Indahnya Ketentuan Islam ttg Orang Tua dan Anak

Pada awalnya, semua anak perempuan harus mengikuti semua kemauan orang tuanya. Ironisnya, dalam kitab Fiqh masih dikenal istilah mujbir untuk bapak dan kakek

Penerimaan Hadis Ahad oleh Imam Mazhab Fiqh

Dari segi wurudnya, hadis ahad tersebut dikategorikan zhanni al-wurud. Zhanni wurud pada hadis ahad ini disebabkan oleh karena hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak mendatangkan keyakinan tentang kebenarannya.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Baitullah Impian Setiap Muslim

Tempat Khusus yang Penuh Berkah

Rabu, 17 April 2013

OPTIMALISASI FUNGSI MESJID

I. Pendahuluan
 Mesjid merupakan salah satu tempat berkumpulnya umat Islam. Mesjid merupakan tempat yang sangat strategis bagi umat Islam dalam membicarakan kepentingan umat Islam. Apalagi dengan berkembangnya ilmu pengatahuan dan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh umat Islam, sangat penting untuk mengembalikan fungsi mesjid seperti Rasulullah memungsikan mesjid pada masanya. 
Realitas yang ada saat sekarang, umat Islam bias dan patut berbangga dengan banyaknya bangunan mesjid, baik yang dibangun dengan swadaya masyarakat, maupun bantuan pemerintah, dengan berbagai model, bahan dan arsitek yang sangat menarik. Namun, agak disayangkan ada beberapa mesjid tidak berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya hanya untuk shalat jum’at atau shalat jamaah saja. Sehingga terkesan bahwa mesjid tidak dimanfaatkan. 
 Oleh sebab itu, patut diintrospeksi untuk mengetahui apakah tidak makmurnya mesjid tersebut karena umat Islam tidak termasuk dalam kategori yang disebutkan dalam QS. Al-Taubah: 18, atau umat Islam sekarang termasuk orang yang hanya berbangga dengan wujud fisik mesjid seperti dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau, atau karena mesjid hanya tempat khusus untuk shalat saja. Sikap berbangga pada pembangunan mesjid saja dinyatakan oleh Rasul sebagai salah satu indikator berakhirnya zaman (kiamat)1) Untuk mengetahui peran dan fungsi mesjid dan agar kita dapat memanfaatkan mesjid secara optimal, sangat tepat jika dilihat dari peran dan fungsi mesjid di zaman Rasul. Pada masa itu, mesjid digunakan untuk urusan agama dan penyelesaian masalah keduniaan sekaligus. Quraish Shihab menyatakan ada 10 peranan mesjid Nabawi. Yaitu tempat ibadah, tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi dan sosial budaya) tempat pendidikan, tempat santunan sosial, tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya, tempat pengobatan korban perang, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, aula dan tempat menerima tamu, tempat menawan tahanan, dan pusat penerangan atau pembelaan agama. Informasi tentang mesjid di masa Rasul akan dapat dilihat dari beberapa sabda Rasul. Secara rinci akan diketahui optimalisasi pemanfaatan mesjid pada masa itu melalui hadis dan sirat al-Nabawiyyah. Dalam perjalanan sejarah Islam, setelah sampai di Medinah yang pertama dibangun oleh Rasulullah saw. adalah mesjid. Hal itu menunjukkan bahwa mesjid mempunyai arti yang sangat penting bagi umat Islam. Allah dengan tegas menyatakan bahwa mesjid itu hanya akan dimakmurkan oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menunaikan salat dan membayar zakat (QS. al-Taubah/9: 18) Artinya, pemakmuran mesjid tergantung pada orang yang komit dengan ajaran Islam. 
II. Fungsi Mesjid pada masa Rasulullah saw. 
1. Tempat ibadah. Seperti yang telah diketahui bahwa Masjid berasal dari kata sajada yasjudu yang berarti “tempat sujud”. Dengan demikian, mesjid sebagai tempat shalat dan zikir kepada Allah merupakan fungsi utama dari masjid. Sebagai tempat ibadah, Allah telah berfirman dalam QS. Al- Jin/72: 18: وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا (bahwa mesjid itu milik Allah, maka janagan kamu memohon/berdo’a dengan menyertakan yang lain bersama Allah) Rasul juga menyatakan secara eksplisit bahwa mesjid sebagai tempat shalat ketika beliau menjelaskan keutamaan salat di mesjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat di mesjid lain selain dari mesjid Haram.4) dan salat di Masjidil Haram Mekah lebih baik dari sepuluh ribu salat di mesjid lain. Mesjid juga dijadikan sebagai tempat i’tikaf pada bulan-bulan tertentu, terutama bulan Ramadan, dalam beberapa hadis dinyatakan oleh Rasulullah saw. di antaranya: عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ ... (5) Artinya: 'Ali bin Husain menyatakan bahwa Shafiyah isteri Rasul mengabarkan bahwa ia mengunjungi Rasul ke mesjid ketika beliau I'tikaf di mesjid 10 akhir Ramadan… Kegiatan i’tikaf yang dilakukan di mesjid merupakan salah satu dari pemakmuran mesjid. Mesjid sebagai tempat ibadah difungsikan secara optimal untuk kegiatan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Diakui atau tidak tempat kadang-kadang mempunyai pengaruh yang besar terhadap konsentrasi dan keikhlasan dalam pelaksanaan ibadah. 