimpun dan dihimpun dalam kitab khusus. Kitab tersebut telah beredar sampai ke Indonesia. Diantara karya tersebut adalah :
1. اسباب ورود الحديث او اللمع فى اسباب الحديث للسيوطى
2. البيان و التعريف قي اسباب ورود الحديث لابراهيم بن محمد بن حمزة الحسينى

Yang menjadi penyebab dimunculkannya hadis dapat dibedakan kepada tiga bagian, berdasarkan kepada klassifikasi yang dikemukakan oleh al-Suyuthi.
yaitu: pemahaman terhadap ayat al-Qur’an, pemahaman terhadap hadis, dan peristiwa atau kenyataan sosial yang terjadi pada saat itu, baik dipertanyakan atau tidak oleh sahabat.
Sebab wurud yang berupa pemahaman terhadap ayat al-Qur’an apabila ada ayat yang diturunkan Allah, sahabat merasa sulit untuk memahami atau mengamalkannya, dan sahabat menanyakannya kepada Rasul. Untuk contoh dapat dilihat hadis berikut:
عن عبد الله قال لما نزلت هذه الآية: الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم شق ذلك على اصحاب رسول الله و قالوا أينا لم يلبس إيمانه بظلم ؟ فقال رسول الله أنه ليس بذاك ألا تسمع إلى قول لقمان لإبنه: إن الشرك لظلم عظيم
Artinya: ‘Abdullah berkata: Ketika turun ayat “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman”, para sahabat merasa kesulitan dan menanyakan mana diantara kita yang tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman ? Rasul menanggapi bahwa maksud ayat itu bukan begitu, tidakkah engkau mendengar perkataan Luqman kepada anaknya bahwa : sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.
Hadis di atas muncul karena turunnya QS. al-An’am (6):82. Sebab wurudnya pun terdapat dalam hadis, yaitu pemahaman para sahabat terhadap kata zhulm dalam ayat dengan aniaya dan itu sulit dijalankan, karena sahabat mengakui bahwa tidak ada manusia yang tidak zhulm. Mendengar itu Rasul bersabda bahwa maksud kata dalam ayat itu bukan seperti itu, tetapi zhulm dalam ayat adalah syirik.
Sebab wurud yang berupa pemahaman terhadap hadis, yaitu apabila ada hadis yang tidak dipahami maksudnya oleh sahabat. Sebagai contoh hadis berikut:
عن انس انه صلى الله عليه وسلم لما مر به بجنازة فاثنوا عليها خيرا فقال وجبت وجبت وجبت و مر بأخرى فاثنوا عليها شرا فقال وجبت وجبت وجبت فقالوا له يا رسول الله قولك فى الجنازة والثناء عليها اثنى على اللأول خيرا و على الأخر شرا فقلت فيها وجبت وجبت وجبت فقال نعم يا ابا بكر إن لله ملائكة تنطق على ألسنة بنى آدم بما فى المرء من الخير والشر
Artinya: Anas menceritakan ketika lewat pembawa jenazah di depan Rasulullah mereka menyebutkan kebaikannya, Rasul mengatakan pasti demikian (3X), dan ketika jenazah lain yang disebutkan kejelekannya, Rasul mengatakan “pasti demikian” (3X) juga. Para sahabat yang mendengar bertanya kepada Nabi apa maksud ucapannya itu, lalu Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di dunia yang berkata melalui lisan manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang”.
Sebab wurud hadis pada hadis di atas terdapat dalam hadis itu sendiri. Akan tetapi, dalam hadis lain sebab wurud hadis inna lillah malaikat tersebut tidak dikemukakan dalam hadis, yang ada hanya matan hadis saja yaitu:
عن انس قال قال رسول الله إن لله تعالى ملائكة فى الأرض تنطق على ألسنة بنى آدم بما فى المرء من الخير والشر
Artinya: Anas berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di dunia yang berkata melalui lisan manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang”.
Secara lengkap, tanggapan Rasul terhadap dua jenazah yang diusung melewatinya adalah:
Ketika Rasul bertanya mengenai jenazah pertama, pengusung jenazah menjelaskan bahwa ia adalah si fulan keluarga si fulan, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya serta taat kepada Allah. Kemudian Rasul bersabda “pasti demikian” sampai tiga kali. Menanggapi pernyataan pengusung jenazah kedua bahwa ia si fulan, keluarga si fulan, ia membenci Allah dan Rasul-Nya serta melakukan maksiat kepada Allah, Rasul juga bersabda “pasti demikian” sampai tiga kali juga. Para sahabat yang mendengar bertanya kepada Nabi apa maksud ucapannya itu, lalu Rasul menjawab dengan hadis inna lillah malaikat di atas.
Sebab wurud hadis yang berupa peristiwa dan pertanyaan sahabat tentang suatu masalah adalah apabila Rasul menyaksikan suatu peristiwa atau sahabat melakukan atau melihat sesuatu lalu melaporkan atau menanyakannya kepada Rasul. Sebagai contoh dapat dilihat hadis berikut:
عن الشريد بن سويد جاء الى النبى يوم الفتح وقال إنى نذرت أن الله فتح عليك أن أصلى في بيت المقدس فقال له النبى ها هنا افضل ثم قال والذى نفسى بيده لو صليت هاهنا أجزأ عنك ثم قال صلاة فى هذا المسجد افضل من مائة ألف صلاة فيما سواه من المسجد
Artinya: Syuraid bin Suwaid datang kepada Rasul di hari fath Mekah, lalu ia menyatakan kepada Rasul: “Saya bernazar jika Allah memberika kemenangan kepada engkau (fath Mekah), saya akan salat di Bait al-Muqaddis”. Lalu Rasul bersabda salat di sini lebih baik. Sabda Rasul selanjutnya: Jika kamu salat di sini nazarmu sudah terlaksana, Rasul melanjutkan: Salat di mesjid ini (mesjil al-Haram) lebih baik dari seratus ribu salat di mesjid lain.
Sebab wurud hadis di atas adalah berkenaan dengan nazar Syuraid untuk salat di Bait al-Maqdis jika Rasul berhasil meraih kemenangan atas kafir Mekah. Setelah fath Mekah Syuraid menyatakan nazarnya dan cara melaksanakannya. Peristiwa ini menyangkut sesuatu yang wajib dilaksanakan yang hanya terbayar dengan melakukan nazar. Tanggapan yang diberikan oleh Rasul memberikan kemudahan kepada Syuraid, karena dengan keutamaan Mesjid al-Haram nazarnya sudah terbayar dengan melaksanakan salat di sana.
Contoh lain, pertanyaan yang diajukan oleh sahabat dan membutuhkan jawaban dari Rasul seperti yang terdapat dalam hadis di bawah ini:
عن عبد الله بن مسعود قال سألت النبى أى العمل أحب الى الله قال الصلاة على وقتها قال ثم أي قال بر الوالدين قال ثم أي قال الجهاد فى سبيل الله قال حدثنى بهن ولو استزدته لزادنى
Artinya: Abdullah bin Mas’ud berkata: “Saya bertanya kepada Nabi saw. ‘amal apakah yang lebih disukai oleh Allah ?’ Rasul menjawab: “salat pada waktunya. Ibn Mas’ud bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?”, beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”. Dia bertanya lagi: “Kemudian apa lagi ?”, beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah” Ibn Mas’ud berkata: “Rasul telah mengemukakan kepada saya tentang amal-amal yang utama; dan seandainya saya menanyakan lagi, Rasul akan menambahkannya.
Memperhatikan hadis di atas, terlihat bahwa hadis itu dimunculkan oleh Rasul sebagai jawaban dari pertanyaan Ibn Mas’ud. Bahkan dalam hadis itu terlihat dialog Rasul dengan sahabat. Yang lebih menarik lagi, untuk pertanyaan yang senada dengan pertanyaan Ibn Mas’ud, Rasul memberikan jawaban yang berbeda kepada masaing-masing penanya.
Untuk mengetahui sebab wurud hadis dapat ditempuh dua cara, yaitu dengan memperhatikan matan hadis dan melalui kitab khusus yang berisi tentang hadis yang mempunyai sebab wurud.
1. Melalui matan (teks) hadis cara ini hanya dapat dipakai apabila di dalam hadis dimaksud mencakup sebab wurud hadis. Untuk mengetahuinya ada indikator yang menunjukkan bahwa di dalam teks hadis ada sebab wurudnya, yaitu:
a. Ada kata yang mengandung pertanyaan, seperti sa’ala, ayyun dan lainnya yang semakna. Sebagai contoh dapat dilihat hadis telah dikemukakan pada halaman sebelumnya (7-9) Hadis yang muncul merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut.
b. Dalam rentetan hadis itu menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi, khusus pada seseorang atau tidak, misalnya hadis berikut:
عن ام سلمة زوج النبى انه سمع خصومة بباب حجرته فخرج اليهم فقال انما انا بشر وانه يأتينى الخصيم فلعل بعضكم أن يكون ابلغ من بعض فاحسب أنه صادق فاقضى له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هى قطعة من النار فليأخذها أو ليتركها
Artinya: Diterima dari Ummi Salamah isteri Nabi, bahwa Rasul mendengar pertengkaran di depan pintu kamarnya, beliau keluar menemui mereka, lalu bersabda: “sesungguhnya saya ini manusia biasa dan orang yang terlibat pertengkaran telah datang kepadaku. Mungkin saja sebagian kamu (yang bertengkar) lebih mampu (berargumentasi) dari yang lainnya, sehingga saya menduga ialah yang benar dan saya memutuskan perkara itu dengan memenangkannya. Maka siapa yang saya putuskan bahwa ia yang menang (karena kehebatannya berargumentasi) dengan mengambil hak orang lain, maka keputusan saya itu adalah potongan api neraka yang saya berikan kepadanya. (Terserah apakah) ia mengambil atau menolaknya. (H.R. Al-Bukhari, Muslim, dll.)
Jika diperhatikan rentetan hadis di atas, sebab wurud hadisnya adalah peristiwa pertengkaran yang terjadi di depan kamar Rasul. Nabi menyadari bahwa untuk menyelesaikan pertengkaran itu diperlukan bukti, semnetara yang ada hanya keterangan dari pihak-pihak yang bersengketa. Oleh sebab itu Nabi menyatakan bahwa mungkin saja yang pintar berargumentasi bukan yang berhak atas objek yang mereka sengketakan. Oleh sebab itu muncullah hadis tentang ancaman terhadap orang yang menang perkara karena kelihaiannya berargumentasi, sementara ia sendiri sebenarnya bukan yang berhak untuk objek itu.
2. Berdasarkan buku khusus tentang hadis-hadis yang mempunyai sebab wurud, yang telah dikemukakan sebelumnya. Ini sangat membantu untuk mencari sebab wurud suatu hadis yang tidak termuat dalam teks hadis bersangkutan. Perlu disadari bahwa sebagian sebab wurud hadis terdapat dalam hadis lain atau dari suatu peristiwa yang tidak tercover dalam teks hadis. Sebagai contoh dapat dilihat hadis berikut:
عن عبد الله بن عمر قال قال رسول الله إذا جاء أحدكم الجمعة فليغتسل رواه البخارى و مسلم والترمذى وأحمد بن حنبل
Artinya: Abdullah bin ‘Umar berkata, Rasul bersabda: Apabila kamu hendak melaksanakan salat Jum’at, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Turmuzi dan Ahmad)
Sebab wurud hadis di atas tidak ada dalam hadis, tetapi sebabnya adalah situasi dan kondisi masyarakat Islam pada waktu hadis itu dimunculkan. Pada waktu itu keadaan ekonomi masyarakat Islam masih sulit, mereka memakai baju wol kasar dan jarang dicuci. Sebagian besar mereka pekerja kebun, setelah bekerja langsung ke mesjid untuk salat Jum’at. Pada satu Jum’at, cuaca sangat panas dan mesjid penuh, sehingga aroma keringat orang yang berbaju wol kasar dan jarang mandi itu menyengat hidung nabi dan mengganggu khutbahnya. Pada saat seperti itulah Rasul mengungkap hadis di atas.

