Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Selasa, 16 Oktober 2012

KURBAN Sesuai Tuntunan Rasulullah
 Pada dasarnya kurban adalah sunnah dari beberapa sunnah Rasulullah. Dan hukumnya Wajib bagi yang mampu “man wajada sa’atan falam yudhahh fala yaqrabanna mushallana.[1] Barang siapa yg memiliki kemampuan tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati musalla kami Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: tidak ada amalan keturunan Adam yang lebih dicintai oleh Allah pada hari Idul Adha selain menyembelih kurban sesunggguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat nanti dengan tanduk bulu dan kukunya sesunggguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke bumi yang membuat jiwa merasa senang. [2]
           Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh umat Islam yang akan berkurban, yaitu:
 a. Bagi yang mampu berkurban lakukanlah setiap tahun, karena kurban dilakukan oleh Rasulullah setiap tahun. [3] Kewajiban bagi setiap keluarga melakukan pemotongan hewan kurban setiap tahun [4]
 b. Kurban harus dilakukan hanya karena Allah karena kurban yang dilakukan bukan karena Allah malah akan mendapat laknat Allah, Sabda Rasulullah, Bahwa Allah melaknat org yg melaknat orang tuanya, orang menyembelih kurban bukan karena Allah, dan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi serta orang yang memindahkan patok/batas kepemilikan tanah.[5]
 c. Jumlah hewan kurban
 o Jumlah hewan kurban Rasulullah 2 (dua) ekor domba yang sangat baik kualitasnya dan Rasulullah menyembelihnya sendiri [6] Rasul berkurban dengan 2 (dua) ekor Tadhhiyyatun Nabi ‘an nafsihi wa ‘amman lam yudhahhi min ummatihi (Rasululah senantiasa berkurban setiap tahun dengan 2 (dua) ekor domba satu untuk diri dan keluarganya dan satu untuk umatnya. [7] Satu untuk diri dan keluarga satu lagi untuk umat Islam yg tdk mampu berkurban.
 Pemimpin mulai dari Presiden, gubernur, Bupati atau Walikota jika dilihat konteks Rasul sebagai Pemimpin umat sebaiknya mengikuti seperti yang dilakukan Rasul, yaitu berkurban 2 ekor 1 untuk diri dan keluarganya 1 ekor untuk rakyatnya yang tidak sangup berkurban.
 o Satu ekor domba utk satu orang atas namanya dan keluarganya[8]
 o Satu sapi utk 7 orang bersama-sama [9] Hal seperti ini juga dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. [10]
 Waktu Kurban
 Jika bagi yang melakukan ibadah haji, penyembelihan dilakukan setelah melontar jamarat.[11] Bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji waktu penyembelihan hewan kurban dilakukan selesai salat ‘idul Adha tanggal 10 Zulhijjah sampai terbenamnya matahari pada hari ke 13 Zulhijjah (4 hari)
 Dari al-Barra’ saya mendengar Rasulullah saw berkhutbah bahwa pertama kita memulai hari kita ini kita shalat id, kita kembali dan kita berkurban, siapa yang melakukan maka sesungguhnya itulah sunnah kita yang benar [12]
 Penyembelihan hewan yang dilakukan sebelum shalat ‘Idil Adhha sama dengan penyembelihan biasa, dan diperintahkan Rasul untuk menggantinya dengan binatang sembelihan lain.[13]

 Bacaan yang dibaca Rasululllah ketika berkurban: .... ثم قال: باسم الله اللهم تقبل من محمد و أل محمد و من أمة محمد ثم ضحى به [14] Bismillah ya Allah terimalah kurban dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad...
Dalam riwayat lain : بسم الله والله اكبر هذا عنى و عن من لم يضح من أمتى [15] (Bismillahi wa Allahu Akbar haza 'anni wa 'anman lam yudhah min ummati = Dengan menyebut nama Allah dan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) ini kurban dari ku dan dari umatku yang tidak bisa berkurban)
Dalam riwayat lain, diawali dengan do’a seperti iftitah “ inni wajjahtu ...sampai akhir baru basmallah dan takbir Dari hadis yang telah dikemukakan maka orang yang menyembelih binatang kurban mengucapkan بسم الله والله اكبر ketika akan menyembelih atau mengucapkan seperti yang diucapkan Rasul باسم الله اللهم تقبل من محمد و أل محمد و من أمة محمد dg mengganti nama Muhammad dengan namanya orang yang berkurban.