2. Tempat Pendidikan. Selain untuk tempat ibadah, mesjid juga berfungsi sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu yang telah diperoleh Rasul dari Allah Swt berupa wahyu dan penjelasan beliau terhadap wahyu. Penyampaiannya dilakukan melalui khutbah atau kegiatan ta’lim lainnya. Ini menunjukkan bahwa mesjid juga berfungsi sebagai tempat yang di dalamnya kaum muslimin memperoleh ilmu pengetahuan. Nabi saw menyampaikan pengetahuan kepada para sahabat sehingga mereka menjadi orang-orang yang kuat ikatannya kepada Allah. Melalui kegiataan tersebut, dengan cepat para sahabat memperoleh ilmu dan menyebarkannya kepada kepada umat manusia. Dalam setiap kesempatan, Rasul mendorong pengikutnya untuk menghadiri kegiatan keilmuan di mesjid. Para Sahabat mempelajari secara mendalam al- Qur'an dan mendiskusikan tentang yang halal dan haram dan memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Secara eksplisit, Rasul menjelaskan bahwa mesjid tempat belajar dan atau mengajar tentang kabaikan dalam sabda beliau berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ(6 Artinya: Dari Abu Hurairah, ia mendengar Rasul bersabda: Siapa yang mendatangi mesjidku ini (mesjid Nabawi) dengan tujuan kebajikan dalam kapasitas sebagai sebagai pengajar atau pengajar, maka semua itu menempati posisi orang yang jihad di jalan Allah dan siapa yang datang ke mesjid dengan tujuan lain maka ia menempati posisi rekreasi saja. Dari hadis di atas terlihat bahwa belajar dan atau mengajar pengetahuan dan kebajikan di mesjid Nabawi dipersamakan oleh Rasulullah saw. dengan posisi orang yang berjihad di jalan Allah. Sementara itu, orang yang datang ke mesjid bukan dengan tujuan tersebut disamakan oleh Rasul dengan orang yang sedang rekreasi saja. Mesjid juga merupakan sarana untuk saling menasihati dan saling membetulkan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya, tentang peristiwa ketika seorang laki-laki yang sudah selesai shalat dinyatakan belum shalat oleh Rasul sampai tiga kali. Karena tidak mengerti ia menanyakan kepada Rasul kenapa ia tidak dianggap shalat, Rasul menjawab: sempurnakanlah wudhu’mu dan sempurnakan salatmu)7) Mungkin Rasul melihat ia terburu- buru dalam setiap gerakan salatnya atau memang ada anggota wudu’nya yang tidak sempurna dibasuh. Begitu juga dengan peristiwa ketika Umar memberikan batasan tertinggi mahar perempuan sebanyak 400 dirham. Seorang perempuan interupsi dengan mengemukakan salah satu QS. Al- Nisa’/4:20. Akhirnya Umar meralat dengan menyatakan bahwa perempuan itu benar dan Umar salah. 8) Penggunaan mesjid sebagai sarana pendidikan dapat mencapai hasil yang maksimal, apalagi dikaitkan dengan tata tertib masuk mesjid. Diharapkan orang yang masuk mesjid dalam keadaan bersuci, membaca do’a sebelum masuk, shalat tahiyah mesjid dan ketika hendak keluar juga berdo’a. Kemudian selama berada di mesjid tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna. 3. Menerima tamu/utusan kenegaraan. Tamu atau utusan yang datang kepada Rasulullah saw. diterima di mesjid. Ada tamu atau utusan yang datang untuk belajar atau untuk melakukan pembicaraan dan perjanjian bersama Rasul. Selain masjid sebagai tempat beribadah dan tempat belajar atau dakwah, masjid juga berfungsi sebagai tempat pertemuan atau menerima tamu. Salah satu tempat yang paling rutin digunakan oleh Rasul untuk pertemuan adalah masjid. Setiap utusan sering datang secara berombongan yang berjumlah antara 12 orang sampai 60 orang. 9) Dalam pertemuan ini, Rasul tidak hanya sekedar mengadakan pertemuan fisik semata melainkan pertemuan dari hati ke hati serta fikiran sehingga pertemuan tersebut menambah keakraban sesama dan hubungan dengan Allah Swt semakin dekat.. Pemilihan mesjid sebagai tempat menerima utusan memudahkan mereka untuk menemui Nabi saw, karena beliau selalu shalat berjama’ah di mesjid. Mereka sudah dapat memperkirakan waktu yang tepat untuk mengunjungi Rasulullah saw. tanpa harus menunggu terlalu lama. 4. Tempat pengumpulan sedekah, zakat dan harta milik umum dan tempat pendistribusiannya. Selain tempat ibadah, belajar, dan menerima utusan, mesjid juga difungsikan oleh Rasul sebagai tempat penyimpanan sementara dana hasil zakat, sedekah dan jenis harta milik umum lainnya. Selama dalam proses mulai harta tersebut diterima sampai didistribusikan kepada yang berhak, semua sedekah, zakat dan harta milik umum berada di mesjid. Dalam sebuah hadis dinyatakan: عن انس قال اتي النبي صلى الله عليه و سلم بمال من البحرين فقال انثروه فى المسجد وكان اكثر مال اتي به رسول فخرج رسول الى الصلاة ولم يلتفت اليه فلما قضى الصلاة جاء فجلس اليه فما كان يرى احدا الا اعطاه اذ جاءه العباس(10 ... . Artinya: Anas berkata bahwa Rasul menerima harta dari Bahren, lalu beliau bersabda bagikan di mesjid dan itu merupakan harta terbanyak yang diberikan kepada Rasul. Ketika selesai salat, Anas duduk bersama Rasul dan membagikan harta itu kepada semua yang ada di mesjid sampai kemudian 'Abbas datang … Berdasarkan riwayat ini, Rasul menerima harta dari Bahrain, lalu beliau memerintahkan untuk mengumpulkannya di mesjid dan nantinya didistribusikan kepada yang berhak menerimanya. Pendistribusian dilakukan oleh Rasul setelah beliau dan umat Islam selesai melaksanakan shalat. Hal tersebut tentu berimplikasi positif terhadap sampainya harta tersebut kepada orang yang berhak menerimanya. Harta milik umum tidak dibiarkan tidak dimanfaatkan tepat pada waktunya. Di samping itu, kenyataaan itu dapat mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan dana oleh pengelola harta milik umum. Karena kedua hal tersebut dapat memicu munculnya kekisruhan di tengah-tengah masyarakat. Hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat muslim harus dibina dengan berbagai cara sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat muslim dan terhindar dari adanya kesenjangan sosial dan gap antara si kaya dengan si miskin. 