C. Pemahaman Hadis Dengan Memperhatikan Sebab Wurudnya
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk memahami hadis dapat dilakukan dengan tekstual dan kontekstual. Kedua pemahaman ini dapat dilakukan salah satunya dengan memperhatikan sebab wurud hadis. Bahkan Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa salah satu cara yang baik untuk memahami hadis Nabi adalah dengan memperhatikan sebab khusus yang melatarbelakangi munculnya hadis. Menurutnya, ada hadis yang diungkapkan berkaitan dengan kondisi khusus untuk suatu maslahat atau mencegah mudharat, atau mengatasi problem yang terjadi waktu itu. Tidak mengindahkan sebab wurudnya, suatu hukum yang terkandung dalam hadis dipahami berlaku secara umum dan waktu yang tidak terbatas, pada hal adakalanya hukum itu berkaitan dengan illat tertentu yang hilang jika illatnya hilang dan tetap berlaku jika illatnya masih ada.
Dapat diketahui bahwa dengan mengetahui sebab wurud hadis, suatu hadis dapat dipahami dengan benar dan hukum yang dikandung oleh suatu hadis dapat diterapkan secara proporsional. Dalam sejarah diketahui bahwa ‘Aisyah pernah melakukan kritikan terhadap beberapa orang sahabat, karena mereka menyampaikan hadis tanpa memperhatikan sebab wurud hadis. Sebagai contoh dapat dilihat hadis tentang ان الميت يعذب ببكاء عليه
Memahami hadis tersebut tanpa memeperhatikan sebab اهله wurudnya berarti bahwa mayat mendapatkan azab disebabkan tangisan keluarganya, dan ini bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an seperti لا تزر وازرة وزر اخرى dan لا يكلف الله نفسا الا وسعها لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت
Sebab wurud hadis di atas adalah ketika Rasul lewat di suatu kampung Yahudi seorang laki-laki meninggal dunia, dan keluarganya menangisinya, maka melihat yang seperti itu, Rasul lalu bersabda:
انهم ليبكون عليه و انه ليعذب
Jadi, hadis dimaksud menjelaskan bahwa sementara keluarga si mayat menangisinya, mayat tersebut sedang diazab di kuburnya. Kandungan hadis tersebut bukan seperti yang dipahami oleh penyampai hadis, seperti Abu Hurairah. Memang bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkan hadis di atas, tetapi diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatab dan anaknya ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sebab wurud hadis mempunyai peran yang penting dalam memahami kandungan hadis, karena dapat membantu menjelaskan maksud hadis. Setidaknya ada tiga fungsi asbab wurud yaitu: 1. Penjelasan makna matan hadis; 2. Mengetahui kedudukan rasul pada saat memunculkan hadis; 3. Mengetahui situasi dan kondisi saat itu.

1. Penjelasan makna hadis
Dengan mengetahui sebab wurud dapat diketahui makna matan hadis yang dimaksudkan oleh Rasul. Sebagai contoh hadis tentang Allah mempunyai malaikat yang berbicara dengan lisan manusia. Dari sebab wurudnya dikatahui bahwa makna hadis itu adalah penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap perbuatan seseorang berupa pujian atau celaan yang objektif (bukan karena iri atau sakit hati) itu merupakan penilaian Allah dan malaikat-Nya.

2. Mengatahui kedudukan Rasul pada saat memunculkan hadis
Kedudukan Rasul ini sangat menentukan untuk mengistibatkan hukum dari suatu hadis. Dalam kesehariannya Muhammad dalam kapasitasnya sebagai Rasul juga sebagai imam yang Agung, Qadhi yang bijaksana dan mufti yang amat dalam pengetahuannya. Dengan mengetahui kedudukan Rasul dapat dipahami bahwa hukum yang terkandung dalam hadis itu wajib atau tidak.
Misalnya hadis Nabi yang menyatakan :
عن انس قال:قال رسول الله...أنتم أعلم بأمر دنياكم رواه مسلم
Artinya: Dari Anas, rasul bersabda: ... Kamu sekalian lebih mengetahui masalah duniamu. (H.R. Muslim)
Memahami hadis ini tanpa memperhatikan sebab wurudnya membawa kesan bahwa Rasul tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia. Ini membawa kepada pemahaman terbalik bahwa Rasul hanya mengetahui urusan akhirat. Ini juga menimbulkan kesan bahwa Islam membagi secara dikotomis duniawi dan ukhrawi. Paham ini membawa kepada sikap hidup yang sekuler. Pemahaman seperti ini tidak benar, karena dalam Islam masalah duniawi tidak terpisahkan dengan ukhrawi, karena ada kegiatan yang sepertinya masalah dunia tetapi juga mempunyai nilai ibadah.
Sebab wurud hadis ini adalah ketika Rasul menyatakan kepada petani kurma bahwa hasil kurma akan baik meskipun tidak dilakukan penyerbukan. Setelah petani mengikuti saran Rasul ternyata hasil kurma mereka tidak sebaik biasanya. Melihat hal itu Rasul menenyakan penyebabnya dan mereka menjelaskannya. Lalu Rasul mengemukakan hadis di atas.
Berdasarkan sebab wurud di atas, dapat dipahami bahwa “masalah duniamu” dalam hadis lebih tepat dipahami dengan keahlian atau profesi. Oleh sebab itu, petani lebih mengetahui masalah pertanian dari pada Nabi. Dalam sejarah, Nabi tidak diketahui bahwa beliau pernah sebagai seorang petani, ketika kecil beliau pengembala, dan setelah dewasa sebagai pedagang. Jadi sangat wajar kalau beliau tidak begitu memahami masalah pertanian. Kapasitas Muhammad ketika memunculkan hadis ini mungkin lebih tepat sebagai pemimpin terhadap rakyatnya. Dengan demikian, hukumnya tidak wajib. Kalau ada perintah dalam hadis yang diungkapkan dalam kapasitas tidak sebagai Rasul, itu bersifat anjuran.

3. Mengetahui situasi dan kondisi Masyarakat saat hadis muncul
Untuk hadis yang mempunyai sebab khusus, adakalanya Nabi mengemukakan hadis sebagai respons terhadap kenyataan sosial yang terdapat saat itu. Oleh sebab itu, sebab wurud hadis dapat mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat itu. Sebagai contoh hadis Rasul berikut:
عن ابى بكرة قال: ...قال رسول الله لن يفلح قوم ولوا امرهم امرءة
Artinya: Dari Abu Bakrah, ... Rasul bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada wanita (H.R. al-Bukhari, al-Turmuzi dan Ahmad bin Hanbal)
Tanpa memperhatikan sebab wurud hadis, maka dari hadis di atas dipahami bahwa wanita tidak boleh diangkat menjadi kepala negara, atau menduduki posisi penting lainnya. Pemahaman seperti ini memberikan kesan bahwa Islam mendiskriditkan wanita, dan menempatkannya pada posisi subordinat. Ini akan memberikan citra yang tidak baik terhadap Islam, dan banyak mendapatkan kritikan dari pemerhati wanita (feminis). Pemahaman seperti ini juga bertentangan dengan al-Qur'an, karena dalam al-Qur'an secara eksplisit diakui kepemimpinan Ratu Balqis yang kemudian menjadi isteri Nabi Sulaiman.
Sebab wurud hadis diatas adalah ketika di Persia diangkat seorang Ratu (Buwaran binti Syairawaih) karena tidak ada calon raja. Pada saat itu di Persia, derajat wanita berada di bawah laki-laki. Mereka tidak diberi hak untuk mengurus kepentingan masyarakat apalagi mengurus negara. Ketika Rasul mendengar berita pengangkatan Ratu itu, Rasul mengemukakan hadis di atas.
Berdasarkan sebab wurud hadisnya, hadis di atas lebih tepat dipahami secara kondisional. Pengangkatan wanita menjadi pemimpin tidak boleh jika ia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin dan tidak mendapatkan penghargaan dari orang-orang yang akan dipimpinnya.
Pada saat wanita telah memiliki kemampuan untuk memimpin dan diperlakukan sama dengan laki-laki, serta masyarakat telah bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita menjadi pemimpin.


D. Penutup
Hadis Rasul dilihat dari kemunculannya ada yang mempunyai sebab khusus dan ada yang tidak. Sebab wurud itu ada yang berupa pertanyaan dari sahabat tentang sesuatu, suatu peristiwa yang disaksikan oleh Rasul atau yang dilaporkan oleh sahabat kepada Rasul dan kondisi sosial masyarakat. Hadis yang diungkapkan oleh Rasul sebagai respons dari berbagai kenyataan yang ada, tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan sebab khusus itu.
Dengan demikian, sebab wurud suatu hadis mempunyai salah satu unsur penting untuk dapat memahami hadis Rasul secara benar dan tepat. Dengan sebab wurud dapat diketahui makna kata yang tidak jelas, situasi dan kondisi masyarakat ketika hadis itu dimunculkan, dan posisi Rasul ketika mengungkapkan hadis. Semua ini mengarah kepada memperjelas mksud dan kandungan hadis. Karena ada sebagian teks hadis yang jika dipahami tanpa mengetahui sebab wurudnya akan membawa pemahaman yang keliru, seperti pemahaman Abu Hurairah yang dikritik oleh ‘Aisyah.
CATATAN KAKI
Hadis atau sunnah adalah semua ucapan, perbuatan dan ketetapan yang diriwayatkan dari Nabi Muhamad saw. Lihat, Subhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut, Dar al- ‘Ilm, 1977, h. 3.
Abd al-Halim Mahmud, al-Sunnat wa Makanatuha wa fi Tarikhiha, Kairo, Dar al-Kitab al-’Arabi, 1967, h. 26, Muhammad Muhammad Abi Syuhbat, Fi Rihab al-Sunnat al-Kutub al-Shihhat al-Sittat, Kairo, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, 1981, h. 9.
Hadis maudhu’ itu direkayasa oleh kalangan muslim dengan tujuan untuk kepentingan golongan atau alirannya. Pembuatan hadis di kalangan non muslim bertujuan untuk mengelirukan umat Islam dari ajaran yang sebebnarnya.
Terdapat perbedaan para ulama mengenai fungsi ketiga ini, ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya. Ulama yang menerima beralasan dengan hadis tentang pembagian warisan nenek dari harta peninggalan cucunya, yaitu 1/6. Sedangkan ulama yang menolak beralasan bahwa al-Qur’an sudah begitu sempurna, nabi hanya disuruh menyampaikan dan menjelaskan , bukan untuk menambah atau menguranginya. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut, Dar al-Fikr, 1989, h. 89.
M. Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi secara tekstual dan Kontekstual, Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1994, h. 2.
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Asbab wurud al-Hadis aw al-Luma’ fi Asbab al-Hadis,Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1984, h. 11.
Lihat Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah al-Husaini al-Dimasyqi, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif, Beirut, Dar al-Tsaqafat al-Islamiyyat, t.t., h. 232-233.
Ibid., h. 233.
Al-Suyuthi, op.cit., h. 18-20.
Hadis ini dapat ditemukan dalam beberapa kitab hadis. Al-Bukhari, op.cit., juz. II,
Imam al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Maktabat al-Mathbu’ah al-Islamiyat, t.t., h. 377.
Ibid.
Al-Suyuthi, op.cit., h. 111-112.
Al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 84.
Al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 102, Muslim, op.cit., juz I, h. 89-90, al-Turmuzi, op.cit., juz II, h. 111, Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz I, h. 181-182.
Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:
ان رسول الله سئل اى العمل افضل فقال ايمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد فى سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور متفق عليه
Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah al-Husaini al-Dimasyqi, op.cit., h. 32-33.
Al-Bukhari, op.cit., juz IV, h. 239,241 dan 242. Muslim, op.cit., juz III, h. 301. Al-Turmuzi, op.cit., juz II, h. 398. Ibn Majah, op.cit., juz II, h. 777. dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz III, h. 33, juz V, h. 41 dan 454.
Al-Bukhari, ibid., juz I h. 151 dan 152, Muslim, ibid, juz II, h. 579-580, dan Ahmad bin Hanbal, ibid., juz I, h. 15 dan 42.
Lihat misalnya Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, op.cit., h. 85-88.
Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnat al-Nabawiyyat, Alih bahasa Muhammad al-Baqir, Bandung, Karisma, 1993, h. 131.
Lihat Shalah al-Din al-Adibi, Manhaj Naqd Matn ‘Ind ‘Ulama al-Hadis al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidat, 1983/ 1403, h. 113-114.
Menurut Quraish Shihab, orang pertama yang memilah-milah ucapan dan sikap Nabi saw. tersebut adalah imam al-Qarafi yang kemudian dikembangkan oleh penganut paham kontekstual. M. Quraish Shihab, Pengantar Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., Bandung: Mizan, 1993, h. 9
Muslim, op.cit.,juz IV, 1836.
Ibid.
Hadis riwayat al-Bukhari, al-Turmuzi dan Ahmad bin Hanbal. Lihat al-Bukhari, op.cit., juz. IV, h. 228, al-Turmuzi, op.cit., juz III, h. 360, dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz V, h.. 38.