 Distribusi daging hewan kurban

 1. Orang yang berkurban hanya boleh mendapatkan maksimal 1/3 bagian sementara yang lainnya dibagikan utk orang yang berhak. [16] Ketika banyak orang yang berkurban, maka bagian 1/3 ini dapat dimaknai dengan jumlah untuk konsumsi 10 hari [17]

 2. Orang tidak boleh makan daging kurban lebih dari 3 hari atau hanya utk konsumsi 3 hari. Rasulullah melarang kami memakan daging kurban lebih dari 3 hari [18] Alasan yang diberikan oleh Rasul dapat dilihat dari riwayat lain: Rasululah bersabda Saya melarang lebih dari tiga hari agar ada pemerataan perolehan daging diantara mereka yg lemah atau tidak mampu [19] Dalam riwayat dari ‘Aisyah, Rasul melarang mengambil bagian daging kurban lebih dari kebutuhan 3 hari, ketika yang berkurban sedikit, sementara yang tidak berkurban jumlahnya banyak, lebih baik memberikan kepada orang yang tidak berkurban [20] Dalam beberapa hadis ada penjelasan tentang “memakan daging kurban nya” ditujukan kepada yang berkurban, akan tetapi dalam beberapa riwayat lain tanpa kata “nya”, jika dikaitkan dengan alasan Rasul tidak membolehkan orang memakan daging kurban lebih dari 3 hari, maka bukan hanya terbatas pada orang yang berkurban tapi juga bagi yang akan menerima kurban. Kurban tidak menumpuk pada org tertentu. Sehingga harus ada koordinasi antara panitia kurban ttg penerima daging kurban.

 3. Pengecualian atau rukhshah dari aturan maksimal 3 hari:
 a. Ketika kondisi umat banyak yang kurban Dalam suatu riwayat, Rasul memberikan alasan boleh labih dari kebutuhan 3 hari ketika kondisi umat banyak yang kurban.[21]
 b. Bagi yang akan membutuhkan bekal di Perjalanan: Rasul membolehkan menyimpan daging hewan kurban untuk waktu lebih dari tiga hari untuk bekal di perjalanan jauh[22]

 Penyempurna Kurban
 Bagi yang berkurban, maka penyempurna idul adha baginya adalah dengan cara: mulai tanggal 1 Zulhijjah tidak memotong kuku, kumis, atau rambut, atau bulu ketiak dan alat vital kecuali setelah melakukan kurban. [23] Bagi yang tidak bisa kurban, maka penyempurna idul adha baginya adalah setelah salat ‘Idul Adha diikuti dengan cara:[24]

 1. Memotong Rambut 2. Memotong kuku 3. Merapikan kumis 4. membersihkan bulu ketiak dan bulu alat vital

 Kurban bagi yang sudah meninggal, ‘Ali memberikan kurban 2 ekor domba, ketika ditanya, ‘Ali menjawab saya diberi wasiat oleh Rasul utk melakukan kurban atas namanya. Maka saya berkurban satu untuk Rasul[25]

 Ada perbedaan pendapat tentang ini, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Menurut ibn Mubarak : lebih baik diberikan sedekah atas namanya, bukan kurban. Tetapi jika dengan kurban, maka tidak boleh diambil sedikitpun untuk dimakan, sementara jika kurban untuk diri sendiri dan keluarga dibolehkan memakan sedikit daging kurban.



 =============================== [1] Ahmad bin Hanbal, juz 2 h. 321 dan Ibn Maajah [2] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26 Menurut al-Turmuzi hadis ini Hasan Gharib. [3] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32 Hadis Hasan [4] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 93, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 [5] Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1567, dan al Nasa’I, juz 7, h. 232 [6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz 3, h. 2287, 2289, 2291, Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 1556-1557, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 26-27. Kualitas hadis ini Hasan Sahih, al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 219-221 [7] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31 [8] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 31, Hadis Hasan Sahih [9] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 98, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 30 Menurut al-Turmuzi hadisnya Hasan Sahih. [10]al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 221-222, Malik, al-Muwata’, h. 303 [11] Muslim, Sahih Muslim, juz 2, h. 892 [12] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 369, h. 378, juz 3, h. 2284, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96 [13] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., juz. 1, h. 378. 382, juz 3, h. 2288Muslim, juz 3, h. 1551-1552, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.96, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 32-33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 222-224 [14] Muslim, Sahih Muslim, juz 3, h. 155, Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94 [15] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 99 [16] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h.99 [17] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 [18] Muslim, juz 3, h. 1560-1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 33, dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 232-233, Malik, al-Muwata’, h. 302 [19] Muslim, juz 3, h. 1561, al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h.33 dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 235-236 dan Malik, al-Muwata’, h. 302 [20] al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi., juz. 3, h. 34 dan badingakan dengan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 236 [21] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 100 [22] Muslim, juz 3, h. 1562 [23] H. R. Muslim dan al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 212-213 [24] al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I, juz 7, h. 212-213 [25] Abu Daud, Sunan Abi Daud., juz 3, h. 94

Selasa, 03 April 2012

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Penerimaan Hadis Ahad Oleh Imam Mazhab Fiqh


Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ahad yang berkualitas shahih itu qath’i wurud, dengan alasan bahwa penelitian secara cermat terhadap hadis untuk menentukan keshahihannya menghilangkan kezhanniannya. Nabi pernah mengutus sejumlah muballig ke berbagai pelosok daerah, jumlah mereka tidak mencapai mutawatir. Seandainya suatu berita harus mutawatir, maka masyarakat tidak dibenarkan menerima dakwah dari utusan Rasul. Di samping itu Umar pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika mendengar hadis yang disampaikan oleh al-Dhahhak bin Sufyan secara ahad.
Pada dasarnya keempat imam mazhab menjadikan hadis ahad sebagai sumber dalam penetapan hukum Islam. Namun, mereka mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap hadis ahad. Hal itu terlihat dari persyaratan yang dijadikan sebagai dasar untuk menerima dan memakai hadis ahad dalam memberikan fatwa terhadap permasalahan yang muncul. Masing-masing imam mempunyai kriteria tersendiri untuk memakai hadis ahad sebagai sumber, seperti yang akan dikemukakan berikut ini :

1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dikenal dengan imam ahl al-ra’yi di masanya. Predikat ini menimbulkan persepsi bahwa Abu Hanifah mendahulukan ra’yu dari pada nash. Dengan arti bahwa imam Abu Hanifah dalam mengistimbatkan hukum hanya mengunakan rasio dan mengenyampingkan hadis. Dari ungkapan Abu Hanifah dalam membangun mazhabnya dijelaskan bahwa ia mengambil Kitab Allah dan Sunnah Nabi, serta memilih pendapat sahabat Dari hasil penelusuran terhadap fatwa yang dikemukakan oleh Abu Hanifah dan alasan yang digunakannya, ternyata Abu Hanifah juga menggunakan hadis ahad, meskipun sanadnya dha’if. Karena yang menjadi kriteria penerimaan hadis ahad bukan hanya pada penilaian sanadnya. Penisbahan Abu Hanifah dengan imam ahl al- ra’y mungkin disebabkan karena beliau sangat ketat dalam penerimaan suatu hadis.
Diterimanya hadis ahad oleh Abu Hanifah sebagai sumber hukum Islam apabila memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, yaitu:
a. Kandungan hadis tersebut tidak berentangan dengan amalan rawi/ periwayatnya.
b. Hadis ahad tersebut tidak dalam masalah umum al-balwa (masalah yang banyak terjadi dan ingin diketahui oleh masyarakat pada masa itu)
c. Hadis ahad tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan Periwayat hadis tersebut seorang faqih.
Ad. a. Kandungan hadis tersebut tidak bertentangan demgan amalan periwayatnya.
Suatu hadis diterima sebagai sumber hukum apabila memenuhi salah satu kriteria yang dianggap sangat esensial, yaitu isi hadis yang disampaikan sesuai dengan amalan periwayat hadis tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketika perkataan berbeda dengan perbuatan, maka perbuatanlah yang diperhatikan, sementara pembicaraan diabaikan saja.
Abu Hanifah tidak menerima suatu hadis apabila isi hadis tersebut bertentangan dengan praktek/ amalan periwayat. Sepertinya Abu Hanifah menjadikan kesatuan ucapan dengan perbuatan periwayat sebagai salah satu syarat penerimaan hadis ahad. Sebagai contoh, hal ini terlihat dari tidak diterimanya hadis tentang tata cara membersihkan jilatan anjing yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:
عن ابى هريرة قال قال رسول الله عليه و سلم اذا ولغ الكلب فى اناء احدكم فليغسله سبعا احداهن بالتراب الطاهر
Artinya: Apabila anjing menjilat bejana salah seorangmu, maka bersihkan sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah yang bersih.
Menurut Abu Hanifah, Abu Hurairah dalam prakteknya membersihkan bekas jilatan anjing di bejana, hanya sebanyak tiga kali, bukan tujuh kali. Dengan demikian, hadis yang diriwayatkannya (7 X) bertentangan dengan prakteknya sendiri (3 X). Oleh sebab itu, hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai sumber dalam menetapkan hukum dan tidak diamalkan.

Ad. b. Hadis ahad tersebut tidak dalam masalah umum al-balwa.
Masalah umum al-balwa adalah masalah yang pada dasarnya diketahui oleh orang banyak, karena hal itu umum terjadi dan semua orang ingin mengetahui hukumnya dan caranya. Apabila hadis tentang masalah umum al-balwa tersebut hanya hadis ahad, Abu Hanifah tidak menerimanya, karena secara logis tidak mungkin hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang atau lebih periwayat. Seharusnya hadis mengenai masalah umum al-balwa tersebut diriwayatkan secara mutawatir. Misalnya hadis tentang hal yang membatalkan wudhu’ berikut ini:
عن بسرة بنت صفوان انها سمعت رسول الله يقول: من مس ذكره فليتوضأ.
Artinya: Diriwayatkan dari Busrat bint Shafwan, ia mendengar Rasulullah bersabda: siapa yang menyentuh kemaluannya , maka ia harus berudhu’.
Hadis ini menurut Abu Hanifah harusnya diriwayatkan oleh banyak orang, sementara periwayatan hadis ini secara ahad. Kenyataan seperti ini merupakan cacat terhadap kualitas hadis . Oleh sebab itu, menurut Abu Hanifah hadis ini tidak dapat diamalkan atau dijadikan dasar dalam beramal.