5. Tempat menginap sementara bagi pemuda, orang fakir dan tuna wisma. Mesjid juga digunakan untuk menampung sementara orang yang tidak punya tempat untuk meginap, tempat itu dikenal dengan Shuffat. Dalam kenyataannya, orang yang diberi izin untuk menginap sementara di mesjid itu adalah orang fakir. Dalam sebuah hadis dinyatakan kondisi ekonomi mereka, bahkan untuk menutupi auratnya saja sangat sulit, seperti yang diungkapkan oleh Abu Hurairah berikut ini: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَلَيْهِ رِدَاءٌ إِمَّا إِزَارٌ وَإِمَّا كِسَاءٌ قَدْ رَبَطُوا فِي أَعْنَاقِهِمْ فَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ نِصْفَ السَّاقَيْنِ وَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ الْكَعْبَيْنِ فَيَجْمَعُهُ بِيَدِهِ كَرَاهِيَةَ أَنْ تُرَى عَوْرَتُهُ(11 Artinya: Dari Abu Hurairah, saya melihat 70 orang ahli Shuffah (yang tidur di bagian mesjid) tidak memiliki selimut, hanya ada sarung dan sal yang dikalungkan al-Darimi leher mereka, sehingga ketika tidur hanya menutupi setengah betis dan sampai kaki, dan mereka menggabungkan dengan tangan untuk menutupi aurat mereka. Dalam hadis di atas, jelas bahwa mesjid juga djadikan tempat berlindung oleh penghuni shuffah. Mereka itu termasuk dalam kategori fuqara’ yang tidak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan sebagai penutup tubuh mereka secara keseluruhan. Dalam hadis dinyatakan bahwa mereka hanya dapat menutupi sebagian dari tubuh mereka, jika bagian atas tertutup, maka tubuh bagian bawah terbuka, begitu juga sebaliknya. Di samping itu, mesjid juga digunakan untuk tempat menginap pemuda yang lebih suka berada dan tidur di mesjid. Hal itu digambarkan dalam hadis berikut: حَدَّثَنِي نَافِعٌ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُاللَّهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لا أَهْلَ لَهُ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم(12 َ Artinya: Nafi' menceritakan bahwa 'Abdullah bin 'Umar ketika remaja yang belum berkeluarga tidur di mesjid Nabawi. Dalam hadis di atas, Ibn Umar ketika masih membujang dan belum berkeluarga sering tidur di mesjid. Dengan demikian, masjid juga berfungsi sebagai tempat perlindungan dari terik panas matahari dan hujan sehingga fakir dan para musafir dapat berlindung dan beristirahat sementara. Para pemuda yang lebih suka mengadakan kegiatan dimesjid, juga dapat menginap di mesjid. 6. Tempat pengobatan orang sakit, terutama korban perang. Ketika perang berlangsung ada saja pasukan perang yang mengalami luka-luka dan tentu saja mereka membutuhkan perawatan serta pengobatan. Pada masa Rasul jika hal ini terjadi maka perawatan dan pengobatan para pasukan perang tersebut dilakukan di lingkungan masjid sehingga pada waktu itu didirikan sebuah tenda oleh seorang shahabiyah (sahabat perempuan) yang bernama Rafidah sehingga tenda itu kemudian diberi nama Rafidah. Dalam sebuah hadis, dinyatakan bahwa Rasul menempatkan korban peperangan Khandaq di sebuah kemah di Mesjid untuk pengobatan, seperti dalam hadis berikut ini: عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أُصِيبَ سَعْدٌ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فِي الْأَكْحَلِ فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْمَةً فِي الْمَسْجِدِ لِيَعُودَهُ مِنْ قَرِيبٍ فَلَمْ يَرُعْهُمْ وَفِي الْمَسْجِدِ خَيْمَةٌ مِنْ بَنِي غِفَارٍ إِلا الدَّمُ يَسِيلُ إِلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا أَهْلَ الْخَيْمَةِ مَا هَذَا الَّذِي يَأْتِينَا مِنْ قِبَلِكُمْ فَإِذَا سَعْدٌ يَغْذُو جُرْحُهُ دَمًا فَمَاتَ فِيهَا(13 Artinya: Dari hadis di atas terdapat beberapa kemah di mesjid, di antaranya kemah Bani Ghifar dan kemah untuk perawatan Sa’ad. Dalam pengobatan tersebut, darah Sa’ad mengalir sampai ke kemah Bani Ghifar. Karena banyak kehilangan darah, akhirnya Sa’ad tidak dapat tertolong (meninggal) 7. Pelaksanaan/ pengumuman pernikahan Pernikahan merupakan suatu ikatan kekeluargaan antara dua orang dan dua keluarga yang harus dilakukan secara terbuka dan tidak sembunyi- sembunyi. Hal itu untuk menghindarkan fitnah, agar orang yang sudah menikah tidak dianggap belum menikah. Oleh sebab itu, mesjid yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang untuk melakukan berbagai kegiatan, sangat tepat untuk pelaksanaan pernikahan. Maka Rasul menyarankan agar pernikahan dilaksanakan di mesjid. Hal itu dinyatakan oleh Rasul dalam sabda berikut: عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ(14 Hadis di atas memberitakan bahwa pernikahan itu diberitahukan di mesjid dan dengan membunyikan rebana. Perintah untuk memberitahu orang lain itu mempunyai tujuan agar orang banyak dapat mengetahui bahwa antara dua orang yang pada awalnya berstatus ajnabi telah melaksanakan upacara pernikahan. Menjadikan mesjid sebagai tempat nikah akan membawa efek yang baik dalam kehidupan. Upacara pernikahan merupakan sesuatu langkah awal untuk dapat membina keluarga. Awal yang baik diharapkan dapat membuahkan hasil yang baik juga. 8. Tempat memberikan fatwa Dalam menanggapi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam pada masanya, Rasul sering dimintai dan memberikan fatwanya ketika berada di mesjid. Ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa umat datang meminta fatwa kepada Rasul tentang berbagai hal yang mereka temui, dan beliau sering memberikan jawabannya di mesjid. Salah satu hadis tersebut adalah yang berikut ini: عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا قَامَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ أَيْنَ تَأْمُرُنَا أَنْ نُهِلَّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ وَيُهِلُّ أَهْلُ الشَّأْمِ مِنَ الْجُحْفَةِ وَيُهِلُّ أَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ وَيَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَيُهِلُّ أَهْلُ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ لَمْ أَفْقَهْ هَذِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم(15 Dalam riwayat di atas, seseorang berdiri di mesjid, lalu ia meminta fatwa kepada Rasul mengenai tempat ihram (miqat makani). Lalu Rasul menjelaskan miqat makani dari berbagai tempat. Jawaban-jawaban yang diberikan Rasul sangat rinci, mencakup semua tempat masuk orang dari berbagai wilayah ke Mekah waktu itu. Sehingga ia merasa puas mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang diajukannya kepada Rasul. 