DAFTAR PUSTAKA

Abu Syuhbat, Muhammad Muhammad, Fi Rihab al-Sunnat al-Kutub al-Shihhah al-Sittat, Kairo, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, 1981.
Al-Adhibi, Shalah al-Din, Manhaj Naqd Matn ‘Ind ‘Ulama al-Hadis al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidat, 1983/ 1403.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz I, II,
Al-Hakim, Imam, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Maktabat al-Mathbu’ah al-Islamiyat, t.t.
Al-Husaini, Ibrahim bin Muhammad bin Hamzah, al-Bayan wa al-Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis al-Syarif, Beirut, Dar al-Tsaqafat al-Islamiyyat, t.t.
Ibn Hanbal, Abu ‘Abdullah Ahmad, Musnad al-Imam bin Hanbal, Beirut, al-Maktab al-Islami, juz I, 1978/1398
Ibn Majah, Abu ‘Abdillah bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz II,
Isma’il, M. Syuhudi, Pemahaman Hadis Nabi secara tekstual dan Kontekstual, Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1994.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut, Dar al-Fikr, 1989.
Mahmud, Abdul Halim, Al-Sunnat wa Makanatuha fi Tarikhiha, Kairo, Dar al-Katib al-’Arabi, 1967.
Muslim al-Hajjaj, Abu al-Husain, Shahih Muslim, juz I, II, III, IV,
Al-Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnat al-Nabawiyyat, Alih bahasa Muhammad al-Baqir, Bandung, Karisma, 1993.
Al-Shalih, Shubhi, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut, Dar al-’Ilm, 1977.
Shihab, M. Quraish, Pengantar Studi Kritis atas Hadis Nabi saw., Bandung: Mizan, 1993.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Asbab wurud al-Hadis aw al-Luma’ fi Asbab al-Hadis,Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1984.
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurat, Sunan al-Turmuzi,juz II, III,

PENDAYAGUNAAN ZAKAT

PENDAYAGUNAAN ZAKAT
(INTERPRETASI DELAPAN ASNAF MUSTAHIQ)

PENDAHULUAN
Seiring dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk membayarkan zakat, Islam mengatur dengan tegas dan jelas tentang pengelolaan harta zakat. Management zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian keberhasilan dana zakat sebagai dana umat Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Qur'an bahwa Allah memerintahkan Rasul Saw. untuk memungut zakat (Q.S. al- Taubat/9: 103). Di samping itu, Q.S. Al- Taubah/9:60 dengan tegas dan jelas mengemukakan tentang yang berhak mendapatkan dana hasil zakat yang dikenal dengan kelompok delapan asnaf.
Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai dari memungut, menyimpan dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah wewenang Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah. Dalam operasional zakat, Rasul Saw. telah mendelegasikan tugas tersebut dengan menunjuk ‘amil zakat. Penunjukan amil memberikan pemahaman bahwa zakat bukan diurus oleh orang perorangan, tetapi dikelola secara profesional dan terorganisir. ‘Amil yang mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya, memungut, menyimpan, dan mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak menerimanya.
Pada masa Rasul Saw. beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai ‘amil zakat. Aturan dalam al-Taubah: 103 dan tindakan Rasul Saw. tersebut mengandung makna bahwa harta zakat dikelola oleh pemerintah. Apalagi dalam Q.S. Al- Taubah/9:60, terdapat kata ‘‘amil sebagai salah satu penerima zakat. Berdasarkan ketentuan dan bukti sejarah, dalam konteks kekinian, ‘amil tersebut dapat berbentuk yayasan atau badan amil zakat yang mendapatkan legalisasi dari pemerintah.
Akhir-akhir ini di Indonesia di samping ada lembaga amil zakat yang telah dibentuk pemerintah BAZIS mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan/desa, juga ada lembaga atau yayasan lain seperti Dompet Dhu’afa di Jakarta, Yayasan Dana Sosial al-Falah di Surabaya, yayasan Darut Tauhid di Bandung dan Yayasan amil zakat di Lampung. Bahkan sebagian yayasan tersebut sudah dapat menggalang dana umat secara profesional dengan nominal yang sangat besar. Di samping itu, pendayagunaan zakat sudah diarahkan pada pemberian modal kerja, penanggulangan korban bencana dan pembangunan fasilitas umum umat Islam
Dalam Al-Qur'an, ada delapan asnaf penerima zakat yang menggunakan istilah yang dapat dipahami secara kontekstual dan umum sesuai dengan tujuan zakat itu sendiri. Oleh sebab itu, ketentuan Islam tentang penerima zakat tersebut perlu dipahami sesuai dengan konteks dan tujuan pewajiban zakat itu sendiri. Zakat tidak hanya dapat diterimakan kepada mustahiq sebagai charity dan dalam program pendidikan, bantuan modal kerja dan sejenisnya.
Apalagi dengan situasi dan kondisi sekarang banyak sekali lembaga atau yayasan yang konsern terhadap masalah-masalah ketidakberdayaan dan ketidakmampuan umat Islam. Ada beberapa program yang diperuntukkan juga bagi umat Islam yang tidak mampu seperti advokasi kebijakan publik, HAM, bantuan hukum, pemberdayaan perempuan Semua program tersebut meperlukan dana yang tidak sedikit, sementara itu pendanaannya tidak mungkin dibebankan kepada mereka.
Berdasarkan kenyataan tersebut, muncul pertanyaan apakah dana dari zakat dapat digunakan untuk pelaksanaan program yayasan atau badan yang mengurus kepentingan umat Islam yang tak mampu secara financial, akses, atau pun pengetahuan. Mereka dengan segala keterbatasannya juga harus dibantu. Program tersebut pun memerlukan dana operasional, bahkan mereka yang membantu pun perlu dana. Pada satu sisi, penerima zakat telah ditetapkan secara tegas dan jelas, yang sebagian orang memahami tidak mungkin keluar dari aturan tersebut.
Apabila asnaf yang ditetapkan dalam QS. Al-Taubah: 60 tersebut dipahami secara tekstual ada asnaf yang tidak dapat diaplikasikan sekarang, yaitu riqab. Riqab adalah budak muslim yang telah dijanjikan untuk merdeka kalau ia telah membeli dirinya. Begitu juga dengan fuqara’, masakin, dan gharimin. Pemahaman tekstual akan menyebabkan tujuan zakat tidak tercapai, karena pemberian dana zakat kepada yang bersangkutan sifatnya hanya charity. Masalah krisis ekonomi yang dihadapi sebagian umat Islam memerlukan bukan hanya bagaimana kebutuhan dasarnya terpenuhi. Akan tetapi bagaimana mengatasi krisis tersebut dengan mengatasi penyebab munculnya krisis.
Dengan demikian, untuk pencapaian tujuan zakat dan hikmah pewajiban zakat, maka pemahaman kontekstual dan komprehensif terhadap delapan asnaf penerima zakat perlu dilakukan, sehingga kelompok yang berhak mendapatkan dana zakat dapat menerima haknya.