A.d. c. Hadis ahad tsb tidak bertentangan dengan qiyas dan perawinya harus faqih.
Abu Hanifah menjadikan qiyas sebagai tolok ukur kebenaran atau diterima dan tidaknya suatu hadis ahad. Abu Hanifah menerima hadis ahad yang sejalan dengan qiyas, dan menolak hadis tersebut jika tidak sejalan dengan qiyas. Misalnya hadis berikut ini:
قال رسول الله ص. م. لا تصروا الابل ولا الغنم فمن ابتاعها بعد فهو يخير النظرين بعد ان يحلبها ان شاء امسك و ان شاء ردها وصاعا من تمر
Artinya: Rasulullah saw. bersabda janganlah kamu menahan pemerahan air susu unta dan kambing, siapa yang menjualnya dalam keadaan seperti itu dan pembeli telah memerah air susunya, maka dia boleh pilih antara dua kemungkinan, yaitu mempertahankannya atau mengembalikannya dengan menyerahkan satu sha’ kurma.
Menurut Abu Hanifah, menyerahkan kurma sebagai pengganti air susu tidak sejalan dengan qiyas terhadap penggantian barang yang hilang, yaitu barang yang sama atau dengan harganya.
Di samping itu, periwayat hadis ahad tersebut harus faqih. Tidak faqihnya periwayat dapat membawa kepada tidak diterimanya hadis ahad yang diriwayatkannya. Nampaknya, Abu Hanifah memberikan persyaratan bahwa orang harus mengerti apa yang disampaikannya, bukan hanya berfungsi sebagai penyampai hadis saja. Hadis-hadis yang berhubungan dengan masalah fiqh tentu hanya akan dapat dipahami oleh orang yang faqih. Term- term hadis hukum hanya dapat dimengerti oleh orang yang mempunyai kapasitas intelektual tentang itu.
Apabila ketiga persyaratan di atas terpenuhi, maka Abu Hanifah menerima hadis ahad, meskipun pada kenyataannya ditemukan sanad yang kualitasnya dha’if. Abu Hanifah tidak melihat sanad dari kapasitas intelektual atau kualitas pribadinya, tetapi dari kepakarannya dalam bidang fiqh. Dalam penggunaannya, Abu Hanifah mendahulukan hadis ahad tersebut dari pada qiyas. Jika persyaratannya tidak terpenuhi, Abu Hanifah menggunakan qiyas dan meninggalkan hadis tersebut.
Pada dasarnya, Abu Hanifah tetap mendahulukan hadis yang shahih menurut kriterianya dari pada qiyas. Yang membedakannya dengan imam lainnya adalah dalam penentuan kriteria hadis yang diterima. Untuk mengetahui hadis-hadis yang diriwayatkannya dapat dilihat dalam musnad yang berjudul “Musnad Abu Hanifah”


2. Imam Malik bin Anas
Berbeda dengan Abu Hanifah, yang dikenal dengan imam ahl ar- ra’yi di masanya, maka imam Malik bin Anas merupakan imam ahl al-hadis dimasanya. Dengan predikat ini menimbulkan persepsi bahwa imam Malik memakai semua hadis yang sampai kepadanya, dan meninggalkan ra’yu. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa beliau juga merupakan salah seorang rijal hadis. Berdasarkan penelusuran terhadap tulisan murid-muridnya tentang imam Malik dan terhadap kitabnya, serta karya kontemporer tentang beliau, ternyata ditemukan imam Malik bukan hanya menggunakan hadis saja dalam memberikan fatwa, akan tetapi beliau juga menggunakan ra’yu.
Sebagai periwayat hadis, imam Malik mempunyai kriteria khusus dalam menerima hadis. Dari sepuluh ribu hadis yang dikumpulkannya hanya lima ratus hadis yang lulus seleksi. Untuk kepentingan seleksi tersebut, imam Malik memberikan persyaratan untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum. Ada beberapa persyaratan yang dijadikan sebagai patokan dalam menerima hadis ahad, yaitu:
a. Hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqah.
b. Kandungan/ isi hadis ahad tersebut tidak bertentangan dengan amalan penduduk Medinah.
c. Hadis tersebut mengandung mashlahat.

