Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Jumat, 18 Maret 2011

HADIAH KEPADA PEJABAT YG SEDANG BERTUGAS

Kedudukan seorang petugas atau pejabat dan kekuasaan yang dimilikinya mempunyai ekses terhadap terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh sebab itu, sebelum bertugas seorang pejabat atau petugas diwajibkan mengucapkan sumpah dan janji yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Isi dari sumpah jabatan tersebut adanya sumpah untuk tidak menerima suatu pemberian yang diduga atau dapat diduga ada kaitannya dengan pelaksanaan tugasnya.
Bahkan akhir-akhir ini dengan maraknya korupsi di kalangan pejabat maka ada kebijakan dari berbagai instansi pemerintah bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas untuk menjamin bahwa di samping sumpah, seorang pejabat
Di samping itu, untuk memberikan batasan terhadap pemberian atau hadiah yang mempunyai konotasi pada korupsi atau suap, maka ada aturan yang dikeluarkan oleh kejaksaan yang memberikan batas maksimal hadiah/parcel atau pemberian yang dapat diterima oleh seseorangg pejabat.

A. Hadiah kepada petugas yang sedang bertugas

Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah atau cendera mata yang diberikan kepada orang yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Misalnya seorang pejabat atau petugas yang dikirim oleh suatu instansi untuk melakukan tugas pemeriksaaan, misalnya. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan semua, mulai dari transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas.
Di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Untuk pejabat, amil atau petugas yang telah diberi imbalan, gaji, atau insentif untuk pelaksanaan tugasnya, bolehkah menerima hadiah? Begitu juga dengan hakim, Untuk menjawabnya, dapat dilihat hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Artinya: Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda: siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” atau korup.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang ditunjuk untuk melakukan sesuatu, dan ia telah diberi gaji dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Dari kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya.
Untuk memberikan pemahaman tentang hal tersebut, dalam riwayat lain, dijelaskan tentang seorang ‘amil zakat yang diberi tugas oleh Rasul Saw. untuk mengumpulkan zakat pada suatu daerah. Setelah kembali dari tugasnya, ia menyerahkan harta zakat yang sudah terkumpul kepada Rasulullah Saw. Ia menjelaskan bahwa ada bagian hadiah yang diberikan masyarakat kepadanya. Setelah mendengarkan laporan kejadian tersebut, Rasulullah Saw. tidak memperkenankannya menerima hadiah dari pelaksanaan tugas tersebut. Rasul Saw. memberikan respons dengan mengajukan pertanyaan apakah kalau ia duduk saja di rumah orang tuanya, ia akan mendapatkan hadiah? Selanjutnya Rasul Saw. dengan tegas menyatakan ancaman terhadap orang tersebut bahwa nanti di hari kiamat ia akan menggendong di pundaknya semua yang ia terima. Jika hadiah itu kambing, maka ia akan mengembik, jika hadiahnya sapi, maka ia akan melenguh.
Menurut al-Nawawi pernyataan Rasul Saw. itu menunjukkan bahwa haram hukumnya mengambil hadiah dan berkhianat (ghulul) dalam pelaksanaan tugas. Keharaman itu disebabkan ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas, karena terdapat penyelewengan terhadap kekuasaan dan kepercayaan yang telah diberikan.
Pelaksanaan tugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah sangat berat, terutama dalam mengatasi dan menghindarkan diri dari melakukan penyelewengan atau korup terhadap dana yang dikelolanya. Karena pada masalah yang seperti ini, peluang untuk melakukan penyelewengan itu terbuka lebar, ditambah dengan rayuan syetan yang menginginkan orang tidak berjalan di rel yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu seseorang yang bertugas sebagai ‘amil zakat atau sedekah dituntut untuk dapat mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap Hadis dapat dibuktikan dengan pernyataan Rasulullah Saw. dalam sabda berikut ini:

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ

Artinya: Rafi’ bin Khudaij mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang mengelola harta zakat dengan benar sama seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia kembali ke rumahnya’.”
Menurut riwayat di atas, ‘amil zakat/ sedekah secara eksplisit disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Ini secara inplisit terdapat tuntutan agar ‘amil atau pengelola zakat melakukan tugasnya dengan benar. Pelaksanaan tugas dengan benar menyangkut semua tugas yang berkaitan dengan kontribusi, distribusi dan penentuan mustahiq. Dalam riwayat di atas, seorang ‘amil zakat dituntut untuk melakukan tugasnya dengan benar dan tidak menyeleweng. amil harus dapat menyalurkan harta zakat yang sudah dikumpulkan itu kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ‘amil yang menjalankan tugasnya dengan benar atau tidak korup, sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Agaknya penyamaan tersebut disebabkan oleh godaan berat yang harus dihadapi dalam menunaikan tugas sebagai ‘amil.
Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
Berdasarkan ketentuan ini, bagi pejabat, petugas atau pun yang diberikan wewenang untuk melakukan sesuatu, jangankan untuk korup dan menyelewengkan dana umat, menerima hadiah yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas saja dilarang. Secara konstitusi atau aturan, sebenarnya telah terlihat dalam sumpah pejabat ketika dilantik dan diamanatkan untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya. Dalam sumpah tersebut, ada keharusan bagi pejabat dimaksud untuk tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun yang ada indikasi berkaitan dengan tugas yang dilakukan.
Hadiah dengan demikian harus dilihat konteksnya, dan dilihat indikasinya, apakah ada kaitannya dengan sogokan, termasuk korup atau murni hadiah. Jika hadiah dari rakyat kepada pimpinan/pejabat atau dari anak buah kepada atasannya, harus ada balasan minimal yang setimpal. Sedangkan jika sebaliknya, pejabat atau atasan memberikan kepada bawahannya, maka tidak ada keharusan bagi bawahan untuk membalasnya. Alangkah indahnya aturan yang diberikan oleh Islam.
Hadiah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas tersebut mungkin akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.

BELAJAR MENURUT RASULULLAH SAW

Bagi peserta didik, belajar mencari ilmu bukan hanya kebutuhan tetapi kewajiban. Rasul dalam satu riwayat secara eksplisit menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi semua muslim. 1) Pendidikan bukan untuk mendapatkan gelar, tetapi untuk mendapatkan pengetahuan, gelar akan melekat baginya.

Dalam menuntut ilmu/belajar, ada beberapa tips yang diberikan oleh Rasulullah agar peserta didik mendapatkan ilmu dan berhasil dalam pendidikannya.

a.Belajar agar berilmu


Dalam pembelajaran, peserta didik diberikan pemahaman dan ditumbuhkan kesadaran bahwa belajar merupakan sarana untuk memperoleh ilmu, dengan ungkapan Rasul: ilmu itu hanya didapati dengan cara belajar.2) Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan, dan dengan berbagai cara Rasul Saw. memberikan motivasi kepada orang yang belajar agar punya indeks kinerja yang tinggi.
Allah menjanjikan untuk meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu (Q.S.al- Mujadilah/ 58: 11) Allah menegaskan bahwa orang yang berilmu mempunyai tingkat ketaqwaan yang lebih tinggi (Q.S.Fathir/ 35:28). Rasulullah pun dalam beberapa hadisnya memberikan motivasi kepada peserta didik agar memiliki ilmu yang bermanfaat

1)Menuntut ilmu untuk kepentingan pengembangan Ajaran Islam

Ada beberapa cara yang digunakan Rasul dalam menumbuhkan semangat menuntut ilmu dengan motivasi. Ada dua metode yang dipakai Rasul untuk ini, pertama dengan metode targhib (hadiah dari Allah), kedua, dengan metode tarhib (ancaman)
a.Rasul memberikan jaminan berdekatan dengannya di surga
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَاءَهُ الْمَوْتُ وَهُوَ يَطْلُبُ الْعِلْمَ لِيُحْيِيَ بِهِ الْإِسْلَامَ فَبَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّبِيِّينَ دَرَجَةٌ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ

Diterima dari Hasan, Rasulullah bersabda: Siapa yang meninggal dan ia sedang mencari ilmu untuk mengembangkan ajaran Islam, maka antara dia dan Rasulullah satu tingkatan saja di surga.