B. PENERIMA ZAKAT
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dua sisi. Pada satu sisi zakat merupakan ibadah yang berfungsi sebagai penyucian terhadap harta dan diri pemiliknya , pada sisi lain zakat mengandung makna sosial yang tinggi. Dengan semakin luasnya objek zakat dengan jenis usaha yang sangat variatif di bidang pertanian, perindustrian, peternakan dan profesi semakin besar peluang untuk penggalangan dana dari sektor zakat. Akan tetapi kesuksesan dalam penggalangan dana saja tidak akan mencapai sasaran, jika pendistribusian dana zakat tidak dikelola secara profesional.
Kenyataan di lapangan, pendistribusian zakat merupakan salah satu faktor yang dijadikan tolok ukur bagi umat Islam untuk memilih lembaga yang dipercaya dalam pengelolaan zakat Kekhawatiran umat Islam bahwa dana yang ada sampai atau tidak kepada yang berhak sering menjadi penyebab kurang berdayanya lembaga amil yang ada. Mungkin ini yang diisyaratkan oleh QS. Al-Taubah: 60 stressingnya pada pendistribusian harta zakat bukan pada upaya penggalangannya.
1. Latar belakang turunnya ayat tentang penerima zakat
Kelompok yang berhak mendapatkan pendanaan zakat pada tataran aplikasi dibatasi pada yang sudah disebutkan dalam Al-Qur'an. Jika diperhati
kan urutan ayat QS al-Taubah:60 tersebut terletak antara ayat-ayat yang bercerita tentang orang munafik. Pada ayat 59 sebelumnya, Allah menceritakan tantang orang yang merasa senang kalau diberi zakat dan mencaci maki Rasul jika ia tidak mendapatkan zakat. Bahkan sebab turun ayat tentang delapan asnaf tersebut untuk mengeluarkan orang munafik dari mustahiq zakat. Hal itu terbukti dengan jawaban Rasul terhadap komplain seorang munafik yang tidak mendapatkan zakat dengan ungkapan: jika kamu termasuk delapan asnaf tersebut maka kamu mendapatkan bagian zakat.
Dengan demikian, mungkin adat hesar (انما ) dalam ayat malah bukan memberikan batasan tentang penerima zakat yang sesungguhnya, tapi lebih kepada tujuan untuk memberikan pembatasan terhadap orang munafik yang berambisi dan harap mendapatkan harta zakat, sehingga tidak ada tempat bagi mereka sebagai kelompok yang perlu dibantu dengan dana umat Islam. Konsekwensi logis dari tindakan mereka yang tidak mau bersama-sama menggalang kekuatan umat Islam, mereka pun tidak mendapatkan fasilitas tunjangan financial.
2. Kriteria penerima zakat
Dilihat dari urutan penerima zakat yang disebutkan dalam ayat 60 surat al-Taubah, penerima zakat dilihat dari penyebabnya dapat dikelompokkan pada 2 (dua) kelompok besar, yaitu:
1) karena ketidakmampuan dan ketidakberdayaan
2) karena kemaslahatan umum umat Islam
Ad.1. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan
Kelompok atau orang yang masuk dalam kategori ini dapat dibedakan pada dua hal, yaitu: 1. Ketidakmampuan dibidang ekonomi. Ke dalam kelompok ini masuk fakir, miskin, gharim, dan ibn sabil. Harta zakat diberikan kepada mereka selain riqab untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang menimpa mereka. 2. Ketidakberdayaan, dalam wujud ketidakbebasan dan keterbelengguannya untuk mendapatkan hak azasi sebagai manusia Maka riqab diberikan untuk membeli kemerdekaannya. Ini berarti zakat diberikan untuk mengatasi ketidakbebasan dan keterbelengguannya mendapatkan haknya sebagai manusia. Karena dalam sejarahnya, budak diberlakukan tidak manusiawi, dapat digauli tanpa nikah dan dapat diperjualbelikan
Ad. 2. Kemaslahatan umum umat Islam
Mustahiq bagian kedua ini mendapatkan dana zakat bukan karena ketidakmampuan financial, tapi karena jasa dan tujuannya untuk kepentingan umum umat Islam. Yang masuk dalam kelompok ini adalah ‘amil, muallaf dan sabilillah. ‘Amil mendapatkan pendanaan dari harta zakat karena telah melakukan tugasnya sebagai pengelola dana umat Islam. Muallaf mendapatkan pendanaan dari harta zakat karena memberi dukungan kepada umat Islam dan mengantisipasi umat Islam dari tindakan anarkhis kelompok yang tidak menyenangi Islam dan umatnya. Untuk Sabilillah, dana zakat diperuntukkan untuk pelaksanaan semua kegiatan yang bermuara pada kemaslahatan umat Islam pada umumnya.
Pada kelompok kedua ini, alasan pemberian dana zakat tidak dilihat dari keadaan financial person, tetapi pada jasa atau kegiatannya. Artinya meskipun dilihat dari perorangan yang terlibat di dalamnya tergolong orang yang mampu atau berkecukupan, maka ‘amil dan muallaf tersebut mendapatkan dana zakat sebagai kompensasi dari jasanya. Sedangkan untuk sabililllah, dana zakat dapat diberikan kepada kelompok, person atau pun kegiatan-kegiatan untuk kemaslahatan umum umat Islam.
C. PENDAYAGUNAAN HARTA ZAKAT
Berdasarkan uraian sebelumnya, agar harta zakat dapat berdayaguna secara maksimal maka pemaknaan kontekstual terhadap asnaf delapan yang dapat didanai dengan zakat adalah sebagai berikut:
1, 2. Membantu Kelompok Fakir dan miskin.
Orang miskin di samping tidak mampu di bidang financial, mereka juga tidak memiliki pengetahuan dan akses. Untuk mencapai tujuan zakat sebagai upaya mambantu masyarakat miskin keluar dari himpitan krisis yang menghimpit mereka, maka di samping dana zakat yang diberikan bersifat konsumtif, dan produktif, juga dapat dipergunakan untuk program yang mengarah pada upaya mendapatkan hak kaum miskin, seperti pendampingan kaum miskin (advokasi), HAM dan sejenisnya. Bantuan financial saja mungkin tidak akan meningkatkan taraf hidup mereka.
Oleh sebab itu, semua upaya atau kegiatan untuk membantu orang miskin dapat masuk dalam kelompok fuqara’ dan masakin. Seperti untuk membantu pengobatan orang miskin, dan mendapatkan pendidikan. Karena bantuan tersebut juga dapat dinikmati secara langsung oleh mereka.
3. Gharimin
Pemahaman terhadap gharimin dalam berbagai literatur tafsir atau fiqh dibatasi pada orang yang punya hutang untuk kperluannya sendiri dan dana dari zakat diberikan untuk membebaskannya dari hutang. Namun kelompok Syafi’iyyah menyatakan bahwa gharim meliputi: 1. hutang karena mendamaikan dua orang yang bersengketa. Dana zakat dapat diberikan untuk pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara pribadi mampu. 2. Hutang untuk kepentingan pribadi 3. Hutang karena
menjamin orang lain. Untuk dua yang terakhir, dana zakat diberikan kepada yang berhutang kalau dia tidak mampu membayarnya.
Hutang yang disebabkan oleh upaya mendamaikan dua orang yang bersengketa, meskipun yang berhutang secara pribadi kaya, ia berhak mendapatkan bantuan dana zakat untuk mengganti dana yang dikeluarkannya. Begitu juga hutang yang diakibatkan karena program atau kegiatan untuk kepentngan sosial, seperti dana yayasan anak yatim, atau rumah sakit untuk pengobatan masyarakat miskin atau sekolah untuk kaum muslimin.
Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa hutang yang timbul akibat dari operasional upaya penyelesaian sengketa dalam bentuk apapun dapat didanai oleh dana zakat. Seperti advokasi, penegakan HAM, perlindungan anak dan bantuan hukum, terutama bagi umat Islam yang tidak mampu untuk mendapatkan haknya.
Biaya operasional program dimaksud tentu saja dapat didanai dengan dana zakat. Hal itu disebabkan kegiatan tersebut termasuk pada upaya untuk menyelesaikan sengketa dan biasanya dialami oleh masyarakat tidak mampu baik akses, ataupun ekonomi.
4. Mu’allaf
Mu’allaf pada umumnya dipahami dengan orang yang baru masuk Islam. Namun, dfilihat dari sejarahnya, pada masa awal Islam muallaf yang diberikan dana zakat dibagi kepada 2 (dua) kelompok. 1. Orang Kafir, yang diharapkan dapat masuk Islam seperti Safwan bin Umayyah dan yang dikhawatirkan menjahati orang Islam seperti Ibn Sufyan bin Harb. 2. Orang Islam, terdiri dari Pemuka muslim yang disegani oleh orang kafir; muslim yang masih lemah imannya agar dapat konsisten pada keimanannya; muslim yang berada di daerah musuh.
Menurut al-Syafi’iyyah, muallaf adalah: 1. Muslim yang lemah imannya, agar iamannya menjadi kuat; 2. Pemuka masyarakat yang masuk Islam, diharapkan dapat mengajak kelompoknya masuk Islam; 3. Muslim yang kuat imannya, yang dapat mengamankan dari kejahatan orang kafir; 4. Orang yang dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak mau berzakat.
Pemberian zakat kepada muallaf kelihatannya dengan tujuan agar umat Islam merasa nyaman dan terjauh dari tindakan anrkhis kelompok agama lain. Meskipun ada perbedaan muallaf yang diberi tetapi tujuannya untuk menjaga umat Islam tetap dalam keyakinannya dan menjauhkannya dari tindakan kelompok lain yang dapat merusak.
Al-Thabari menyatakan bahwa hakikat pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk mengantisipasi hancurnya umat Islam dan mengokohkan serta menguatkan Islam. Karena itu Rasul masih memberikan zakat pada muallaf pada saat fath Mekah dan umat Islam sudah banyak.
Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa zakat yang diberikan kepada muallaf dengan tujuan agar hatinya tetap dalam Islam, mengokohkan orang yang lemah imannya atau usaha untuk menolongnya; dan menahan tindakan jahat kelompok lain.
Dengan demikian, untuk saat sekarang dapat dipahami bahwa semua kegiatan yang dilakukan untuk membuat umat Islam yang lemah iman tetap dalam keyakinannya dan tidak tergoda untuk berpindah ke agama selain Islam dapat dikategorikan pada pemberian dana untuk kelompok muallaf ini.
5. ‘Amil
Muhammad Rasyid Rida mengemukakan maksud dari ‘amil pada ayat adalah mereka yang ditugaskan oleh Imam/ pemerintah atau yang mewakilinya, untuk melaksanakan pengumpulan zakat, menyimpan atau memeliharanya, termasuk para pengelola, dan petugas administrasi ... Sementara Y­suf al-Qar«aw³ memberikan batasan yang lebih rinci tentang ‘amil yaitu semua orang yang terlibat/ ikut aktif dalam organisasi zakat, termasuk penanggung jawab, para pengumpul, pembagi, bendaharawan, sekretaris dan sebagainya.
Dari kedua pengertian ‘amil tersebut dapat diketahui bahwa ‘amil bertugas mulai dari penentuan wajib zakat, penghitungan dan pemungutan zakat. Mereka juga bertugas mendistribusikan harta zakat tersebut kepada orang yang berhak menerimanya. Namun, Ibn Rusyd memahami bahwa amil bukan hanya terbatas pada amil zakat, tetapi termasuk juga para hakim dan orang yang termasuk dalam pengertian mereka yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum umat Islam.
Lebih jauh dinyatakan bahwa amil meliputi amil zakat dan yang semakna seperti hakim, wali, mufti dan lain-lain yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Meskipun secara pribadi mereka mampu namun mendapatkan dana zakat sebagai kompensasi dari usaha dan kegiatan yang mereka lakukan. Menurut Yusuf Qardhawi, fuqaha pada umumnya menyatakan bahwa mereka hakim, wali, mufti dan yang semakna tidak masuk kelompok amil. Oleh sebab itu kompensasi untuk mereka diambil dari dana selain zakat, kecuali mereka yang termasuk fi sabilillah.
Meskipun terdapat perbedaan, yang pasti bahwa orang yang menyibukkan dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan umum umat Islam, mendapatkan dana dari zakat. Bisa dari kelompok amil atau dari kelompok sabilillah. Dalam konteks kekinian, orang yang mengurusi kepentingan umum umat Islam, apalagi untuk memperjuangkan nasib dan ketidakberdayaan umat Islam yang tidak mampu dapat menggunakan dana zakat sebagai kompensasi dari usaha mereka. Besarnya dana zakat yang dipakai disesuaikan dengan berat ringannya kerja mereka.
6. Riqab
Dalam sejarahnya, jauh sebelum Islam datang riqab terjadi karena sebab tawanan perang. Oleh sebab itu, ada beberapa cara yang digunakan untuk membantu memerdekakan budak, seperti sebagai sanksi dari beberapa pelanggaran terhadap aturan Islam. Harta zakat pun diperuntukkan bagi budak yang masuk Islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai manusia.
7. Sabilillah
Sabilillah pada masa awal dipahami dengan jihad fi sabilillah, namun dalam perkembangannya sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad, akan tetapi mencakup semua program dan kegiatan yang memberikan kemaslahatan pada umat Islam. Dalam beberapa literatur secara eksplisit ditegaskan bahwa sabilillah tidak tepat hanya dipahami jihad, karena katanya umum, jadi termasuk semua kegiatan yang bermuara pada kebaikan seperti mendirikan benteng, memakmurkan mesjid, termasuk mengurus mayat. Bahkan termasuk di dalamnya para ilmuan yang melakukan tugas untuk kepentingan umat Islam, meskipun secara pribadi ia kaya
Dapat dipahami bahwa dana zakat untuk sabilillah, dapat diberikan kepada pribadi yang mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan umum umat Islam. Di samping itu juga diberikan untuk pelaksanaan program atau kegiatan untuk meujudkan kemaslahatan umum umat Islam, seperti benteng, mendirikan rumah sakit dan pemberian layanan kesehatan.
8 Ibn Sabil
Ibn sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang kehabisan biaya di perjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Untuk ini tujuan pemberian zakat untuk mengatasi keterlantaran, meskipun di kampung halamannya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar.
Penerima zakat pada kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang temporer atau sementara. Jika orang terlantar sementara saja dibantu dengan dana zakat, apalagi mereka yang benar-benar tidak mampu tentu saja mendapatkan prioritas lebih.
Perhatian yang diberikan Islam kepada orang yang kurang mampu di samping adanya kewajiban zakat, juga dengan memberikan ancaman kepada orang yang tidak mengabaikan orang miskin (Q.S. Al-M±’­n/107: 3). Perhatian juga diberikan kepada orang yang tidak mempunyai pelindung. Dalam hadis ditemukan bahwa Rasulullah Saw. menyatakan orang yang membantu mereka sama dengan jihad di jalan Allah. Pada satu sisi, penyamaan ini mungkin pada reward yang akan diterima nanti di akhirat dan mungkin juga fasilitas yang akan diterima di dunia.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa dana zakat dapat didistribusikan kepada orang atau lembaga yang tujuannya memberikan bantuan untuk meringankan himpitan ekonomi, membantu mereka untuk mendapatkan haknya, dan untuk kegiatan yang bertujuan untuk kemaslahatan umum umat Islam. Luasnya cakupan dari istilah yang digunakan dalam asnaf delapan tidak pada tempatnya jika harus membatasi pada artian khusus.
CATATAN KAKI
Diantara sahabat yang diangkat oleh Rasul Saw. sebagai ‘amil zakat adalah Ziy±d bin Lab³d (w. 41 H.) sekali gus menjabat sebagai amir wilayah Hadramaut; ‘Ad³ bin ¦±tim (w. 67 H.) sekali gus sebagai amir wilayah °ayyi dan Ban³ Asad; M±lik bin Huwairah (w. 12 H.) ‘±mil yang memungut zakat Ban³ Hanzalah; Al-’Ala’ bin al-Ha«ram³ (w. 14 H.) untuk memungut zakat penduduk Bahrain; dan ‘Al³ bin Ab³ °±lib (w.40 H. ), lihat, Ab­ ‘Abdill±h Mu¥ammad bin Is¥±q dan Ab­ Mu¥ammad ‘Abd al-M±lik bin Hisy±m al-Ayy­b al- ¦umair³, Sirah al-Nabi ¢allall±h ‘alaih wa Sallam, (Mesir: al-Ma¯ba’ah al- Madan³, 1962 M/ 1393 H.), juz 4, h. 1019.
Q.S. al-Taubah : 103
Q.S. al- Zariyat: 19
Abd Al-Rahman Jalal al-Din al-Suyuthi, AL-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Beirut: Dar al-Fikr, 1414/1993, Jilid 4, juz 10, h. 220.
‘Abdur Rahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘ala al- Mzahibil Arba’ah, juz 1, Beirut: Dar al-Fikri, 1986/1406, h. 625-626.
Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, Beirut: Muassasah al-Risalah, juz 2, 1412/1991, h. 630.
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim (al-Manar) juz 10, Darul Fikr, t.t., h. 495, bandingkan dengan Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz 3, Beirut: Darul Fikr, 1414/1993, h.181 dan Sayid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an, jilid 3, juz 10, Beirut: Darul Syuruq, 1412/1992, h. 1669 .
‘Abdur Rahman al-Jaziri, op.cit., h. 625.
Al-Thabari, juz 14, h. 316
Yusuf Qardhawi, fiqh Zakat, juz 2, h. 609
Muhammad Rasyid Ri«a, op.cit., jilid 10, h. 513.
Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasat al-Ris±lat Dar al-Qalam, 1981), cet. Ke 6, juz 2, h. 576.
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 276.
Kitab Nail wa Syarhuhu, juz 2, h. 134.
Yusuf Qardhawi, op.cit. h. 593
Kaffarat bagi suami isteri yang melakukan persetubuhan pada bulan Ramadan, hukuman pengganti qisas
Al-Razi, op.cit., h. 189 bandingkan dengan Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., h. 501.
Seperti yang dkutip oleh Muhammad Rasyid Ridha, ibid., h. 502
Al-Bukhari, shahih al-Bukhari., juz 3, h. 2212, juz 4, h. 2435, Muslim, shahih Muslim., juz 4, h. 52-53, al-Turmuzi, sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 224, al- Nasa’i, sunan al-Nasa’i., juz 5, h. 86-87, Ibn Majah, sunan Ibn Majah., juz 2, h. 724, dan Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal., juz 2, h. 361.