Ad.a. Hadis tersebut diriwayatkan orang yang tsiqah.
Tidak seperti Abu Hanifah, yang mengabaikan atau tidak terlalu memberikan penekanan kepada tsiqah atau tidaknya periwayat, imam Malik sangat memperhatikan kualitas pribadi sanad. Malik melihat bahwa periwayat yang membawa dan menyampaikan hadis mempunyai fungsi yang sangat penting dalam transimisi hadis. Oleh sebab itu kualitas pribadi dan kapasitas intelektual sanad sangat menentukan kualitas hadis. Oleh sebab itu, imam Malik menjadikannya sebagai persyaratan peneriman hadis ahad.
Sepertinya imam Malik tidak memberikan kriteria khusus tentang ketsiqahan seorang periwayat, namun dalam ulum al-hadis tsiqahnya seorang periwayat apabila ia mempunyai kualitas pribadi yang baik dan kapasitas intelektual yang tinggi. Ketsiqahan periwayat berkaitan erat dengan pentransimisian hadis, dan menjaga keorisinalan suatu hadis. Dengan kualitas pribadi yang baik, tidak mungkin seseorang menyelewengkan (menambah, mengurangi, dan mengganti} hadis yang sampai kepadanya. Begitu juga dengan kapasitas intelektual yang tinggi, dapat menghindarkan kelupaan, pencampuradukan, bolak balik dan sebagainya dalam matan hadis. Apalagi hadis hukum, hanya dengan perubahan kecil saja dalam lafal akan mempengaruhi makna dan kandungan hadis tersebut.

Ad.b.Kandungan hadis dimaksud tidak bertentangan dengan praktek atau amalan penduduk Medinah.
Bagi imam Malik, amalan penduduk Medinah menduduki posisi hadis mutawatir, yaitu amalan yang naqli bukan ijtihadi. Imam Malik beralasan bahwa amalan penduduk Medinah itu pasti bersumber dari Rasul. Posisinya menyamai riwayat fi’liyah yang dilakukan oleh orang banyak. Dengan demikian, posisinya menempati riwayat jama’ah dari jama’ah. Oleh sebab itu, imam Malik menjadikan amalan penduduk Medinah itu sebagai barometer untuk menerima suatu hadis ahad. Hadis ahad diterima apabila kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan amalan penduduk Medinah, misalnya, ia menolak hadis tentang kebolehan khiyar majlis berikut ini :
عنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَقُولُ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ اخْتَرْ وَرُبَّمَا قَالَ أَوْ يَكُونُ بَيْعَ خِيَارٍ

Artinya: Dari Ibn ‘Umar Rasul bersabda: dua orang yang bertransaksi boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah atau salah satu darikeduanya menyatakan pilihlah .
Hadis diatas ditolak oleh imam Malik dengan alasan bahwa khiyar majelis dikalangan penduduk Medinah tidak dikenal (ليس عندنا حد معروف\ و لا امر معمول به فيه ). Hal ini dapat dimengerti, karena posisi amalan penduduk Medinah tersebut dapat menduduki posisi mutawatir. Apabila suatu hadis yang termasuk kategori hadis ahad bertentangan dengan hadis mutawatir maka hadis ahad tidak dapat diamalkan.

Ad. c. Kandungan hadis tersebut mengandung mashlahat
Imam Malik menjadikan mashlahat sebagai salah satu faktor penentu untuk menerima hadis ahad. Ada hadis yang ditolak oleh Imam Malik karena isi hadis tersebut tidak mengandung mashlahat. Misalnya hadis tentang tata cara memasak daging berikut:
ان النبي اكفأ القدور و أخذ يمرغ فى التراب
Dalam hadis di atas, dinyatakan bahwa rasul meletakkan daging yang akan dimasak di atas tanah. Perbuatan itu terlihat tidak mengandung maslahat, bahkan hanya akan mengotori daging saja. Karena itu, Imam Malik tidak mengamalkan hadis di atas.
Apabila ketiga persyaratan di atas telah terpenuhi, maka hadis ahad dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum suatu masalah. Berbeda dengan Abu Hanifah, Malik mengamalkan hadis meskipun kandungan hadis tersebut berbeda dengan perbuatan periwayatnya.
Abd al- Maujud dalam kitabnya menambahkan dari keterangan Abu Zahrah dan Sya’ban Muhammad Isma’il di atas, ada dua kategori lagi yang dijadikan oleh imam Malik untuk menerima hadis ahad, yaitu syadd al-Zara’i’ dan tidak bertentangan dengan kandungan umum al-Qur’an.
Ad.d. Syad al-zara’i’
Imam Malik menjadikan syadd al-zara’i’ sebagai syarat untuk menerima suatu hadis. Misalnya hadis tentang puasa Syawal berikut ini:
ِعَنْ أَبِي أَيُّوبَ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْر
Artinya: Dari Abu Ayyub sahabat Rasul, dari Nabi Saw, siapa yang telah mempuasakan Ramadan kemudian mengikutinya dengan enam hari puasa Syawal maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa.
Menurut Imam Malik, menerima hadis ini untuk diamalkan dapat membawa kepada hal yang tidak benar, seperti meyakini sesuatu yang hukumnya sunat sebagai sesuatu yang wajib hukumnya.
Menurut Malik, pelaksanaan puasa Syawal tidak harus dimulai dari hari kedua bulan itu, seperti yang dipahami dari hadis di atas, tetapi disunnatkan puasa tersebut dilaksanakan pada bulan Syawal saja. Mungkin di tengah atau di akhir bulan. Pelaksanaan di hari kedua itu, menurut Malik terkesan menambahi jumlah puasa Ramadhan. Di sini terlihat Malik lebih menekankan pada Sadd al-Zdarai’. Dengan demikian, larangan puasa Syawal pada hari kedua Syawal karena dikhawatirkan sebagai penambahan terhadap kewajiban puasa Ramadhan.