Dari hadis di atas, terlihat bahwa jaminan yang diberikan Rasul telah mendorong para sahabat dalam proses pembelajaran dengan menggunakan semua potensi yang dimilikinya secara sungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat untuk pengembangan Islam. Ada 2 aspek yang menjadi stressing dalam sabda Rasul di atas; pertama: belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan untuk mencari nilai/IP tinggi atau gelar dan prestise. Tidak salah jika seseorang menginginkan IP/nilai tinggi, dan mendapatkan gelar, jika bukan diposisikan sebagai tujuan. Kedua: ilmu yang diperoleh diaplikasikan untuk hal yang bermanfaat, bukan mencari ilmu yang kemudian digunakan untuk merusak.

b.Rasul memberikan ancaman kepada orang yang salah motivasi atau salah tujuan dalam mencari ilmu, tidak akan mencium bau surga. Dalam hadis berikut Rasul menjelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ سُرَيْجٌ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رِيحَهَا

Abu Hurairah menyatakan, Rasul telah bersabda: Siapa saja yang menuntut ilmu bukan karena Allah akan tetapi untuk mendapatkan keuntungan dunia (gelar, prestise, pen), maka nanti ia tidak akan mendapatkan bau surga.
Bahkan dalam riwayat lain secara tegas dinyatakan bahwa yang menuntut ilmu bukan karena Allah atau bermaksud untuk selain Allah, ia akan masuk neraka.

Tujuan Mencari ilmu yang dilarang Rasul

Dalam kedua hadis di atas, tidak jelas indikasi mencari ilmu bukan karena atau untuk Allah, namun dijelaskan Rasul dalam hadis berikut:
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Alasan dan tujuan menuntut ilmu yang keliru yang diancam dengan neraka, dan harus dijauhi adalah:

1.Belajar dengan tujuan dapat mendebat/menjatuhkan ulama.
2.Belajar dengan tujuan agar dapat mengakali orang bodoh
3.Belajar dengan tujuan agar menjadi pusat perhatian orang/mengharapkan pujian atau sanjungan atau prestise.

Sangat tegas ancaman yang diberikan Rasulullah yaitu masuk neraka. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk di atas bukannya memberikan manfaat bagi orang lain, atau pengembangan Islam, malah akan menimbulkan kerusakan dimana-mana. Dengan ilmunya ia akan menimbulkan keresahan di masyarakat.

2)Belajar sungguh-sungguh

Banyak sekali hadis Rasul yang memberikan semangat agar peserta didik sungguh-sungguh dalam belajar, dan menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Rasulullah Saw. Dalam beberapa hadisnya menjelaskan:

a.Pendidik dan Peserta didik Disamakan dengan Mujahid di jalan Allah

Allah dan Rasul-Nya menempatkan pendidikan pada posisi jihad “perang”. (Q.S. al-Taubat/9: 122) Dalam ayat ini, Allah telah memperingatkan umat Islam agar tidak semua orang mengikuti perang ke medan juang, tetapi harus ada sebagian orang yang mendalami ilmu, sehingga nanti dapat diajarkan kepada mereka yang ikut perang setelah mereka kembali.
Padahal jika dilihat realitas pada saat itu, Rasul Saw. sangat membutuhkan tenaga untuk dapat membantu perjuangan umat Islam. Menurut al-Razi (w. 604 H.) , kemungkinan tentang ayat ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwa kewajiban tinggalnya sebagian umat Islam untuk mendalami ilmu, karena mungkin saja pada waktu Rasul Saw. menerima wahyu dan menyampaikannya kepada sahabat. Untuk itu, harus ada sahabat yang dapat menerima dari Rasul Saw. dan kemudian menyampaikannya kepada orang yang berangkat jihad.

Ungkapan eksplisit dari Rasulullah Saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

Artinya: Abu Hurairah berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘orang yang datang ke mesjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang sedang wisata melihat kesenangan lainnya.”

Dalam riwayat di atas, Rasul Saw. mengemukakan bahwa orang yang datang ke mesjid Nabi Saw. untuk mempelajari atau menuntut ilmu diposisikan pada posisi orang yang berjihad di jalan Allah. Ada sebuah riwayat lain yang menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu berada di jalan Allah hingga ia kembali. Dapat dikatakan bahwa Rasul Saw. memberikan motivasi kepada setiap muslim untuk selalu mencari ilmu dengan berbagai cara.