LOYALITAS TERHADAP PEMIMPIN

LOYALITAS TERHADAP PEMIMPIN
Sebagai penyeimbang dari beban tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipikul oleh pemimpin di atas, maka Islam memberikan arahan yang sangat proporsional. Ada hak yang juga harus diterima oleh pemimpin, yang merupakan kewajiban komunitas yang dipimpinnya.
1. Esensi loyalitas terhadap pemimpin
Sangat wajar dan manusiawi, jika pemimpin menginginkan orang yang dipimpinnya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap dirinya. Posisi yang diterimanya mempunyai konsekwensi bahwa ia mempunyai hak untuk didengar, dipatuhi oleh yang dipimpinnya.
Dalam banyak hadis, Rasul menempatkan kepatuhan kepada pemimpin pada posisi kepatuhan kepada diri Rasul dan kepatuhan terhadap Allah. Dalam sabdanya Rasul menyatakan bahwa siapa yang mematuhiku maka ia telah mematuhi Allah. Sebaliknya, siapa yang mendurhakaiku berarti telah mendurhakai Allah. Siapa yang mematuhi pemimpin, maka berarti ia telah mematuhiku. Sebaliknya, jika ia tidak patuh pada pemimpin maka berarti tidak mematuhiku.
Al-Khaththabi menjelaskan bahwa pemberian posisi pemimpin begitu tinggi, karena Rasul menganggap penting masalah pemimpin ini. Di samping itu, pada saat itu bangsa Quraisy, Arab umumnya tidak mengenal kepemimpinan, dan yang dipatuhi hanya pemimpin di kabilahnya. Ketika Islam memperkenalkan kepemimpinan lain, mereka tidak mengakuinya dan enggan untuk mematuhinya.
Al-Zarqani menukil pendapat Imam Malik dan Jumhur ahli Sunnah bahwa bila seorang pemimpin berbuat zalim terhadap yang dipimpinnya, maka ketaatan lebih utama dari pada menentangnya. Tindakan menentang berimplikasi munculnya rasa takut, terjadinya pertumpahan darah, berkobarnya peperangan dan menyebabkan kerusakan. Dalam hal ini dituntut kesabaran terhadap ketidakadilan dan kefasikan.
Bahkan Rasul dalam hadis lain mewajibkan taat dan patuh kepada pemimpin walaupun ia hanya memikirkan kepentingannya dan tidak menjalankan tugasnya terhadap masyarakat dengan baik. Dengan alasan mereka akan menanggung akibat dari pelalaian tanggung jawab.
Hadis ini memrupakan respon yang sangat mengejutkan terhadap pertanyaan yang diajukan sahabat jika ada pemimpin yang hanya menntut haknya tapi tidak menjalankan kewajibannya. Setiap diajukan pertanyaan sampai tiga kali, Rasul selalu menghindar. Pertanyan yang ketiga baru dijawab agar tetap patuh dan taat.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pemimpin memiliki hak sebagai imbalan dari kewajiban yang begitu berat, sehingga loyalitas terhadap pemimpin merupakan suatu keharusan bagi umat Islam. Bahkan seandainya ia tidak menjalankan kewajiban pun.
Ketentuan di atas menunjukkan proporsional dan konsistensi aturan, untuk pemimpin ia punya berbagai kewajiban yang merupakan hak bagi yang dipimpin. Sebaliknya, yang dipimpin juga mempunyai kewajiban yang merupakan hak pemimpin.
2. Batas Loyalitas terhadap pemimpin
Dari uraian terdahulu terlihat bahwa pemimpin bagaimana pun karakternya harus tetap dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin. Namun ketentuan itu tidak mutlak, karena ada kebolehan untuk tidak loyal terhadap instruksi, perintah pemimpin yang bertentangan dengan misi Islam. Seperti instruksi untuk melakukan perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah dan instruksi untuk melakukan perbuatan yang dapat membahayakan jiwa dan atau raga, yang diperintah oleh Allah untuk menjaganya.
a. Bukan untuk melakukan perbuatan maksiat
Dalam hadisnya, Rasul menyatakan bahwa setiap muslim harus taat dan patuh dalam hal yang disenangi atau yang dibencinya, kecuali jika ia diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila seperti itu, tidak perlu patuh dan taat. Terlihat bahwa like and dislike bukan aspek yang dijadikan dasar dalam kepatuhan terhadap pemimpin atau tidak, karena hal itu sangat subjektif. Masing-masing akan memiliki persepsi yang beda. Orang tertentu akan disenangi oleh yang merasa bahwa kepentingan dapat dipenuhi dengan mudah dan orang lain akan merasakan sebaliknya. Kebolehan tidak loyal dibatasi pada isi perintah, instruksi untuk melakukan maksiat, bukan karena orangnya.
b. Bukan untuk melakukan perbuatan yang membahayakan jiwa raga
Dalam sebuah hadis dikemukakan bahwa Rasul mengangkat seseorang sebagai pemimpin. Pengangkatan itu membuat ia mempunyai persepsi bahwa apapun instruksi yang dikeluarkan harus diikuti oleh anak buahnya. Kepemimpinan yang disalahpahami itu yaitu tentang kewenangannya Ketika ia marah, anak buahnya diminta untuk membakar diri dengan kobaran api dari kayu yang mereka cari sendiri. Respon yang diberikan Rasul terhadap laporan tersebut bahwa loyalitas dalam hal yang ma’ruf.
Terlihat bahwa loyalitas terhadap pemimpin bukan didasarkan kepada karakter personnya, tetapi lebih kepada instruksi atau perintah, aturan dan kebijakan yang diberikan atau dikeluarknnya, yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat atau merugikan masyarakat tidak mutlak harus dipatuhi.
Solusi yang dapat ditempuh apabila pemimpin memberikan kebijakan, instruksi, aturan yang merugikan dan membahayakan masyarakat adalah dengan cara audiensi antara pemimpin dengan yang dipimpin untuk membicarakan secara bijak.

catat kaki
Muslim, ibid., h. 1466
Seperti yang dinukil oleh al-Nawawi dalam ibid.,
Al- Zarqani, al- Muwaththa’ li al-Zarqani, juz 2, h. 292.
Muslim, op.cit., h. 1474-1475
Muslim, op.cit.,h. 1469
ibid.,

Minggu, 03 Mei 2009

HADIAH KEPADA PEJABAT/PETUGAS

HADIAH KEPADA PEJABAT/PETUGAS

Kedudukan seorang petugas atau pejabat dan kekuasaan yang dimilikinya mempunyai ekses terhadap terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, sebelum bertugas seorang pejabat atau petugas diwajibkan mengucapkan sumpah dan janji yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Isi dari sumpah jabatan tersebut adanya sumpah untuk tidak menerima suatu pemberian yang diduga atau dapat diduga ada kaitannya dengan pelaksanaan tugasnya.
Bahkan akhir-akhir ini dengan maraknya korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat
Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat.

A. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas

Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah atau cendera mata yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Misalnya seorang pejabat atau petugas yang dikirim oleh suatu instansi untuk melakukan tugas pemeriksaaan, misalnya. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan semua, mulai dari transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.
Di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Untuk pejabat, amil atau petugas yang telah diberi imbalan, gaji, atau insentif untuk pelaksanaan tugasnya, bolehkah menerima hadiah? Begitu juga dengan hakim, Untuk menjawabnya, dapat dilihat hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Artinya: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” atau korup.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk untuk melakukan sesuatu, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Dari kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.
Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang ‘amil zakat yang diberi tugas oleh Rasul Saw. untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.
Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Pelaksanaan tugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah sangat berat, terutama dalam mengatasi dan menghindarkan diri dari melakukan penyelewengan atau korup terhadap dana yang dikelolanya. Karena pada masalah yang seperti ini, peluang untuk melakukan penyelewengan itu terbuka lebar, ditambah dengan rayuan syetan yang menginginkan orang tidak berjalan di rel yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu seseorang yang bertugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah dituntut untuk dapat mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap Hadis dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah Saw. dalam sabda berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ
Artinya: Rafi’ bin Khudaij mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang mengelola harta zakat dengan benar sama seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya’.”
Menurut riwayat di atas, ‘amil zakat/ sedekah secara eksplisit disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Ini secara inplisit terdapat tuntutan agar ‘amil atau pengelola zakat melakukan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan tugas dengan benar menyangkut semua tugas yang berkaitan dengan kontribusi, distribusi dan penentuan mustahiq. Dalam riwayat di atas, seorang ‘amil zakat dituntut untuk melakukan tugasnya dengan benar dan tidak menyeleweng. amil harus dapat menyalurkan harta zakat yang sudah dikumpulkan itu kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ‘amil yang menjalankan tugasnya dengan benar atau tidak korup, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Agaknya penyamaan tersebut disebabkan oleh godaan berat yang harus dihadapi dalam menunaikan tugas sebagai ‘amil.
Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang untuk melakukan sesuatu, jangankan untuk korup dan menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja dilarang. Secara konstitusi atau aturan, sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan.
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas tersebut mungkin akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.

B. Hadiah kepada Hakim
Begitu juga dengan hakim, pemberian hadiah kepada hakim termasuk risywah, karena orang yang memberi hadiah ketika ia tidak memberi sebelum hakim menangani kasusnya pasti pemberian hadiah itu mengandung maksud tertentu. Minimal dengan hadiahnya itu, ia bemaksud untuk melakukan pendekatan personal kepada hakim, menghormatinya dan meyang diberikan
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Kata Risywah berasal dari bahasa Arab rasya- yarsyu – rasywan – risywatan yang berarti sogokan, bujukan, suap, uang pelicin. Biasanya risywah ini memiliki makna memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menghindarkan dari kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditanggungnya. Dapat juga bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batal.
Di dalam al-Qur'an ( al-Baqarah/2:188) Allah dengan tegas melarang seseorang memakan sesuatu yang bukan haknya dengan cara yang batil (tidak benar) dan melarang orang membawa perkara kepada hakim dengan tujuan untuk mendapatkan harta orang lain dengan jalan berbuat dosa. Risywah nerupakan salah satu cara pemberian yang tidak dilandasi oleh keikhlasan untuk mencari kerelaan Allah melainkan untuk tujuan yang bertentangan dengan tuntunan atau tuntutan syari'at Allah.
Oleh sebab itu, ancaman yang ditujukan kepada pelaku risywah terlihat sangat tegas dalam hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Arti Hadis: 'Abdullah bin 'Umar berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyogok (memberi suap) dan orang yang disogok (menerima sogokan).
Kata لَعَنَ dalam hadis bermakna jauh dari rahmat Allah. Sedangkan kata الرَّاشِي adalah orang yang memberikan suap/ sogokan kepada seseorang untuk memuluskan urusan atau untuk maksud mengaburkan putusan hukum. Dengan ungkapan lain, orang yang memberikan suatu hadiah untuk menjadikan yang salah tidak salah, yang tidak berhak jadi berhak. Sedangkan kata َالْمُرْتَشِي dalam hadis berarti orang yang mengambil sogokan.
Dalam hadis di atas, di samping secara internal seorang hakim harus memiliki kompetensi, ada masalah eksternal yang dapat mempengaruhi profesionalitas dan keadilan hakim dalam menjalankan tugasnya yang biasa disebut risywah dan hadiah.
Secara tegas dalam hadis ada larangan memberikan sogokan (suap, uang pelicin) dan menerima sogokan. Dalam riwayat lain ada pembatasan hadis dengan kata "fi al-hukm" di ujung hadis, yang menurut al-Turmuzi kualilitasnya Hasan Sahih. Dengan penambahan dimaksud memberikan batasan kepada risywah yang berkaitan dengan masalah hukum saja. Namun jika dilihat dari pengaruhnya terhadap tugas yang ditimbulkan oleh adanya uang atau materi yang tidak legal yang berkaitan dengan tugas, maka larangan secara umum lebih dapat diterima. Akan tetapi pengaruh suap pada bidang hukum jauh lebih besar, karena dapat membuat hakim memutarbalikkan masalah dari fakta yang sebenarnya.
Sedangkan dalam hadis riwayat Ahmad ada tambahan lain setelah kata al-murtasyi yaitu kata "al-raisy" yaitu orang yang menjadi perantara antara orang yang memberi dan menerima sogokan. Secara logika pengaruh perantara ini cukup dominan untuk terjadinya sogok/suap bagi orang yang memberi suap dan hakim.
Dalam prakteknya risywah diselubungi oleh sesuatu yang sepertinya tidak membawa masalah, seperti pemberian hadiah, membayar transaksi jual beli, atau membebaskan dari hutang. Semuanya tetap risywah jika berkaitan dengan pemutarbalikan fakta, mencemarkan nama baik dan menyia-nyiakan amanah.
Oleh sebab itulah di dalam hadis dinyatakan bahwa orang yang memberi dan menerima risywah mendapatkan laknat dari Allah dan Rasul serta orang lain. Hal itu disebabkan karena pemberi risywah mendorong penerima melalaikan tugasnya sebagai penegak kebenaran; memudahkannya memakan sesuatu yang bukan milik secara batil; menumbuhkan perilaku tercela; membantu hakim mengambil keputusan hukum yang tidak benar.
Sedangkan penerima sogokan mendapatkan laknat, karena mengambil harta orang lain secara tidak benar dengan menerima sogokan; dan menghalangi orang berhak mendapatkan haknya, atau membebaskan orang dari kewajiban dan tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Risywah dilarang karena dilihat dari pelaksanaannya pemberian dan penerimaan risywah jauh dari keikhlasan, karena didorong oleh keinginan mendapatkan atau menghindari sesuatu dengan cara yang tidak dibenarkan. Sedangkan dilihat dari tujuannya, risywah dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Risywah dengan demikian haram bagi seorang hakim, karena berimplikasi pada penjatuhan hukuman secara tidak benar, berpihak dan tidak profesional.
Dengan demikian, hukum risywah adalah haram, karena dengan risywah tersebut seorang hakim akan menafikan keprofesionalan, tugas dan tuntunan serta tuntutan agama, ia bekerja sesuai dengan pesanan yang membayar, meskipun harus melawan hati nurani dan menzalimi pihak lain.
Untuk kondisi saat ini, dapat dilihat dampak dari risywah dimaksud, bagi hakim yang terindikasi menerima sogokan, akan berbalik menjadi terdakwa. Dari segi wibawa hukum hukum sepertinya dipermainkan sesuai keinginan orang yang bermain di dalamnya.
1. Risywah adalah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
2. Risywah merupakan salah satu faktor ekstern yang akan mempengaruhi dan mendorong hakim untuk tidak profesional dalam tugasnya.
3. Haram bagi hakim mengambil risywah, karena di samping mendapatkan sesuatu bukan dengan cara yang benar, juga akan mempengaruhi hakim sehingga lalai dalam tugasnya dan mendorong terjadinya penyelewengan dan perlskusn ysng tidsk sdil.
4. Memberikan Risywah kepada hakim hukumnya haram, karena pemberian itu bertujuan untuk memutarbalikkan fakta dan mengharapkan sesuatu yang bukan haknya.