Ad. e. Tidak bertentangan dengan kandungan umum al-Qur’an.
Bagi imam Malik, hadis ahad dapat diterima apabila ketentuan yang terkandung dalam hadis tersebut sama dengan kandungan umum al-Qur'an. Apabila kandungan hadis ahad berisi ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan yang sudah jelas dalam al-Qur’an, hadis ahad tidak dapat diterima. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah tentang tata cara membersihkan jilatan anjing berikut:
عن ابى هريرة قال قال رسول الله عليه و سلم اذا ولغ الكلب فى اناء احدكم فليغسله سبعا احداهن بالتراب الطاهر
Imam Malik tidak mengamalkan hadis riwayat Abu Hurairah tentang tata cara penyucian bekas jilatan anjing di atas, sama halnya dengan Abu Hanifah. Hanya saja alasan yang dikemukakan oleh kedua imam mazhab tersebut berbeda. Jika Abu Hanifah menolaknya, dengan alasan karena kandungan hadis berbeda dengan perbuatan periwayatnya, sementara imam Malik menolaknya, dengan alasan bertentangan dengan kandungan umum al-Qur’an. Menurut ‎Malik, hadis ini bertentangan dengan kandungan al-Qur’an surat 5:4 :
...قل احل لكم الطيبات وما علمتم من الجوارح مكلبين تعلمونهن مما علمكم الله فكلوا مما امسكن عليكم واذكروا اسم عليه ...
Artinya: ... Dihalalkan untukmu semua yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...
Dari ayat di atas terlihat bahwa bekas jilatan atau gigitan anjing itu suci karena secara eksplisit ada kebolehan untuk memakan hasil tangkapan anjing pemburu.

3. Imam Syafi’i
Dalam masalah hadis, imam Syafi’i juga sama seperti halnya imam Abu Hanifah, beliau juga dikenal dengan nashir al-sunnah tsani. Apabila Abu Hanifah menyelamatkan sunnah dari kaum mu’tazilah yang dikenal dengan nashir al-Sunnah awwal, imam Syafi’i mempertahankan eksistensi sunnah dari kelompok yang mencoba mengingkari keberadaan hadis {munkir al-Sunnah}
Pada masa imam Syafi’i, muncul beberapa kelompok pengingkar sunnah, ada kelompok yang hanya mengakui eksistensi al-Qur’an dan menolak keseluruhan hadis. Ada pula yang hanya mengakui hadis mutawatir saja, dan tidak mengakui kehujjahan hadis ahad dan kelompok yang menolak hadis yang tidak jelas landasannya dalam al-Qur’an. Menghadapi ketiga kelompok ini, imam Syafi’i memberikan penjelasan bahwa hadis Rasul tidak dapat ditinggalkan, karena banyak masalah ibadah yang tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan sunnah. Meskipun ada kegiatan pemalsuan hadis, bukan berarti semua hadis tidak dapat digunakan, karena tidak semua hadis itu palsu.
Imam Syafi’i menerima hadis ahad sebagai dalil dalam mengistinbatkan hukum. Ada beberapa persyaratan untuk menerima hadis ahad, yaitu :
a. Periwayatnya tsiqah dalam agamanya, diketahui benar dalam hadisnya, dan semua periwayatnya tsiqah dari awal hingga akhir.
b. Periwayat sudah balig ketika ia menyampaikan hadis, dan mengerti makna hadis jika ia meriwayatkan secara makna, kalau ia tidak memahaminya, ia harus meriwayatkan secara lafal yang berasal dari Nabi.
c. Periwayatnya hafal hadis yang berdasarkan kepada hafalan dan menjaga kitabnya jika ia meriwayatkannya secara kitabah.
d. Periwayatannya tidak berbeda dengan riwayat orang tsiqat.
e. Periwayatnya tidak mudallis, seperti ia meriwayatkan sesuatu yang tidak didengarnya dari orang yang ditemuinya. Riwayatnya diterima apabila ia menggunakan haddatsani atau sami’tu.
Tampaknya imam Syafi’i menggunakan kritik sanad (ekstern) dan kritik matan (intern) untuk menilai suatu hadis. Kritik sanad terlihat dari kriteria yang terdapat pada huruf a,b,c, dan e dan kritik matan terlihat dari kriteria yang terdapat pada huruf d.
Dengan terpenuhinya persyaratan di atas, yaitu syarat yang berkaitan dengan sanad dan matan hadis, tidak ada alasan untuk tidak mengamalkan hadis ahad. Nampaknya , persyaratan hadis ahad yang diterima adalah hadis yang shahih, karenanya, Syafi’i tidak menerima hadis mursal, kecuali mursal Sa’id bin Musayyab. Berbeda dengan kedua tokoh di atas, Syafi’i menerima hadis ahad yang berbeda dengan amalan periwayatnya, atau hadis yang berkenaan dengan masalah umum al-balwa ataupun berbeda dengan qiyas yang ditolak oleh Abu Hanifah. Dia juga menerima hadis yang tidak sejalan dengan amalan penduduk Medinah, yang ditolak oleh Malik.