Penyamaan antara belajar dan mengajar dengan jihad agaknya dilihat dari 3 aspek: pertama cara, kedua, tujuan keduanya, dan ketiga: dampak yang ditimbulkan, Apabila jihad ‘perang’ dilakukan dengan menggunakan kekuatan tenaga, berkorban harta dan mungkin juga siap untuk kehilangan nyawa, sebagai wujud dari kesungguhan, maka dalam pembelajaran pun diperlukan kesungguhan yang sama. Apalagi jika diperhatikan dalam hadis tersebut kata yang digunakan untuk belajar kata thalab (mencari) dan ibtigha’(mencari) yang menunjukkan keaktifan, dengan tenaga dan mungkin dana dan ketekunan. Apabila main-main, seadanya dan pasif, hanya melewati hari-hari di sekolah/kampus atau di rumah formalitas saja, tentu apa ilmu yang diharapkan tidak akan di dapat.

Dari aspek tujuan, jika jihad perang untuk membalas perlakuan non-muslim yang berupaya menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan leluasa tanpa tekanan; dan ancaman fisik, maka menuntut ilmu bertujuan untuk mengupayakan agar muslim dapat menjalankan ajaran Islam sesuai dengan aturan dan tuntunan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keduanya sama-sama mempunyai tujuan agar ajaran Islam dapat dilaksanakan oleh setiap muslim sesuai aturan.

Dilihat dari dampak yang ditimbulkan, apabila tidak melakukan jihad perang maka musuh Islam akan leluasa mengganggu, menteror dan menyakiti umat Islam Sedangkan tanpa ilmu, manusia tidak dapat hidup dengan benar, bahkan dapat sesat dan mungkin akan menyesatkan orang lain.

Dari Hadis yang ditelusuri ditemukan bahwa Rasul Saw. sangat menekankan agar selalu ada orang berilmu agar terhindar dari kesengsaraan di dunia dan akhirat . Di anataranya dalam sabda berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْم بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ،, Rasulullah Saw. bersabda: Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, tetapi Ia mengambil ilmu dengan cara mengambil ulama. Jika orang berilmu tidak satu pun yang tinggal, orang-orang akan mengangkat orang yang tidak berilmu sebagai pemimpin. Maka jika ia ditanya, ia akan berfatwa tanpa didasari oleh ilmu. Akibatnya mereka akan sesat dan menyesatkan orang lain dengan fatwanya itu.

Riwayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa tanpa ilmu manusia akan keluar dari koridor yang sudah ditentukan. Bahkan jika orang yang tidak berilmu itu dijadikan sebagai nara sumber dalam permasalahan yang dihadapi oleh umat, maka ia akan memberikan penjelasan dan atau jawaban atau solusi dari permasalahan yang ada sesuai dengan ketidak-mengertiannya. Ia akan sesat dan menyesatkan orang lain. Kalau ia seorang hakim maka ia akan memutuskan perkara yang dihadapkan kepadanya dengan dasar ketidak-mengertiannya, yang diancam oleh Rasul Saw. dengan ancaman neraka.

Begitu juga dengan seorang yang mempunyai posisi pengambil kebijakan, tanpa dasar pengetahuan yang dimilikinya, maka Rasul Saw. menegaskan bahwa menyerahkan sesuatu kepada orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu maka kehancuranlah yang akan diterima. Dengan demikian, ilmu merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku dirinya muslim.

Dari riwayat di atas pun diketahui bahwa kebodohan merupakan sumber bencana untuk diri yang bersangkutan dan atau untuk orang lain, bahkan bencana bagi kemurnian ajaran Islam. Tanpa pengetahuan, orang akan dengan mudah melakukan sesuatu yang dianggapnya benar, atau yang dikatakan orang lain benar, meskipun kenyataannya tidak benar atau tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Dari berbagai metode yang digunakan oleh Rasulullah Saw. sepertinya beliau menginginkan umat Islam beramal dan berkarya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Agaknya, inilah yang menyebabkan penyamaan kegiatan belajar mengajar dengan jihad. Karena dampak yang ditimbulkan oleh kebodohan dan ketidaktahuan terutama masalah agama tidak kurang dari kegiatan musuh Islam yang berupaya menghancurkan Islam.

Bukan hanya menyamakan, ketika harus memilih antara jihad perang dengan menuntut ilmu, dari hadis-hadis Rasul yang ada, al-Nawawi menyatakan bahwa kegiatan menyebarkan ilmu diutamakan dari pada jihad (perang), apabila jihad (perang) tersebut masih dalam taraf fardhu kifayah. Sangat luar biasa, terutama bagi bangsa Indonesia yang menurut penilian para pakar bahwa pendidikannya kurang berkualitas, maka jihad kita adalah dengan cara pelaksanaan pendidikan bermutu.

b.Tidak terpengaruh dengan rintangan, gangguan, baik pisik, psikis atau pun financial.