9. Mesjid sebagai tempat memberikan putusan hukuman (peradilan) Mesjid juga difungsikan sebagai tempat penyelesaian persengketaan antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara psikologis, putusan yang diberikan di mesjid akan mendatangkan rasa aman di hati pihak yang berperkara, dan ia tahu akan mendapatkan haknya dan tidak akan diperlakukan tidak adil. Dalam al-Qur'an ada isyarat yang membolehkan memberikan putusan hukum di mesjid, yaitu mengenai kisah Nabi Daud as. (QS. Shad/ 38:21, 22) Pada masa Rasul, beliau juga menjadikan mesjid sebagai tempat memberikan putusan hukuman terhadap beberapa perkara yang diajukan kepada beliau. Berbagai perkara yang diajukan kepada beliau berkaitan denganbermacam masalah. Keputusan yang diberikan oleh Rasul di mesjid menyangkut perkara pidana(perzinaan, pencurian, pembunuhan), dan masalah perdata. Misalnya, perkara li’an dalam hadis berikut : عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَجُلا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رَجلا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلا أَيَقْتُلُهُ ام كيف يفعل ...فقال النبي قد قضى الله فيك و فى امرأتك قال فَتَلاعَنَا فِي الْمَسْجِدِ وَأَنَا شَاهِدٌ(16 Perkara li’an yang dimajukan kepada Rasul bermula dari perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang isteri dengan seseorang. Sang suami menemui Rasul yang masih berada di mesjid. Ia menyatakan kepada Rasul ingin membunuh laki-laki yang bersama isterinya. Lalu Rasul pada saat itu juga di mesjid itu memberikan putusan agar suami isteri tersebut melakukan li’an. 10. Tempat bermusyawarah. Pada masa Rasul, masjid juga digunakan sebagai tempat memusyawarahkan sesuatu, baik dalam merencanakan suatu masalah atau untuk memecahkan suatu permasalahan yang terjadi, baik yang berurusan dengan persoalan pribadi, keluarga maupun urusan umat secara keseluruhan. Strategi berperang, perdamaian dengan pihak lawan meningkatkan kemaslahatan umat merupakan diantara masalah yang dimusyawarahkan oleh Rasul dan para sahabatnya di masjid. Kebiasaan ini dilanjutkan oleh khalifah, diantaranya adalah khalifah Umar bin Khattab yang apabila ada urusan penting yang harus dimusyawarahkan, maka Umar memanggil sahabatnya untuk datang kemesjid. Karena musyawarah dilaksanakan di masjid akan menciptakan suasana persaudaan yang harmonis sehingga musyawarah dapat dicapai dengan hasil yang dicapai dengan warna yang sesuai dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt. Dari uraian di atas, terlihat betapa besarnya fungsi mesjid di masa Rasul, karena tidak hanya digunakan sekedar tempat beribadah saja, tetapi mesjid juga digunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan dan ikatan jama’ah Islam yang baru tumbuh. Ini berarti mesjid berfungsi untuk berbagai aktifitas yang bermanfaat bagi seluruh umat, atau sebagai pusat pembinaan umat. Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita bisa mengembalikan fungsi mesjid sekarang ini sebagaimana yang telah difungsikan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Fungsi ideal sebagaimana yang telah terwujud di masa Rasul masih terlalu jauh bila dibandingkan dengan fungsi mesjid di masa sekarang, dan ini semua tergambar dari segi bentuk bangunan mesjid yang sebagian besar memang diperuntukan hanya shalat dan melaksanakan aktifitas ibadah sejenisnya serta aktifitasnya yang baru berkisar pada masalah ubudiyah dan majelis ta’lim. Di samping itu, saat sekarang telah muncul beberapa lembaga yang mempunyai peran khusus untuk menangani masalah sesuai dengan spesifikasinya masing-masing. Namun, bukan tidak mungkin memfungsikan mesjid seperti pada zaman Rasul, sehingga mesjid dapat menjadi pusat kegiatan umat Islam, menjalani berbagai aktifitas kehidupannya. 1) Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nasa'i bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiyah al-Kindi, (Semarang: Toha Putra, 1348/1930), juz 2, h. 32. 2)Jam’ah ‘Ali al-Khuali, Fiqh al-Da’wah, (T.Tp. : Maktabah al- Taufiqiyyah, 1396/1976), h. 57. 3)M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur'an , Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan, 1996. 4)Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al- Bukhari, Shahih al- Bukhari, (Indonesia: Maktabah Dahlah, tt.), juz 1, h. 457, Abu al- Husain Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), juz 2, h. 1012-1014, al-Nasa'i,op.cit., juz 2, h. 33 dan 35, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurahal-Turmuzi, al-Jami’ al-Shahih, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), juz 1, h. 204, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), juz 1, h. 450-451, Malik bin Anas, Kitab al-Muwatha’,(Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989) h. 121-122, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) juz 2, h. 16,29 dan 499. 5)al- Bukhari, ibid., juz 1, h. 768-776, Muslim, ibid., juz 2, h. 830-831, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Daud, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), juz 2, h. 332-333, Ibnu Majah, ibid., juz 1, h. 563. 6)Ibnu Majah, ibid., juz 1, h. 83. 7)al-Bukhari, op.cit., juz 4, h. 2670, 8)Isma’il Ibn Kasir, Tafsir al-Qur'an al-”Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404/1981), juz 1,h. 468. 9) Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, (T.Tp., Dar al-Wafa’, 1398/1978), cet. Ke 4, h. 526-528. 10) al- Bukhari, op.cit., juz 1, h. 176. 11)Ibid., h. 185 12)al- Bukhari, juz 1, h. 184, Muslim, juz 4, h. 1927-1928,al-Turmuzi, juz 1, h. 201, Abu Muhammad Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, (Indonesia:Maktabah Dahlan, tt.), juz 1, h. 325. Dan Sunan al-Darimi, juz 2, h. 50. 