4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan salah seorang mukharrij hadis. Ada kitab hadisnya yang berjudul Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal yang berjumlah enam jilid. Sebagai periwayat hadis, Ahmad bin Hanbal mempunyai prinsip bahwa apa yang berasal dari Rasul lebih baik dari pada hasil pemikiran belaka.
Dalam perjalanan hidupnya, Ahmad bin Hanbal berkelana ke berbagai tempat untuk mencari hadis dari guru-guru hadis. Hadis yang didapatkannya tidak saja dihafalnya tetapi juga ditulisnya. Tidak seperti tiga orang imam mazhab sebelumnya yang menggunakan banyak persyaratan untuk menerima hadis ahad, Ahmad bin Hanbal dapat menerima hadis ahad asalkan tidak matruk.
Menurut Ahmad bin Hanbal hadis ahad yang dha’if dapat dijadikan sebagai dasar dalam beramal. Meskipun demikian, Ahmad memposisikannya setelah fatwa sahabat. Periwayat yang dhaif tetap diterima riwayatnya, selama periwayat tersebut tidak diketahui berdusta. Konsekwensinya, hadis yang diriwayatkan oleh orang yang kurang dhabit dapat diterima, begitu juga dengan periwayatan orang yang salah dalam periwatan dan dalam pentransimisian hadis. Perlu digarisbawahi bahwa Ahmad bin Hanbal menjadikan hadis dha’if bagian dari hadis shahih, menurutnya hadis hasan (menurut penilaian orang lain) sama dengan hadis dha’if. Menurutnya, hadis dha’if lebih baik dari ra’yu. Maksud hadis dha’if bukanlah hadis matruk tetapi hadis yang setingkat di atasnya.
Perjalanannya mencari hadis ke berbagai tempat diberbagai wilayah, menunjukan bahwa Ahmad bin Hanbal sangat konsern dengan hadis. Di samping melakukan penelusuran ke berbagai tempatnya, Ahmad menghafal dan menuliskannya.
Berbeda dengan imam mazhab yang lain, Ahmad bin Hanbal tidak terlalu memberikan persyaratan yang ketat terhadap sanad hadis. Namun bukan berarti imam Ahmad tidak hati-hati dalam menerima hadis. Kehati-hatiannya ditunjukkan dengan pengelanaannya mencari hadis dari sumbernya.