Sama dengan jihad perang, agar muslim tetap punya semangat dan tidak merasa khawatir dengan konsekwensi yang mungkin muncul ketika mencari ilmu, misalnya merasa sulit, merasa berat costnya, atau merasa banyak kendalanya dan tantangannya, Rasulpun memberikan motivasi dengan jaminan yang akan diberikan Allah kepadanya.
Rasulullah selalu menumbuhkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan pertolongan, karena dalam sebuah hadis Rasul menyatakan bahwa orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya ke surga, dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Dalam riwayat lain, Rasul Saw. menjelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu, Allah akan memberikan salah satu jalan untuknya dari beberapa jalan ke surga. Pada hadis lain, Rasul menambahkan bagi penuntut ilmu akan mendapatkan bantuan dari Malaikat

Bahkan Rasul memberikan apresiaisi yang luar biasa bagi orang yang mau menuntut ilmu, walaupun setelah berusaha ia tidak mendapatkan ilmu, yaitu berupa balasan dari Allah dalam hadis berikut:

سَمِعْتُ وَاثِلَةَ بْنَ الْأَسْقَعِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ فَأَدْرَكَهُ كَانَ لَهُ كِفْلَانِ مِنَ الْأَجْرِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْهُ كَانَ لَهُ كِفْلٌ مِنَ الْأَجْرِ

Dalam hadis di atas, Rasul memberikan penghargaan ketika proses, bukan saja pada hasil. Agaknya, jaminan yang diberikan Allah dan Rasul itulah yang telah memberikan semangat yang luar biasa kepada para sahabat di zaman Rasul, sehingga dapat merubah karakter jahiliyah menjadi Islami. Bagaimana mungkin dengan jaminan itu umat Islam khususnya menjadi malas, ogah-ogahan. Pada hari ini pun, jika dilandasi semangat yang luar biasa, ternyata Rasulullah terhadap pendidikan menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
===============

Ibnu Majah, op.cit., juz 1, h. 81. Meskipun ada sanad bermasalah yang menyebabkan Hadis ini dinilai dha’if, tetapi kandungan Hadis dimaksud sejalan dengan al-Qur'an dan Hadis yang lebih Sahih. Mungkin ini yang menyebabkan al-Suyuthi, mengutip pendapat Syekh Muhy al-Din ketika ditanya tentang kualitas Hadis ini, beliau menyatakan bahwa sanadnya dha’if, tetapi dari aspek maknanya Hadis ini sahih. Jamal al-Din menyatakan bahwa Hadis ini diriwayatkan dalam beberapa jalur sanad yang dapat mengangkat kualitasnya menjadi Hasan.
Al- Bukhari.juz 1, h. 42.
Ibn Majah juz 1, h. 92-93, Abu Daud, juz 3, h. 320, Al-Darimi, juz 1, h. 80-81, Ahmad, juz 8, no. 8438
Al-Turmuzi, juz 4, h. 141 no. 2793
Al-Turmuzi , juz 4, h. 140-141, Ibnu Majah, juz 1, h. 93, dan al-Darimi juz 1, h. 104-105 dan Ahmad bin Hanbal juz 1, h. 190
Muhammad al-Razi Fakhr al-Din ibn ‘Allamah Dhiya’ al-Din ‘Umar selanjutnya disebut al-Razi (544-604), Tafsir al-Fakhr al-Razi (al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib), (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), juz 16, h. 230.
Ibn Majah, op.cit., juz 1, h. 83. Dalam Zawaid dinyatakan bahwa sanadnya Sahih atas syarat Muslim. Lihat, Al-’Asqalani.op.cit.,juz 6, h.2-4; juz 2, h. 128-129; Juz 3, h. 41-42; juz 8, h. 452- 454. Dari penilaian terhadap sanad, tidak ada sanad yang disepakati oleh kritikus periwayat Hadis yang mempunyai kualitas kurang. Dapat dikatakan bahwa kualitas Hadis ini minimal hasan.
Al-Turmuzi dalam bab al-’ilm, juz 4, h. 137. Al-Turmuzi menyatakan bahwa Hadis ini kualitasnya Hasan Gharib.
Al-Bukhari, op.cit.,juz 1,h. 56 , Muslim, op.cit.,juz 4, h. 2058, al-Turmuzi, ibid., h. 139; al-Darimi, op.cit., juz 1, h. 77; dan Ahmad bin Hanbal , ibid., h. 162 dan 190.
Hadis di atas ditakhrij oleh Abu Daud dalam kitab aqdhiyyah, op.cit., juz 3, h. 299; dan Ibnu Majah dalam kitab ahkam, op.cit., juz 2, h. 776.
Al- Bukhari, op.cit., juz 1, h. 36.
Ab­ Zakariyya Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Fatwa al-imam al-Nawawi al-Masail al-Mansyurah (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1982/1402), h. 117.
Muslim, op.cit., juz 4, h. 2074, Abu Daud, op.cit Al-Turmuzi, juz 3, h. 458, Abu Daud juz 3, h. 313, Ibn Majah, juz 1, h. 81, Al-Darimi juz 1, h. 98 dan h. 101, dan Ahmad no. 8299.,; .
Abu Daud dalam kitab ilmu,. ibid, juz 3, h. 317. Semua periwayat tidak ada yang memiliki cacat. Lihat al-’Asqalani, juz 10, h. 107-109; juz 5, h. 199-120 dan h. 41; juz 3, h. 181-182.
Al-Turmuzi, juz 4, h. 153 no. 2823, ibn Majah juz 1, h. 81 (2 jalur) dan rijalnya siqat
Darimi, juz 1, h. 97
Al- Isfahani, op.cit., h. 209.
Al-Kandahlawi, Aujaz, op.cit., h. 197.
al-Darimi, juz 1, h. 86-87