Dari bahasan terhadap hadis-hadis Rasul tentang hadiah, dengan sangat jelas dan rinci pesan Rasul tentang anjuran untuk saling memberi hadiah. Hadiah yang diberikan kepada pejabat atau petugas termasuk hakim, menjadi perhatian yang sangat serius, karena ada kekhawatiran akan mempengaruhi pelaksanaan tugas.
1. Hadiah yang murni hadiah berfungsi sebagai bingkai dan sarana untuk menimbulkan rasa kasih sayang antara sesama.
2. Ada perintah untuk saling memberi hadiah, meskipun benda atau sesuatu yang dihadiahkan tersebut tidak memiliki nilai ekonomis atau tidak berharga. Kemurnian dan ketulusan hati, serta maksud baik sebagai dasar dalam penerimaan hadiah.
3. Pnerima hadiah harus memiliki kekuatan untuk mengidentifikasi hadiah yang diterima, ada atau tidak indikasi perubahan hadiah menjadi yang lain.
4. Penerima hadiah dipesankan agar membalas dengan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Apalagi hadiah yang diberikan oleh bawahan kepada atasan, rakyat/anak buah kepada pimpinan. Hal ini sebagai realisasi dari perintah saling memberi hadiah. Rasul memberikan peringatan kepada umat Islam bahwa:
• Hadiah bukan tukar menukar, barter atau jual beli meskipun ada aturan untuk membalas. Perintah membalas ditujukan kepada penerima hadiah, bukan kepada pemberi hadiah
• Pemberi hadiah tidak boleh memberi hadiah karena mengharapkan balasan yang lebih besar, apalagi sampai ada kesan memaksa penerima hadiah untuk memberi balasan sesuai keinginan pemberi
5. Tidak boleh menolak hadiah hanya karena melihat nilai hadiah. Alasan yang dapat dijadikan dasar penolakan hadiah yang diperkenankan Rasul dalam hadisnya yaitu:
• Maksud/keinginan pemberi hadiah yang mengharapkan pamrih yang memberatkan penerima hadiah.
• Penerima hadiah akan mengalami kesulitan dengan menerima hadiah tersebut.
6. Pejabat/petugas termasuk hakim yang sedang melakukan tugas, tidak boleh menerima hadiah, ketika hadiah tersebut berkaitan dengan tugas, atau bahkan akan menghambat/mempengaruhi pelaksanan tugas.
• Ancaman yang diberikan Rasul adalah ghulul (khianat) atau korup, di dunia jauh dari rahmat Allah dan neraka di dunia dan akhirat.
• Pejabat/petugas hanya diperkenankan menerima imbalan yang sudah ditetapkan secara legal.
Sulitnya kehidupan dan tingginya cita-cita dan harapan yang diinginkan seseorang, menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang dapat mencapai keinginan tersebut. Di samping itu, ada pihak-pihak yang memanfaatkan peluang itu. Oleh sebab itu agar tidak terjadi kesalahan atau penyelewenagan maka sebaiknya pejabat/petugas termasuk hakim saat ini :
1. Menolak hadiah yang diberikan hanya pada saat melakukan tugas yang ada kaitannya atau dapat diduga mengandung maksud tertentu dari pemberi.
2. Menjadikan ancaman jauh dari rahmat Allah dan ancaman neraka bagi pelaku korup untuk menghindari hadiah yang diindikasikan suap/korup yang akan mempengaruhi tugas.
3. Tidak menjadikan suap/sogok pada wilayah abu-abu hadiah.

CATATAN KAKI
Abu Daud, op.cit., juz 3, h. 134.
Semua periwayat yang terlibat dalam periwatan Hadis dinilai ثقة, al-’Asqalani op.cit., juz 3, h. 393; juz 4, h. 450-453; juz 6, h. 442-443; juz 5, h.157- 158; kecuali Husain al-Mu’allim (w. 145 H.) dinilai ثقة , ليس به بأس dan ضعيف Bahkan ada yang menyatakan bahwa ia tidak meriwayatkan Hadis dari bapaknya, juz 2, h. 338-339. Hadis ini minimal Hasan.
Hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, op.cit., juz 4, h. 2870- 2871; Muslim,op.cit., juz 3, h. 1463; Abu Daud,ibid., juz 3, h. 134-135; Al-Darimi, op.cit., juz 1, h. 394; dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz 5, h. 423. Uraian lebih luas dapat dilihat dalam, Al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, jilid 1, juz 2 (Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405), h. 344-347.
Al-Nawawi, op.cit., juz 12, h. 219.
Al-Turmuzi, op.cit.,juz 2, h. 79; Abu Daud, op.cit., juz 3, h. 132; Ibnu Majah, op.cit., juz 1, h. 578. Menurut al-Turmuzi Hadis tersebut berkualitas Hasan, karena salah seorang sanadnya Yazid bin ‘Iyad da’if, sementara yang melalui sanad Muhammad bin Ishak lebih sahih
Al-Kahlani, juz 4, h. 124
Abu Daud, aqdhiyah no. 3109, al-Turmuzi, ahkam no. 1257, Ibn Majah, ahkam no. 2304 dan Ahmad bin Hanbal
Tuhfat al-Ahwazi, juz 4, h. 471
al-Khuli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz, Adab al-Nabawi, Beirut, Dar al-Fikr, t.t,.h. 300
Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan Al-Turmuzi
Lihat lebih jauh dalam Al-Syaukani, jiliz 4 juz 9, h. 158
al-Khuli, h. 301
Al-Shan'ani juz 4, h. 124-125
al-Khuli, h. 301

BIBLIOGRAFI

Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz 1, juz 2, juz 4, juz 5., Beirut, Dar al-Fikr, t.t.,
Al-Asqalani, Syihab al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajr al-, Tahzib al- Tahzib, (India: Dairah al-Ma’arif Ni§amiyah, 1326 H)
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz 1,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t,
Al-Darimi, Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, Indonesia:Dahlan, tt. juz 1, 2
Ibn Hisyam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaq dan Abu Muhammad ‘Abd al-Malik bin Hisyam al-Ayyub al- Humairi, Sirah al-Nabi Shallallah ‘alaih wa Sallam, (Mesir: al-Mathba’ah al- Madani, 1962 M/ 1393 H.), juz 4.
Ibn Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini. t.t. Sunan Ibn Majah. Maktabah Dahlan: Indonesia. juz 1, 2,
al-Kahlani, Muhammad bin Isma’il, Subulus Salam Syarh Bulugul Maram, juz 3, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t..
al-Khuli, Muhammad ‘Abd al-’Aziz, Adab al-Nabawi, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
Malik bin Anas, al-Muwaththa’ Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Muslim, Abu al-Husain bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz 2,3,4, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Al-Nawawi, Muhy al-Din Abu Zakariyya, Shahih Muslim ‘ala Syarh al-Nawawi, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1981 M. /1401 H.)
Al-Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasat al-Risalat Dar al-Qalam, 1981), cet. Ke 6, juz 2
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.)
Al-Shiddiqi al-Syafi’i, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin, jilid 1, juz 2 (Beirut: Dar al- Kutub al-’Arabi, 1985/1405)
Al-Suyuthi, Jalalu al- Din, Sunan al- Nasa'i bi Syarh al-Suyuthi, juz 5, Semarang: Thoha Putra, 1930/1348
al-Syaukani, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayyid al-Akhyar, jilid 3, juz 5, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurat al-Turmuzi, Sunan al- Turmuzi (Jami’ al-Shahih), juz 1,3,4, Indonesia, Dahlan, t.t.,

PEMBERI/PENERIMA HADIAH

H A D I A H

Hadiah adalah pemberian seseorang kepada orang lain sebagai penghargaan atau penghormatan terhadap sesuatu yang telah dilakukannya. Biasanya hadiah merupakan pemberian terhadap prestasi dan keberhasilan seseorang.
A. Esensi Hadiah
Memahami hadiah sebagai salah satu cara untuk menyatukan hati antara pemberi dan penerima dapat dilihat dalam beberapa riwayat sebagai pedoman, dari perintah memberi hadiah, prioritas penerima hadiah dan larangan mengaburkan pemahaman antara hadiah dengan upah. Pemahaman tentang esensi hadiah sangat penting dalam rangka memberikan pemahaman yang benar tentang hadiah, sehingga tidak bias antara hadiah dengan bisnis yang profit oriented.
1. Perintah Memberi Hadiah
Salah satu uslub yang digunakan Rasul dalam membudayakan saling memberi hadiah adalah dengan perintah memberi hadiah. Perintah akan dilaksanakan jika diiringi dengan penjelasan kemungkinan gagalnya perintah. Hal itu terlihat dalam sabda Rasul berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda: Saling memberi hadiahlah kamu, karena hadiah itu dapat menghilangkan perasaan tidak enak di hati. Janganlah seseorang merasa tidak enak ketika memberi hadiah dengan sesuatu yang tidak berharga. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan al-Turmuzi, kitab wala’ no.2056)
Dalam Hadis tersebut Rasulullah berpesan agar umat Islam saling memberi hadiah. Tidak ada alasan untuk tidak memberi hadiah, karena dalam hadiah yang terpenting adalah nilai tanda kasih antara pemberi dan penerima. Sehingga jenis, kualitas atau harga barang yang akan dihadiahkan tidak menjadi terlalu penting. Frase وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ (analog mengenai sesuatu yang kecil dan tidak memberatkan), sehingga semua orang dapat saling memberi hadiah kepada yang lain.
Dalam riwayat lain terdapat perintah saling memberi hadiah, sabda Rasul: "saling memberi hadiahlah kamu niscaya kamu akan saling menyayangi"( Sunan al-Baihaqi, juz 6, h. 169) . Dalam konteks ini, hadiah merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan rasa saling menyayangi.
2. Prioritas Orang yang akan diberi hadiah
Pemberian hadiah bertujuan untuk merajut rasa saling menyayangi. Untuk mencapai tujuan itu, ada prioritas dalam penentuan penerima hadiah. Sabda Rasul, yang merupakan dialog antara Rasul dengan ummul mukminin 'Aisyah, di bawah ini dapat dijadikan acuan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
Artinya:'Aisyah menyatakan saya menyatakan kepada Rasul Saw bahwa saya mempunyai 2 orang tetangga, maka kepada siapa diaantara keduanya yang saya beri hadiah? Rasul menjawab: Berilah hadiahmu kepada tetangga yang paling dekat rumahnya denganmu (H.R. Al-Bukhari kitab hibah no. 2405, Abu Daud, kitab adab no. 4488. dan Ahmad bin Hanbal)
Keinginan untuk memberi hadiah kepada seseorang, dapat saja dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya karena kedekatan emosional, kedekatan hubungan kekeluargaan dan kedekatan tempat tinggal. Ketika ditemukan kesulitan untuk menentukan penerima hadiah, maka pesan Rasul menjadi sangat penting.

B. Sikap Penerima hadiah

Hadiah yang diberikan seseorang mempunyai makna yang dalam dan hanya pemberi yang mengetahui tujuan pemberian hadiah dimaksud. Harus ada ketajaman instink untuk mendeteksi atau meidentifikasi hadiah sebagai hadiah murni atau sebagai sesuatu yang patut diduga ada kaitannya dengan jabatan yang sedang diemban.
Penerima hadiah juga dipesankan Rasul agar reaktif ketika menerima hadiah. Ketika menerima hadiah ada tindakan yang menunjukkan respons terhadap perlakuan yang diterima. Tidak diam saja dengan maksimal ucapan terima kasih. Keberimbangan aturan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu dibalik aturan tersebut "agar tidak berhutang budi"