D. Penutup
Hadis ahad sebagai hadis yang zhanni al-wurud memang sangat rentan terhadap pencemaran dari pihak-pihak yang menggunakan peluang itu untuk mencemari dan mengacaukan ajaran Islam. Oleh sebab itu, meskipun ada kegiatan pemalsuan hadis, namun bukan berarti semua hadis ahad tidak dapat diamalkan. Untuk menjaga keorisinilan hadis ahad dari para pemalsu hadis, ulama hadis dan ulama fiqh telah membuat kriteria yang dapat dijadikan ukuran keorisinilan hadis ahad tersebut.
Pada dasarnya para imam mazhab al-arba’ah memakai hadis ahad sebagai sumber hukum. Bahkan imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai imam ahl al-ra’yi di masanya juga menggunakan hadis ahad sebagai sumber untuk mengistinbatkan hukum. Hanya antara satu dengan lain imam mempunyai kriteria yang berbeda dalam menerima hadis ahad.
Kenyataan ini dapat dijadikan alasan untuk menolak asumsi kelompok yang tidak memperlakukan hadis ahad sebagai sumber hukum. Dengan demikian tidak ada alasan untuk meninggalkan hadis ahad yang shahih sebagai sumber hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Salam, Ahmad Nahrawi, Al-Imam Syafi’i fi Madzabih al-Qadim wa al-Jadid, cet. 1, 1408/1988
Abd al-Lathif, Abd al-Maujud Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Du’at al-Fitrat wa Ad’iya’ al-’Ilm, cet. 1, Kairo, Dar al-Thiba’at al- Muhammadiyat, 1410/1990.
Abu ‘Amr ‘Utsman bin Abd al-Rahman Ibn Shalah (ibn Shalah), ’Ulum al-Hadis, Madinah, Maktabat al- Alimiyyat, 1972.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Syafi’i Hayatuh wa Ashruh Ara’uh wa fiqhuh, Dar al- Fikr, tt.
-----------------, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-’Arabi, T.Tp., tt.
Al-Adlabi, Shalah al-Din bin Ahmad, Manhaj Naqd al-Matn, Beirut, Dar al-Afaqal- Jadidat, 1403/1983.
Ahmad bin Hanbal, Musnad al- Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut, Dar al-Fikr, tt.
Al-Bahsanawi, Salim ‘Ali, al-Sunnah al-Muftara ‘Alaih, Dar al-Buhuts al ‘Ilmiyyat,1979.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, Indonesia, Maktabat Dahlan, tt.
Al-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, Sunan al-Darimi, Indonesia, Dahlan, tt.
Al-Fasi, Muhammad bin Husain al-Tsa’labi al-Fasi, Al-Fikr al-Sami fi Tarikh al- Islami, juz.I, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, tt.
Ibn Hajar Al-Asqalani , Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr, cet. ke 2, Kairo, Maktabat al-Istiqamah, 1368
-----------------------, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bariy, Juz. XIV, Dar al-Fikr, tt.
Ibn Majah, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, Indonesia, Dahlan, tt.
Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, jilid XVIII,Mathabi’ Dar ‘Arabiyyah, 1398.
Imam Malik, Al-Muwaththa’, juz 2, Kamal al-Salah, T.Tp., tt.
Isma’il, Sya’ban Muhammad, Al-Tasyri’ al-Islamiy Mashadiruh wa Athwaruh, Cet. ke 2, Mesir, Maktabat al- Wahdhat al-Mishriyyat, 1985/ 1405.
Isma’il, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1988
Al-Jundi, Abd al-Karim, Al-Imam al-Syafi’i , Kairo, Dar al-Kitab al-’Arabi, 1967.

Al-Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm Ushulal-Fiqh, Jakarta, al-Majlis al-A’la al- Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyyah, 1392/1972.
Al-Lathif, Muhammad Mahrus Abd, Masyaikh Balkh min al-Hanafiyah, al-Jumhur al-’Iraqiyat wazarat al-Auqaf, tt.
Muslim, Abu al-Husain , Shahih Muslim, Indonesia, Maktabat Dahlan, tt.
Al-Nasa’i, Abu ‘Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib, Sunan al-Turmuzi, Indonesia, Dahlan, tt.
Al-Nawawi, Muhy al-Din Abu Zakaria Yahya, Shahih Muslim bi Syarh a-Nawawi, Juz I, Mesir, Maktabat al-Mishriyyah, 1924.
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’id al-Tahdis min Funun Mushthalah al- Hadis, ‘Isa al-Halabi, T.Tp., tt.
Al-Qaththan, Manna’, al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, Tarikh wa Manhaj, Dar al- Ma’arif, 1409/ 1989.
Shalih, Muhammad Adib, Lamahat fi Ushul al-Hadis, Beirut, al-Maktabat al-Islami, 1399 H
Al-Shalih, Shubhi , ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, cet. ke.9, Beirut, Dar al-’Ilm al-Malayin, 1977.
Al-Siba’i, Mushthafa , Al-Sunnat wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Kairo, Dar al- Qaumiyyat, 1949
Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-’Asy’as, Sunan Abi Daud, Indonesia, Maktabat Dahlan, tt.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din bin ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr, al-La’ali al-Mashnu’at fi al-Ahadits al-Maudhu’at, juz II, Mesir, al-Maktabat al-Husainiah, 1960
------------------------,Tadrib al-Rawi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut, Dar Ihya’ al- Sunnat al-Nabawiyyah , 1979.
Al-Syafi’i, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Risalat, tahqiq Muhammad Sayyid Kailani, Mesir, Mushthafa Babi al-Halabi wa Auladuh, 1388/1969
------------------------, al- Umm, juz. VII, Dar al-Sya’b, tt.
Syakir, Ahmad Muhammad, Syarh Alfiah al-Suyuthi fi ‘Ilm al-Hadis, Beirut, Dar al- Ma’rifat, tt
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Sunan al-Turmuzi, Indonesia, Maktabat Dahlan, tt.
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh , Beirut, Muassasah Risalah 1976/1396.
77