13)al- Bukhari, juz 1, h. 193, Muslim, juz 3, h. 1390, 14)al-Turmuzi, op.cit., juz 2, h. 276, dan Ahmad bin Hanbal, op.cit., juz 4, h. 5. 15)al- Bukhari, juz 1, h. 70, Abu Daud, juz 2, h. 143, Ibnu Majah, juz 2, h. 972, dan al-Darimi, juz 2, h. 29-30, Malik bin Anas, h. 208-209. 16)al- Bukhari, juz 3, h. 2197, , Muslim, juz 2, 1129, Abu Daud, juz 2, h. 273, Malik,h. 360-361. BIBLIOGRAFI Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Daud, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt), juz 2. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal , Beirut: Dar al-Fikr, tt. juz 2,4. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih al- Bukhari, Indonesia: Maktabah Dahlah, tt., juz 1,3. Al-Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abd al-Rahman. Sunan al-Darimi, Indonesia:Maktabah Dahlan, tt., juz 1,2. Ibn Kasir, Isma’il. Tafsir al-Qur'an al-”Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1404/1981, juz 1. Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini. Sunan Ibn Majah, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt., juz 1,2. Al- Khuali, Jam’ah ‘Ali. Fiqh al-Da’wah, T.Tp. : Maktabah al- Taufiqiyyah, 1396/1976. M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur'an , Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai persoalan umat, (Bandung: Mizan, 1996. Malik bin Anas, Kitab al-Muwatha’,Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1989. Al- Mubarakfuri Shafiy al-Rahman. al-Rahiq al-Makhtum, T.Tp., Dar al-Wafa’, 1398/1978, cet. Ke 4. Muslim al-Hajjaj, Abu al- Husain. Shahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), juz 2, 3, 4. Al- Suyuthi, Jalal al-Din. Sunan al-Nasa'i bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiyah al-Kindi, Semarang: Toha Putra, 1348/1930), juz 2. Al- Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah. al-Jami’ al-Shahih, Sunan al-Turmuzi Indonesia: Maktabah Dahlan, tt., juz 1,2

Rabu, 20 Maret 2013

Silabus Studi Hadis PPs STAIN

KISI-KISI MINIMUM SATUAN ACARA PERKULIAHAN STANDAR KOMPETENSI Dengan mata kuliah ini, mahasiswa dapat memahami: perkembangan kronologis dan evolusi konsep sunnah-hadis serta konsep yang membentuk kerangka keilmuannya; memiliki sikap kritis dalam proses pendidikan (penerimaan, penyampaian, dan penilaian hadis (informasi) sesuai dengan standar ilmu hadis; serta mengungkap Rasul sebagai pendidik memiliki wawasan keahlian yang luas dalam memahami dan menerapkan ajaran sunnah Nabi dlm kehidupan secara dinamis dan kontekstual, khususnya bidang pendidikan. I. Tujuan Kisi-kisi ini bertujuan untuk memberi bekal kepada mahasiswa yang mencakup unsur-unsur: a. Pemahaman yang cukup terhadap‘Ulum al-Hadis, b. Kemampuan menganalisis secara filosofis guna menghadapi tugas pendalaman materi perkuliahan yang ada relevansinya dengan pemahaman hadis dan ilmu hadis pada perkuliahan. c. Kecakapan untuk menggali hadis dan ilmu hadis tentang berbagai macam masalah pendidikan dengan menggali hadis tematik tentang pendidikan dalam rangka menjawab masalah pendidikan pada saat ini. II. Materi (out line materi kuliah selama satu semester) Materi kuliah lengkap untuk satu semester, terbagi dalam nomor-nomor materi, agar setiap mahasiswa peserta program mendapat satu judul, sebagaimana terurai dibawah ini disertai referensi. III. Buku Acuan Wajib dan Pilihan Reff 1. Konsepsi hadis dan sunnah 1 Abu ’Amr ’Usman bin ’Abd al-Rahman al-Syahrazuri, Ulumul Hadis Liibn Shalah, Maktabah al-‘Ilmiyah, Medinah, 1972, h.42 2. Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadis, Rajawali Press, Jakarta, 1993 3. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat al-Fikr,Kairo, Mathba’ah al-Istiqamah, 1368 4 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadis, Bandung, PT al-Ma’arif, 1970, h. 6-13 5 Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah al-Naisaburu al-Hakim, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadis, Kairo, Mathba’ah tt 6 Jalal al-Din ’Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, juz 1, dan juz 2, Beirut, Dar al-Fikr1988/1409 7 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1988 8 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Angkasa, Bandung, 1991 9 M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, Penerjemah Ali Mustafa Ya’qub, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta pustaka firdaus, 1994. h. 13-26 10 Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, Surabaya: Bonkol Indah, TT. 11 Muchamad Syafi’i Ahsani, Patokan Dasar Ilmu Mushthalah Hadis, Al-Ikhlas, Surabaya 12 Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1981 13 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Dar al-Fikr, Beirut, 1971 14 Muhammad al-Shabbagh, al-Hadis al-Nabawi, al-Maktab al-Islami, Riyad, 1972 15 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdis, min Funun Mushthalah Hadis,tt. 16 Muhammad Thahir al-Jawwabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Tunis, Muassasah Abd al-Karim 17 Subhi al-Shalih, 'Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Dar al-'Ilmi li al-Malayn, Beirut, 1977 18 TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Bulan Bintag, Jakarta, 1976 19 TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang , Jakarta, 1980. 