TIPOLOLOGI PENUNTUT ILMU

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang sempurna mempunyai keistimewaan tersendiri di bandingkan dengan makhluk lainnya. Perbedaan ini nyata terletak pada sifat kehidupan rohaninya yaitu berupa potensi akal budi yang dimilikinya. Dengan potensi itu manusia dapat berbuat dan berfikir sesuai dengan kemampuan akalnya, sehingga ia dapat memahami hal-hal yang abstrak di samping yang kongkrit.
Kemampuan berpikir sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia, karena kemampuan
berpikir itu mempengaruhi kemampuan berkreasi. Berpikir sebagai gejala jiwa dapat menetapkan hubungan antara pengetahuan yang pernah dialami selama ini. Sehingga
pengetahuan yang telah diperoleh akan tetap berkembang selama proses berpikir masih berjalan.
M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa pengetahuan itu sampai ke tangan manusia menempuh dua jalur yaitu :
Ilmu abadi (perenial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam Alquran dan hadis, serta segala yang dapat diambil dari keduanya. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) ternasuk sains, kealaman dan terapan yang dapat berkembang secara kualitatif dan pengadaan, fariasi terbatas dan pengalihan antara budaya selama tidak bertentangan dengan syari’ah sebagai sumber nilai.1
Pengetahuan yang didapat manusia lewat jalur pertama sudah siap pakai tinggal memahami dan mengamalkannya, yang dijadikan sebagai pegangan hidup yakni Alquran dan hadis. Jalur kedua adalah pengetahuan yang belum siap pakai dan memerlukan daya nalar yang akhirnya melahirkan teknologi. Hal ini dapat ditangkap dari isyarat yang diberikan misalnya QS. Ali Imran/3: 190-191 berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190), yaitu orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, periharalah kami dari siksaan neraka.
Berdasarkan ayat di atas dijelaskan bahwa zikir dan berpikir merupakan indikator dari ulil albab (orang yang berakal). Oleh sebab itu pendidikan harus diarahkan kepada mempersiapkan manusia yang serasi dalam zikir dan fikir. Namun, dalam kenyataan sekarang pendidikan lebih menekankan pada tujuan “pandai”. Mochtar Naim mengungkapkan: “ Di bidang pendidikan yang ditekankan adalah menjadi “pintar” atau “pandai”tetapi tidak menjadi “cerdas”. Untuk menjadi pintar atau pandai, kita tahu, jangankan manusia, binatangpun bisa diajar.2 Tentu saja ada perbedaan antara pembelajaran pada manusia, yang melibatkan semua komponen yang telah diberikan Allah.