1. Mengidentifikasi hadiah

Untuk menghindari misinterpretasi tentang hadiah dan biasanya antara hadiah dengan sogokan, seperti yang dinyatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, bahwa di masa Rasulullah Saw. hadiah adalah hadiah, tetapi masa ini hadiah bisa saja berarti sogokan. (al- Bukhari, op.cit., h. 991) Serta untuk membedakan antara hadiah dengan tukar menukar, maka perlu diketahui bagaimana aturan Islam tentang hadiah dapat dilihat dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ سَأَلَ عَنْهُ أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ فَإِنْ قِيلَ صَدَقَةٌ قَالَ لأَصْحَابِهِ كُلُوا وَلَمْ يَأْكُلْ وَإِنْ قِيلَ هَدِيَّةٌ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلَ مَعَهُمْ
Abu Hurairah menyataka bahwa Rasulullah apabila diberi makanan, beliau selalu menanyakan kepada si pemberi hadiah apakah pemberian itu hadiah atau sedekah. Jika pemberian itu sedekah, Rasul tidak memakannya dan menyuruh para sahabat untuk memakan hadiah dimaksud. Jika dinyatakan pemberian itu adalah hadiah, Rasulullah menepukkan tangannya dan makan bersama sahabat. (al-Bukhari, kitab hibah no. 2388, juz 2, h. 984, Muslim, zakat no. 1790, al-Turmuzi, kitab zakat, no. 592, al-Nasa'i , kitab zakat no. 2566)
Ketentuan dalam hadis di atas memberikan aturan agar penerima hadiah tidak hanya bahagia atau senang dengan hadiah yang bakal diterima, akan tetapi selalu mengidentifikasi hadiah yang diserahkan, termasuk yang boleh diterima atau tidak. Bagi kita saat ini, kekuatan identifikasi ini merupakan salah satu yang sangat urgen untuk dilakukan, karena hadiah dapat saja berubah wajah sebagai jebakan. Jika pada Rasul upaya itu dilakukan dalam rangka membedakan sedekah dengan hadiah, maka saat ini identifikasi hadiah ini untuk membedakan antara suap/risywah/uang pelicin dengan hadiah.
2. Menerima Hadiah
Niat baik seseorang memberi hadiah kepada orang yang diinginkannya, disambut baik dengan adanya perintah menerima hadiah. Tentu saja hadiah yang murni hadiah, dan tidak ada indikasi hadiah tersebut mengandung suatu maksud mengarah pada penyelewenang. Pada bahasan ini, perimbangan aturan tersebut dapat dilihat dalam pesan Rasul berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ … وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: … kalau saya diberi hadiah zira' atau kira' (gambaran sesuatu yang kurang berharga/tidak bernilai), sungguh aku akan terima. (al-Bukhari, kitab hibah, no. 2380)
Pesan ini memberikan arahan bagi orang yang diberi hadiah agar tidak melihat harga, jenis atau nilai sesuatu yang dihadiahkan. Menerima atau tidak hadiah tidak didasarakan karena alasan harganya mahal atau murah, kualitasnya baik atau tidak baik, atau menarik atau tidak begitu menarik. Kata " ذِرَاعٌ " dalam hadis, adalah simbol sesuatu yang tidak banyak manfaatnya. Karena jika hadiah tersebut diiabaratkan daging, maka pemberian zira' itu tulang kaki yang sedikit sekali dagingnya. Begitu juga dengan kata كُرَاعٌ (jika pada maanusia :tumit) yang mungkin sangat sedikit sekali dagingnya.
Adanya pernyataan Rasul bahwa beliau menerima sesuatu hadiah meski pun kecil nilainya, menunjukkan bahwa dalam pemberian hadiah yang penting adalah maksud baik, ketulusan hati dan niat baik memberi hadiah. Kalaupun ada alasan untuk menerima atau tidak hadiah yang diberikan seseorang, penerima hadiah hanya perlu hati-hati adanya indikasi bahwa hadiah tersebut hanya berkedok hadiah, sementara yang sebenarnya bukan hadiah, mungkin sogokan, suap, jebakan dan sejenisnya.
3. Memberikan balasan Atas Hadiah Yang Diterima
Perintah memberi hadiah disampaikan dengan menggunakan shigat musyarakat (saling) bukan hanya sebagai penerima, tetapi di samping menerima juga memberi. Konsistensi aturan tersebut terlihat dari contoh yang dilakukan oleh Rasulullah dalam hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَ ا
Artinya: Dari ‘Aisyah, Rasulullah Saw. menerima hadiah dan Rasul selalu memberikan balasan kepada pemberi hadiah (al- Bukhari,ibid., h. 988, Abu Daud, op.cit, h. 290).
Dalam hadis, Rasulullah Saw. mempunyai posisi sebagai penerima hadiah yang diberikan oleh seseorang. Kebiasaan Rasul selalu membiasakan dirinya ketika menerima hadiah, dengan memberikan balasan yang sama dengan hadiah yang diterimanya.
Menurut Abu Syaibah, Rasul malah membalas dengan yang lebih baik dari hadiah yang diterimanya.( al-Kahlani,., h. 90) Dilihat dari hadis tersebut di atas, sepertinya Rasul mewajibkan dirinya untuk selalu memberikan balasan terhadap hadiah yang diterimanya. Namun, itu tidak menunjukkan bahwa memberikan balasan dari hadiah yang diterima merupakan suatu yang wajib dilakukan, karena meskipun Rasul melakukannya terus menerus, itu disebabkan oleh kemuliaan akhlak Rasul. Yang dimaksud dengan يثيب عليها dalam hadis adalah orang yang menerima hadiah menggantinya minimal sesuai/seharga dengan hadiah tersebut.( al-Syaukani, h. 103) Dalam teladan yang dicontohkan oleh Rasul ada rahasia yang terkandung di dalamnya. Pemberian hadiah dari rakyat kepada pemimpin atau pejabat merupakan suatu wujud dari rasa kasih sayang antara pemimpin dan yang dipimpin.
Untuk saat ini, rasanya apa yang dilakukan oleh Rasul dapat dijadikan contoh oleh para penguasa atau pemimpin agama dalam merespons pemberian hadiah kepadanya. Dari hadis di atas, kita dapat memperhatikan perbedaan pendapat para fuqaha’ (dalam al-Kahlani, op.cit., h. 91, bandingkan dengan al-Syaukani, ibid., h. 103) di bawah ini:
1. Pendapat Hadawiyah : wajib memberikan yang sama nilainya dengan hadiah yang diterima, sesuai dengan kebiasaan, karena asal pada benda adalah pertukaran.
2. Menurut Yahya: jika yang diberikan berbentuk barang maka dengan barang yang sepertinya dan jika dengan harga, maka yang seharga dengannya.
3. Syafi’i dalam qaul jadidnya berpendapat: bahwa pemberian yang mengharapkan balasan adalah batal dan tidak terjadi, karena itu sama dengan jual beli dengan harga yang tidak jelas.
4. Sebagian golongan Malikiyah berpendapat: wajib memberikan balasan terhadap pemberian yang diterima, jika si pemberi tidak menyatakan apa-apa. Atau dalam kondisi si pemberi memang meminta balasan yang setimpal, seperti pemberian dari orang miskin kepada orang kaya, tidak sebaliknya (pemberian dari orang kaya kepada yang miskin, penerima tidak perlu membalas)
Apabila pemberi tidak rela dengan balasan yang diberikan, maka:
1. Suatu pendapat: harus memberikan balasan seharga pemberian yang diberikan kepadanya.
2. Pendapat lain: tidak harus seharganya, tetapi sesuai dengan yang diinginkan oleh pemberi.
Agar hadiah tetap dalam esensinya, meskipun ada anjuran dan contoh dari Rasul untuk memberikan balasan, hadiah seharusnya tidak berubah menjadi tukar menukar atau jual beli dengan bentuk barter. Pemberian balasan terhadap hadiah yang diterima telah dipesankan oleh Rasulullah, agar sesuai dengan kemampuan yang ada pada penerima hadiah, bukan sesuai dengan keinginan pemberi hadiah. Dalam pasan Rasul pada hadis di bawah ini, terlihat kesalahan pemahaman pemberi hadiah yang mengharapkan balasan dari penerima. Bahkan ada indikasi pemaksaan besaran balasan sesuai dengan keinginan pemberi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَهْدَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي فَزَارَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاقَةً مِنْ إِبِلِهِ الَّتِي كَانُوا أَصَابُوا بِالْغَابَةِ فَعَوَّضَهُ مِنْهَا بَعْضَ الْعِوَضِ فَتَسَخَّطَهُ فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ يَقُولُ إِنَّ رِجَالا مِنَ الْعَرَبِ يُهْدِي أَحَدُهُمُ الْهَدِيَّةَ فَأُعَوِّضُهُ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا عِنْدِي ثُمَّ يَتَسَخَّطُهُ فَيَظَلُّ يَتَسَخَّطُ عَلَيَّ وَايْمُ اللَّهِ لا أَقْبَلُ بَعْدَ مَقَامِي هَذَا مِنْ رَجُلٍ مِنَ الْعَرَبِ هَدِيَّةً إِلا مِنْ قُرَشِيٍّ أَوْ أَنْصَارِيٍّ أَوْ ثَقَفِيٍّ أَوْ دَوْسِيٍّ
Artinya: Ada orang memberikan hadiah kepada Rasul kemudian Rasul membalasnya dengan separoh harganya, orang itu marah kemudian Rasul menyatakan tidak akan menerima hadiah dari orang tersebut dan dari sukunya . (H.R. al-Turmuzi, kitab manaqib no. 3881, Abu Daud , kitab buyu' no. 3070)
Pada hadis di atas, Rasul menceritakan pengalamannya ketika menerima hadiah dari salah seorang bangsa Arab. Ketika Rasul memberikan balasan dari hadiah yang diterimanya dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan pemberi, orang tersebut marah. Kemudian Rasul meberikan balasan sesuai dengan keinginan orang tersebut. Namun, dengan kejadian itu Rasul memutuskan untuk tidak menerima hadiah dari suku tersebut.
Tindakan pemberi hadiah yang memaksakan harus mendapatkan balasan sesuai dengan keinginan dan harapannya dapat dijadikan alasan untuk menolak hadiah yang diberikan. Pemaksaan akan menimbulkan tidak saling rela, akan muncul rasa kesal dan tidak senang, sehingga keluar dari tujuan hadiah untuk menimbulkan rasa simpati yang berbuah pada rasa sayang.

4. Tidak Menolak Hadiah, kecuali dengan Alasan

Pemberian yang murni hadiah harus diterima, sementara hadiah yang bias dengan riba, jual beli atau barter harus dijadikan alasan untuk menolak hadiah. Hadis Rasul berikut dapat dijadikan pegangan ketika menerima hadiah.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا أَرَادَتْ أَنْ تَشْتَرِيَ بَرِيرَةَ فَأَرَادَ مَوَالِيهَا أَنْ يَشْتَرِطُوا وَلاءَهَا فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اشْتَرِيهَا فَإِنَّمَا الْوَلاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ فَاشْتَرَتْهَا فَأَعْتَقَتْهَا وَخَيَّرَهَا مِنْ زَوْجِهَا وَكَانَ حُرًّا وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَحْمٍ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قِيلَ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ فَقَالَ هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّة ٌ
Artinya: Ketika 'Aisyah bermaksud membeli Barirah, lalu maulanya menginginkan wala' nya, lalu 'Aisyah menyampaikannya kepada Rasulullah, Rasul menyuruh untuk membelinya. Rasul juga menjelaskan bahwa wala' itu adalah hak orang yang memerdekakannya. 'Aisyah membelinya dan memerdekakannya dan memberikan pilihan kepada suaminya. Akhirnya ia menjadi wanita merdeka. Ketika Rasul diberi daging, beliau menanyakan dari pemberian siapa ?, dijelaskan bahwa itu sedekah dari Barirah. Rasul kemudian menjelaskan daging itu sedekah untuk Barirah, tapi hadiah untuk Rasul dan keluarganya. (al-Bukhari , kitab zakat no. 1398, Muslim, kitab zakat, no. 1787, 1788, al-Darimi, kitab al-thalaq, no. 2187, al-Nasa'i kitab talaq no. 2188, 3393, 3394, 3396, 3399, 3400, buyu no. 4564, Malik, kitab al-thalaq no. 1038,)
Atas semua itu, ada distingsi yang dibuat oleh Rasul ketika menerima hadiah atau sedekah. Ketika tidak ada alasan yang mengharuskan beliau menolak suatu pemberian, maka beliau menerimanya sebagai hadiah. Rasul memang tidak diperbolehkan menerima sedekah. Kejujuran dalam mengemukakan alasan ketika menolak hadiah merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Setiap aktivitas keseharian umat Islam harus dilandasi oleh kejujuran, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.
Berlaku jujur akan berimplikasi positif dalam semua tingkah laku dan sikap seseorang dan akan dapat menenangkan gejolak yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kejujuran akan membuahkan transparansi dalam berbagai hal . Sehingga tidak akan memunculkan anggapan negatif atau adanya sikap menduga-duga bagi orang lain. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah saw. berikut:
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُ أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا وَحْشِيًّا وَهُوَ بِالأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ أَمَا إِنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ إِلا أَنَّا حُرُمٌ
Artinya: Abdullah bin ‘Abbas dari al-Sha’ab bin Jassamah ketika ia menghadiahkan keledai kepada Rasul, lalu Rasul menolak pemberiannya. Ketika Rasul melihat kekecewaan diwajah Sha’ab, Rasul mengatakan: “sesunggungnya kami tidak menolak hadiahmu, melainkan saya sedang ihram tidak bisa menerima hadiah itu”
( al- Bukhari, Muslim, al-Turmuzi, al-Nasa'i, Ibnu Majah, Malik, al-Muwaththa’ Malik, , Beirut, Dar al-Fikr, al-Darimi,)
Hadis di atas, menyatakan Rasul sangat tanggap dengan perubahan di wajah sahabatnya mengemukakan alasan peneolakan tersebut. Jawaban yang jelas dan taransparan tersebut dapat mendatangkan perasaan lega dan kecewa dan dapat menghilangkan persepsi keliru karena atas dasar menduga-duga sahabat tersebut.

CARA TAKHRIJ HADIS

A. Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam kedua sesudah al-Qur'an, hadits mempunyai peranan penting dalam mengembangkan kandungan ajaran Islam, baik yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an maupun yang belum.