20 Abu ‘Abdillah Mhd bin Abdillah al-Naisaburi al-Hakim, Ma’rifat Ulumul Hadis 21 Munzier Suparta, Ilmu Hadist, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 2003, h. 70 22 Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam) 23 Muhammad Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis, Beirut, al-Maktabat al-Islami, 1399 H 24 Muhammad Abu Zahwu, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn aw‘Inâyah al-Ummah al-Islâmiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, ttp, h. 15 25 Abd al-Halim Mahmud Al-Sunnah fi Makanatuha wa fi Tarikhiha Dar al-Kutub al-Arabi, Kairo, 1967 26 Abd al-Wahab Ibrahim Abu Sulaiman al-Fikr al-Ushuli 27 Mushthafa al-Siba’I al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami 28 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Al-Fikr al-‘Arabi, tt 29 Drs. Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1995 30 Saif al-Din abu Hasan bin Ali bin Muhammad al-Amidi (al-Amidy), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 1, Kairo, Daar Ittihad al-‘Arabi, 1967 32 Shubhi Shaleh, Ulumul Hadis wa Mushthalahuh, 33 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-IslamiDamsyiq, Dar al-Fikr, 1986/1406 34 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Al-Fiqh, Semarang, Toha Putra ,1994, h. 42. Nasrun 35 LPPI UMY, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadit, Cet.I, 1996 36 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh. I, Ciputat, PT. Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 47 37 Abd al-Halim Mahmud, al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Dar al-Kutub al-Arabi, Kairo, 1967 38 Ibrahim al-Dasuqi al-Syahawi , Mushthalah al-Hadis Topik 4. Kualitas Hadis Hasil Kritik Sanad 1-23, 37, 38 Topik 7. Kualitas Hadis Hasil dari Kritik Matan 1-23, 37,38 39 Muhammad Syuhudi Ismail, Sunnah Menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Pelestarian Sunnah Olehpara pembelanya 40 Salahuddin bin Ahmad al-adabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadis, Beirut, Dar al-Ufuq al-Jadidah, tt, 41 Muhammad Muhammad Abi Zahu, al-Hadis wa al-Muhaddisun 42 Muhammad Mahfuzh al-Turmuzi , Manhaj Zawi al-Nazhar 43 al-Syafi’I, al-Um 44 Ahmad Amin, Fajrul Islam, 45 Ahmad Amin, Masaul Islam Topik 3. Kritik Sanad Kitab No. 3,7, 9, 12, 14-17 46 Al-Hasan bin Abd al-Rahman Al-Ramahurmuzi, al-Muhaddis al-Fasil Baina Al-RAwi wa al-Wa’i, Dar al-Fikr, Beirut, 1971 47 Al-Khathib al-Bagdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’ 48 M.M. Azzami, Metodologi Kritik Hadis 49 Muhammad Muhammad Abi Zahu, al-Hadis wa al-Muhaddisun 50 Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi 51 Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis Topik 5. Naqd Matan Kitab No. 3,7, 9, 12, 14-17, 50 52 Muh Muh Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnahal-Kutub al-Shihah al-Sittah 53 Ibn Hamzah al-Husaini, Al-Bayan wa Ta’rif fi Asbab wurud al-Hadis 54 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah bain ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis 55 Muhammad Thaher Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif 56 Shalahuddin Muhammad bin Ahma, Manhaj Naqd al-Matan indal Ulama’ al-Hadis al-Naabawi 57 Masfar Azmullah, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah Topik 2. Takhrij Hadis Kitab No. 7, 12, 32, 50 58 Muhammad al-Thahhan , Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, 1991, 59 Abu Muhammad ‘Abdul Mahdi , Thuruq Takhrij Hadis Rasulullah 60 Abu Muhammad 'Abd al-Mahdi Al-Qadirin Abd Al-Hadi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah Shallallah 'alaih wa al-salam, Dar I'tisham, Mesir, t.t 61 'Abd al-Qadir l-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh, Mesir, t.t 62 A.J. Winsenk, Penerjemah: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras lialfazh al-Hadis al-Nabawi, Beirut 63 Miftah Kunuz al-Sunnah 6. Jarh dan Ta’dil , kitab no. 7, 10, 20, 32,38, 46, 48, 50, 64 Mahmud Abu rayyah, Adhwa’ ala al-sunnahhh Muhammadiyah aw dhifa’ al-Hadis, Dar al- Ma’arif Kairo tt 65 Ababs Bayumi ‘Ajlan, Dirasah fi al-Hadis al-Nabawi, Muassasah Syabab al-jami’at, Iskandariyah, 1986 66 Abu al-‘Ainain Badran, al-Hadis al-Nabawi al-Syarit, Tarikhuhu wa mushthalahuhu, Muassasah Syabab al-jami’at, Iskandariyah, 1983 67 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1975 68 Ibn Abi Hatim al-Razi, kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Darul Ma’arif, Heiderabad, 1952 69 Mahmud al-Thahhan, Takhrij wa Dirasat al-ASsanid ,Dar al-Qur’an al-Karim , Beirut, 1981 70 Abu ‘Amr ‘Usman bin ‘Abdullah ibn Shaleh, Ulumul Hadis, madinah, Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1972 10. Hadis hadis tentang kewajiban Belajar A. PENDAHULUAN, B. EKSISTENSI BELAJAR DALAM ISLAM, C. KEWAJIBAN BELAJAR, D. MOTIVASI AGAR MUSLIM BELAJAR E. ANCAMAN BAGI YANG TIDAK MAU BELAJAR F. IMPLIKASI DARI TIDAK BELAJAR G. PENUTUP 11. Hadis tentang Pendidikan Jasmani dan keterampilan A. Pendahuluan B. Hadis tentang olah raga Berlari, berenang, C. Hadis tentang keterampilan berkuda, memanah, D. Kontekstualisasi hadis utk masa ini 12. Hadis hadis tentang Niat dan pengaruhnya terhadap motivasi Pembelajaran A. Pendahuluan B. Motivasi Bagi Peserta Didik C. Niat Belajar yang dibenarkan dan implikasinya terhadap motivasi D. Salah niat dan implikasinya terhadap motivasi E. Penutup 13. Hadis tentang Pendidikan sepanjang hayat A. Pendahuluan B. Hadis tentang pendidikan Pranatal C. Hadis tentang pendidikan sepanjang hayat dan kualitasnya D. Penutup 14. Hadis hadis tentang Pendidik kata kunci Mu’allim A. PENDAHULUAN B. TUGAS PENDIDIK C. SYARAT-SYARAT PENDIDIK D. URGENSI PENDIDIK E. KEUTAMAAN PENDIDIK F. MOTIVASI YG DIBERIKAN KPD PDD G. PENUTUP 15. Hadis tentang Fitrah dan implikasinya dalam perkembangan Manusia A. Pendahuluan B. Hadis Fitrah dan kualitasnya C. Fitrah dalam hadis Rasul D. Implikasi Fitrah dalam perkembangan Manusia E. Penutup 16. Hadis-hadis tentang Metode Pembelajaran A. Pendahuluan B. Metode Rasul dalam Pembelajaran C. Beda Peserta didik dgn beda metode D. Variasi Metode untuk materi tertentu E. Penutup 17. Hadis