1. Tipologi Penuntut Ilmu

Islam dengan semua ajarannya mengajak manusia ke jalan kebaikan, kemaslahatan, memperkenalkan yang haq dan menjelaskan hukum-hukum yang semuanya mengarah kepada kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Dalam menuntut ilmu perolehan yang didapat oleh seseorang berbeda dengan yang lain, karenanya ada beberapa kemungkinan yang akan diperoleh oleh seseorang, karena perbedaan keadaan jiwa dan persiapan serta kesungguhannya, seperti yang dijelaskan Rasulullah Saw. dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلآ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاتُمْسِكُ مَاءً وَلاا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ 3

Dari Abu Musa, Nabi bersabda hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepada saya ibarat hujan lebat yang menyirami bumi. Ada jenis tanah yang subur, keyika hujan turun ia menyerap air, lalu menumbuhkan rerumputandan tanaman yang beragam. Ada jenis tanah yang kering, menyerap air, dan air tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain untuk minum, menyirami kebun dan bercocok tanam. Ada jenis tanah tandus tidak menerima curahan hujan dan tidak menumbuhkan tanaman apapun. Itulah ibarat orang yang memahami agama Allah dan ia menggunakan apa yang disampaikan Rasulullah, kemudian ia mengilmuinya dan mengajarkannya kepada orang lain. Kedua adalah ibarat orang yang tidak peduli dengan apa yang diberikan Allah. Yang ketiga ibarat orang yang tidak menerima hidayah dan ilmu keislaman

Rasulullah diutus kepada umatnya dengan al-Qur’an yang dapat mengarahkannya kepada kebaikan, menunjukinya dengan sesuatu yang mendatangkan maslahat. Rasul memberitahu yang harus diketahui, menjelaskan hukum-hukum, dan memberantas kebodohan. Namun demikian, manusia berbeda dalam merespons ilmu dan hidayah yang diberikan, karena ada operbedaan kondisi hati dan kesiapan menerima ilmu.
Berdasarkan hadis ini ada tiga tipe penuntut ilmu yang digambarkan Rasulullah yaitu:

1.Tipe yang digambarkan Rasulullah seperti tanah yang subur yang disirami hujan, yang dapat menahan air dan dapat menumbuhkan tanaman beraneka ragam.
Contoh ini diberikan untuk mengambarkan Tipe orang yang memiliki kebersihan hati, dan tidak menodainya dengan perbuatan dosa dan kejahatan. Mereka yang mau berusaha memahami agama Allah, mempelajari, MENGAMALKAN dan mengajarkannya kepada orang lain. Jika dikaitkan dengan Q.S. al-Nahl: 78, tipe ini adalah orang yang menggunakan semua potensi yang diberikan Allah kepadanya. Sehingga ilmu yang diperolehnya bermanfaat untuk dirinya, untuk orang lain, dan bahkan ilmu tersebut dapat dikembangkan

2. Tipe yang dicontohkan Rasulullah Saw. seperti tanah yang keras yang disirami hujan, dapat menahan air hujan, yang dapat dimanfaatkan orang lain untuk minum, menyirami lahan dan untuk bercocok tanam.
Contoh ini diberikan oleh Rasulullah Saw. untuk menggambarkan orang yang menuntut ilmu secara mendalam. Secara keilmuan ia dapat dikatakan pakar/ahli, BAHKAN MEMILIKI GELAR AKADEMIK YANG TINGGI dan ilmu yang dimilikinya tidak berbekas pada dirinya. Ilmunya tidak diamalkannya, tetapi ilmu yang dituntutnya dapat dimanfaatkan orang lain.

3. Seperti tanah tandus yang disirami hujan, yang tidak menyimpan air dan tidak dapat ditumbuhi tanaman dan rumput.
Contoh ini diberikan untuk menggambarkan orang yang tidak ada bedanya setelah atau sebelum menuntut ilmu, tidak ada manfaat dari usahanya untuk perbaikan dirinya dan orang lain. Ilmu yang dicari, dipelajari tidak membuahkan apa-apa pada dirinya, tidak dapat mengembangkannya.
==================
1. M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran; Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 62-63.
2. Mochtar Naim, Agama dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi, Makalah (Padang: IAIN Imam Bonjol, 1996), h. 5.
3. al- Bukhari, dalam kitab ‘ilmu no 77 dan Muslim