B. Pengertian Takhrij al-Hadits
Ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan takh¬rij, yaitu takhrij (تخريج), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Takhrij berasal dari kata kharra¬ja (خرِّج) yang berarti tampak atau jelas. Sedangkan menurut Mahmud al-Thahhan, secara etimologis, takhrij berarti berkumpulnya dua persoalan dalam satu hal. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu الإستنباط (mengeluarkan), التدريب (melatih atau membiasakan), dan التوجيه (mengarahkan).
Sedangkan menurut ulama ahli hadits, kata takhrij mempunyai beberapa arti, yaitu:
1. Kata takhrij (تخريج) sama dengan kata ikhraj yang berarti menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya. Misalnya, hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari atau ditakhrij oleh al-Bukhari. Artinya, ia meriwayatkannya dan menyebutkan tempat dikeluarkannya secara independen.
2. Takhrij kadang-kadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadits dan meriwayatkannya.
3. Takhrij terkadang juga disebut dilalah, artinya petun¬juk sumber-sumber asli hadits dan mengacu kepadanya dengan menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkan¬nya.
Secara terminologis, takhrij berarti petunjuk jalan ke tempat/letak suatu hadits (menyebut sejumlah buku yang di dalamnya terdapat hadits itu) pada sumber- sumbernya yang orisinal berikut sanadnya, dan menjelaskan martabat¬nya jika diperlukan.
Secara lebih rinci, Syuhudi Ismail mengumpulkan pendapat-pendapat ulama hadits di seputar arti takhrij sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menye¬butkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyam¬paikan hadits itu dengan metode periwayatan yang ditem¬puhnya.
Termasuk dalam kategori pengertian ini adalah kegiatan yang telah dilakukan oleh para periwayat hadits yang menghimpun hadits ke dalam kitab yang mereka susun masing-masing. Misalnya, Imam al-Bukhari dengan kitab sahih-nya, Imam Muslim dengan sahih-nya, dan Abu Daud dengan kitab Sunan-nya.
2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits atau berbagai kitab atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya yang dijadikan sumber pengam¬bilan.
Pengertian takhrij seperti ini telah dilakukan oleh para ulama hadits, seperti Imam al-Baihaqi yang telah banyak mengambil hadits dari kitab al-Sunan yang disu¬sun oleh Abu al-Hasan al-Basri al-Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
3. Menunjukkan asal-usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh mukharrij-nya langsung (yaitu para periwayat yang juga sebagai penghimpun hadits yang mereka riway¬atkan). Pengertian takhrij semacam ini banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan hadits, seperti Bulugh al-Maram yang disusun oleh Ibn Hajar al-'Atsqalani. Dalam kategori ini, hadits yang dikutip tidak hanya matannya saja, juga minimal nama mukharrij-nya dan nama periway¬at pertama (Sahabat Nabi) yang meriwayatkan hadits itu.
4. Mengemukakan atau menunjukkan letak asal hadits pada sumbernya yang asli yang di dalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian - untuk kepentingan penelitian - dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan. Pengertian ini biasanya digunakan oleh para ulama hadits untuk menje¬laskan berbagai hadits yang termuat di dalam kitab ter¬tentu, seperti kitab Ihya' 'Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali. Di dalam penjelasan takhrijnya dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadits dan kualitasnya masing-masing.

C. Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits
Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa pada mulanya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits. Mereka menge¬tahui cara-cara kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan kepada mereka suatu hadits yang bukan dari kitab hadits, maka dengan mudah mereka menjelaskan sumber aslinya.
Beberapa abad kemudian, para ulama hadits merasa kesulitan untuk mengetahui hadits dari sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang Syari'ah yang banyak menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metodenya, dan menentukan kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya.
Hasil jerih payah para ulama itu memunculkan kitab-kitab takhrij, di antaranya yang terkenal dalah Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah karya Abu Qasim al-Husaini, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah wa al-Gharaib karya Abu Qasim al-Mahrawani.

D. Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadits
Dalam proses penelitian hadits, takhrij merupakan kegiatan penting yang tidak boleh diabaikan. Tanpa melaku¬kan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehi¬langan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadits dari berbagai sisi. Sisi- sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadits dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadits, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadits itu, ada atau tidak adanya coroboration (syahid dan muttabi') dalam sanad hadits yang diteliti.
Dengan demikian, tujuan takhrij al-hadits pada dasarnya adalah:
1. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang di¬teliti.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau muttabi' pada sanad yang diteliti.
4. Adanya syahid dan atau muttabi' yang kuat dapat memperkuat sanad yang diteliti.


MANFAAT DARI KEGIATAN TAKHRIJ AL-HADITS


1, MEMPERKENALKAN SUMBER-SUMBER HADITS, KITAB-KITAB ASAL DI MANA SUATU HADITS BERADA, BESERTA ULAMA YANG MERIWAYATKANNYA
2,DAPAT MENAMBAH PERBENDAHARAAN SANAD HADITS MELALUI KITAB-KITAB YANG DIRUJUKNYA, SEMAKIN BANYAK KITAB ASAL YANG MEMUAT SUATU HADITS, SEMAKIN BANYAK PULA PERBENDAHARAAN SANAD YANG KITA MILIKI.
3. DAPAT MEMPERJELAS KEADAAN SANAD, DENGAN MEMBANDINGKAN RIWAYAT HADITS YANG BANYAK ITU, MAKA DAPAT DIKETAHUI APAKAH RIWAYAT TERSEBUT MUNQATI’, MU’DAL DAN LAIN-LAIN, DEMIKIAN JUGA DAPAT DIKETAHUI, APAKAH STATUS RIWAYAT TERSEBUT SAHIH.
4.DAPAT MEMPERJELAS KUALITAS SUATU HADITS DENGAN BANYAKNYA RIWAYAT, SUATU HADITS DAIF KADANG DIPEROLEH MELALUI SATU RIWAYAT, NAMUN TAKHRIJ MEMUNGKINKAN AKAN MENEMUKAN RIYAWAT LAIN YANG SAHIH, HADITS YANG SAHIH ITU MENGANGKAT KUALITAS HADITS YANG DAIF TERSEBUT KEDERAJAT YANG LEBIH TINGGI.
5. DAPAT MEMPERJELAS PERIWAYAT HADITS YANG SAMAR, DENGAN ADANYA TAKHRIJ KEMUNGKINAN DAPAT DIKETAHUI NAMA PERIWAYAT YANG SEBENARNYA SECARA LENGKAP.
6, DAPAT MEMPERJELAS PERIWAYAT HADITS YANG TIDAK DIKETAHUI NAMANYA, YAITU MELALUI PERBANDINGAN DIANTARA SANAD YANG ADA.
7, DAPAT MENAFIKKAN PEMAKAIAN LAMBANG PERIWAYATAN ‘AN
8.DAPAT MENGHILANGKAN KEMUNGKINAN TERJADINYA RIWAYAT DAN MEMPERJELAS NAMA PERIWAYAT YANG SEBENARNYA.
9.DAPAT MEMPERKENALKAN PERIWAYATAN YANG TIDAK TERDAPAT DALAM SATU SANAD.
10.DAPAT MENGHILANGKAN UNSUR SYAZ DAN MEMBEDAKAN HADITS YANG MUDRAJ.
11.DAPAT MENGHILANGKAN KERAGU-RAGUAN DAN KEKELIRUAN YANG DILAKUKAN OLEH PERIWAYAT.
12. DAPAT MEMBEDAKAN ANTARA PERIWAYATAN SECARA LAFAL DENGAN PERIWAYATAN SECARA MAKNA.
13.DAPAT MENJELASKAN WAKTU DAN TEMPAT TURUNNYA HADITS DAN LAIN-LAIN.


E. Metode Takhrij al-Hadits
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al-Qur'an. Untuk mencari ayat al-Qur'an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim dan sebuah mushaf al-Qur'an. Sedangkan hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya.
Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanya¬lah merupakan alat bantu, seperti al-Jami' al-Shaghir, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi, Miftah Kunuz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athraf, dan lain-lainnya.
Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, al-Mahdi dan al-Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai beri¬kut.

l. Takhrij melalui periwayat pertama (al-rawi al-a'la)
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya, baik dari kalangan Sahabat ataupun tabi'in. Langkah perta¬ma dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Bila nama perawi pertama yang dicari telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berda¬sarkan metode ini adalah kitab-kitab al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadits yang berasal dari kitab induknya di mana yang dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat atau tabi'in. Di antara kitab-kitab al-Athraf yang terkenal adalah Athraf al-Shahihain karya Imam Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad ibn Ubaid al-Dimasyq, Athraf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhli Muhammad ibn Tahin ibn Ahmd al-Maqdisi, Al-Isyraf 'ala ma'rifah al-Athraf karya Abu al-Qasim Ali ibn Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyq, Tuhfat al-Asyraf bi Ma'rifat al-Asyraf karya Jamal al-din Abu al-Hajjaz Yusuf ibn 'Abd al-Rahman.
Musnad adalah kitab hadits yang disusun berda¬sarkan nama-nama Sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyu¬sunan nama-nama Sahabat dalam kitab ini tidak sama, ada yang disusun secara alpabet dan ada juga yang disusun berdasarkan waktu masuk Islam atau keutamaan Sahabat. Di antara kitab-kitab Musnad tersebut adalah kitab Musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal, karya Abu Bakr 'Abdullah ibn al-Zubair al-Humaidi, dan karya Abu Daud al-Tayalisi.
Keunggulan metode ini : cepat sampai pada sahabat yg meriwayatkan hadis krn alfabetis
Kekurangannya : lama sampai pd hadis yg dicari jika sahabat tsb. banyak meriwayatkan hadis
2. Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits
Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf perta¬ma, huruf kedua dan seterusnya. Contoh, hadits yang ber¬bunyi من غشانا فليس منا Langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah من , maka pentakhrij harus mencarinya pada bab mim ( م ). Langkah kedua mencari huruf nun ( ن ) setelah mim ( م ) tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain ( غ ), dan demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami' al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya.
Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini meng¬gunakan rumus-rumus sebagai berikut: صح untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan ض untuk hadits berkualitas dla'if. Sedangkan untuk kode mukharrij dari hadits yang bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhari, م untuk Muslim, حم untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi.
Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan pen¬takhrij untuk cepat menemukan hadits yang dicari. Kesuli¬tan yang mungkin dijumpai adalah apabila terdapat perbe¬daan lafadz pertama, seperti hadits yang berbunyi:
إذا اتــاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه
Menurut bunyi hadits di atas, lafadz pertamanya adalah إذا اتــاكم Tetapi, bila lafadz pertama yang kita ingat adalah لو اتــاكم, akan sulit menemukan hadits itu karena adanya perbedaan lafadz tersebut. Demikian juga apabila lafadz yang kita jumpai berbunyi إذا جاءكم , sekali¬pun semuanya memiliki pengertian yang sama.
Keunggulannya: 1. meskipun tdk hapal semua hadis, dg lafal pertama saja dpt dg cepat menyampaikan pd hadis yg dicari; 2. Akan ditemukan hadis lain yg tdk menjadi objek pencarian n mungkin dibutuhkan
Kekurangan metode ini: 1.jika lafal yg dianggap awal hadis bkn awal hadis; 2. jika trjadi penggantian lafal yg diucapkan Rasul.
3. Takhrij melalui penggalan kata-kata yang tidak banyak diungkap dalam lisan
Menurut Mahmud al-Thahhan, mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang di¬terjemahkan oleh Muhammd Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Imam Ahmad, dan Musnad al-Darimi.
Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana akan dipe¬roleh penjelasan tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya حم untuk Ahmad, ت untuk Turmuzhi, جه untuk Ibn Majjah, مى untuk Darimi; dan penjelasan tentang kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/kode terdapat dua ben¬tuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menun¬jukkan halaman dari kitab yang dimaksud.
Kelebihan metode ini di antaranya:
a. mempercepat pencarian hadits;
b. membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz', bab, dan halaman;
c. memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Sedangkan kekurangannya:
a. pentakhrij harus memi¬liki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;
b. terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus mencarinya dengan menggunakan kata-kata yang lain.
4. Takhrij berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjela¬san riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan.
Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takh¬rij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih, al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma' al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh kitab-kitab di atas jumlahnya banyak sekali. Di antaranya, Kutub al-Sittah, al-Muwaththa', Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi, Musnad Zaid ibn Al, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
a. metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap hadits pada diri pentakhrij;
b. metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.
Sedangkan kelemahannya:
a. Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu;
b. Terkadang pemahaman pen¬takhrij tidak sesuai dengan pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.
5. Takhrij berdasarkan status hadits
Melalui kitab-kitab tertentu, para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain.
Kelebihan metode ini dapat memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun demikian, keku¬rangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi, yang memuat hadits-hadits mutawatir; al-Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah karya al-Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil karya Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar al-Syani'ah al-Maudlu'ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu'

F. Penutup
Takhrij hadits pada dasarnya hanyalah langkah awal dari penelitian hadits. Di antara langkah-langkah penting berikutnya yang harus dilakukan dalam kerangka penelitian hadits adalah kritik matan (naqd al-matn) dan kritik sanad.