tentang pendidikan akhlak A. Pendahuluan B. Hadis tentang misi Rasul sebagai pendidik Akhlak mulia C. Hadis tentang penddikan Akhlak kepada sesama D. Penutup 18. Hadis tentang Tanggung Jawab A. Pendahuluan B. Hadis tentang Tanggungjawab Pribadi C. Hadis tentang tanggung jawab kolektif D. Penutup 19. Hadis tentang Pemilihan Pemimpin A. Pendahuluan B. Hadis tentang urgensi pemimpin C. Hadis tentang Larangan Meminta jadi pemimpin D. Hadis tentang Tata cara pemilihan pemimpin E. Penutup 20. Hadis tentang peran orang tua dlm Pdd A. Pendahuluan B. Hadis tentang Kewajiban orang tua mendidik anak C. Hadis tentang Objek pendidikan dlm keluarga D. Hadis tentang Balasan bagi org tua yg berhasil mendidik anak dg baik 21. Hadis tentang urgensi ilmu A. Pendahuluan B. Ilmu untuk mrnjaga keimanan C. Warisan yang harus diambil D. Harus dicari E. Ilmu yg bermanfaat aset akhirat F. Harus berada di tangan yang benar 6. Jarh dan Ta’dil , kitab no. 7, 10, 20, 32,38, 46, 48, 50, Mahmud Abu rayyah, Adhwa’ ala al-sunnahhh Muhammadiyah aw dhifa’ al-Hadis, Dar al- Ma’arif Kairo tt Ababs Bayumi ‘Ajlan, Dirasah fi al-Hadis al-Nabawi, Muassasah Syabab al-jami’at, Iskandariyah, 1986 Abu al-‘Ainain Badran, al-Hadis al-Nabawi al-Syarit, Tarikhuhu wa mushthalahuhu, Muassasah Syabab al-jami’at, Iskandariyah, 1983 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1975 Ibn Abi Hatim al-Razi, kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Darul Ma’arif, Heiderabad, 1952 Mahmud al-Thahhan, Takhrij wa Dirasat al-ASsanid ,Dar al-Qur’an al-Karim , Beirut, 1981 Abu ‘Amr ‘Usman bin ‘Abdullah ibn Shaleh, Ulumul Hadis, madinah, Maktabat al-‘Ilmiyyah, 1972 10. Hadis hadis tentang kewajiban Belajar A. PENDAHULUAN, B. EKSISTENSI BELAJAR DALAM ISLAM, C. KEWAJIBAN BELAJAR, D. MOTIVASI AGAR MUSLIM BELAJAR E. ANCAMAN BAGI YANG TIDAK MAU BELAJAR F. IMPLIKASI DARI TIDAK BELAJAR G. PENUTUP 11. Hadis tentang Pendidikan Jasmani dan keterampilan A. Pendahuluan B. Hadis tentang olah raga Berlari, berenang, C. Hadis tentang keterampilan berkuda, memanah, D. Kontekstualisasi hadis utk masa ini 12. Hadis hadis tentang Niat dan pengaruhnya terhadap motivasi Pembelajaran A. Pendahuluan B. Motivasi Bagi Peserta Didik C. Niat Belajar yang dibenarkan dan implikasinya terhadap motivasi D. Salah niat dan implikasinya terhadap motivasi E. Penutup 13. Hadis tentang Pendidikan sepanjang hayat A. Pendahuluan B. Hadis tentang pendidikan Pranatal C. Hadis tentang pendidikan sepanjang hayat dan kualitasnya D. Penutup 14. Hadis hadis tentang Pendidik kata kunci Mu’allim A. PENDAHULUAN B. TUGAS PENDIDIK C. SYARAT-SYARAT PENDIDIK D. URGENSI PENDIDIK E. KEUTAMAAN PENDIDIK F. MOTIVASI YG DIBERIKAN KPD PDD G. PENUTUP 15. Hadis tentang Fitrah dan implikasinya dalam perkembangan Manusia A. Pendahuluan B. Hadis Fitrah dan kualitasnya C. Fitrah dalam hadis Rasul D. Implikasi Fitrah dalam perkembangan Manusia E. Penutup 16. Hadis-hadis tentang Metode Pembelajaran A. Pendahuluan B. Metode Rasul dalam Pembelajaran C. Beda Peserta didik dgn beda metode D. Variasi Metode untuk materi tertentu E. Penutup 17. Hadis tentang pendidikan akhlak A. Pendahuluan B. Hadis tentang misi Rasul sebagai pendidik Akhlak mulia C. Hadis tentang penddikan Akhlak kepada sesama D. Penutup 18. Hadis tentang Tanggung Jawab A. Pendahuluan B. Hadis tentang Tanggungjawab Pribadi C. Hadis tentang tanggung jawab kolektif D. Penutup 19. Hadis tentang Pemilihan Pemimpin A. Pendahuluan B. Hadis tentang urgensi pemimpin C. Hadis tentang Larangan Meminta jadi pemimpin D. Hadis tentang Tata cara pemilihan pemimpin E. Penutup 20. Hadis tentang peran orang tua dlm Pdd A. Pendahuluan B. Hadis tentang Kewajiban orang tua mendidik anak C. Hadis tentang Objek pendidikan dlm keluarga D. Hadis tentang Balasan bagi org tua yg berhasil mendidik anak dg baik 21. Hadis tentang urgensi ilmu A. Pendahuluan B. Ilmu untuk mrnjaga keimanan C. Warisan yang harus diambil D. Harus dicari E. Ilmu yg bermanfaat aset akhirat F. Harus berada di tangan yang benar Daftar Judul dan Kisi-Kisi Makalah Diskusi dalam mata kuliah Studi al-Hadis 1. KONSEP SUNNAH DAN HADIS 1. Pendahuluan 2. Pengertian Hadis-sunnah 3. Asal usul konsep hadis-sunnah (sebelum seperti yg kita pahami) 4. Evolusi perkembangan konsep sunnah 5. Saling keterkaitan hadis-sunnah 6. Implikasi Konsep Sunnah terhadap Perkembangan Pemikiran Islam 7. Unsur Pendidikan yang dapat diambil 2. TAKHRIJ HADIS 1. Pendahuluan 2. Pengertian Takhrij Hadis 3. Latar Belakang Munculnya Takhrij 4. Tujuan Dan Kegunaan Takhrij 5. Metode Takhrij (Kelebihan Dan Kekurangan Masing-Masing Metode) 6. Kitab Pendukung Takhrij 7. Cara Pelaporan Takhrij (Hadis Yg Dicari, Hadis Yg Ditemukan (Lengkap Dg Sanad), I’tibar Sanad 3. KRITIK EKSTERNAL (SANAD) 1. Pendahuluan 2. Pengertian Kritik Sanad 3. Urgensi Sanad Dan Pentingnya Kritik 4. Peran ‘Ilmu Jarh Wa Ta’dil 5. Kaidah Dalam Kritik Sanad 6. Lafal-Lafal Dalam Jarh Wa Ta’dil 7. Batasan Kritik Sanad- Sahabat Semua Adil 8. Unsur pendidikan yang terdapat di dalamnya 4. Kualitas Hadis Hasil Kritik Sanad 1. Hadis sahih dan Hasan 2. Hadis Da’if karena terputus sanad (mursal, muaddal, munqathi’ dll 3. Hadis Da’if karena Periwayat tidak adil (periwayat pendusta (maudu’), tertuduh berbohong (munkar) 4. Hadis Da’if karena Periwayat tidak dabit (banyak salah, salah letak urutan, salah huruf, mukhtalith (berubah setelah tua atau sakit) 5. Hadis Da’if karena adanya syaz 6. Hadis Da’if karena sanad ber’ilat 5. JARH DAN TA’DIL 1. Pendahuluan 2. Pengertian Jarh Wa Ta’dil 3. Kaidah Dalam Jarh Wa Ta’dil 4. Konsistensi Dlm Penerapan Kaidah 5. Syarat Dalam Melakukan Jarh Dan Ta’dil 6. Kitab Yang Memuat Tentang Jarh Wa Ta’dil 7. Unsur edukasi yang terdapat di dalamnya 6. KRITIK INTERNAL (MATAN) 1. Pendahuluan 2. Pengertian Kritik Matan Kaidah Dalam Kritik Matan 3. Persyaratan Dasar Kritikus 4. Upaya Mengatasi Hadis Yang Kelihatannya Kontradiktif 5. Metodologi Kritik Hadis Di Kalangan Orientalis 6. Kritik Hadis Ilmuan Muslim Kontemporer (Muhammad Al-Ghazali Dan Nashiruddin Al-Bani) 8. Unsur edukasi yang terdapat di dalamnya 7. Kualitas hadis hasil kritik matan 1. Sahih Matan 2. Da’if matan krna perbedaan redaksi 3. Da’if karena terbalik-balik 4. Hadis maudhu’ 5. Semua dengan contoh 8. Metode Pemahaman Hadis A. Pendahuluan B. Metode tahlili, Kitab yang menggunakan metode ini C. Metode ijmali Kitab yang menggunakan metode D. Metode muqarin, Kitab yang menggunakan metode E. Penutup 9. Pendekatan Dalam Pemhaman Hadis A. Pendekatan Bahasa B. Pendekatan tekstual C. Pendekatan kontekstual D. Pendekatan Sosial E. Pendekatan Kultural F. PendekatanSejarah G. Semua dengan contoh Topik . Metode Pemahaman Hadis 71 Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, (Bandung: Mizan, 1993) 72 Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amul Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, terj. Muhammad al-Baqir, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. (Cet.I ; Bandung : Karisma, 1993) 73 Kitab Syarah Hadis spt Fath al-Bari syarah sahih al-Bukhari 74 Al-Nawawi syarah sahih Muslim 75 ‘aunul ma’bud syarah abu Daud 76 Tuhfatul ahwazi syarah al-Turmuzi 77 Nizar Ali, Memahami hadis Nabi metode dan pendekatan 78 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi : Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet.1 ; Jakarta : Renaisans, 2005) Topik 11. Pendekatan Dalam Pemahaman Hadis Rasul no. 71-72, 77-78 78 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta : Bulan Bintang, 1994) 79 Agil Husain Al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud : Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001) 80 Moh. Zuhri. Telaah Matn Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis. (Yogjakarta.: LESFI, 2003)

Selasa, 19 Maret 2013

Konsep Hadis dan Sunnah

Bagi umat Islam Hadis dan sunnah merupakan sesuatu istilah yang sangat familiar, bahkan kadang keduanya dipahami sebagai dua istilah yang memiliki makna yang sama. Pada hal jika dilihat dari perkembangannya, kedua istilah Hadis dan sunnah tersebut sebenarnya berbeda Dalam perkembangannya, kata sunnah mengalami evolusi. Pada masa Nabi, sahabat mendasarkan segala sesuatu kepada al-Qur’an seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, dengan demikian sunnah mengandung kesesuaian antara tindakan sahabat dengan yang dilakukan oleh Nabi. Setelah Rasulullah wafat, pemahaman terhadap sunnah berubah menjadi lebih luas, karena sunnah pada masa ini adalah sunnah Nabi di tambah penafsiran sahabat terhadap sunnah Nabi. Hal itu disebabkan karena Sahabat pada masa ini berfungsi sebagai penyampai Hadis Rasulullah yang dulu pernah didengar, dilihat dan dikatahui dari Rasulullah . Sahabat juga berfungsi sebagai penafsir terhadap Hadis Rasulullah, ketika memberikan penjelasan dan dalam memberikan pemahaman yang kontekstual dari Hadis Rasulullah kepada tabi’in. Sahabat pun sebagai pengurai terhadap sunnah Nabi, yang masih bersifat global dan sangat umum. Uraian tersebut tentunya sesuai dengan pengalaman mereka bersama Rasulullah Pada perkembangan berikutnya, Sunnah pun meliputi ijtihad sahabat dalam memecahkan persoalan dan diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang otoritatif. Pada masa ini, sunnah bukan hanya sunnah Rasulullah, tetapi juga termasuk ijtihad personal sahabat yang kemudian menjadi ijma’ masyarakat. Contoh: ketika Umar menjatuhkan hukuman jilid 100 x kepada gubernurnya, itu kemudian menjadi sunnah. Nikah Mut’ah dilarang oleh Umar dan diancam dengan hukuman rajam, dan ini kemudian menjadi sunnah di kalangan sunni. Begitu juga dengan salat tarawih, pada mulanya salat sendiri, Umar menyarankan agar dilakukan berjama’ah, Besoknya Umar mendapati orang banyak telah melaksanaka salat tarawih berjama’ah dan Umar berucap: Ni’m al-bid’ah hazih. ini menjadi sunnah sampai sekarang Mazhab hukum awal memandang praktek aktual masyarakat yang sudah mapan sebagai sunnah. Terdapat perbedaan sunnah pada masalah yang sama dan pada alasan yang digunakan, sehingga sunnah mencakup praktek yang berkembang dan sunnah Nabi. Perkembangan sunnah pada masa ini membawa pada pemaknaan sunnah bukan hanya pada sunnah Rasulullah saja, tetapi mencakup semua praktek umat Islam baik bersumber dari Rasulullah ataupun dari penjelasan sahabat. Begitu juga dengan kata Hadis, yang pada awalnya merupakan berarti berita yang bersumber dari Rasulullah , kemudian pada perkembangan berikutnya Hadis pun meliputi berita sahabat tentang perbuatan dan hal ihwal Rasulullah. Hadis mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama pada masa perkembangan berikutnya, dimana terjadi verbalisasi Hadis yang dilakukan secara massif. Hadis Rasulullah yang pada awalnya berbentuk perbuatan Rasulullah, dan diikuti oleh sahabat, kemudian pada masa ini disampaikan secara lisan oleh sahabat. Kenyataan verbalisasi sunnah ini tentu saja berimplikasi pada perbedaan redaksi dari satu periwayat (baca sahabat, tabi’in) dengan periwayat lain. Ada yang menceritakan fi’liyah Rasulullah dengan lengkap dan detail dan ada pula yang secara umum saja. Misalnya, Hadis fi’liyah tentang tata cara salat, sangat banyak versi Hadis yang menceritakan tata cara salat Rasulullah yang sebelumnya diterima oleh sahabat dengan cara demonstrasi, kemudian dinarasikan oleh sahabat kepada tabi’in. Kemungkinan adanya beberapa praktek yang tidak dapat diakomodir oleh periwayat dalam verbalisasi sunnah.